Tanggung Jawab Jabatan & Kehidupan Pribadi

LEGAL OPINION
Question: Bagaimana memisahkan antara masalah privat dengan jabatannya yang merupakan seorang pejabat negara? Maksudnya, apa bisa isu-isu terkait kehidupan privatnya bisa berimbas pada jabatan? Bukannya kehidupan privat itu disebut sebagai privasi? Apa dengan menjadi seorang pejabat, artinya tidak punya privasi lagi?
Brief Answer: Parameternya, kehidupan pribadi seorang pejabat terkait kehormatan jabatannya, tidak mencederai tanggung jawab dan kehormatan jabatan yang melekat pada pribadi sang pejabat. Kehidupan diluar pekerjaan, adalah hak pribadi sang pejabat, sepanjang kehormatan jabatan dijaga. Dengan diangkatnya seseorang sebagai pejabat publik, maka hak-hak pribadinya secara separuh telah “diserahkan” kepada domain pertanggung-jawaban publik.
PEMBAHASAN:
Untuk menjelaskan secara lebih relevan, terdapat ilustrasi konkret rujukan SHIETRA & PARTNERS sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI perkara permohonan uji pendapat terhadap Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan tertanggal 13 Februari 2017, tentang Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan atas Dugaan Perbuatan Tercela, Melanggar Etika dan Melanggar Peraturan Perundang-undangan yang Dilakukan oleh Bupati Katingan, register Nomor 02 P/Khs/2017 tanggal 29 Maret 2017, antara:
- DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KATINGAN sebagai Pemohon; melawan
- BUPATI KATINGAN, selaku Termohon.
Termohon tertangkap tangan melakukan hubungan badan layaknya suami-istri dengan seorang wanita yang bukan istrinya, di sebuah rumah kontrakan. DPRD Kabupaten Katingan menilai sang pejabat mencederai kehormatan jabatan, sehingga “dimakzulkan”.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan uji pendapat dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut diatas;
“Menimbang, bahwa dari dalil-dalil Pemohon yang kemudian dibantah oleh Termohon dalam jawabannya, dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon dan Termohon, Mahkamah Agung berpendapat dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Mahkamah Agung berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan sebagaimana diajukan dalam permohonan ini berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
“Bahwa secara normatif Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan Nomor 7 Tahun 2017, tanggal 13 Februari 2017 a quo yang diputuskan melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan telah memenuhi quorum sesuai ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menghendaki bahwa dalam Rapat Paripurna DPRD tersebut dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir;
“Bahwa Ahmad Yantenglie (Bupati Katingan) sesuai dalam jawabannya tertanggal 27 Februari 2017, secara implisit tidak membantah telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun yang bersangkutan merasa tidak bersalah dengan dalih bahwa hal tersebut adalah persoalan pribadi Ahmad Yantenglie, yang tidak berkaitan dengan kewajiban jabatan Bupati Katingan dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Di samping itu, tidak ada satupun putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Bupati / Kepala Daerah Katingan telah bersalah melanggar hukum dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku;
“Bahwa menurut Mahkamah Agung, Termohon sebagai pejabat publik (Bupati Katingan) yang sudah beristri telah kawin secara siri dengan seorang perempuan bernama ... dengan status sebagai Aparatur Sipil Negara, yang masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan seorang anggota Kepolisian RI bernama ... . Hal tersebut dibuktikan, bahwa pada hari Kamis, tanggal 5 Januari 2017, pukul 02.00 WIB, Aipda Sulis Heri Suyanto telah menangkap tangan Termohon sedang tidur dengan ... dan telah melakukan hubungan badan sebagai layaknya seorang suami-istri di sebuah rumah kontrakan di ... (bukti P-3);
“Bahwa selain itu, cara berfikir Ahmad Yantenglie (Bupati Katingan) bersifat dichotomi dengan mengabaikan semangat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu meletakkan lembaga perkawinan sebagai perikatan suci seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk suatu rumah tangga yang kekal dan bahagia. Kemudian perikatan tersebut diadministrasikan secara tertib oleh negara dengan cara pencatatan pernikahan, sehingga ikatan perkawinan yang kedua tersebut hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan yang berwenang.
“Bahwa dalam kasus perkawinan yang kedua ini, posisi Termohon (Ahmad Yantenglie) dalam jabatan sebagai pejabat publik / Bupati Katingan tidak dapat dipisahkan (dichotomi) antara posisi pribadinya di satu pihak dan posisi jabatannya dilain pihak, sebab dalam perkawinan ini, kedudukan jabatan tersebut tetap melekat dan mengikuti pada diri pribadi yang bersangkutan yang melakukan perkawinan. Sehingga oleh karenanya perilaku Pejabat tersebut harus dijaga agar sesuai dengan sumpah jabatan yang telah diucapkannya, yang berbunyi: ‘Demi Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.’
“Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut, Ahmad Yantenglie selaku Bupati Katingan terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap:
1. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu tidak mencatatkan perkawinan yang kedua dengan ... , karena perkawinan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah berindikasikan penyelundupan hukum untuk mempermudah poligami tanpa prosedur hukum, dan menjadi masalah dalam status, hak-hak waris atau hak-hak lain atas kebendaan;
2. Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat (1) dan (2) huruf a, b, c, Pasal 9, dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa jikalaupun telah terjadi perkawinan kedua Ahmad Yantenglie (Bupati Katingan) dengan ... , Termohon juga tidak melaksanakan kewajiban hukumnya karena seharusnya mengajukan permohonan perkawinan tersebut ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya;
“Bahwa oleh karena Ahmad Yantenglie (Bupati Katingan) tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan tersebut, maka perbuatan Termohon tersebut diklasifikasikan telah melakukan perbuatan tercela, melanggar etika, dan peraturan perundang-undangan, yaitu tidak melaksanakan ketentuan Pasal 67 huruf b dan d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menghendaki Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah wajib menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan dan wajib menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
“Bahwa berkaitan dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa, Ahmad Yantenglie (Bupati Katingan) telah melanggar sumpah/janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) juncto Pasal 76 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu tidak memenuhi kewajiban sebagai Kepala Daerah untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksanaannya dengan selurus-lurusnya;
“Bahwa oleh karena Ahmad Yantenglie (Bupati Katingan) telah melanggar sumpah / janji jabatan tersebut, maka pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan terhadap dugaan perbuatan tercela, melanggar etika dan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Ahmad Yantenglie sebagai Bupati Katingan sebagaimana termuat dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan Nomor 7 Tahun 2017, tanggal 13 Februari 2017, adalah berdasar hukum;
“Menimbang, bahwa Mahkamah Agung telah membaca dan mempelajari Jawaban dari Termohon namun dalil-dalil Jawaban Termohon tidak dapat melemahkan dalil-dalil permohonan Pemohon;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan Nomor 7 Tahun 2017, tanggal 13 Februari 2017, tentang Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan atas Dugaan Perbuatan Tercela, Melanggar Etika dan Melanggar Peraturan Perundang-undangan yang Dilakukan oleh Bupati Katingan, adalah berdasar hukum sehingga oleh karenanya permohonan uji pendapat dari Pemohon harus dikabulkan;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan Permohonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan, tanggal 14 Februari 2017, tersebut;
“Menyatakan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan Nomor 7 Tahun 2017, tanggal 13 Februari 2017, tentang Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan atas Dugaan Perbuatan Tercela, Melanggar Etika dan Melanggar Peraturan Perundang-undangan yang Dilakukan oleh Bupati Katingan, berdasar hukum.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.