Pengusaha Menolak Perundingan Bipartit yang Diajukan Pekerja

LEGAL OPINION
Question: Saat mengadu ke Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) terkait pemecatan sepihak, petugas Disnaker menanyakan apakah sudah dilakukan perundingan bipartit. Bagaimana cara menjawabnya, bila perusahaan menolak berunding?
Brief Answer: Cukup dilampirkan surat bukti berupa undangan / permohonan perundingan bipartit dalam permohonan perundingan tripartit ke Disnaker atau Sudinaker setempat, disertai keterangan bahwa pihak Pengusaha menolak untuk dilangsungkan perundingan. Lagipula untuk bersengketa di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), hanya disyaratkan adanya Risalah Mediasi yang diterbitkan Mediator otoritas dibidang ketenagakerjaan setempat, bukan Risalah Mediasi perundingan Bipartit.
PEMBAHASAN:
Sebagai cerminan konkret, untuk itu SHIETRA & PARTNERS tepat sekiranya merujuk pada kaedah preseden putusan Mahkamah Agung RI sengketa register Nomor 230 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 21 Juni 2016, perkara antara:
- PT. EMHA KEBUN, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- NGADIONO, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat merupakan pekerja Tergugat sejak tahun 1992, bekerja 6 hari dalam seminggu sebagai penderes pohon karet, sampai kemudian di-Putus Hubungan Kerja (PHK) oleh Tergugat pada tanggal 18 Agustus 2014, dengan alasan karena Penggugat melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keesokan harinya Penggugat menemui perwakilan Tergugat, yaitu staf-staf Tergugat yang ada di Perkebunan Tergugat untuk melakukan proses bipartit. Dalam proses bipartit yang diprakarsai oleh Penggugat, ternyata tidak menghasilkan suatu solusi apapun.
Penggugat kembali mencoba mengupayakan proses bipartit dengan mengirim surat undangan untuk melaksanakan proses bipartit lanjutan, namun Tergugat tidak menghadiri undangan tanpa memberi alasan apapun. Karena selama jangka waktu 30 hari sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Tergugat tidak juga menghadiri undangan Penggugat yang dianggap “menolak untuk berunding”, maka selanjutnya Penggugat mencatatkan dan mengadukan perselisihan tersebut kepada Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara, dengan melampirkan bukti berupa surat undangan bipartit yang telah tidak diindahkan oleh pihak pengusaha.
Setelah menerima pengaduan dari Penggugat, selanjutnya Mediator Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara melakukan proses Mediasi tripartit, yang ternyata Mediasi tersebut tidak juga menghasilkan kesepakatan apapun diantara Penggugat dan Tergugat.
Karena terjadi deadlock, untuk itu Mediator menerbitkan anjuran tertulis tertanggal 14 April 2015, dengan menyatakan:
1.) Bahwa Penggugat adalah pekerja Tergugat sejak tahun 1997 berdasarkan masuknya Penggugat dalam Program Jamsostek pada tahun 1997, dan terakhir sekali menerima upah sebesar Rp1.728.000,00;
2.) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat, adalah pemutusan hubungan kerja secara sepihak;
3.) Tergugat diwajibkan membayar upah selama belum ada penetapan pemutusan hubungan kerja dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terhadap Penggugat;
4) Dalam hal ada kesalahan, Tergugat wajib membuat surat peringatan terlebih dahulu terhadap Penggugat, dan bukan melakukan pemutusan hubungan kerja;
5) Mediator menyatakan agar Tergugat memberikan hak Penggugat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 156 ayat (2), (3) dan (4), dengan perincian sebagai berikut:
- Uang Pesangon 1 x 9 bulan x Rp1.728.000,00 = Rp 15.552.000,00;
- Uang Penghargaan Masa Kerja 6 bulan x Rp1.728.000,00 = Rp10.368.000,00;
- Uang Penggantian Perumahan dan Pengobatan 15% dari Rp 25.920.000,00 = Rp 3.888.000,00;
Jumlah = Rp 29.808.000,00.
Namun Penggugat merasa keberatan sehingga menolak sebagian substansi dari Anjuran mediator, sehingga sebagai tindak lanjutnya, Penggugat mengajukan gugatan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial Medan. Adapun keberatan pertama dari Penggugat terhadap anjuran mediator, adalah tentang waktu mulai bekerja lahirnya perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat yang tidak tepat.
Penggugat menolak pendapat mediator yang menyatakan Penggugat adalah pekerja Tergugat sejak tahun 1997 berdasarkan masuknya Penggugat dalam Program Jamsostek tahun 1997, karena pada kenyataan yang sebenarnya Penggugat bekerja sejak Januari 1992 di perusahaan Tergugat.
Keberatan kedua, anjuran mediator tentang hak Penggugat yang timbul akibat PHK sepihak, hanya dinyatakan berhak sejumlah satu kali ketentuan pesangon, karena menurut Penggugat, alasan PHK adalah tidak beralasan, yakni Penggugat dianggap telah melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni perihal “pelanggaran berat”.
Penggugat merujuk putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 012/PUU-I/2003, dengan amar putusan bahwa Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat karena telah dibatalkan, sehingga kemudian terbit Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan norma:
a. Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
b. Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar/acuan dalam penyelesaian hubungan industrial;
c. Apabila pengusaha ingin melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan yang dimaksud dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan Hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap perbuatan pekerja tersebut.”
Oleh karena tidak ada satu kesalahan pun yang disebut dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dilakukan oleh Penggugat, serta tidak ada satupun putusan Pengadilan Pidana terhadap diri Penggugat, harusnya mediator menyatakan dalam anjurannya bahwa PHK yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat, dikategorikan sebagai PHK tanpa kesalahan, yakni dikategorikan sebagai “PHK karena efisiensi”, sebagaimana yang dimaksud kaedah Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan konsekuensi Tergugat harus membayar kompensasi kepada Penggugat berupa uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Sementara dalam bantahannya pihak Pengusaha mendalilkan, Penggugat yang menempuh upaya tripartit dengan membuat pengaduan pada Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara adalah suatu upaya yang keliru. Tempat bekerja Penggugat berada di wilayah Kabupaten Batubara, seharusnya Penggugat menempuh lebih dahulu upaya proses mediasi untuk tripartit pada wilayah yang berwenang, yakni pada Suku Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batubara.
Oleh karena instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan dalam perkara ini adalah Sudinaker Kabupaten Batubara, maka dengan demikian yang berwenang mengeluarkan Anjuran dalam hal ini adalah Sudinaker Kabupaten Batubara, bukan Disnaker Provinsi Sumatera Utara.
Tergugat untuk itu mengutip kaedah Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial:
“Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung-jawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten / Kota.”
Pasal 12 ayat (3) Permenakertrans Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi:
“Mediator yang berkedudukan di Dinas Kabupaten / Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, berwenang untuk:
a. Melakukan Mediasi terhadap Perselisihan Hubungan Industrial yang terjadi di Kabupaten / Kota yang bersangkutan;
b. Melakukan mediasi terhadap Perselisihan Hubungan Industrial atas pelimpahan dari Kementerian atau Dinas Provinsi.”
Penggugat tidak pernah menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat melalui mediasi pada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batubara. Disamping itu juga mediator pada Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara yang menerima pengaduan Penggugat tidak pernah melimpahkan upaya penyelesaian perselisihan melalui mediasi kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batubara, yang jelas-jelas memiliki kewenangan untuk itu.
Dengan bersikap menggurui regulator, pihak Pengusaha mendalilkan, Disnaker Provinsi Sumatera Utara telah keliru menafsirkan Pasal 12 ayat (2) Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2014 yang menyatakan berwenang untuk melakukan mediasi yang terjadi pada lebih dari 1 (satu) Kabupaten / Kota dalam 1 (satu) provinsi, karena menurut sang Pengusaha, Tergugat hanya memiliki satu kebun dan tidak mempunyai kebun di wilayah lain selain yang ada di Kabupaten Batubara.
Tergugat menyimpulkan, Disnaker Provinsi Sumatera Utara tidak berwenang untuk melakukan mediasi, sehingga dengan demikian Surat Anjuran dari Mediator Disnaker Provinsi Sumatera Utara mengandung cacat formil sehingga tidak memiliki validitas hukum.
Terhadap aksi gugat-menggugat demikian, Pengadilan Hubungan Industrial Medan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 145/Pdt.Sus-PHI/2015/PN Mdn, tanggal 5 November 2015, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa perselisihan Tergugat dan Penggugat sudah pernah dibicarakan ditingkat Kabupaten Batubara sebagaimana pada notulen rapat antara Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batubara dengan pimpinan / pengurus PT. Emha Kebun Sipare-pare, Kecamatan Sei Suka, diikuti oleh pekerja / buruh yang mengalami PHK (vide bukti P-7), namun Dinas Tenaga Kerja Batubara tidak mengeluarkan Anjuran, tetapi mengeluarkan Notulen Rapat. Notulen Rapat ini juga dikirimkan kepada Kadisnakertrans Provinsi Sumatera Utara, sehingga Penggugat melanjutkan perselisihan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara;
“Menimbang, bahwa proses penyelesaian perselisihan Tergugat dengan Penggugat telah melakukan pertemuan atau bipartit antara Tergugat dengan Penggugat pada tanggal 19 Agustus 2014 yang diprakarsai oleh Penggugat tetapi tidak menghasilkan kesepakatan apapun, selanjutnya Penggugat menempuh upaya tripartit ke Mediator Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara, hasilnya tidak terjadi kesepakatan apapun Tergugat dan Penggugat sebagaimana pada Anjuran tanggal 14 April 2015;
“Menimbang, bahwa karena Penggugat dan karyawan lain tidak bersedia melakukan pekerjaan kutip lump (ngelontok) mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, management kebun memberikan instruksi kepada karyawan apabila tidak bersedia melakukan pekerjaan inti tersebut perusahaan memerintahkan untuk tidak bekerja karena tidak memberikan hasil yang maksimal dan merugikan perusahaan (vide bukti T-2);
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat [2 kali ketentuan pesangon] berdasarkan Pasal 156 ayat (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tunai sebesar Rp58.330.800,00 (Lima puluh delapan juta tiga ratus tiga puluh ribu delapan ratus rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 17 Desember 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 22 Januari 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Dalam eksepsi, Judex Facti telah benar menerapkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 karena secara substansi telah dilakukan mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batu bara dan anjuran oleh Disnaker Provinsi Sumatera Utara sebagaimana telah tepat dan benar dipertimbangkan oleh Judex Facti, lagipula sesuai jiwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus diselesaikan secara cepat sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang syarat gugatan hanya dilampiri risalah mediasi;
“Dalam pokok perkara, Judex Facti telah benar menilai bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat maupun Tergugat karena saksi-saksi yang diajukan Penggugat dan Tergugat memberi keterangan saling bertentangan mengenai apakah Penggugat telah mempengaruhi para pekerja lainnya untuk tidak masuk kerja 5 (lima) hari, lagi pula hal ini penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. EMHA KEBUN tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. EMHA KEBUN tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.