PHK, Pesangon, dan Ongkos Pulang bagi Pekerja

LEGAL OPINION
Question: Kalau dipecat, apa bisa seorang pegawai juga menuntut ongkos pulang disamping pesangon ke pengadilan?
Brief Answer: Bisa, sepanjang ada bukti untuk itu, semisal surat keputusan perusahaan, yang memerintahkan seorang Pekerja / Buruh untuk bekerja di lokasi kantor cabang yang berbeda dengan kantor dimana yang bersangkutan diterima bekerja. Menjadi penting, bagi kalangan Pekerja untuk membuat dokumentasi terkait mutasi, sebagai antisipasi kemungkinan terburuk dikemudian hari.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang patut menjadi pelajaran bagi kalangan Pekerja / Buruh, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru sengketa hubungan industrial register Nomor 84/Pdt.Sus-PHI/2016/PNPbr tanggal 31 Januari 2016, perkara antara:
- ODODOGO GIAWA, sebagai Penggugat; melawan
- PT. ASIA FORESTAMA RAYA, selaku Tergugat.
Penggugat merupakan Pekerja di Perusahaan Tergugat sejak bulan Desember 2013 pada bagian Sander. Tanggal 07 April 2016, Mondor Perusahaan Tergugat, melakukan penganiayaan di tempat kerja terhadap Penggugat, hingga menimbulkan cidera luka di Kepala dan Penggugat di bawa ke Rumah untuk menjalani perawatan dari tanggal 07 April s/d 13 April 2016, dan setelah keluar dari Rumah Sakit pada Tanggal 15 April 2016 Penggugat datang ke perusahaan Tergugat untuk mendapatkan status Penggugat di Perusahaan, namun tidak ada Pimpinan yang berkenan bertemu dengan Penggugat dengan alasan bahwa kasus penganiayaan belum ada kejelasan proses.
Mandor perusahaan, pada tanggal 12 Mei 2016 telah ditangkap dan ditahan oleh Pihak Kepolisian, maka mengingat alasan Tergugat tersebut maka Penggugat kembali mendatangi lokasi Perusahaan pada tanggal 15 Mei 2016, namun juga tidak ada jawaban dari Pimpinan Perusahaan Tergugat. Hingga gugatan ini diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial, tidak kunjung ada kejelasan dari Tergugat.
Dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh Tergugat, Penggugat berharap agar Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dapat mengabulkan hak normatif Penggugat berupa Uang Pesangon, Uang Penggantian Perumahan/Pengobatan, Uang Cuti Tahunan, Upah selama 6 (enam) bulan, dan disertai Ongkos Pulang sebesar Rp.5.000.000,-.
Dimana terhadap gugatan sang Pekerja, Majelis Hakim PHI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal maka menurut hukum harus dianggap terbukti hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat adalah merupakan karyawan di PT. Asia Forestama Raya yang bekerja dibagian Sander;
2. Bahwa terhitung sejak bulan April 2016 Pengugat tidak lagi bekerja di Perusahaan Tergugat karena di-Putus Hubungan Kerja oleh Perusahaan Tergugat;
“Menimbang, bahwa dengan demikian yang menjadi pokok persengketaan adalah:
1. Apakah sah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat;
2. Apa yang menjadi hak-hak Penggugat, atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat terhadap Pengugat;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan pokok persengketaan diantara kedua belah pihak;
“Menimbang, bahwa pertama-tama Majelis akan mempertimbangkan apakah sah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat;
“Menimbang, bahwa Penggugat mendalilkan Tergugat telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak karena ada masalah tindak pidana yang dilakukan oleh Mandor terhadap Penggugat;
“Menimbang, bahwa Tergugat membantah dan menyatakan Penggugat mempunyai masalah dengan Mandor yaitu Golpin Pasaribu, dimana telah terjadi pemukulan terhadap Mandor tersebut, pemukulan juga pernah dilakukan oleh Penggugat terhadap Karyawan lain pada tahun 2015;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti yang diajukan oleh Penggugat yaitu:
1. P-1, berupa foto Kondisi Penggugat setelah dilakukan pemukulan oleh Golpin Pasaribu;
2. P-2, berupa Surat Keterangan dirawat di Rumah Sakit Bina Kasih;
3. P-3, dan P-4 berupa laporan adanya tindak pidana, berikut penahanan diberlakukan terhadap pelaku;
“Menimbang, bahwa dari bukti tersebut maka dapat disimpulkan yang terjadi adalah pemukulan yang dilakukan terhadap Penggugat, hal tersebut juga diperkuat dengan keterangan Saksi Penggugat dan keterangan saksi Jandri Sitinjak;
“Menimbang, bahwa bukti T-1 berupa surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Penggugat dimana menurut Tergugat, Penggugat telah melakukan kesalahan berat sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (1) huruf b dan e Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan pernyataan Penggugat tanggal 01 April 2015;
“Menimbang, bahwa pasal 158 ayat (1) huruf b dan e UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan: ‘Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan Buruh / Pekerja melakukan kesalahan berat yaitu:
- Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan (huruf b);
- Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan kerja.’
“Menimbang, bahwa alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dikemukakan Tergugat tersebut, tidak dapat dibuktikan oleh Tergugat;
“Menimbang, bahwa bukti T-2 dan T-3 dihubungkan dengan keterangan Saksi Golpin Pasaribu dan Jandri Sitinjak, dari pembuktian ini terbukti ada perkelahian antara Penggugat dengan Mandor Golpin Pasaribu dengan penyebabnya Penggugat tidak mau melaksanakan perintah Mandor;
“Menimbang, bahwa dari bukti T-2 dan T-3 dihubungkan dengan bukti P-1 dan P-2 dan keterangan para Saksi justru telah terbukti akibat dari pemukulan tersebut Penggugat menderita luka yang kemudian melaporkannya ke pihak yang berwenang (Polisi);
“Menimbang, bahwa jika dihubungkan fakta yang terbukti tersebut dengan Pasal 158 ayat (1) huruf b dan e UU Nomor 13 Tahun 2003, maka Penggugat adalah korban bukan pelaku dugaan tindak pidana, apalagi Pasal 158 UU Nomor 13 Tahun 2003, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstirusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004, tidak (lagi) mempunyai Kekuatan Hukum mengikat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, maka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat, tidak sah;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan dimana setelah Penggugat keluar dari rumah sakit, kembali ke Perusahaan Tergugat untuk membicarakan masalah statusnya di Perusahaan akan tetapi tidak mendapat tanggapan dari Tergugat, yang akhirnya berlanjut melalui penyelesaian di Dinas Tenaga Kerja, dengan Anjuran. Majelis melihat tidak ada lagi keharmonisan antara Penggugat dengan Tergugat, maka menurut hemat Majelis adalah sangat adil untuk memutus hubungan kerja antara Tergugat dengan Penggugat berdasarkan Pasal 169 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pekerja melanggar tata-tertib Perusahaan Tergugat;
“Menimbang, bahwa alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berdasarkan Pasal 158 ayat (1) tersebut tidak dapat dibenarkan karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan Surat Edaran Menakertrans RI Nomor .SE-13/MEN/SJHK/I/2005 disebutkan bahwa Pengusaha yang akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat, maka PHK dapat dilakukan setelah adanya putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
“Menimbang, bahwa dalam perkara a quo Tergugat tidak dapat membuktikan terhadap kesalahan berat yang dilakukan Penggugat yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Penggugat telah berhasil membuktikan dalil gugatannya sedangkan Tergugat tidak berhasil membuktikan dalil bantahannya;
“Menimbang, oleh karena hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat diputus berdasarkan Pasal 169 ayat (1) huruf (a) UU Nomor 13 Tahun 2003 maka Penggugat berhak atas uang pesangon, Penggantian Hak dan lainnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas oleh karena pada pokoknya Penggugat telah berhasil membuktikan dalil gugatannya, maka selanjutnya Majelis akan menghubungkannya dengan petitum gugatan Penggugat;
“Menembang, bahwa mengenai Petitum ketiga, dimana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat tidak sah, sedangkan juga ternyata hubungan antara Penggugat dengan Tergugat tidak harmonis lagi, maka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat, terhitung sejak Perkara ini didaftarkan ke Pengadilan, oleh karenanya Petitium ini dikabulkan dengan perbaikan;
“Menimbang, bahwa mengenai petitum keempat, oleh karena sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, peristiwa tersebut dijadikan dasar pertimbangan dalam perkara a quo, maka pernyataan kesalahan Tergugat tersebut tidak ada relevansinya untuk dicantumkan dalam amar putusan, untuk itu haruslah ditolak;
“Menimbang, bahwa mengenai petitum kelima, sesuai dengan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf (a) Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka Penggugat berhak atas pesangon sebesar 3 kali 2 bulan Gaji;
“Menimbang, bahwa besaran atau nominal gaji Penggugat terdapat perbedaan, maka Majelis berpendapat patokan yang dijadikan dasar perhitungan adalah upah minimum Kota Pekanbaru tahun 2016 yaitu sebesar Rp.2.093.970,-
“Menimbang, bahwa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomnor 37/PUU-IX/2011 tanggal 06 September 2011, dengan telah berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dan upah Penggugat tidak dibayarkan oleh Tergugat sejak Mei 2016 dan Penggugat belum mendapatkan hak-hak, Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat berhak atas upah proses sejak bulan Mei 2016 sampai dengan Oktober 2016, yaitu 6 x Rp.2.093.970,- = Rp.12.563.820,-;
“Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang diuraikan diatas, dengan demikian hak-hak Penggugat yang harus dibayarkan secara tunai oleh Tergugat atas Pemutusan Hubungan Kerja ini, adalah sebagai berikut:
1. Pesangon = 3 x 2 x Rp. Rp. 2.093.970,- Rp. 12.563.820,-
2. Penggantian Hak:
- Pengobatan dan Perumahan = 15 % x Rp.12.563.820,- = Rp. 1.884.573,-
- Cuti Tahunan 2016 : Rp.2.093.970,- / 25x12 = Rp. 1.005.096,- Rp. 2.889.669,-
3. Upah Proses: 6 X Rp.2.093.970,- Rp.12.563.820,-
Jumlah Seluruhnya Rp.28.017.309,- (Rupiah : Dua puluh delapan juta tujuh belas ribu tiga ratus sembilan);
“Menimbang, bahwa dalam gugatan Penggugat juga meminta ongkos Pulang sebesar Rp.5.000.000,- (Rupiah: Lima Juta), sesuai dengan fakta Persidangan tidak ada bukti yang menyatakan tempat penerimaan Penggugat selain dari Kota Pekanbaru, maka Majelis Hakim berpedapat bahwa Gugatan Penggugat atas ongkos pulang, tidak dapat dikabulkan;
M E N G A D I L I :
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 08 Oktober 2016;
3. Memerintahkan Tergugat untuk membayar Hak-hak Penggugat atas PHK secara tunai dan seketika sebesar Rp. 28.017.309,- (Rupiah : Dua puluh delapan juta tujuh belas ribu tiga ratus sembilan), dengan perincian sebagai berikut:
1. Pesangon = 3 x 2 x Rp. Rp. 2.093.970,- Rp. 12.563.820,-
2. Penggantian Hak:
- Pengobatan dan Perumahan = 15 % x Rp.12.563.820,- = Rp. 1.884.573,-
- Cuti Tahunan 2016: Rp.2.093.970,- / 25 x 12 = Rp. 1.005.096,- Rp. 2.889.669,-
3. Upah Proses: 6 X Rp.2.093.970,- Rp.12.563.820,-
Jumlah Seluruhnya Rp.28.017.309,-
3. Menolak Gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.