Menjadi Pemegang Saham Minoritas, Menyesal di Kemudian Hari

LEGAL OPINION
Question: Bukankah untuk menerbitkan saham baru, perseroan harus tawarkan dulu itu saham ke para pemegang saham? Bukankah artinya jika sudah punya saham lebih dari 10%, itu sudah aman untuk masuk sebagai pemegang saham? Kalau saham yang baru diterbitkan, ditawarkan kepada seluruh pemegang saham, maka persentase kepemilikan saham dapat tetap dipertahankan dengan ikut membeli, jadi semestinya aman, bukan?
Brief Answer: Betul bahwa pemegang saham minoritas, baru mendapat perlindungan hukum sepanjang proporsional saham yang dimilikinya minimal 10 % (sepuluh persen), lewat mekanisme hak pengajuan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan ke hadapan Pengadilan, sehingga terhadap perseroan akan dilakukan audit investigasi oleh ahli yang independen, yakni audit yang sifatnya menemukan kebenaran materiil, menyerupai cara kerja profesi Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga pemegang saham mayoritas tidak dapat “menzolimi” pemegang saham minoritas.
Itulah idealnya, namun tidak demikian bila kita mencermati lebih lanjut kaedah hukum korporasi secara lebih komprehensif, sehingga para investor akan mulai menyadari bahwa tawaran perlindungan demikian hanyalah “harapan semu” belaka.
Anggaran Dasar dapat mengatur bahwa saham baru yang diterbitkan perseroan dalam rangka peningkatan modal dasar, ditawarkan terlebih dahulu secara proporsional kepada pemegang saham yang telah ada (incumbent), namun para pendiri / pemegang saham dapat saja tidak mengatur demikian atau menentukan lain. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas menggunakan frasa “dapat”, yang artinya dapat “Ya” dan juga dapat “Tidak”—fakultatif semata, bukan imperatif sifat normatif-nya.
Anggaplah dalam kasus Anda, Anggaran Dasar Perseroan mengatur bahwa saham baru yang diterbitkan perseroan, wajib terlebih dahulu ditawarkan kepada para pemegang saham incumbent. Namun, mengingat sifat kaedah dalam Anggaran Dasar perihal penawaran saham demikian sifatnya ialah “dapat”, maka dapat saja ketentuan demikian dihapus dari Anggaran Dasar.
Caranya, yakni semudah bagi pemegang saham mayoritas menyelenggerakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dengan agenda acara mengubah Anggaran Dasar, yakni menghapus ketentuan demikian, sehingga direksi dapat menawarkan saham baru perseroan kepada pihak manapun yang berminat membeli, tanpa harus terlebih dahulu menawarkannya kepada pemegang saham minoritas.
Ingat, pemegang saham mayoritas selalu menang dalam kuorum dan voting dan RUPS! Pemegang saham minoritas, dalam realitanya, tidak lebih dari “penggembira” belaka yang tidak mampu berkutik dalam hal apapun.
Cara kedua, yang lebih canggih, ialah digunakannya mekanisme obligasi, yakni mandatory convertible bond. Sekalipun Anggaran Dasar telah menentukan dan mengatur bahwa saham baru yang diterbitkan perseroan harus terlebih dahulu ditawarkan kepada pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas, namun mekanisme mandatory convertible bond sebagimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, dimungkinkan untuk langsung diterbikan dan ditawarkan kepada investor, tanpa kewajiban untuk terlebih dahulu ditawarkan kepada pemegang saham.
Dengan cara itulah, modal dasar perseroan dapat ditingkatkan, lewat penerbitan saham baru hasil konversi hutang-piutang, masuknya pembeli obligasi pemegang saham baru berbasarkan obligasi yang secara mandat dikonversi menjadi saham baru perseroan, sehingga secara tidak langsung proposional kepemilikan saham pihak pemegang saham minoritas, akan menjadi merosot dibanding total seluruh saham perseroan.
Ketika persentase kepemilikan saham pihak pemegang saham minoritas telah menjelma dibawah 10% dari seluruh total saham, maka tertutup sudah potensi hak bagi dirinya untuk mengajukan permohonan penetapan audit / pemeriksaan investigasi terhadap perseroan ke hadapan Pengadilan Negeri setempat. Ketika itu terjadi, bahkan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas sekalipun, tidak memberikan perlindungan hukum apapun. Itulah sebabnya, SHIETRA & PARTNERS, menyatakan tidak pernah merekomendasikan kepada investor manapun, untuk masuk sebagai pemegang saham minoritas, baik perseroan lokal, PMDN, maupun PMA.
PEMBAHASAN:
Perihal kebolehan mekanisme instrumen keuangan semacam mandatory convertible bond, dapat kita rujuk pada kaedah norma Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT):
(1) Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama.
(2) Dalam hal saham yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan saham yang klasifikasinya belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya.
(3) Penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pengeluaran saham:
a. ditujukan kepada karyawan Perseroan;
b. ditujukan kepada pemegang obligasi atau efek lain yang dapat dikonversikan menjadi saham, yang telah dikeluarkan dengan persetujuan RUPS; atau
c. dilakukan dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang telah disetujui oleh RUPS.
(4) Dalam hal pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menggunakan hak untuk membeli dan membayar lunas saham yang dibeli dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penawaran, Perseroan dapat menawarkan sisa saham yang tidak diambil bagian tersebut kepada pihak ketiga.”
Pasal 57 Ayat (1) UU PT:
Dalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu: [Note SHIETRA & PARTNERS: Pada prinsipnya undang-undang memberi ruang kebebasan bagi pendiri dan pemegang saham untuk menentukan isi Anggaran Dasar, tidak terkecuali untuk mengubahnya dikemudian hari lewat mekanisme RUPS.]
a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;
b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; dan/atau
c. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Apakah yang dimaksud dengan Audit Investigasi terhadap perseoan? Simak norma dasar sebagaimana dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 138 UU PT:
(1) Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh:
a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara;
b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau
c. kejaksaan untuk kepentingan umum.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan setelah pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan dalam RUPS dan Perseroan tidak memberikan data atau keterangan tersebut.
(5) Permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang Perseroan atau permohonan pemeriksaan untuk mendapatkan data atau keterangan tersebut harus didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) huruf a, dan ayat (4) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain.”
Mengapa penetapan Audit Investigasi patut diwaspadai oleh setiap perseroan dari aksi permohonan pemegang saham minoritas? Dapat kita jumpai relevansinya dalam norma Pasal 139 UU PT:
(1) Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138.
(2) Ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak permohonan apabila permohonan tersebut tidak didasarkan atas alasan yang wajar dan/atau tidak dilakukan dengan itikad baik.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan, ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan.
(4) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, konsultan, dan akuntan publik yang telah ditunjuk oleh Perseroan tidak dapat diangkat sebagai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memeriksa semua dokumen dan kekayaan Perseroan yang dianggap perlu oleh ahli tersebut untuk diketahui.
(6) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua karyawan Perseroan wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.
(7) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib merahasiakan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.”
Pasal 140 UU PT:
(1) Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 kepada ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam penetapan pengadilan untuk pemeriksaan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengangkatan ahli tersebut.
(2) Ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan kepada pemohon dan Perseroan yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima.”
Pasal 141 UU PT:
(1) Dalam hal permohonan untuk melakukan pemeriksaan dikabulkan, ketua pengadilan negeri menentukan jumlah maksimum biaya pemeriksaan.
(2) Biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh Perseroan.
(3) Ketua pengadilan negeri atas permohonan Perseroan dapat membebankan penggantian seluruh atau sebagian biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemohon, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.