Kode Etik Menjadi Manusia, Malu dan Takut Berbuat Jahat

ARTIKEL HUKUM
DISCLAIMER: Yang Anti Kritik, Dilarang Membaca Artikel Kritis ini. Berani Tetap Membaca, Tanggung Sendiri Akibatnya
Penulis kerap dirugikan oleh klien yang tidak membayar apa yang menjadi hak penulis selaku penyedia jasa layanan konsultasi hukum. Pelunasan tarif, hanya menjadi sekadar polesan bibir tanpa komitmen sang klien yang tampaknya memang sudah terbiasa ingkar janji, atau mungkin memang itulah tepatnya kerjaan utama dirinya.
Biasanya, seorang yang melanggar komitmen, adalah kerap terbiasa untuk melecehkan perjanjian yang telah disepakati. Seseorang yang kedapatan tangan berbohong, biasanya memang telah terbiasa berdusta. Tidaklah mengherankan pula bila dirinya kerap bermasalah dengan hukum. Tidak ada sarjana hukum manapun yang mampu menyelamatkan seorang pembual. Lihat saja nasib Setya Novanto. Sekali dua kali, ia lolos dari hukum berkat jasa pengacara. Namun mau melarikan diri sampai kapan? Kasus “papa minta saham”, dirinya lolos. Namun kembali dengan kasus “e-KTP”.
Baru-baru ini, seorang klien yang merupakan seorang pengusaha di Jakarta, yang memiliki grub usaha dengan kantor serta aset melimpah, tidak kunjung melunasi tunggakan fee yang sangat tidak seberapa nilainya. Dengan mudahnya dirinya menyatakan komitmen untuk melunasi, namun kemudian dengan mudahnya juga melanggar janji. Ia kini hendak digugat oleh ahli waris seorang rekan bisnis, karena praktik kecurangan bisnis (sama sekali tidak mengherankan), agar tidak menjadi korban serupa—meski janggalnya, merasa berang ketika lawan bisnisnya dalam kesempatan lain, wanprestasi terhadap dirinya.
Setelah ditagih, yang ada hanya janji-janji. Realisasinya, ingkar janji dan sukar dihubungi. Namun bukanlah itu yang hendak penulis sampaikan. Isu utama dalam artikel singkat ini, ialah sebuah pertanyaan mendasar perihal falsafah hidup, berupa pertanyaan sederhana berikut: Siapakah yang semestinya takut terhadap kejadian tidak dilunasinya hak jasa berupa tarif yang telah disepakati sebelumnya?
Tentu, tidaklah mungkin penulis mengajukan gugatan wanprestasi hanya karena nilai tarif yang tidak seberapa nilainya dari pengusaha kaya raya namun miskin mental demikian. Terlagi pula, pengusaha dengan bermodalkan materi melimpah, cenderung mampu membeli dan menyetir proses peradilan sehingga menjelma mafia peradilan.
Namun apakah artinya, menjadi pengusaha tidak jujur demikian, yang menghimpun kekayaan dengan cara menipu dan merampok hak-hak orang lain, adalah sebuah keberuntungan bagi diri sang pengusaha? Apakah orang-orang yang selama ini dirugikan olehnya, termasuk hak penulis atas tarif tertunggak, selalu dalam posisi dirugikan?
Sebetulnya tidak mengherankan, bila terdapat warga alias manusia penduduk Bumi yang dapat dengan seenaknya melanggar komitmen, bahkan merugikan orang lain, karena keyakinan yang kini menjadi dominan di dunia ini, ialah keyakinan “samawi”, dalam arti: cukup berbekal rajin memuja-muji dan menyembah Tuhan, maka segala dosa akan dihapuskan. Praktik “cuci dosa”, tren baru cuci-mencuci disamping cuci-uang.
Suatu sikap pengecut dan curang, akibat diajarkan untuk terbiasa dan membudayakan ritual penghapusan dosa, akan terus mengandalkan keyakinan penghapusan dosa demikian dengan terus seenaknya dan dengan mudahnya merugikan orang lain, maupun memamerkan segala keburukan karakter secara vulgar dan seronok.
Tiada lagi pembelajaran bagi umat manusia, untuk bertanggung jawab atas perilakunya. Itulah sebabnya, agama samawi, pada saat ini tumbuh berkembang secara pesat. Bahkan jika perlu, obral surga lewat iming-iming dan janji-janji surgawi, yang tidak lain ialah: penghapusan dosa lewat praktik ritual sembah-sujud terhadap Tuhan.
Sejak saat itulah, terjadi dehumanisasi, yang artinya mulai terbentuk budaya degradasi standar moral umat manusia. Manusia mulai tidak lagi malu berbuat jahat, bahkan tidak lagi takut berbuat jahat. Bertindak korup dan jahat, selama mampu membeli hukum, maka akan dipastikan bebas dari hukuman. Indonesia termasuk salah satu surga penjahat. Bila Panama dikenal sebagai surga pajak, maka prestasi Indonesia dikenal dunia sebagai pencetak “surga dosa”. Soal urusan surga, sudah terjamin mendapat tanah kapling di surga, tidak lain berangkat dari keyakinan membuta terhadap konsep penghapusan dosa—termakan oleh iming-iming.
Manusia mulai menaruh harapan dan menjadikan penghapusan dosa sebagai andalan untuk bergantung. Identitas manusia dan kemanusiaan, mulai merosot menjadi seorang penjilat Tuhan, sekaligus demikian bergantung pada iming-iming penghapusan dosa.
Manusia tidak lagi belajar untuk menanam kebaikan, namun semata diajarkan untuk meminta—memohon—dan meminta, lengkap dengan tangan yang ditengadahkan, atau lewat lantunan puja-puji koor berjemaah, seakan akan membuat Tuhan tersanjung lewat nyanyian penuh “jilatan” para manusia yang lebih pandai menjilat.
Memuliakan Tuhan, bukanlah dengan puja-puji—seolah Tuhan memiliki obsesi untuk gila disembah. Memuliakan Tuhan, dilakukan dengan cara memuliakan karakter diri kemanusiaan seorang manusia. Ada atau tidak ada Tuhan, orang jahat tetaplah orang jahat. Ada orang jahat, maka penciptanya pastilah jahat. Menjadi manusia yang berhati mulia dan berwatak murni bersih, sudah lebih dari cukup memuliakan Tuhan.
Cobalah kita melihat karya agung sebuah lukisan Monalisa, kita akan takjub dan kagum pada pelukisnya, Leonardo da Vinci. Namun lihatlah para pelaku aksi radikalisme dan teror, maka kita akan merasa jijik terhadap si pencipta para teroris tersebut. Sama seperti untuk mengharumkan nama baik keluarga dan orang tua, kita perlu menjadi seorang anak yang baik. Sesederhana itu saja.
Dalam Buddhisme, setiap perbuatan, baik perbuatan kecil maupun perbuatan besar, akan berbuah kepada si pelaku. Semakin senang si pelaku melakukan kejahatan ataupun kebaikan, semakin menguat dan kian besar buah yang akan berbuah dan dipetiknya. Sama seperti satu butir biji mangga, ketika ia tumbuh menjadi pohon mangga, mampu menghasilkan ribuan buah mangga sepanjang tahunnya.
Prinsip fair play (hukum karma), tidak akan pernah sejalan dengan konsep penghapusan dosa. Hanya seorang pendosa dan pengecut yang membutuhkan penghapusan dosa. Bila seorang pendosa mampu masuk surga cukup dengan ritual jilat-menjilat dan berkat penghapusan dosa, maka pastilah akan ada juga polisi, penjara, jaksa, dan hakim di surga, karena banyak bajingan yang ternyata lolos seleksi masuk surga, untuk kemudian saling perang saudara di sana.
Dengan demikian, tiada bedanya kehidupan antara di surga dan di bumi. Surga hanyalah Bumi kedua, yang sama rusaknya. Mungkin, kehidupan di “neraka” masih jauh lebih damai dan adil. Apakah kita harus memberi definisi baru (redefinisi) terhadap konsep surga dan neraka?
Bayangkan, semakin jahat seseorang, semakin dirinya tergila-gila dan menggemari iming-iming “gombal” penghapusan dosa. Mulai dari perampok, pemerk0sa, penipu, pencuri, teroris, koruptor, gembong nark0tika, akan berbondong-bondong secara berjemaah menjadi pelaku praktik “jilat-menjilat” Tuhan. Membuat Tuhan tersanjung lewat sembah-sujud dan nyanyian puja-puji. Sungguh sosok imaji Tuhan yang kerdil dan dangkal.
Penulis menyebutnya sebagai: Pujian yang menistakan Tuhan, seakan Tuhan butuh semua omong kosong itu. Tuhan telah penuh dan sempurna, tidak butuh semua itu, tidak pengakuan, tidak juga pujian. Memuliakan Tuhan, cukup dengan menjadi manusia yang mulia: tidak berbuat kejahatan, rajin berbuat kebaikan, dan mensucikan hati serta pikiran.
Semua orang sanggup menjadi seorang penjilat, dengan sikap malasnya untuk menanam benih dan bertani, akan memilih menyembuh-sujud, cukup meminta-memohon-meminta, bahkan mengharap “korting” dosa, diskon serta obral surga, ketimbang menjadi “petani” yang harus bercocok-tanam, dengan tekun menabur benih, merawat, dan menuai buahnya lewat jirih payah.
Namun tidak semua orang sanggup untuk tidak berbuat jahat, untuk menepati janji, untuk tidak menyakiti makhluk hidup manapun, untuk banyak berbuat kebaikan, untuk hidup selibat, untuk bermeditasi bersatu dengan semesta tanpa kemelekatan apapun, untuk melepaskan (bukan mengambil atau bahkan merampok hak orang lain).
Kembali kepada konsep Buddhisme, terdapat sebuah “kode etik manusia” yang diistilahkan sebagai “hiri” dan “ottapa”. “Hiri”, merupakan rambu dasariah yang membuat manusia benar-benar dapat disebut sebagai seorang manusia, yakni rasa “malu” untuk berbuat jahat. Sementara “ottapa”, ialah sebuah istilah untuk menggambarkan kemampuan bagi manusia untuk takut akan konsekuensi buah karma buruk akibat melakukan kejahatan.
Tanpa memiliki “hiri” dan “ottapa”, jadilah seseorang hendak mengkurbankan dan menyembelih leher anaknya sendiri, dengan harapan dapat masuk surga yang merupakan keinginan egoistik sang ayah. Seseorang dengan “hiri” dan “ottapa”, akan memilih untuk menyembelih leher dirinya sendiri, ketimbang menjadikan anak sebagai kurban / tumbal. Dalam Buddhisme, tiada pengkurbanan, yang ada ialah “pengorbanan tanpa darah”, yakni praktik “fang-shen” atau menyelematkan dan melepaskan hewan yang terancam dibunuh.
Seorang penganut Buddhisme, sejatinya tidak perlu mempelajari konsep-konsep tentang hak asasi manusia (HAM), oleh karena Buddhisme kaya akan konsep yang bahkan jauh lebih komprehensif melampaui konsep HAM. Sebaliknya, konsepsi tentang HAM memang dibentuk dan ditujukan sebagai konsumsi para penganut keyakinan samawi, agar tidak sepenuhnya terjebak dalam konsepsi “penghapusan dosa” yang dapat membuat manusia berpotensi menjadi radikal.
Sangatlah penting konsepsi HAM disuapkan ke dalam mulut mereka, agar tidak menjelma radikal, atau paling tidak berupaya membuat mereka sedikit melupakan keinginan untuk memohon penghapusan dosa dan mulai belajar “mengerem” nafsu dan insting hewani untuk menerkam dan memangsa sesama manusia. Konon, manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Berdusta, berbohong, ingkar janji, merugikan orang lain, menyakiti, melukai, atau bahkan membunuh, sama artinya sedang menggali lubang kubur untuk dirinya sendiri. Karena ketika dirinya sejatinya sedang menggali lubang kubur untuk dirinya dengan melakukan perbuatan jahat yang merugikan orang lain, maka sejatinya yang celaka akibat perbuatan buruknya, ialah diri sang pelaku itu sendiri.
Berangkat dari persepsi sederhana demikian, serta menyadari “siapa yang sedang merugikan siapa” dengan segala ingkar janji demikian, maka yang semestinya takut berbuat jahat, ialah si pelaku itu sendiri, bukan sang korban yang wajib merasa takut. Si dungu akan tertawa ketika berhasil menipu dan merampok hak-hak orang lain.
Perangkap “merasa sudah terjamin masuk surga”, merupakan perangkap paling jitu untuk membuat umat manusia dapat dengan seenaknya ingkar janji. Tidak mengherankan pula bila para pelaku ingkar janji demikian, ialah umat yang rajin melakukan ritual sembah-sujud dan puja-puji terhadap Tuhan. Fenomena yang kerap penulis jumpai di Indonesia, atau mungkin juga merupakan fenomena global yang serupa.
Paradigma perlu mulai kita balik: Yang semestinya takut berbuat jahat, ialah si pelaku, bukan si korban. Ketika waktunya tiba, dimana buah karma buruk telah matang untuk berbuah, derita hanyalah menjadi konsekuensi logis yang harus ditanggung secara gentlemen oleh si pelaku. Tidak dapat seseorang bersikap pengecut dengan bersembunyi ataupun lari dari buah perbuatan buruknya sendiri—itu namanya “tabrak lari”.
Ingat, dalam prinsip fair play, Tuhan tidak boleh ikut campur tangan dalam kompetisi, seperti ketika berlangsung pertandingan kesebelasan sepak-bola, semua bergantung pada usaha dan kontribusi masing-masing pemain. Tidak ada istilah “tangan tuhan” dalam kehidupan nyata. Maradona, bukan dikenal karena keterampilannya, tapi sebagai legenda pelaku praktik kecurangan dan ketidak-jujurannya. Ia patut merasa malu, bukan justru merasa bangga.
Menjadi manusia yang mulia, barulah sebuah prestasi. Bukan menjadi seorang penjilat tulen, atau rajin menjilat, yang menjadi kebanggaan—sebuah kebanggaan yang tidak sehat. Menjadi manusia yang berwatak “ksatria”, akan bersikap ksatria dengan berani menanggung setiap akibat dari perbuatannya, bukan justru bersikap pengecut dengan berlindung dibalik harapan penghapusan dosa. Anda pikir, menjilat hakim akan membuat Anda mampu bebas dari hukuman? Hakim lebih suka disuap dengan uang, ketimbang pujian.
Tidak ada penghapusan dosa, tidak juga ada penghapusan hutang. Kematian seseorang, tidak membawa seperak pun harta kekayaan yang ia himpun dan kumpulkan lewat kejahatan selama hidupnya, namun hanya membawa berbagai hutang tertunggak yang dapat ditagih padanya di alam baka. Tidak ada orang yang lebih dungu, dari mereka yang merasa penuh percaya diri merugikan orang lain, dan disaat bersamaan mengharap dapat masuk surga.
Pada dasarnya, piutang fee tertunggak yang merupakan hak tagih penulis, dapat penulis tagih di alam baka nanti. Anggap saja deposito, akan penulis tagih lengkap dengan bunganya. Lihat, korban sama sekali tidak dapat benar-benar dirugikan oleh si pelaku. Karena uang di Bumi tidak bisa dibawa mati, namun “deposito” macam ini masih bisa ditagih di alam baka. Itulah model instrumen tabungan yang paling canggih!!!
Ingin tahu dan penasaran terhadap nasib seorang penipu? Simak kisah dongeng berikut, yang besar kemungkinan nyata adanya. Alkisah, seorang jutawan yang gemar menipu dan berbohong sepanjang hidupnya, meninggal. Setibanya ia di alam baka, ia tiba di sebuah persimpangan.
Mendadak ia berjumpa seorang hantu yang necis berjas mewah dengan rambut tersemir rapih, yang tampak ramah dan manis. Ia mengajak si hantu baru itu, menuju ke suatu tempat yang terdapat sebuah pintu. Di atas pintu itu terdapat papan nama, tertuliskan: “NERAKA”. Si hantu baru pun menjadi penasaran.
“Boleh aku mengintip lihat isi di balik pintu itu?”
“Tidak boleh,” sahut si kawan hantu.
“Mengapa?”
“Mengerikan, sungguh mengerikan... betapa membosankannya!”
Namun si hantu baru tidak menghiraukan. Ia melongokkan kepalanya, sedikit membuka daun pintu hingga terdapat celah untuk mengintip, penuh penasaran. Si hantu baru mendapati neraka, adalah tempat yang hening, semua hanyalah petapa yang seperti batu. Benar-benar seperti batu!!!
Memang betul katanya, MEMBOSANKAN!!! Kebosanan itu dapat membunuh!
“Membosankan!” seru sang hantu baru.
“Kan, sudah kukatakan sebelumnya.”
Si hantu baru menjadi bersemangat untuk menuju suatu tempat yang terpikirkan olehnya. “Bisa antarkan aku ke surga?”
“Surga? Tentu, dengan senang hati.”
Setibanya di ujung lorong lain, terdapat sebuah pintu yang di atasnya terdapat papan nama tertuliskan “SURGA”. Dengan gairah bersemangat, si hantu baru bergegas menuju pintu surga yang terbuka lebar-lebar bagi para hantu pendatang baru.
Dari jauh saja sudah terdengar hingar-bingar musik diskotek, ada banyak pria dan wanita berdansa, minum wiski, bersenda gurau, tertawa, bahkan saling berhubungan badan secara bebas dan seronok, tanpa rasa malu, baik anak-anak, orang muda, maupun kakek-kakek. Semua berbaur dengan pesta yang meriah.
Ini baru surga!
Si hantu baru seketika meloncat masuk ke dalam “surga”. Namun seorang satpam kemudian mencegatnya.
“Kamu siapa?”
“Aku pendatang baru.”
“Kamu yakin menuju ke sini, tidak salah alamat?”
“Tentu saja tempatku di sini. Tidak salah lagi.”
Si penjaga tidak lagi mampu mencegahnya. Pintu mulai tertutup, dan benar-benar tertutup rapat, menutup. Seketika itu juga, papan nama diatasnya rontok, dan kata “SURGA” berganti menjadi “NERAKA”.
Sama mendadaknya, seluruh penghuni didalamnya mulai meleleh. Menampakkan bola mata yang keluar dari lubangnya, kulit melepuh, rambut rontok, daging tubuh mengelupas, rintihan, tangisan, isakan, jeritan, api yang menjilat-jilat, pekikan penuh kesakitan, derita yang luar biasa mengerikan saja meski hanya melihatnya. Kehidupan alam tragis yang betul-betul menakutkan. Benar-benar mengerikan, sampai-sampai bulu kuduk berdiri melihatnya. Menyerupai pemangganggan massal diatas kuali membara.
“Apa, ini apa? Kenapa surga seperti ini?” pekik sang hantu baru terkaget-kaget.
“Selamat datang di NERAKA, wahai kawan baru kami,” sahut si kawan hantu.
“Kenapa bisa begini, kenapa bisa jadi NERAKA!?”
“Ya, saat ini kami sedang ada program promosi memasarkan neraka, dan tadi aku lupa mengenalkan diri. Namaku Saiton, agen marketing neraka. Kini Anda resmi menjadi penghuni baru neraka. Selamat dan menikmati.”
“APA? KAU TELAH MENIPUKU!!”
Mau menipu, harus bersedia tertipu. Itulah yang disebut dengan hukum resiprokal / resiprositas. Mau menyakiti, harus bersedia disakiti. Mau merugikan, harus bersedia dirugikan. Mau ingkar janji, harus bersedia dibohongi. Mau membunuh, harus bersedia dibunuh.
Mau lari kemana pun, bagai hendak melepaskan diri dari bayang-bayang, suatu pembodohan diri bila berasumsi terdapat tempat untuk bersembunyi dari hukuman. Tidak ada yang benar-benar dapat kita bohongi ataupun curangi dalam hidup ini—semua hanyalah sebatas penundaan belaka, hingga buahnya matang untuk berbuah bagi si pelaku.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.