Kiat Ketika Absensi Pekerja Dihapus Pengusaha, agar Upah Proses Tidak Hangus

LEGAL OPINION
MUTASI PEKERJA KE BADAN HUKUM LAIN, ILEGAL
Question: Perusahaan memutasi saya dan beberapa kawan ke perusahaan lain. Sempat menolak awalnya, namun atasan bilang kalau perusahaan yang akan menjadi tempat mutasi baru itu Grub Usaha. Apa alasan macam itu legal dimata hukum?
Brief Answer: Pekerja / Buruh yang menolak kebijakan mutasi antar badan hukum demikian, dapat mengajukan gugatan permohonan Pemutusan hubungan kerja (PHK) disertai kompensasi berupa 2 kali ketentuan pesangon. Kalangan pekerja perlu waspada terhadap modus mutasi ke perusahaan lain, sekalipun itu Grub Usaha, karena akan menghapus “masa kerja” yang terkait hak atas pesangon.
PEMBAHASAN:
Terdapat ilustrasi konkret sebagaimana menjadi rujukan SHIETRA & PARTNERS, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 685 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 28 September 2016, perkara antara:
- PT. BINA FITRI JAYA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- JUMADI SIREGAR, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat merupakan pekerja tetap, sebagai security, di Perusahaan Tergugat PT. Bina Fitri Jaya, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau sebagaimana perjanjian kerja yang ditanda-tangani oleh para pihak. Perusahaan Tergugat menjadi anggota dari Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatra (BKS-PPS), sehingga Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku di Perusahaan Tergugat adalah PKB yang dibuat dan ditanda-tangani oleh BKS-PPS dengan Pengurus Pusat Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP.FSPPP-SPSI) Periode Tahun 2012–2014.
Penggugat mulai bekerja pada tanggal 1 Desember 1999, sampai kemudian Tergugat mengosongkan paksa rumah Penggugat dan melarang Penggugat untuk masuk bekerja, karena telah menolak mutasi ke perusahaan lain, padahal penyelesaian permasalahan tersebut masih dalam proses Mediasi di Disnaker Kabupaten Kampar tanggal 1 Desember 2014.
Masa kerja Penggugat telah mencapai 15 (lima belas) tahun, dengan Status K.3 (kawin dengan 3 orang anak). Mulanya, sebelum Tergugat mengosongkan rumah Penggugat secara paksa serta melarang Penggugat bekerja seperti biasanya, pada tanggal 27 Agustus 2014 Penggugat menerima surat rotasi kerja dari Tergugat, dimana dalam surat rotasi tersebut, Penggugat dirotasikan serta dialihkan pekerjaannya dari pekerja security menjadi kenek kendaraan, dimana atas rotasi tersebut telah Penggugat terima dan dijalankan sejak tanggal 1 September 2014 sebagai helper karena masih tetap didalam lingkup perusahaan PT.Bina Fitri Jaya.
Belum genap sebulan setelah Penggugat menjalani pengalihan pekerjaan menjadi kenek, pada tanggal 26 September 2014 Tergugat kembali memberikan surat mutasi kepada Penggugat, yakni Penggugat dimutasikan dari PT. Bina Fitri Jaya Provinsi Riau, ke Perusahaan lain yang berbadan Hukum berbeda yaitu PT. Cahaya Pelita Andhika Propinsi Sumatra Utara dengan penurunan upah dari Rp1.875.000,00 per bulan, menjadi Rp1.771.700,00 per bulan serta penghilangan tunjangan tetap yang pernah diterima Penggugat berupa natura beras sebesar 31,5 kg/bulan.
Menanggapi mutasi tersebut, Penggugat menjumpai Tergugat (pimpinan setempat) dan menyampaikan keberatannya atas mutasi, mengingat Penggugat merasa diintimidasi sejak Penggugat selaku pekerja security turut serta menjadi Pengurus Serikat Pekerja SPPP-SPSI PT. Bina Fitri Jaya, dan dilain hal mutasi tersebut dilakukan Tergugat ke Perusahaan lain yang mempunyai Badan Hukum berbeda serta merugikan hak Penggugat karena harus menerima penurunan upah dan kehilangan tunjangan tetap.
Penggugat mengajukan surat keberatan kepada Tergugat, namun tidak ditanggapi oleh Tergugat. Penggugat dan Tergugat kemudian melakukan Perundingan Bipartit, namun tidak menghasilkan kesepakatan, maka persoalan dihadapkan ke Dinas Tenaga kerja Kabupaten Kampar untuk di Mediasi.
Selagi proses penyelesaian mutasi kerja Penggugat yang dilakukan Tergugat antar Perusahaan, antar Badan Hukum serta antar Provinsi masih sedang berjalan di Dinas Tenaga Kerja, Penggugat justru menerima Surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari PT. Cahaya Pelita Andhika Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatra Utara, padahal yang bersangkutan bekerja di PT. Bina Fitri Jaya di Desa Kota Garo Kecamatan Tapung Hilir Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Tanggal 17 November 2014 dan tanggal 1 Desember 2014, dilaksanakan perundingan Tripartit dengan diperantai Mediator dari Dinas Tenaga Kerja, namun dari dua kali perundingan berakhir pada deadlock, sehingga pada tanggal 8 Desember 2014 Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Kampar menerbikan Anjuran, agar kedua belah pihak masing-masing menjalankan kewajibannya sampai adanya Putusan Pengadilan Hubungan Industrial tentang permasalahan dimaksud, sebagaimana dimaksud Pasal 155 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, namun Tergugat justru melarang Penggugat untuk bekerja seperti biasanya, dan memerintahkan Penggugat agar segera mengosongkan rumah perusahaan.
Tergugat melarang Penggugat untuk bekerja dan melakukan eksekusi berupa Pengosongan Rumah Penggugat secara paksa tanpa adanya putusan Pengadilan. Karena Perjanjian Kerja ditanda-tangani oleh Penggugat dengan Tergugat, yang dalam hal ini ialah PT. Bina Fitri Jaya yang berlokasi di Propinsi Riau, sedangkan Tergugat melakukan mutasi serta memerintahkan Penggugat untuk melakukan pekerjaan di luar yang diperjanjikan yaitu PT. Cahaya Pelita Andhika yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Tengah propinsi Sumatra Utara yang berbadan hukum lain, maka surat mutasi dan perintah kerja dari Tergugat tersebut bertentangan dengan Perjanjian Kerja yang di buat serta ditanda-tangani oleh Tergugat dengan Penggugat, juga bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara BKS-PPS dengan Pengurus Pusat FSPPP-SPSI yang berlaku diperusahaan Tergugat, serta Pasal 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga keberatan Penggugat atas Mutasi kerja antar Perusahaan tersebut beralasan hukum.
Adapun isi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatra (BKS-PPS) dengan Pengurus Pusat FSPPP-SPSI Periode Tahun 2012–2014, berbunyi sebagai berikut:
“Mutasi. Jika perusahaan membutuhkan atau keadaan-keadaan lainnya memerlukannya, maka Perusahaan berhak memindahkan pekerja dari satu kebun ke kebun lainnya, afdeling atau dinas lain di lingkungan perusahaan yang sama tanpa merugikan yang bersangkutan;
“Yang dimaksud dengan tanpa merugikan ialah hak-hak pekerja yang telah diberikan seperti Upah, Catu, bonus, Fasilitas perumahan dan pemberian lainnya yang telah diberikan ditempat semula.”
Telah lebih dari tiga bulan berturut-turut sejak bulan Oktober, sampai dengan sekarang Tergugat tidak lagi membayar upah Penggugat, serta telah menggusur Penggugat beserta keluarga secara paksa dari rumah yang ditempati Penggugat.
Tindakan Tergugat yang memerintahkan Penggugat untuk bekerja diluar yang diPerjanjikan, dengan melakukan mutasi kerja antar perusahaan dengan merugikan dan menghilangkan hak-hak Penggugat, dengan sengaja melanggar Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku di Perusahaan Tergugat, serta melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menghentikan upah Penggugat karena menolak mutasi kerja yang bertentangan dengan perjanjian kerja dan PKB adalah perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang
Pasal 93 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengatur:
1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila: (f.) Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.”
Pasal 169 UU Ketenagakerjaan:
1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan;
2) Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Pasal 151 UU Ketenagakerjaan:
1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh;
3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
Pasal 155 UU Ketenagakerjaan:
1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum;
2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya;
3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.”
Pasal 170 UU Ketenagakerjaan:
“Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.”
Tindakan Tergugat yang melarang Penggugat untuk melakukan pekerjaan sebagaimana biasanya, serta melakukan PHK tanpa penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial, dimana Tergugat juga tidak melakukan skorsing, sehingga Penggugat tidak dapat melakukan pekerjaannya bukan karena Penggugat tidak mau bekerja tetapi karena larangan oleh Tergugat, adalah tindakan yang bertentangan dengan Pasal 155 ayat (2) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Kepmenakertrans Nomor KEP-150/MEN/2000 dan jo. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUIX/2011 Tanggal 6 September 2011.
Pasal 17 Kepmenakertrans Nomor KEP-150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan:
(1) Sebelum izin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat sedangkan pengusaha tidak melakukan skorsing terhadap pekerja maka pengusaha dan pekerja harus tetap memenuhi segala kewajibannya;
(2) Dalam hal pekerja tidak dapat memenuhi segala kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena dilarang oleh pengusaha dan pengusaha tidak melakukan skorsing, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja selama dalam proses sebesar 100% (seratus per seratus).”
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 Tanggal 6 September 2011:
“Amar putusan
“Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
3. Frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
Dengan demikian, selama Putusan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum ditetapkan serta belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maka kedua belah pihak baik Tergugat maupun Penggugat harus tetap melaksanakan segala kewajibannya, dan apabila Penggugat tidak dapat melakukan pekerjaannya bukan karena Penggugat tidak mau bekerja, tetapi karena dilarang oleh Tergugat, dan Tergugat juga tidak melakukan skorsing, maka perusahaan wajib membayar upah selama proses sebesar 100% sampai Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Walau dilarang bekerja, Penggugat tetap hadir setiap harinya, namun karena dalam absensi nama Penggugat telah dihilangkan oleh Tergugat, maka Penggugat membuat absensi sendiri dengan menyuruh kawan-kawan kerja Penggugat turut mengisi dan menanda-tangani absensi sebagai tanda Penggugat tetap hadir dan meminta bekerja seriap hari.
Mengingat upah Penggugat tidak lagi dibayar Tergugat, maka Penggugat yang harus memenuhi kebutuhan hidup anak dan istrinya, terpaksa mencari pekerjaan lain diluar perusahaan. Oleh karena Tergugat telah melakukan penggusuran dan Pengosongan Rumah secara paksa terhadap Penggugat beserta seluruh anak-anak dan keluarga Penggugat dari rumah yang ditempati Penggugat, oleh karenanya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat tidak mungkin lagi terjalin hubungan kerja yang harmonis, maka dengan ini Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar memberikan putusan berupa Pemutusan Hubungan Kerja sesuai dengan Pasal 169 ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, karena Tergugat memerintahkan Penggugat untuk bekerja dan mengerjakan pekerjaan diluar yang diperjanjikan, serta yang bertentangan dengan PKB, dan juga tidak melaksanakan kewajibannya seperti yang diperjanjikan.
Perbuatan Tergugat tersebut telah menghilangkan hak-hak dan sumber penghidupan Penggugat, berupa upah Penggugat sebelum putusan PHI ditetapkan bulan Oktober 2014 sampai dengan November 2015, Uang Pesangon 2 kali ketentuan, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak Penggugat, sehingga Penggugat kehilangan haknya bila dijumlah telah mencapai sebesar Rp87.632.400,00.
Sementara itu pihak Tergugat dalam sanggahannya mendalilkan, Pengadilan Hubungan Industrial Pekan Baru, Riau, tidak memiliki kompetensi untuk memeriksa dan memutus perkara ini, sebab yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja adalah PT. Cahaya Pelita Andhika yang berada di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Oleh karena PT. Cahaya Pelita Andhika berada di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, maka jelaslah bahwa gugatan Perselisihan PHK yang diajukan oleh Penggugat karena adanya PHK yang dilakukan oleh PT. Cahaya Pelita Andhika yang berada di Kabupaten Sumatera Utara, merupakan Kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial Medan pada Pengadilan Negeri Medan yang berada di Kota Medan, Sumatera Utara.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru kemudian menjatuhkan putusan Nomor 62/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Pbr tanggal 30 Maret 2016 yang amarnya sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan PT. Cahaya Pelita Andhika tidak berlaku bagi Penggugat;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai dan sekaligus hak-hak Penggugat akibat Pemutusan Hubungan Kerja sebesar Rp97.743.440,00 (sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus empat puluh tiga ribu empat ratus empat puluh rupiah);
4. Membebankan biaya perkara ini kepada Negara;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 28 April 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 4 Mei 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa mutasi dari PT. Bina Fitri Jaya / Pemohon ke PT. Cahaya Pelita Andhika tidak sah berdasarkan surat tanggal 27 Agustus 2014, karena bertentangan dengan ketentuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku Pasal 3 huruf d antara Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatra (BKS PPS) dan Pengurus Pusat Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP.FSP.PP.SPSI) 2012-2014;
2. Bahwa gugatan tidak ultra petita telah bersesuaian dengan petitum dalam provisi dan pokok perkara;
3. Bahwa akibat hukum mutasi tidak sah karena melanggar PKB dan upah tidak dibayar sejak bulan Desember 2015 maka beralasan hukum berhak atas kompensasi sesuai Pasal 169 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, namun harus diperbaiki sepanjang upah proses dari 17 bulan menjadi 6 bulan upah Rp12.502.000,00 (dua belas juta lima ratus dua ribu rupiah) dari Rp35.139.000,00 (tiga puluh lima juta seratus tiga puluh sembilan ribu rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. Bina Fitri Jaya tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. BINA FITRI JAYA tersebut;
“Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 62/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.PBR tanggal 30 Maret 2016, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan PT. Cahaya Pelita Andhika tidak berlaku bagi Penggugat;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai dan sekaligus hak-hak Penggugat akibat Pemutusan Hubungan Kerja sebesar Rp75.006.440,00 (tujuh puluh lima juta enam ribu empat ratus empat puluh rupiah);
4. Membebankan biaya perkara ini kepada Negara;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.