Kelayakan Perjanjian Waralaba / Francise

LEGAL OPINION
Question: Di setiap proposal kerjasama francise, selalu investor jumpai keterangan bahwa perusahaan francise tidak menjamin keuntungan atau keberhasilan investor karena hanya memback-up dari segi manajerial dan SOP serta pasokan dan marketing. Sebenarnya apa yang paling penting agar pembeli lisensi francise tidak seperti ‘beli kucing dalam karung’, mengingat investasi awal pembukaan toko francise, tidak kecil nilainya?
Brief Answer: Komitmen perlu dilihat dari itikad francisor, sejauh apa dan seperti apakah dukungan teknis maupun non teknis yang diberikan oleh francisor kepada francisee, insentif disamping pemberian ruang kelonggaran tertentu ketika investor mengalami kerugian dalam proses perjalanannya, dan ketika berbagai outlet pembeli lisensi mengalami kesukaran dalam aplikasinya.
Betul bahwa setiap usaha berpotensi untung, dan disaat bersamaan berpotensi merugi. Namun yang perlu diingat, tujuan utama bagi investor untuk membeli lisensi waralaba, ialah untuk mengurangi / meminimalisir potensi resiko merugi atas dasar espektasi manajerial yang terbukti telah teruji di pasar sebagai daya tarik utama mekanisme bisnis waralaba, sehingga bila penjual lisensi waralaba sangat minim dalam segi support ketika investor sedang merugi, maka sama sekali tiada faedahnya membuat kerjasama lisensi waralaba demikian.
Setidaknya yang perlu dipastikan, komitmen apa saja yang ditawarkan pemilik waralaba dalam perjanjian lisensi, terutama ketika investor dalam menjalankan waralaba mengalami kesulitan atau kerugian, agar janji-janji tersebut yang telah disepakati dalam kontrak, dapat ditagih realisasinya di hadapan pengadilan.
Parameter yang paling jelas ialah: apakah pemilik waralaba hanya mau “tanggung untung” ataukah juga bersedia untuk “tanggung rugi” bila investor merugi, setidaknya berupa tidak lagi membebani investor yang telah merugi dengan berbagai biaya jasa waralaba yang terbukti tidak efektif. Kedua, apakah diberikan opsi untuk “mundur” bila dikemudian hari terbukti waralaba justru merugi, ataukah hanya perjanjian “terus merugi tanpa ruang untuk mundur”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan konkret yang menyerupai “tragedi” bagi investor yang berniat meraup untung dari skema waralaba namun berbuah petaka, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa lisensi waralaba register Nomor 2297 K/Pdt/2012 tanggal 27 Maret 2014, perkara antara:
- MATIO SIHOMBING, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. TARRA WARALABAS, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat merupakan penerima waralaba dari Tergugat berdasarkan- Perjanjian Satuan Unit Waralaba Untuk Usaha Waralaba Menggunakan Nama Dagang Odiva tanggal 21 Juli 2003. Penggugat telah membayar kepada Tergugat seluruh kewajiban yang diperlukan untuk dapat menjalankan usaha waralaba, ditambah dengan biaya-biaya lain yang diperlukan dalam rangka memulai usaha, terdiri dari biaya Pembukaan Gerai Waralaba dan tarif lisensi Waralaba selama Jangka Waktu Waralaba.
Ternyata hanya pada tahun pertama saja sejak dibuka pada tanggal 24 Juli 2003, Penggugat mempunyai pelanggan dan itupun karena ada promosi yang dilakukan Penggugat, dan sejak tahun kedua sampai tahun ketiga, Penggugat telah mengalami kerugian yang terus-menerus, ditambah lagi Penggugat harus mengeluarkan biaya-biaya seperti biaya operasional, biaya jasa manajemen, biaya kontribusi, biaya sewa gedung, biaya listrik, biaya gaji karyawan serta biaya-biaya lainnya, padahal model bisnis waralaba yang ditawarkan oleh Tergugat seharusnya sudah teruji dan memberikan keuntungan bagi investornya.
Tergugat dinilai juga tidak melaksanakan seluruh kewajibamnya sebagaimana yang dipersyaratkan dalam perjanjian waralaba, yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat, sebagaimana diwajibkan norma Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba:
“Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan.”
Merasa kecewa karena merugi, Penggugat meminta agar pengadilan menyatakan bahwa Tergugat telah wanprestasi, dengan menuntut ganti-rugi dari Tergugat berupa:
- Kerugian selama menjalankan usaha waralaba Rp34.000.000,00;
- Modal / investasi awal Rp200.000.000,00.
Terhadap gugatan sang investor, Tergugat mengajukan gugatan balik (rekonpensi), dengan dalil bahwa Penggugat secara sepihak telah memutuskan perjanjian waralaba tanpa kompensasi apapun kepada Tergugat. Terhadap perbuatan Penggugat yang secara sepihak mengakhiri perjanjian waralaba, Tergugat mengklaim dengan demikian dirugikan sebesar sisa masa waralaba yang belum dijalani, yaitu Biaya waralaba: 60 bulan x sisa masa waralaba yang belum dijalani = (Rp62.500.000,00 : 60) x (60 - 39) = Rp21.875.000,00.
Atas pengakhiran perjanjian waralaba secara sepihak oleh Penggugat, Tergugat juga kehilangan pendapatan bulanan atas biaya jasa manajemen, yaitu sebesar 7,5% dari hasil penjualan brutto pulsa perbulan, oleh karenanya Penggugat digugat-balik agar membayar ganti-rugi atas biaya jasa manajemen, sejumlah: (Total Omzet Pulsa: masa waralaba yang telah dijalani) x (masa sewa yang belum dijalani x 7,5%) = (Rp269.885.000,00 : 39 bulan) x (21 bulan x 7,5%) = Rp10.899.920,00.
Atas pengakhiran perjanjian waralaba secara sepihak demikian, Tergugat juga kehilangan pendapatan bulanan atas biaya jasa pemasaran, yaitu sebesar 5% dari hasil seluruh pendapatan brutto unit usaha waralaba perbulan, oleh karenanya Penggugat diminta membayar ganti-rugi atas biaya jasa pemasaran kepada Tergugat sejumlah: (Total Pendapatan: masa waralaba yang telah dijalani) x (masa sewa yang belum dijalani x 5%) = (Rp713.721.000,00 : 39 bulan) x (21 bulan x 5%) = Rp19.215.565,00.
Terhadap gugatan sang investor, Pengadilan Negeri Jakarta Barat kemudian menjatuhkan putusan, yaitu Putusan Nomor 524/Pdt.G/2009/PN.JKT.BAR., tanggal 23 Juni 2010, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa perbuatan Tergugat Rekonvensi yang secara sepihak mengakhiri perjanjian waralaba adalah pelanggaran terhadap perjanjian waralaba beserta lampiran-lampirannya, dan oleh karenanya Tergugat Rekonvensi dihukum untuk membayar biaya ganti-rugi atas sisa masa waralaba yang belum dijalaninya yaitu sebesar: Biaya waralaba: 60 bulan X sisa masa waralaba yang belum dijalani = (Rp62.500.000,00 : 60) X (60-39) = Rp21.875.000,00 (dua puluh satu juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);
3. Menyatakan bahwa perbuatan Tergugat Rekonvensi yang secara sepihak mengakhiri perjanjian waralaba, adalah pelanggaran terhadap perjanjian waralaba beserta lampiran-lampirannya, dan oleh karenanya Tergugat Rekonvensi juga dihukum untuk membayar ganti-rugi atas biaya jasa manajemen tersebut kepada Penggugat Rekonvensi secara tunai dan seketika sejumlah: (Total Omzet Pulsa: masa waralaba yang telah dijalani) X (masa sewa yang belum dijalani x 7,5%) = (Rp269.885.000,00 : 39 bulan) X (21 bulan x 7,5%) = Rp10.899.920,00 (sepuluh juta delapan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus dua puluh dua puluh rupiah);
4. Bahwa atas pengakhiran perjanjian waralaba secara sepihak oleh Tergugat Rekonvensi, Penggugat Rekonvensi juga kehilangan pendapatan bulanan atas biaya jasa pemasaran yaitu sebesar 5% dari hasil seluruh pendapatan bruto unit usaha waralaba Tergugat Rekonvensi perbulan dan oleh karenanya Tergugat Rekonvensi juga dihukum membayar ganti rugi atas biaya jasa pemasaran tersebut kepada Penggugat Rekonvensi secara tunai dan seketika sejumlah: (Total Pendapatan: masa waralaba yang telah dijalani) X (masa sewa yang belum dijalani x 5%) = (Rp713.721.000,00 : 39 bulan) X (21 bulan x 5%) = Rp19.215.565,00 (sembilan belas juta dua ratus lima belas ribu lima ratus enam puluh lima rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta lewat Putusan Nomor 200/PDT/2011/PT.DKI., tanggal 14 November 2011.
Penggugat selaku investor mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa kerugian dari Gerai Waralaba Odiva dari waktu ke waktu sudah sangat menggerus modal dari Penggugat, maka seharusnya Tergugat yang memiliki tanggung-jawab moril untuk mengakhiri Perjanjian Waralaba, ditambah lagi penghasilan dari penjualan produk gerai ternyata jauh dibawah target yang sudah ditetapkan selama tiga tahun berturut-turut, sehingga bagaimana mungkin Tergugat merasa berhak menarik tarif dari kerugian yang dialami Penggugat?
Penggugat sudah mengalami kerugian sejak dari awal dibukanya outlet Odiva Depok pada tanggal 21 Juli 2003 sampai dengan penutupan pada tanggal 4 Oktober 2006, karena penghasilan sangat jauh dibawah target yang ditetapkan Tergugat.
Odiva Depok terus mengalami kerugian, karena realisasi penghasilan terus menurun dari tahun ke tahun dan pencapaian penghasilan sangat jauh dibawah target. Sesuai Pasal 20.2.d. Surat Perjanjian Waralaba, disepakati bahwa Tergugat berhak mengakhiri perjanjian waralaba sebelum jangka waktu waralaba berakhir, apabila Penggugat gagal dalam pencapaian Target Penghasilan selama 3 tahun berturut-turut. [Note SHIETRA & PARTNERS: Perkara ini merupakan buntut dari disepakatinya perjanjian waralaba yang tidak layak secara hukum untuk disepakati, karena hak untuk mengakhiri kerugian berada di tangan pemilik waralaba, yang jelas tidak akan pernah mengakhiri perjanjian sekalipun investornya merugi.]
Melihat realisasi penghasilan yang meleset, sudah seharusnya Terggugat mengambil inisiatif untuk mengakhiri perjanjian waralaba segera setelah tanggal 21 Juli 2006. Walaupun sudah sangat jauh penghasilan Odiva Depok dibawah target dan sudah sangat merugikan Penggugat, Tergugat tidak juga mengambil tindakan untuk mengakhiri perjanjian waralaba. Untuk mencegah kerugian yang semakin besar, dengan sangat terpaksa Penggugat melakukan penutupan toko/outlet Depok pada tanggal 4 Oktober 2006.
Sangat mengherankan saat Tergugat menyalahkan Penggugat karena menutup toko Odiva Depok, sementara adalah tanggung jawab moril Tergugat atas kerugian yang dialami Penggugat selaku investor. [Note SHIETRA & PARTNERS: Meski begitu, adalah cukup naif ketika Penggugat mendalilkan bahwa sebenarnya yang salah adalah Tergugat karena tidak segera mengakhiri Perjanjian Waralaba sesuai dengan ketentuan Perjanjian Waralaba.]
Adapun kerugian real saat kini yang dialami Penggugat pasca penutupan outlet, yakni masa waralaba 2 tahun yang tersisa, rak dan lemari inventaris gerai, stock-stock film, disamping biaya investasi awal yang hangus sia-sia. Sebelum outlet dibuka, seluruh biaya Waralaba (100%) sudah lunas dibayar oleh Penerima Waralaba, oleh karena itulah outlet baru bisa dibuka.
Sangat tidak manusiawi, Tergugat menuntut Penggugat untuk membayar biaya waralaba untuk masa waralaba yang belum dijalani. Pembayaran Biaya Management dan Biaya Pemasaran oleh Tergugat untuk sisa masa waralaba, tidak ada dasar hukumnya, karena Ketentuan mengenai hal tersebut tidak tercantum dalam Surat Perjanjian Waralaba. Lagipula penutupan gerai Odiva Depok sudah dibicarakan sebelumnya dengan Direksi Tergugat, dan sudah pula disetujui oleh Tergugat. Penutupan outlet Odiva Depok bukanlah karena kehendak pribadi Penggugat, namun dilandasi keterpaksaan akibat kerugian yang terus-menerus dialami oleh Penggugat.
Tergugat selaku pemilik merek waralaba, dinilai mempraktekkan “habis susu sapi dibuang”. Pembeli lisensi waralaba merasa masuk perangkap menjadi pengusaha Odiva, yang terbuai pada brosur promosi. Dikala para penerima waralaba mengalami kerugian, pemberi waralaba tidak memberi bantuan / pembinaan supaya bisa survive, tetapi hanya menyarankan toko ditutup atau direlokasi. Penerima waralaba banyak memilih menutup toko, karena relokasi membutuhkan biaya yang besar dan beresiko besar pula.
Odiva Kranji yang baru dibuka 2 tahun direlokasi ke Pekayon, tetapi langsung tutup setahun kemudian, karena ternyata merugi juga. Kejadian tragis demikian terjadi karena survey lokasi oleh pemberi waralaba, dinilai tidak profesional, justru membiarkan para investornya berspekulasi.
Harapan para penerima waralaba untuk bisa terus bertahan dengan mengurangi kerugian berupa permohonan kebijakan agar management fee 7,5% dan marketing fee 5% dibebaskan selama proses merugi, tidak disetujui oleh pemberi waralaba, padahal pembinaan management dan pembinaan pemasaran hampir tidak ada. Permintaan penerima waralaba yang tutup agar pemberi waralaba membeli dead stock film dan rak-rak film juga ditolak, padahal pemilik waralaba sedang ada pembukaan outlet baru.
Tatkala penutupan toko karena bangkrut, sisa pulsa para anggota yang harus dikembalikan terpaksa ditanggung penerima waralaba 100%, padahal pulsa yang diterima hanya 87,5%. Atas ketidakmauan pemberi waralaba mengembalikan 12,5% tersebut, para penerima waralaba mencap pemberi waralaba sebagai pihak yang sangat tidak adil, bahkan benar tidak berperikemanusiaan.
Karena tindakan management pemberi waralaba tidak sesuai dengan janji pada waktu promosi dan tidak berniat untuk menolong penerima waralaba, maka para penerima waralaba mengatakan bahwa management yang diterapkan oleh pemberi waralaba adalah “management gimmick”. Ada penerima waralaba yang mempertanyakan sikap pemberi waralaba yang selalu pasif, diam dan tidak peduli terhadap setiap kesulitan yang dialami penerima waralaba. Jargon “full support management, full support marketing” dinilai hanya sebagai alat pemikat belaka agar seseorang mau menjadi investor. Setelah yang bersangkutan terikat kontrak waralaba, maka pemberi waralaba hanya melakukan “penghisapan” sekalipun investor merugi.
Dimana terhadap keberatan-keberatan sang investor, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena meneliti dengan saksama memori kasasi tertanggal 6 Maret 2012 dan kontra memori kasasi tertanggal 3 April 2012, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI, ternyata Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum dan telah memberi pertimbangan yang cukup, karena dari fakta-fakta persidangan ternyata Penggugat dengan bukti-bukti P1 sampai dengan P5 tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, sedangkan Tergugat dengan bukti-bukti T1 sampai dengan T15 dan 2 (dua) orang saksi yaitu 1. Nur Setiawan Yudha dan 2. Ari Sumarni telah berhasil membuktikan dalil bantahan dan gugatan rekonvensinya, maka adil untuk menolak gugatan Penggugat Konvensi dan mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Penggugat: MATIO SIHOMBING, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Penggugat: MATIO SIHOMBING, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.