Idealnya Take Over Kredit Lewat Subrogasi

LEGAL OPINION
Question: Ada teman kerabat yang meminta tolong, bermaksud untuk menebus tanahnya yang dijadikan agunan ke bank, karena kini statusnya kredit macet dan terancam di lelang oleh bank. Apa saja resiko hukum yang mungkin terjadi, bila saya talangi hutang-hutang dia dengan melunasi hutangnya itu ke bank?
Brief Answer: Model yuridis yang ideal bukanlah “menalangi” hutang kredit, namun take-over lewat mekanisme subrogasi, yakni membeli piutang pihak kreditor pemegang agunan. Mengapa harus subrogasi? Bila model “menalangi” semata, maka status Anda hanyalah sebatas Kreditor Konkuren, yang sangat riskan posisinya ketika debitor dikemudian hari ternyata juga ingkar janji untuk melunasi hutangnya kepada Anda.
Bila menggunakan metode subrogasi, maka berlaku asas “droit de suit”, artinya jaminan pelunasan berupa Hak Tanggungan melekat pada objek agunan, dimana pun kini objek agunan berada—yakni pembeli piutang atau pelaku subrogasi, yang seketika dapat mengajukan Lelang Eksekusi (parate eksekusi) bila debitor wanprestasi.
Bandingkan dengan “menalangI” hutang-piutang yang hanya berkedudukan selaku Kreditor Konkuren, maka untuk menuntut pelunasan perikatan debitor untuk melunasi, hanya dapat dilakukan dengan mengajukan mekanisme gugatan perdata, guna membebankan sita jaminan dan sita eksekusi terhadap harta milik sang debitor, yang tentunya sangat riskan dan sukar diprediksi.
PEMBAHASAN:
Mahalnya biaya waktu serta energi bila suatu pihak berkedudukan sebagai Kreditor Konkuren terkait “penalangan” hutang, dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa keuangan register Nomor 2778 K/Pdt/2014 tanggal 7 April 2015, perkara antara:
1. ALI SHAHAB; 2. NY. MUZENAH, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Para Tergugat; melawan
- NIAN DHARMAWAN, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat awalnya diperkenalkan oleh seseorang yang mempertemukan dengan Tergugat I, dan menceritakan bahwa Tergugat I mengalami kesulitan berkaitan dengan penyelesaian kredit macet di Bank Danamon.Setelah beberapa kali bertemu, Penggugat tergiur dengan janji-janji dari Tergugat I yang menyatakan kalau Penggugat dapat membantu Tergugat I untuk meminjamkan dananya, untuk menebus aset-aset Tergugat I yang terlilit kredit di Bank, maka Tergugat I akan memberikan imbalan berupa 10% dari pokok pinjaman dan akan mengembalikan uang pokok plus bunga selama 3 bulan.
Pada akhirnya terhadap bujuk rayu Tergugat I, Penggugat membantu Tergugat I. Selanjutnya Tergugat I dan Penggugat berkoordinasi dengan pihak Bank Danamon agar memberikan keringan kepada Tergugat I. Akhirnya disepakati beban sisa hutang Tergugat I yang harus dibayar kepada pihak Bank Danamon adalah sebesar Rp1.715.000.000,00 yang harus dibayar dalam 2 (dua) tahap dengan perincian sebagai berikut:
- Tahap I sebesar Rp1.100.000.000,00;
- Tahap II sisa akan dibayar dengan angsuran selama 12 bulan dengan suku bunga 18% tahun.
Tanggal 17 Januari 2005, Penggugat menanda-tangani perjanjian kredit back to back senilai Rp2.000.000.000,00 dengan bunga sebesar 1,75% dan angsurannya setiap bulan sebesar Rp25.335.154,00 sebelum kenaikan, sehingga angsuran menjadi Rp29.261.294,00.
Tanggal 15 Pebruari 2005, terhadap dana pinjaman yang diperoleh dari Bank Niaga, Penggugat atas permintaan Tergugat I mentransfer dana ke Bank Danamon sebesar Rp1.100.000.000,00 untuk pembayaran tahap I. Atas pembayaran tahap I tersebut, pihak Bank Danamon menyerahkan salah satu aset Tergugat I yang diagunkan di Bank Danamon kepada Penggugat, yaitu Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 654/Cipinang seluas 647 m2 atas nama Tergugat I, dari beberapa Sertifikat Tergugat I yang masih diagunkan di Bank Danamon.
Atas pinjaman Tergugat I sebesar Rp1.100.000.000,00 dari Penggugat yang dipinjam dari Bank Niaga, dan yang harus membayar cicilannya kepada Bank Niaga seharusnya Tergugat I sebesar Rp25.335.154,00; ternyata Tergugat I tidak pernah membayarnya, sehingga dana Penggugat akhirnya habis untuk menutupi bunga pinjaman dan pokok hutang Penggugat pada Bank Niaga.
Disamping hutang kepada Penggugat sebesar Rp1.100.000.000,00 dan bunga yang tidak dibayar oleh Tergugat I, Tergugat I juga tidak membayar hutang di Bank Danamon untuk pembayaran tahap II sebesar Rp650.000.000,00. Akhirnya Tergugat I kembali mendatangi Penggugat untuk minta bantuan agar bersedia meminjamkan uangnya kembali kepada Tergugat I, akan tetapi karena Penggugat tidak memiliki dana tunai, maka Penggugat berinisiatif untuk menjaminkan Sertifikat HGB Nomor 654/Cipinang atas nama Tergugat I yang dipegang oleh Penggugat atas jaminan hutang Tergugat I yang pertama sebesar Rp1.100.000.000,00
Akhirnya dibuatkan Akta Jual Beli dari Tergugat I yang disetujui oleh Tergugat II di hadapan Notaris dengan KPR kepada Penggugat. Sertifikat HGB Nomor 654/Cipinang yang sudah menjadi atas nama Penggugat, kemudian diagunkan di Bank Niaga, Penggugat mendapat dana KPR sebesar Rp1.300.000.000,00 dengan bunga yang seharusnya beban Tergugat I sebesar Rp19.410.346,00/bulan, disetorkan langsung kepada rekening Tergugat I dan pada tanggal 15 September 2005, Tergugat I menyelesaikan pembayaran tahap II kepada Bank Danamon sebesar Rp615.000.000,00 sehingga Bank Danamon menyerahkan seluruh agunan / asset Tergugat I berupa surat-surat tanah sertifikat dan akte jual beli milik Tergugat I.
Ternyata tanah sertifikat HGB Nomor 654/Cipinang yang sudah seharusnya milik Penggugat atas pembayaran hutang Tergugat I terdahulu sebesar Rp.1.100.000.000,00 yang masih atas nama Tergugat I, untuk mendapatkan uang guna menebus surat–surat asset Tergugat I yang ada di Bank Danamon atau untuk membayar tahap II, dengan kelicikan Tergugat I, Penggugat dianjurkan untuk membeli tanah sertifikat Nomor 654/Cipinang dengan cara KPR (Kredit Pemilikan rumah) seharga Rp1.300.000.000,00 dengan cicilan sebesar Rp19.410.396,00 yang seharusnya menjadi beban Tergugat I.
Akan tetapi terhadap KPR tersebut, Tergugat I juga tidak membayar angsurannya, sehingga Penggugat harus menanggung beban cicilan KPR sebesar Rp19.410.396,00 ditambah dengan cicilan kredit terdahulu dari Bank Niaga dengan kredit sebesar Rp25.335.154,00, sehingga beban Penggugat per bulan menjadi sebesar Rp44.745.550,00/bulan. Jaminan deposito Tergugat I kemudian dibekukan dan pinjaman Tergugat I dinyatakan lunas.
Oleh karena Tergugat I dan Tergugat II tidak pernah membayar angsuran pinjaman KPR atas nama Penggugat yang seharusnya menjadi beban Tergugat I dan Tergugat II, Penggugat mendesak agar Tergugat I menyelesaikan angsuran, sehingga Bank tidak mengancam untuk mengambil alih tanah sertifikat HGB yang sudah berubah menjadi Hak Milik Nomor 654/Cipinang, akan tetapi Tergugat I tidak pernah mengindahkan sehingga Penggugat tidak sanggup lagi untuk membayar angsuran, maka pihak Bank Niaga menyegel rumah Penggugat dengan tulisan rumah ini dijaminkan di PT. Bank Niaga, Tbk.
Kini beban hutang di Bank Niaga telah membengkak, hingga senilai Rp1.220.000.000,00. Untuk menutupi beban hutang tersebut, Penggugat harus meminjam uang dari pihak lain sebesar Rp1.220.000.000,00. Atas perbuatan Tergugat I dan Tergugat II yang melakukan wansprestasi / ingkar janji atas pengembalian uang Penggugat yang dipinjam oleh Tergugat I baik langsung maupun melalui KPR dan pembayaran bunga tetap ke bank atas pinjaman kredit dan KPR, maka Penggugat mengalami kerugian.
Tergugat I dan Tergugat II telah wansprestasi dan kerugian Penggugat cukup besar, maka Tergugat I dan Tergugat II diminta untuk dihukum mengganti kerugian berupa hutang pokok dan bunga. Penggugat meminta pula agar terhadap harta-harta Tergugat diletakkan Sita Jaminan, antara lain terhadap 11 buah Sertifikat Hak Atas Tanah milik Tergugat.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 63/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal 14 Nopember 2012, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat sebagai Penggugat yang beritikad baik;
3. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan wanprestasi kepada Penggugat;
4. Menyatakan hutang Tergugat I dan Tergugat II kepada Penggugat adalah sebesar Rp.4.303.700.000,00 (empat milyar tiga ratus tiga juta tujuh ratus ribu rupiah);
5. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar kepada Penggugat sebesar Rp4.303.700.000,00 (empat milyar tiga ratus tiga juta tujuh ratus ribu rupiah) seketika dan sekaligus;
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.” [Note SHIETRA & PARTNERS: Inilah resiko utama yang penulis maksudkan, bahwa tidak selalu permohonan sita jaminan dikabulkan, sehingga sewaktu-waktu pihak Tergugat dapat saja mengalihkan atau menjual harta tidak bergerak miliknya sehingga gugatan menjelma ‘menang diatas kertas’.]
Dalam tingkat banding atas Permohonan Para Tergugat, Putusan Pengadilan Negeri sebagaimana diatas, kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 219/PDT/2013/PT.DKI, tanggal 20 Agustus 2013.
Sang debitor mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan Kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Jakarta yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah tepat dan benar serta tidak salah dalam menerapkan hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata Putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka Permohonan Kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: ALI SAHAB dan kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak Permohonan Kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. ALI SHAHAB 2. NY.MUZENAH tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.