Efisiensi Usaha Tidak Mensyaratkan Perusahaan Tutup Permanen, Mencegah Lewat Efisiensi Lebih Baik daripada Tutup Seluruhnya

LEGAL OPINION
Telaah Kasus “Law in Abstracto” Versus “Law in Concreto
Question: Sebenarnya yang namanya PHK dalam rangka efisiensi usaha itu, dalam rangka untuk menyelamatkan para buruh lain agar tidak ter-PHK semua karena operasional perusahaan sepenuhnya tutup, atau memang hanya boleh ketika satu badan hukum perusahaan benar-benar tutup permanen? Bukankah efisiensi itu untuk mencegah terjadinya bangkrut, mengapa tampaknya kini seperti harus bangkrut dulu baru boleh efisiensi?
Brief Answer: Selama telah diberikan kompensasi pesangon sebesar 2 kali ketentuan normal, maka apakah efisiensi usaha terbit dari niat untuk perampingan struktur pegawai ataukah karena alasan lainnya, sudah tidak lagi relevan, mengingat kompensasi pesangon 2 kali ketentuan normal, sudah merupakan kompensasi yang lebih dari cukup untuk memutus hubungan kerja, yang jumlah kompensasinya setara dengan PHK tanpa kesalahan.
Mengapa? Karena bila hubungan industrial tetap dilangsungkan, sekalipun alasan efisiensi usaha tidaklah terbukti kebenarannya, disharmoni tetap tidak dapat dihindari—dimana “dishamorni” merupakan salah satu alasan terbitnya PHK yang dibolehkan menurut undang-undang tentang perselisihan hubungan industrial.
Limit paling maksimum putusnya hubungan kerja, ialah kompensasi pesangon 2 kali ketentuan, sehingga bila pihak Pengusaha telah bersedia memutus hubungan kerja dengan kompensasi pesangon 2 kali ketentuan, maka sejatinya tiada lagi yang dapat dipersengketakan oleh kalangan Pekerja / Buruh.
PEMBAHASAN:
Sebagai cerminan, terdapat ilustrasi kasus konkret, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 69 K/Pdt.Sus-Phi/2017 tanggal 23 Februari 2017, perkara antara:
- PT. INDO BAJA DAYATAMA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- 9 orang Pekerja / Buruh, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Tergugat adalah perusahaan yang bergerak dibidang industri baja, dengan jumlah buruh kurang lebih sebanyak 800 pekerja, diantaranya ialah Para Penggugat. Di tempat Tergugat, telah terbentuk serikat pekerja dengan keanggotaan sebanyak 400 anggota. Para Penggugat kesemuanya merupakan pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) alias Pekerja Permanen, sekaligus merupakan anggota dan pengurus dari Serikat Pekerja.
Tanggal 20 Mei 2016, Tergugat mengundang Pengurus Serikat Pekerja, termasuk Para Penggugat, untuk melaksanakan perundingan bipartit. Tergugat menyampaikan rencana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan efisiensi, namun Para Penggugat secara tegas menolak rencana demikian.
Dalam perundingan bipartit lanjutan tertanggal 25 Mei 2016, Tergugat menyampaikan daftar nama efisiensi sebanyak 63 orang pekerja kepada Para Penggugat. Keesokan harinya, Tergugat menerbitkan Surat Pengumuman Meliburkan Para Penggugat yang isinya menyebutkan: “Para Penggugat diliburkan sampai ada keputusan dari Suku Dinas Tenaga Kerja, dan dibayar upahnya dari tanggal 26 Mei sampai dengan 28 Mei 2016”.
Para Penggugat melalui Serikat Pekerja mengirimkan Surat Penolakan PHK kepada Tergugat. Tanggal 31 Mei 2016, Para Penggugat menghadiri undangan Perundingan Tripartit dari Suku Dinas Tenaga Kerja terkait perselisihan PHK, yang ternyata telah dicatatkan oleh Tergugat kepada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Utara.
Tanggal 31 Mei 2016, Tergugat kembali menerbitkan Surat Pengumuman, dengan pokok substansi: Terhitung tanggal 31 Mei 2016, manajemen memutuskan untuk efisiensi/PHK terhadap Para Penggugat, dan gaji dihitung sampai dengan tanggal 31 Mei 2016. Terhitung tanggal 1 Juni 2016, Para Penggugat sudah tidak boleh memasuki dan mendekati area perusahaan Tergugat.
Sejak Tergugat melakukan tindakan PHK secara sepihak terhitung tanggal 26 Mei 2016, Para Penggugat selalu datang ke perusahaan setiap harinya untuk melaksanakan kewajibannya bekerja, tetapi tidak diperbolehkan masuk oleh Tergugat.
Sampai kemudian pada tanggal 21 Juni 2016, Mediator Suku Dinas Tenaga Kerja menerbitkan Surat Anjuran, dengan substansi:
“Menganjurkan :
1.) PT. Indobaja Dayatama yang beralamat di Jalan Semper Kebantenan Nomor 24 Semper Timur Jakarta Utara agar membayarkan uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2) Saudara Abdul Hafiz Akbar dan kawan-kawan (11 orang) agar bersedia menerima pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian Hak sesuai poin 1.”
Para Penggugat menyatakan “menolak” terhadap isi Anjuran Mediator Disnaker. Tergugat melakukan tindakan PHK kepada dengan alasan efisiensi karena mengalami kerugian yang disampaikan Iangsung oleh Tergugat kepada Para Penggugat, namun Penggugat tidak dapat membenarkan alasan demikian, sebab tidak ada satupun bukti tertulis atas alasan kerugian tersebut sebagai landasan melakukan PHK efisiensi.
Tindakan PHK yang dilakukan oleh Tergugat dengan alasan efisiensi, harus dibuktikan dengan laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.”
Bila Tergugat mendalilkan tindakan PHK dengan alasan efisiensi, tetapi mengapa perusahaan Tergugat sampai kini masih menjalankan produksi dan tidak tutup secara permanen? Sikap Tergugat melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-(X/2011 yang amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada frasa “perusahaan tutup”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.
Meski demikian Tergugat tidak pernah dan tidak bisa membuktikan atau menunjukkan laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik, sehingga tindakan PHK yang dilakukan oleh Tergugat tidak berdasarkan prosedur, dengan demikian tidak sah.
Pasal 151 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur pula, dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja / buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Begitupula kaedah norma Pasal 155 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur:
Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3), batal demi hukum.”
Sebagai penutup, Penggugat mengutip norma Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menyatakan:
“Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.”
Adapun pokok gugatan Penggugat, ialah meminta Hakim agar menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk memanggil dan mempekerjakan kembali Para Penggugat pada posisi dan jabatan semula, disamping perintah untuk membayar upah yang biasa diterima oleh Para Penggugat selama proses sengketa terjadi.
Terhadap gugatan para Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 188/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Jkt.Pst. pada tanggal 13 Oktober 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, ... maka Majelis hakim berpendapat bahwa para pihak telah melakukan proses penyelesaian perselisihan sesuai prosedur Pasal 3 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, akan tetapi Surat Anjuran adalah proses hukum diluar pengadilan (non ligitasi) sehingga tidak mengikat Majelis Hakim dalam memutus perkara a quo, kecuali terhadap hal-hal yang berkaitan erat dengan pokok perkara yang dianggap baik dan berguna untuk kepentingan para pihak;
“Menimbang, ... Efisiensi karena mengalami kerugian dari Tergugat tidak dapat dibenarkan dan tidak sah, karena tidak ada satu pun bukti tertulis atas alasan kerugian tersebut sebagai landasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Para Penggugat. Sehingga Majelis Hakim berkesimpulan tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat dengan alasan efisiensi, harus dibuktikan dengan laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan: ‘Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.’;
Disamping sekarang masih menjalankan produksi dan tidak tutup secara permanen sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 yang menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada frasa ‘perusahaan tutup’ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu’. Oleh karena itu, efisiensi pemutusan hubungan kerja Tergugat tidak beralasan hukum;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Para Penggugat, batal demi hukum;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat tidak pernah putus;
4. Menghukum Tergugat untuk mempekerjakan kembali Para Penggugat dalam jabatan yang setara pada perusahaan Tergugat paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan ini mempunyai berkekuatan hukum tetap;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar upah yang biasa diterima dan upah selama proses penyelesaian Para Penggugat sejak bulan Juni 2016 sampai dengan bulan Agustus 2016 seluruhnya masing masing sebesar: ...;
6. Menghukum Tergugat membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) perhari apabila Tergugat tidak melaksanakan putusan perkara a quo;
7. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa alasan kemendesakan harus dilakukannya efisiensi karena berhubungan dengan kegiatan produksi demi kelangsungan hidup Tergugat agar dapat tetap berproduksi dan menghidupi karyawan yang masih ada, yang dikarenakan kondisi industri baja dasar yang tidak menentu, dimana kebutuhan akan besi beton cukup tinggi tetapi yang terjadi di lapangan / produksi tempat kerja tidak sesuai dengan kenyataan, dimana hal demikian sudah berlangsung cukup lama.
Banyaknya infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah belum dapat digenjot produksi baja dasar pada umumnya, khususnya pada Tergugat. Konsumsi besi beton untuk infrastruktur sekarang ini lebih banyak memerlukan besi beton dengan ukuran mulai sedang sampai besar. Sedangkan untuk ukuran kecil tidak terlalu mengalami perubahan permintaan secara signifikan, malah yang terjadi penurunan permintaan besi beton dengan ukuran kecil tersebut, hal ini sebagai pengetahuan yang tidak perlu dibuktikan. Keadaan pangsa pasar ini sudah Tergugat sampaikan kepada perwakilan Para Penggugat (Serikat Pekerja) dalam forum formal maupun informal.
Kondisi penurunan produksi tersebut, Tergugat sudah menyikapinya dengan melakukan efisiensi dalam segala bidang, diantaranya mengurangi jam lembur, mengurangi jam kerja pada hari Sabtu dan Minggu yang biasanya 8 jam menjadi 5 jam kerja dengan sistem rolling off, menghentikan operasional produksi pada saat beban puncak, yaitu jam 18.00 WIB sampai jam 22.00 WM dan diberlakukan pergantian produksi pada bagian Rolling 1 dengan Rolling 2, demi untuk tidak melakukan efisiensi terhadap para pekerjanya. Tetapi fakta hukum diproduksi pada akhirnya harus melakukan efisiensi terhadap para tenaga kerja.
Temyata pula sebanyak 52 orang dari 62 pekerja yang terkena efisiensi, menerima adanya pemutusan hubungan kerja serta bersedia menerima uang kompensasi pesangon, kemudian dalam perjalanannya disusul oleh 2 orang pekerja lainnya yang telah mengundurkan diri dari pengajuan gugatan Para Penggugat, dengan menerima kompensasi efisiensi.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi Pemohon Kasasi I yang diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri / Hubungan Industrial Jakarta Pusat pada tanggal 10 November 2016, dan kontra memori kasasi yang diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri / Hubungan Industrial Jakarta Pusat pada tanggal 22 November 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa perselisihan antara Para Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada Para Termohon Kasasi / Pekerja oleh Pemohon Kasasi dengan alasan efisiensi, bukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan yang dilarang ketentuan Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
2. Bahwa terhadap maksud melakukan efisiensi telah dirundingkan dengan Serikat Pekerja (PTP IFBI) namun ditolak oleh Serikat Pekerja / Serikat Buruh, akhirnya gagal;
3. Bahwa jumlah para pekerja yang akan diputus hubungan kerja berjumlah 63 (enam puluh tiga) orang akibat pengurangan produksi sebab menurunnya permintaan pasar (vide bukti P-21, T-5);
4. Bahwa efisiensi merupakan suatu tindakan yang dapat dibenarkan untuk mempertahankan proses produksi sehingga pekerja dan pengusaha tetap dapat melanjutkan hubungan kerja dalam arti seluas-luasnya, tidak mengharuskan suatu usaha tutup permanen;
5. Bahwa dalam perselisihan ini para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja sejumlah 63 (enam puluh tiga) orang dari total 769 (tujuh ratus enam puluh sembilan) orang pekerja pada perusahaan Pemohon, sehingga pemutusan hubungan kerja a quo dapat dibenarkan, lagi pula selama proses perselisihan berlangsung 54 (lima puluh empat) orang pekerja telah menerima pemutusan hubungan kerja dengan 2 (dua) kali uang pesangon, uang penggantian masa kerja, uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga adalah adil dan patut bilamana Para Termohon Kasasi putus hubungan kerja dengan hak-hak yang sama dengan perincian sebagai berikut:
a. Abdul Hafiz Akbar (masa kerja 8 tahun 1 bulan 27 hari):
1) Uang pesangon 2 x 9 x Rp3.963.370,00 = Rp71.340.660,00
2) Uang penghargaan masa kerja 3 x Rp3.963.370,00 = Rp11.890.110,00
3) Uang penggantian hak 15 x Rp83.230.770,00 = Rp12.484.616,00
Jumlah: Rp95.715.386,00.
b. ...;
6. Bahwa dengan demikian beralasan hukum dan adil mengenai pemutusan hubungan kerja Para Termohon Kasasi dengan uang kompensasi yang besarnya sama dengan 54 (lima puluh empat) orang pekerja lainnya;
7. Bahwa terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mensyaratkan tutup permanen hanya bersifat law in abstracto, sehingga dalam memutus perkara Hakim tidak terikat melainkan melihat bagaimana faktanya didalam kasus perkara yang dihadapi, dengan berpegang pada nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan, sehingga menurut majelis Tingkat Kasasi Judex Facti telah salah menerapkan hukum mempekerjakan kembali para pekerja / Para Termohon Kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. INDO BAJA DAYATAMA tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas I Khusus Jakarta Pusat Nomor 188/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Jkt.Pst. tanggal 13 Oktober 2016 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. INDO BAJA DAYATAMA tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas I Khusus Jakarta Pusat Nomor 188/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Jkt.Pst. tanggal 13 Oktober 2016;
“MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan pemutusan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat, terhitung mulai putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat / Pengusaha membayar uang kompensasi pemutusan hubungan kerja kepada Para Penggugat / Pekerja masing-masing adalah:
a. Abdul Hafiz Akbar (masa kerja 8 tahun 1 bulan 27 hari):
1) Uang pesangon 2 x 9 x Rp3.963.370,00 = Rp71.340.660,00
2) Uang penghargaan masa kerja 3 x Rp3.963.370,00 = Rp11.890.110,00
3) Uang penggantian hak 15 x Rp83.230.770,00 = Rp12.484.616,00.
Jumlah Rp95.715.386,00 (Sembilan puluh lima juta tujuh ratus lima belas ribu tiga ratus delapan puluh enam rupiah);
b. Agus Susanto (masa kerja 4 tahun 2 bulan 30 hari): ...;
4) Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.