Cara Kerja Logika & Argumentasi

ARTIKEL HUKUM
Semakin banyak berbicara, semakin terbuka ruang untuk dibantah dan dijungkalkan. Sementara, moralitas adalah argumentasi dalam derajat yang paling tidak terpatahkan. Kedua postulat tersebut, merupakan basic atau dasar dari segala seni / teknik beragumentasi.
Dalam artikel singkat ini, penulis akan menguraikan perihal bagaimana logika “bermain” dan bekerja. Apa yang disajikan, itu merupakan “front end”; sementara bagaimana logika bekerja dan memproses serta menganalisa, dapat diibaratkan sebagai “back end”. Sama seperti kode script html (back end) yang menyusun tampilan suatu penampakan suatu tayangan di layar komputer ketika kita berselancar di dunia maya (front end), maka sejatinya apa yang tampak “diluar” sebenarnya akan sangat berbeda dengan yang tampak “didalam”—sebuah proses yang rumit dan tersusun secara rapih dan sistematis.
Apa yang dari luar tampak sederhana, akan sangat kompleks bila dilihat alur prosesnya dari dalam—meski bukan dimaknai sama sekali tidak dapat dipahami dan dikuasai seni penyusunan keping-keping “script” demikian hingga menjadi seorang “script / web master”.
Sederhananya, untuk mematahkan pola argumentasi pihak lawan, kita dapat menggunakan /meminjam pola logika dari lawan kita, untuk dijadikan “senjata” yang menjelma bumerang bagi lawan kita itu sendiri. Itulah sebabnya, sedari awal penulis membentuk postulat pertama: bahwa semakin banyak seseorang berbicara, semakin ia membuka ruang untuk dibantah dan dijungkalkan. Semakin seseorang hemat dalam kata, semakin ia tidak terkalahkan.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut ilustrasi yang dapat penulis jadikan sebagai contoh paling sederhana. Seorang “pakar” hukum menyebutkan, permohonan seorang gubernur yang keberatan diberlakukan status cuti ketika dirinya memasuki masa kampanye pencalonan kembali sebagai Kepala Daerah, permohonan uji materiilnya ditolak Mahkamah Konstitusi RI, dengan alasan bahwa Hakim Konstitusi menyatakan bahwa “kampanye adalah kewajiban”, bukan hak, sehingga pejabat petahana (incumbent) harus berkampanye, karena kampanye sebagai calon yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), merupakan sebuah kewajiban, sehingga tidak dapat menolak di-cuti-kan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Baiklah, kini kita pakai kaedah logika tersebut sebagai dasar logika untuk kita jadikan “amunisi” ketika harus berhadapan dengan para pakar hukum yang memiliki paradigma logika serupa. Beberapa waktu kemudian, pihak pemerintah melontarkan wacana agar para calon Kepala Daerah yang telah ditetapkan KPU sebagai calon pasangan calon Kepala Daerah, sementara dihentikan proses hukumnya ketika sang calon terbelit perkara tindak pidana korupsi, agar dirinya tetap dapat mengikuti seluruh proses pemilihan umum tanpa teramputasi perkara korupsi yang dituduhkan kepada diri sang calon.
Sang “pakar” yang sama, kemudian mengkritik wacana pemerintah, dengan menyebutkan bahwa wacana demikian adalah menyesatkan, karena proses hukum harus tetap berjalan sekalipun tersangka merupakan seorang calon Kepala Daerah. Argumentasi demikian tampak berwibawa dan elegan, namun ternyata tidak tahan uji moril. Ingat, logika yang tampak logis dan “cantik”, tidak selalu dipastikan atau terjamin lolos uji moril.
Kini, mari kita pakai “amunisi” logika yang sebelumnya kita pinjam dari sang “pakar”, bahwa kampanye dari seorang calon, bukanlah sebuah hak, namun sebuah kewajiban. Bila seorang calon Kepala Daerah ditahan karena proses sangkaan korupsi terus dijalankan oleh penyidik maupun jaksa penuntut, maka sang calon tidak lagi dapat menjalankan “kewajibannya” untuk berkampanye. Karena adalah kewajibannya untuk berkampanye, maka adalah wajar bila penegak hukum harus pending terhadap proses perkara, hingga seluruh proses pemilhan umum selesai, barulah proses hukum dapat kembali dilanjutkan.
Melihat contoh ilustrasi sederhana demikian, maka kita dapat secara sederhana menarik kesimpulan, bahwa: sang “pakar” tampaknya tidak paham prinsip “taat asas” dalam berlogika, karena justru menampilkan logika yang saling tumpang-tindih dan tidak terpola.
Logika yang sehat, selalu tersistematis dan terpola. Sesuatu yang terpola, tidak dapat dibenarkan untuk saling overlaping. Ketika terjadi tumpang-tindih logika, maka itulah celah paling vital untuk memasukkan pukulan telak yang mematahkan logika satu dengan logika lain dirinya sendiri. Terkunci oleh tumpang-tindih logika, bagaikan seseorang yang paralyze akibat logika cacat yang menyerupai virus komputer.
Seorang logic master, sangatlah taat asas terhadap setiap logika yang disusun dan dipolakan olehnya. Tanpa celah, rapih, dan sangat rapat. Contoh sederhana lainnya, bagaimana mungkin, berharap kalangan profesi hakim tidak tergoda untuk menyalahgunakan kewenangannya, bila kalangan profesi hakim tidak terikat oleh preseden?
Hakim bebas dan independen, merupakan sebuah variabel logika. Variabel logika lainnya, menyebutkan bahwa kepastian hukum hanya dapat dibentuk bila hukum memiliki daya prediktabilitas dalam derajat yang tinggi. Sejatinya, kedua variabel logika demikian tidak dapat eksis disaat bersamaan.
Seorang logic master, dapat menyadari adanya tumpang-tinduh variabel logika dari kedua variabel demikian. Karena hakim bebas dan independen, preseden tidak dapat mengikat sang hakim, maka hakim dapat tergoda untuk memutus menyimpang dari preseden yang ada, tanpa ancaman sanksi apapun. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin “mengawinkan” kedua variabel demikian dalam sosok seorang hakim?
Ingin membentuk kepastian hukum yang menutup celah kolusi kalangan hakim, namun disaat bersamaan memberi blangko kosong bagi sang hakim untuk menuliskan amar putusan secara sebebas-bebasnya. Kedua variabel demikian tidak akan pernah “bertemu” dalam satu wadah intelek seorang individu, terlebih “dikawinkan” untuk diperankan sosok seorang hakim. Namun, justru selama ratusan tahun negara-negara dengan sistem budaya hukum Eropa Kontinental telah “terlena”, sehingga tidak sadar akan cacat logika yang mendasari prinsip “hakim bebas dan independen”.
Adakah argumentasi yang lebih tinggi, yang mampu melampaui validitas aturan tertulis dalam peraturan perundang-undangan? Banyak dijumpai, peraturan perundang-undangan yang dibentuk dengan semangat yang diragukan, bahkan dapat ditengarai sebagai “law as a tool of crime”—tanpa dapat kita pungkiri.
Jawabannya, ialah: ADA, yakni moralitas sebagai ujung tombak argumentasi. Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi RI selama belasan tahun (bahkan hingga saat kini) mempekerjakan belasan pegawai yang sama selama belasan tahun, dengan status pekerja kontrak dari lembaga outsourcing, dengan alasan: pekerja security dan tukang bersih-bersih gedung kantor, bukanlah core business Mahkamah Konstitusi RI.
Secara logika yuridis, Mahkamah Konstitusi RI tidak mungkin salah, karena Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga monopolistik penafsir undang-undang dengan memonopoli Konstitusi RI sebagai pembenaran diri dan justifikasi diri. Namun, secara moril, mungkinkah tidak tercela dan tidak terbantahkan? Mahkamah Konstitusi RI kerap menjadi hakim bagi dirinya sendiri, sebagaimana ketika MK RI mengamputasi peran dan fungsi Komisi Yudisial untuk mengawasi lembaga MK RI.
Berikut cara kerja logika moralitas: mungkinkah gedung Mahkamah Konstitusi RI berdiri dan beroperasi dalam melayani publik, secara optimal tanpa adanya tenaga kebersihan dan pengamanan? Bukankah sepanjang gedung Mahkamah Konstitusi RI berdiri dan beroperasi, selalu dibutuhkan seorang tenaga keamanan dan kebersihan? Apakah sang Hakim Konstitusi seorang diri yang menyapu dan mengepel seluruh gedung MK RI?
Secara falsafah moralitas, hanyalah jenis pekerjaan musiman yang dapat diikat status pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ataupun menggunakan jasa tenaga alih-daya dari perusahaan outsourcing. Diluar jenis pekerjaan musiman, apapun alasannya (karena tidak akan mampu bertahan menghadapi uji moril), tidak dapat diikat jenis Kerja Kontrak ataupun alih-daya.
Kalangan hakim manapun, ketika dibenturkan pada pertanyaan yang berangkat dari logika moralitas diatas, tidak akan mampu menjawab, dan akan memilih untuk mengalihkan isu, atau sekadar “pura-pura” tidak mendengar atau tidak membaca argumentasi yang terdengar polos, murni, lugu, sekaligus jujur secara nurani dan moralitas.
Mungkinkah perusahaan maskapai penerbangan melangsungkan kegiatan usaha tanpa adanya tenaga penjual tiket / reservasi pesawat? Mungkinkah sebuah pabrik akan beroperasi tanpa tenaga kebersihan? Mungkinkah sebuah kantor konsultan hukum beroperasi tanpa pekerja konsultan hukum? Mungkinkah sebuah kantor perbankan berkegiatan tanpa tenaga costumer service dan teller / kasir?
Ada yang berani menjawab? Anda mungkin berkilah dengan berlindung dibalik putusan Mahkamah Konstitusi RI atau peraturan perundang-undangan tertulis, namun Anda tidak akan pernah dapat menang melawan kejujuran, karena hati kecil Anda tahu dan sadar, bahwa Anda secara logika telah kalah sepenuhnya.
Belajar perihal logika, adalah belajar perihal seni, yang dapat diasah keterampilannya dengan bersikap kritis dan berpegang teguh pada prinsip “taat asas”. Mereka yang memahami benar pentingnya prinsip “taat asas”, itulah yang disebut sebagai seorang logic master.
Seorang logic master tidak terkalahkan karena memang dasar pondasi logika yang menjadi landasan argumentasinya, tanpa cacat dan tanpa cela apapun untuk dibantah. Melawan secara frontal seorang logic master, sama artinya mencari perang dengan lawan yang keliru, yang akan Anda sesali sendiri dikemudian hari.
Guru seni berlogika dari penulis, yakni Sang Buddha, menyampaikan bahwa terdapat tiga metode / cara untuk menjawab sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh penanya, yakni:
- menjawab berupa negasi atau affirmasi, seperti memberi jawaban “Ya” atau “tidak”;
- menjawab dengan sebuah sikap diam, agar si penanya dapat secara dewasa memikirkan jawabannya sendiri atau mungkin sejatinya si penanya sudah tahu jawabannya;
- menjawab dengan cara melontarkan balik sebuah pertanyaan introspektif. Ingat, bahwa setiap manusia punya otak untuk berpikir, mereka hanya kurang dalam membuat pertimbangan dan perenungan. Sebuah pertanyaan balik dapat membuka “pintu” yang sebelumnya tertutup, menjadi terbuka sehingga mampu tercerahkan, justru oleh sebuah pertanyaan balik kepada si penanya.
Penulis mendapati fenomena, bahwa bangsa Indonesia sangat lemah perihal logika. Contoh ilustrasi konkret berikut semoga dapat mewakili berbagai cacat logika yang kerap penulis hadapi ketika bersosialiasi. Seringkali kalangan pekerja menghubungi penulis, meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif sesi konsultasi seputar tanya-jawab hukum.
Semua pembaca publikasi penulis, sadar dan tahu bahwa penulis berprofesi dan mencari nafkah dari jasa layanan konsultasi. Ketika penulis melontarkan pertanyaan balik terhadap pertanyaan hukum seputar masalah hukum ketenagakerjaan hukum yang dihadapinya, penulis mendapat fakta yang sangat ironis sekaligus memprihatinkan.
Saya mau tanya soal hukum ketenagakerjaan, bla bla bla...” (yang pada intinya meminta dilayani tanpa mau menyadari hak dan kewajiban antara pengguna dan pemberi jasa layanan konsultasi.
Selama ini Anda bekerja apakah menuntut diberi upah?” tanya penulis dalam memberi respon atas pertanyaan yang tidak dilandasi etika komunikasi demikian (bahkan si penanya tidak memperkenalkan nama ataupun dirinya).
Ya ialah, saya kerja pasti nuntut upah. Justru ini saya mau tanya soal upah saya yang tidak dibayar!
Bila para pembaca tidak sadar akan masuk implisit yang hendak penulis sampaikan dalam transkrip percakapan sederhana diatas, maka Anda patut cemas, karena ada masalah dalam kemampuan otak Anda untuk berlogika. Dan, kabar buruknya, mayoritas warga Indonesia memiliki sindrom cacat logika sebagaimana tersebut diatas sebagaimana telah banyak penulis hadapi dan jumpai setiap harinya.
Inilah jawaban penulis selanjutnya, “Kalau begitu, mengapa tidak Anda saja yang bekerja pada saya, sesuai profesi Anda mencari nafkah, tapi tanpa upah sepeser pun? Anda akan saya perlakukan, sebagaimana Anda memperlakukan saya.” Hingga saat kini, tidak ada satupun diantara kalangan penanya beritika buruk demikian yang berani untuk memberi respon.
Mereka yang tidak mau memahami logika moralitas, sejatinya menjadi parameter rusaknya peradaban bangsa. Para pakar lingkungan hidup, menjadikan berbagai biota dan satwa sebagai indikator rusak atau masih sehatnya sebuah ekosistem lingkungan hidup. Dalam ilmu sosial, daya empati dan kepekaan terhadap logika moralitas, merupakan indikator paling nyata tingkat keberadaban umat manusia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.