Antara Novum, Kasasi, & Peninjauan Kembali

LEGAL OPINION
Question: Kenapa Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) bilang kalau mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, tanpa disertai adanya novum (bukti baru), maka dapat dipastikan PK akan ditolak Mahkamah Agung? Bukankah alasan mengajukan PK itu tidak hanya berupa adanya novum?
Brief Answer: Karena memang demikianlah praktiknya di lembaga Mahkamah Agung RI selama ini, secara de facto, bukan de jure. Dari hasil telaah terhadap ratusan putusan Mahkamah Agung tingkat Peninjauan Kembali, hampir dapat dipastikan permohonan Peninjauan Kembali tanpa adanya novum yang bersifat menentukan, maka permohonan demikian akan dianggap sebagai permohonan Peninjauan Kembali yang sumir, alias dipandang sebagai spekulatif belaka.
PEMBAHASAN:
Simak tumpang tindih alasan permohonan Peninjauan Kembali terhadap permohonan Kasasi, dengan membandingkannya dengan Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung:
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.”
Pasal 34 UU Mahkamah Agung:
“Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini.
Betul bahwa alasan pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali, seolah jauh lebih beragam ketimbang alasan pengajuan Kasasi. Namun pada prinsipnya hanyalah replikasi dari alasan pengajuan Kasasi, sehingga praktis hanya novum yang secara de facto menjadi satu-satunya alasan paling rasional untuk mengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebagai antinomi dari alasan permohonan kasasi yang tidak menyentuh aspek alat bukti sebagai ranah judex jure (hanya memeriksa penerapan hukum yang berlaku).
Meski demikian, ketika perkara memasuki tingkat Peninjauan Kembali, sifat judex jure melebur separuhnya dengan sifat judex factie, meski yang menjadi perhatian sentral tetap pada alat bukti baru (novum). Pasal 66 UU Mahkamah Agung:
(1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.
(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.”
Bandingkan dengan alasan berikut, sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 UU Mahkamah Agung:
“Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”
Kini, mari kita bahas falsafah dibalik latar belakang kebijakan Mahkamah Agung RI untuk hanya mengakui alasan Peninjauan Kembali dengan mempersempit aturan peraturan perundang-undangan yang ada, dengan sebatas pengakuan terhadap novum—terlepas dari betapa ganjilnya suatu putusan yang telah “berkekuatan hukum tetap” (inkracht) dengan melewati rangkaian Pengadilan Negeri hingga Kasasi, namun masih dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali untuk menganulir putusan yang sejatinya telah “berkekuatan hukum tetap”.
Pada dasarnya, instansi yang memutus permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali ialah lembaga yang sama, yakni para Hakim Agung yang bernaung dibawah atas Mahkamah Agung RI. Jika warga negara, entah perkara pidana maupun perkara perdata mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan alasan “kelalaian / kekhilafan hakim dalam memutus”, maka sejatinya alasan demikian adalah senada / kongruen terhadap alasan pengajuan Kasasi yang sebelumnya telah diajukan dan diputus.
Bila terhadap permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan warga bersangkutan, kemudian dikabulkan Mahkamah Agung dengan menganulir putusannya sendiri di dalam tingkat Kasasi, tanpa adanya novum apapun yang diajukan oleh pemohon, maka sama artinya Mahkamah Agung mau mengakui bahwa lembaganya telah membuat kekeliruan fatal terhadap nasib warga negara dengan menerbitkan putusan kasasi yang “lalai saat menerapkan hukum”. Tentu saja, Mahkamah Agung RI tidak berniat untuk menampar wajah instansinya sendiri.
Alasan-alasan pengajuan Peninjauan Kembali lainnya, sejatinya hanyalah derivatif dari alasan-alasan pengajuan permohonan Kasasi, meski dalam alasan pengajuan Peninjauan Kembali tampak lebih beragam jenis alasan pengajuannya, namun sejatinya masih dalam lingkup “genus” yang sama, yakni “kesalahan dan kelalaian penerapan hukum”.
Mungkin alasan pengajuan Peninjauan Kembali tanpa novum, hanya relevan bila warga negara mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap, tanpa pemohon sebelumnya pernah melalui tahapan kasasi, sehingga Mahkamah Agung belum pernah memeriksa substansial dari perkara yang pemohon, baik dari segi aspek yuridis penerapan hukumnya maupun alat bukti-alat bukti yang ada.
Namun tetap saja, timbul pertanyaan kemudian, mengapa pemohon yang bersangkutan dahulu kala tidak mengajukan upaya hukum kasasi? Bukankah dengan tidak mengajukan upaya hukum kasasi, maka yang bersangkutan dianggap sebagai telah menerima dan cukup puas terhadap amar putusan vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi?
Dengan membatasi alasan pengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, merupakan cara Mahkamah Agung RI untuk membuat produk putusannya sebagai Lembaga Yudikatif, tampak berwibawa dan elegan—disaat bersamaan menghindari terbentuknya moral hazard dengan “menjilat ludah sendiri” dalam putusan sebelumnya (Kasasi).
Tentu, kita tidak ingin memberi stigma pada Mahkamah Agung RI sebagai lembaga plin-plan sebagaimana dipertontonkan secara vulgar dan mencolok sebagaimana Mahkamah Konstitusi RI yang bahkan kerap melanggar putusan yang diterbitkan lembaganya sendiri sebelumnya, yang notabene telah berkekuatan hukum tetap. Mahkamah Agung RI, dalam berbagai putusannya, setidaknya masih menampilkan wajah “rasional” serta “reliable”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.