Tuntutan Pidana Penggelapan Tanpa Didukung Laporan Auditor Independen

LEGAL OPINION
Question: Apakah tuduhan pidana penggelapan, wajib menyertakan alat bukti Audit dari auditor Independen terhadap keadaan keuangan perusahaan? Bagaimana juga jika uang pembelian dari konsumen masuk ke rekening pribadi pengurus perseroan, tanpa dicatatkan dalam pembukuan perseroan?
Apakah juga terhadap akta notaris perihal perubahan Anggaran Dasar Perseroan yang tidak diberikan pada pengurus baru, dapat dijadikan tuduhan penggelapan? Jaksa bahkan ada menuntut dengan memakai corat-coret angka tulisan tangan terdakwa di sebuah kertas bekas, dan angka-angka dalam kertas itulah yang dijadikan jaksa untuk mendakwa dengan tuduhan penggelapan keuntungan yang diperoleh terdakwa selama menjabat sebagai direktur.
Brief Answer: Akta notariil yang diberikan kepada Perseroan Terbatas, sejatinya hanyalah Gross Akta (salinan otentik dari Minute Akta). Sementara asli akta notariil (Minute Akta), disimpan di kantor notaris yang membuatnya. Gross Akta adalah salinan yang berlegalisir, sehingga dapat dibuat sebanyak apapun, dengan cara meminta dari pihak notaris pembuatnya, sehingga menjadi absurd bila terdapat pemidanaan terhadap penggelapan akta notariil.
Pengusaha awam hukum sekalipun, selaku seorang usahawan, pastilah menyadari dan mengetahui bahwa menerima hasil penjualan barang/jasa ke dalam rekening pribadi pengurus bersangkutan, adalah ilegal, karena kekayaan badan hukum Perseroan Terbatas terpisah dari kekayaan para pengurusnya. Perilaku demikian pastilah sudah disadari akan merugikan hak para pemegang saham perseroan maupun sekutu pasif dari badan usaha CV. Karena harta kekayaan pribadi dan keuangan perseroan menjadi tercampur-baur, pembuktian nominal pasti atas suatu tindak pidana penggelapan, menjadi amat sukar—sekalipun dengan audit akuntan publik.
Bila dakwaan jaksa bertumpu pada kertas berisi tulisan tangan terdakwa, yang dipakai justru untuk memberatkan kedudukan pihak terdakwa, sejatinya hal demikian melanggar asas non self incrimination—oleh sebab itulah SHIETRA & PARTNERS menolak “keterangan terdakwa” dikategorikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai “alat bukti”.
Dapat saja pihak terdakwa menyanggah, bahwa Jaksa menutupi halaman kertas selanjutnya dari lembar berisi corat-coret tersebut, bahwa terdapat halaman dibelakangnya yang disembunyikan jaksa, yang berisi berbagai kerugian perseroan sehingga sejatinya selama ini perseroan mencetak rugi, bukan laba.
Dari berbagai perkara delik penggelapan, tidak terdapat ketentuan imperatif “harus” adanya hasil audit dari Auditor Independen. Yang terpenting dalam dakwaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ialah adanya minimum 2 alat bukti. Laporan Kantor Jasa Penilai Publik (KAP), hanyalah salah satu kategori alat bukti, yakni bukti surat.
Bila terdapat surat lain sebagai alat bukti, disertai alat bukti lain berupa keterangan saksi seperti para pelanggan dari perusahaan yang menerangkan bahwa mereka telah membayar, namun dalam pembukuan perusahaan tidak tercatat adanya pembayaran, maka dakwaan Jaksa akan dinyatakan terbukti dan bukti dokumen surat yang ada baru dapat dipahami substansi dan relevansinya.
Akan tetapi, tanpa adanya alat bukti apapun, bila pihak perusahaan mengklaim adanya penggelapan, maka hal demikian dapat menjadi alat kriminalisasi terhadap pengurus maupun pegawai perusahaan.
Namun demikian, dalam konteks tertentu, seperti bila dana untuk aktivitas perusahaan ditransfer ke rekening pribadi pejabat perseroan, maka beban pembuktian dapat beralih dari pihak pelapor / penuntut, kepada pihak terdakwa, terutama bila ternyata segala aliran kas keuangan “keluar-masuk” tidak tercatat dalam pembukuan perusahaan, untuk membuktikan dana yang dikirim ke rekening pribadi sang pejabat perseroan, apakah betul digunakan untuk kepentingan perseroan, ataukah untuk kepentingan pribadi. Dalam konteks demikian, beban pembuktian dapat berbalik (shifting the burden of prove).
Pada prinsipnya, pengadilan perkara pidana tidak dapat menentukan berapa besarnya kerugian saksi pelapor / korban, tanpa adanya laporan auditor independen ataupun kesaksian pihak ketiga seperti pelanggan dari perusahaan yang telah membayar namun tercatat dalam pembukuan sebagai “belum membayar”. Adanya putusan pemidanaan yang menyebutkan besaran nilai kerugian untuk ditanggung terdakwa, mengandung cacat hukum, karena penentuan nilai ganti-rugi adalah ranah perkara perdata.
Akan lebih kompleks, bila ternyata segala kas “keluar-masuk” tidak tercatat dalam pembukuan, akan tetapi masuk dalam rekening pribadi pihak pengurus, maka menentukan berapa besar nominal secara pasti dari kerugian perseroan, tidak dapat dikalkulasi secara mudah, sehingga hakim dalam perkara pidana yang memeriksa dakwaan penggelapan tanpa disertai laporan audit yang kredibel, tentunya hanya dapat memutus “bahwa benar terjadi pidana penggelapan”, namun tanpa dapat berspekulasi menyebut sejumlah pastinya nilai kerugian yang diderita saksi korban / pelapor.
Dilematikanya, bila nilai kerugian atau nominal penggelapan tidak dapat dipastikan besarannya, maka terbuka peluang kemungkinan: mungkin saja selama ini perseroan mengalami kerugian yang justru ditanggung oleh dana pribadi sang pengurus. Maka amar / vonis pemidanaan sejatinya bertumpu pada spekulasi semata, yakni asumsi bahwa perseroan selama ini mencetak keuntungan—meski selalu terbuka kemungkinan sebaliknya.
Bila tuduhan penggelapan bertumpu pada asumsi adanya keuntungan perusahaan yang digelapkan, maka dapatkah Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan berupa vonis pidana dengan menyatakan terdakwa “secara sah dan meyakinkan” melakukan penggelapan yang merugikan korban? Untuk menentukan adanya keuntungan yang digelapkan, maka antara income dan liability dalam arus saldo pembukuan harus direkapitulasi.
Itulah sebabnya, ketika pengurus perseroan tidak melakukan tertib pembukuan, bahkan menggunakan rekening pribadi pejabat pengurus, maka sejatinya pengurus bersangkutan menutup sendiri pintu verifikasi antara aktiva dan passiva untuk dapat menyatakan tiada terjadi penggelapan terhadap keuangan perseroan. Bahkan audit sekalipun akan sukar dilakukan karena tiada pembukuan untuk diaudit, serta kekayaan perseroan telah tercampur dengan kekayaan pribadi sang pengurus.
Bila terdakwa memang tidak menikmati dana penggelapan meski menggunakan rekening pribadi untuk menampung dana pelanggan, namun dengan itikad baik melakukan pengurusan terhadap perseroan (dengan mencatat segala kas “keluar-masuk” dalam pembukuan perusahaan secara tertib akutansi), maka terdakwa dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri, dengan pokok gugatan agar tergugat (perusahaan / pelapor pidana) melakukan audit dari auditor independen terhadap pembukuan perusahaan semasa terdakwa menjabat, untuk menentukan berapa besar nominal, atau ada-tidaknya kerugian.
Pihak perusahaan yang tidak mengajukan gugatan perdata namun hanya melaporkan pidana, adalah salah satu indikasi bahwa pihak perusahaan pun tidak tahu pasti jumlah nominal penggelapan. Karena tiada dasar pembuktian besaran nominal yang pasti (masih simpang-siur), maka konsekuensinya perusahaan tidak dapat menuntut ganti-rugi secara perdata dari terdakwa, sekalipun telah terbukti menjadi terpidana atas pidana penggelapan.
Ketika hakim dalam perkara perdata memerintahkan perusahaan untuk melakukan audit dari jasa auditor independen, dan ternyata terbukti tidak terdapat kerugian apapun, maka putusan perkara perdata dapat menjadi novum (bukti baru) untuk mengajukan Peninjuan Kembali terhadap putusan perkara pidana.
PEMBAHASAN:
- Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
- Faktor pemberatan diatur dalam Pasal 374 KUHP : “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Terdapat tiga buah putusan yang menjadi rujukan SHIETRA & PARTNERS untuk memudahkan pemahaman perihal pidana penggelapan yang relevan dengan konteks yang beragam. Dalam putusan Mahkamah Agung RI 1895 K/Pid/2012, tanggal 23 Januari 2013, terhadap tuntutan Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Padang No. 182/Pid.B/2012/PN Pdg, tanggal 16 Juli 2012:
MENGADILI :
- Menyatakan Terdakwa Mardavid, S.E. panggilan David terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penggelapan Dalam Jabatan Secara Berlanjut’;
- Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu, dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Padang No. 172/Pid/2012/PT.Pdg., tanggal 1 Oktober 2012:
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa Mardavid, S.E. panggilan David terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penggelapan Dalam Jabatan Secara Berlanjut’;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu, dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.”
Ketiadaan laporan audit independen, kerap menjadi dalil para terdawa delik penggelapan. Terdakwa mengajukan kasasi, dengan pokok keberatan:
- mengenai barang (uang) yang didakwakan telah digelapkan tersebut, jumlahnya berapa dan untuk keperluan apa dan harusnya dibayarkan kepada siapa, belum pasti nominalnya.
- seharusnya untuk membuktikan adanya tindak pidana Penggelapan dalam suatu Perusahaan khususnya PT. Media Sainsindo, perlu:
• Dilakukan audit oleh Auditor yang akuntabel atau sekurang-kurangnya Buku Kas Keuangan perlu dijadikan bukti, untuk dapat dilakukan pengecekan dengan catatan yang ada pada bank, namun tidak dilakukan demikian dalam perkara ini;
• Dari Buku Kas Keuangan akan terlihat jelas dan tercatat semua transaksi yang terjadi baik mengenai uang masuk maupun uang keluar dan setiap bulan dilakukan pemeriksaan / pengawasan sebelum dilakukan penutupan buku, dan selama itu pula tidak ada ditemui masalah;
• Dalam persidangan oleh Penasihat Hukum Terdakwa pernah diminta dan dipertanyakan tentang Buku Kas keuangan PT. Medisia Sainsindo untuk dapat dikemukakan dan diperlihatkan dalam persidangan perkara, namun tidak ditanggapi oleh Jaksa Penuntut, seharusnya Judex Facti dengan wewenang yang ada padanya dapat saja meminta atau memerintahkan kepada Jaksa untuk membawanya ke persidangan;
• Dalam perkara ini yang diajukan sebagai bukti adalah 1 (satu) buah Buku Daftar Pembayaran Tagihan, yaitu berupa catatan mengenai tagihan yang perlu dibayar dan kapan jatuh temponya dan bukan Buku Kas Keuangan Perusahaan tentang terjadinya transaksi;
- tidak dilakukannya Audit oleh Auditor yang akuntabel, jumlah kerugian yang diderita perusahaan akibat perbuatan Terdakwa dan menjadi tanggung jawab Terdakwa tidak dapat ditentukan secara pasti, meski ketidak-pastian demikian disadari oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri, menjadi kontradiktif dengan pertimbangan hukum yang menyebabkan Terdakwa penggelapan baru bisa terbukti kalau ada kerugian yang pasti yang diderita perusahaan tempat Terdakwa bekerja.
- Sedangkan dalam hal dan kasus yang didakwa dan dituduhkan kepada Terdakwa hal ini, tidak terbukti adanya penggelapan dan kerugian yang pasti dari PT. Medisia Sainsindo yang Terdakwa lakukan.
- tidak ada kerugian yang pasti hasil audit dari auditor yang akuntabel.
- seharusnya barang bukti yang ditampilkan oleh Jaksa / Penuntut Umum dan yang menjadi dasar bagi hakim dalam memutus perkara ini adalah laporan keuangan yang dilampirkan bukti-bukti baik tagihan dari perusahaan lain, bukti setoran pengeluaran dan pemasukan lainnya dari perusahaan serta berdasarkan audit atau pengesahan laporan dari Pengawas Perusahaan;
- tidak adanya jumlah yang pasti mengenai kerugian perusahaan karena tidak dilakukannya audit oleh auditor yang akuntabel, yang senyatanya disadari oleh Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan hukumnya, telah terbukti bahwa unsur kerugian dan penggelapan yang dilakukan Terdakwa tidak dapat dibuktikan secara pasti dan meyakinkan;
- dengan tidak terbuktinya dan tidak adanya kepastian jumlah kerugian perusahaan sebagaimana terungkap di persidangan, maka “Perbuatan berkelanjutan” sudah seharusnya dinyatakan tidak dapat dibuktikan oleh Jaksa.
Terhadap keberatan dan dalil-dalil terdakwa, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan:
- Bahwa tindak pidana yang dilakukan Terdakwa sesuai dengan dakwaan Jaksa / Penuntut Umum telah sempurna, terjadi sehingga permohonan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan;
- Bahwa khusus tentang pemidanaan terhadap Terdakwa perlu diperbaiki, karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) telah kurang dalam pertimbangannya, yaitu dari segi jumlah akhir kerugian saksi pelapor yang tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) yaitu kerugian Rp238.211.964,00 telah dibayar oleh Terdakwa sejumlah Rp153.777.824,00 dan juga mobil kijang Terdakwa yaitu Toyota Kijang Krista No. BA 2678 TY masih di tangan saksi pelapor;
- Bahwa menimbang dari segi jumlah sisa yang belum dikembalikan oleh Terdakwa Rp84.434.140,00 dan mobil milik Terdakwa yang masih di tangan saksi pelapor, untuk mencegah disparitas pemidanaan dengan perkara-perkara lainnya, amar pidana terhadap Terdakwa perlu diperbaiki;
“Menimbang, bahwa namun demikian putusan Pengadilan Tinggi Padang No. 172/Pid/2012/PT.Pdg., tanggal 1 Oktober 2012 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Padang No. 182/Pid.B/2012/PN Pdg, tanggal 16 Juli 2012 harus diperbaiki sekedar mengenai lamanya pidana;
MENGADILI :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa: MARDAVID, S.E. panggilan DAVID tersebut;
“Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Padang No. 172/Pid/2012/PT.Pdg., tanggal 1 Oktober 2012, dengan perbaikan sepanjang mengenai penjatuhan pidana terhadap Terdakwa, sehingga berbunyi sebagai berikut:
MENGADILI SENDIRI:
1. Menyatakan Terdakwa MARDAVID, S.E. panggilan DAVID telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penggelapan Dalam Jabatan Secara Berlanjut’;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.”
Dalam perkara lain, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 112 K/Pid/2015 tanggal 12 Mei 2015, terdakwa selaku Direktur CV. Perintis Putra Bangsa, didakwa dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana penggelapan. Berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh Tim Auditor dari Kantor Akuntan Publik, Terdakwa dan isterinya dinilai telah melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan senilai Rp. 6.091.404.036,35. Terdakwa juga menggunakan rekening pribadi untuk menjalankan kegiatan perusahaan, namun dicatatkan dalam laporan keuangan perusahaan sebagai arus masuk—SHIETRA & PARTNERS menyebutnya sebagai Kode Etik Korporasi yang menjadi rambu pengaman bagi pengurus yang beritikad baik.
Terhadap tuntutan Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Sumedang No. 233/Pid.B/2013/PN.Smd tanggal 30 Oktober 2014, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa ‘memiliki’ menurut Arrest Hoge Raad 16 Oktober 1905 dan 26 Maret 1906 ialah pemegang barang yang menguasai atau bertindak sebagai pemilik barang tersebut, dalam hal ini berlawanan dengan hukum yang mengikat padanya sebagai pemegang barang itu;
“Menimbang, bahwa dalam melakukan transaksi keuangan antara perusahaan (CV. Perintis Putra Bangsa) dengan para customer CV. Perintis Putra Bangsa, Terdakwa dan isterinya Saudari Endah Ratna Komala telah menggunakan rekening pribadi yaitu rekening BCA No. ... atas nama Endah Ratna Komala dan rekening HSBC No. ... atas nama Perri Hendra Karya, hal ini telah dibenarkan oleh saksi-saksi yang dihadapkan ke persidangan termasuk saksi Endah Ratna Komala (Terdakwa dalam berkas perkara terpisah) maupun Terdakwa sendiri;
“Menimbang, bahwa dalam hal penggunaan rekening pribadi ini Majelis Hakim sependapat dengan pendapat ahli-ahli yang telah diajukan ke persidangan maupun yang keterangannya dibacakan di persidangan, baik ahli-ahli yang diajukan oleh Penuntut Umum yaitu Ahli PUPUNG FAISAL S.H., M.H., Ahli SOMA WIJAYA S.H., M.H., Ahli Prof. DR. EDI SETIADI. S.H., M.H. maupun ahli yang diajukan oleh Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya yaitu Ahli DJISMAN SAMOSIR, S.H., M.H. yang pada pokoknya berpendapat sebagai berikut :
- Bahwa penggunaan rekening pribadi dalam perusahaan dapat dibenarkan sepanjang hal tersebut dilakukan dengan itikad (niat) baik untuk kemajuan perusahaan, bukan untuk kepentingan pribadi;
- Bahwa apabila uang yang masuk dalam rekening pribadi tersebut tidak disetorkan ke perusahaan dan pemilik rekening bermaksud menguasainya (ada criminal mind dari pemilik rekening) maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana, akan tetapi apabila rekening tersebut hanya merupakan rekening transit dan tidak ada criminal mind dari pemilik rekening untuk menguasai uang tersebut untuk kepentingan pribadi maka perbuatan tersebut, hanya masuk dalam ranah ‘etik’ dalam mengelola perusahaan atau merupakan persoalan administratif semata;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi diantaranya Saksi BARCHIL CHOLIK, Saksi ELLY SARININGSIH, Saksi RINI KRISNAWATI, Saksi TRISNA GUMULYA, S.T., dan Saksi ENDAH RATNA KOMALA didapatkan keterangan:
- Bahwa penggunaan rekening Bank BCA adalah untuk kemudahan customer untuk melakukan pembayaran atas tagihan yang disampaikan dimana Saksi ELLY SARININGSIH memberitahukan kepada Terdakwa dan Saudari Endah Ratna Komala bahwa ada beberapa customer yang menginginkan pembayaran melalui rekening BCA;
- Bahwa pembayaran melalui rekening HSBC Terdakwa biasanya dilakukan dari rekening dolar HSBC milik customer ke rekening dolar HSBC Saudara Perri Hendra Karya dengan alasan biayanya lebih murah;
- Bahwa adanya transfer atau kiriman uang dari customer kepada perusahaan ke rekening, akan selalu ada laporan dari customer baik melalui konfirmasi bukti transfer atau melalui fax;
- Bahwa setiap pembayaran dari konsumen CV. Perintis Putra Bangsa selalu dicatat dalam pembukuan perusahaan;
- Bahwa setiap pembayaran / pemasukan dari customer ke rekening perusahaan resmi ataupun tidak resmi selalu diketahui karena selalu dilakukan cross check dengan customer yang melakukan pembayaran dan jumlahnya selalu sesuai;
- Bahwa semua transaksi keuangan yang melalui rekening perusahaan dan rekening pribadi selalu dicatat dan dilaporkan serta diinput ke dalam komputer;
- Bahwa bagian akunting selalu melaporkan secara rutin laporan keuangan perusahaan berdasarkan bukti-bukti transaksi yang diberikan bagian keuangan perusahaan dan disampaikan kepada Saudara Perri Hendra Karya;
“Menimbang, bahwa di persidangan, baik saksi ENDAH RATNA KOMALA (Terdakwa dalam berkas perkara terpisah) maupun Terdakwa PERRI HENDRA KARYA telah berhasil membuktikan bahwa dana-dana yang masuk ke rekening BCA atas nama Endah Ratna Komala dan rekening HSBC atas nama PERRI HENDRA KARYA yang merupakan pembayaran dari customer kepada perusahaan sebagaimana tercantum dalam Laporan Auditor Independen No. ... semua telah diperhitungkan dan dicatat dalam laporan keuangan perusahaan / pembukuan perusahaan yang dibuat oleh Saudari RINI KRISNAWATI dengan penjelasan sebagai berikut: ... ;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan fakta-fakta tersebut diatas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa penggunaan rekening pribadi yaitu rekening BCA No. Rek. ... atas nama ENDAH RATNA KOMALA dan rekening HSBC No. Rek. ... atas nama Perri Hendra Karya merupakan kebijakan yang diambil Saudara PERRI HENDRA KARYA (ataupun Saudari ENDAH RATNA KOMALA) sebagai Business Judgement Rule untuk mempermudah Customer CV. PERINTIS PUTRA BANGSA dalam melakukan pembayaran jasa CV. PERINTIS PUTRA BANGSA, dimana rekening-rekening pribadi tersebut hanya digunakan sebagai rekening penampung, yang nantinya dana tersebut akan ditransfer ke rekening-rekening resmi perusahaan dan/atau diambil sebagai prive yang dicatatkan dalam buku/laporan keuangan perusahaan secara transparan;
“Menimbang, bahwa dengan diperhitungkan dan dicatatkannya dana-dana yang masuk ke dalam rekening-rekening tersebut kedalam laporan keuangan perusahaan yang dibuat oleh Saudari RINI KRISNAWATI menunjukkan bahwa penggunaan rekening-rekening pribadi tersebut disertai dengan niat/itikad baik semata-mata untuk mempermudah customer melakukan pembayaran jasa CV. Perintis Putra Bangsa tanpa adanya criminal mind untuk menyelewengkan dana-dana yang masuk ke rekening-rekening tersebut guna kepentingan pribadi Saudara PERRI HENDRA KARYA dan/atau isterinya Saudari ENDAH RATNA KOMALA, dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan bahwa penggunaan rekening BCA No. Rek. ... atas nama ENDAH RATNA KOMALA dan rekening HSBC No. Rek. ... atas nama Perri Hendra Karya tersebut bukanlah suatu tindak pidana;
“Menimbang, bahwa mengenai perhitungan depresiasi aset pada kenyataannya tidak pernah dibicarakan maupun tidak pernah diatur dan disepakati pada masa awal-awal terjadinya kerja sama antara Terdakwa dan Pesero Komanditer H. OJO SOPYAN ALAMSYAH, S.H. namun sejak adanya meeting tanggal 18 November 2006 perhitungan depresiasi telah dilakukan, hal ini terlihat dari Notulen Meeting pada tanggal 3 Januari 2010 yang salah satu point kesimpulannya adalah ‘revisi Depresiasi karena nilai AT tidak sesuai’ dimana pada Notulen Meeting pada tanggal 18 November 2006 salah satu point kesimpulannya adalah ‘mencantumkan Depresiasi dalam Laporan Keuangan’, oleh karena depresiasi aset bentuknya bukanlah dana tunai ataupun suatu barang yang diterima oleh Terdakwa dalam pengurusan perseroan melainkan penurunan nilai aset/kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan dan sifatnya bisa menjadi sangat subyektif sehingga Majelis Hakim berkeyakinan hal tersebut bukanlah termasuk obyek ’penggelapan’ sebagaimana dimaksud oleh Pasal 372 KUHP maupun Pasal 374 KUHP;
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa PERRI HENDRA KARYA tersebut diatas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif Pertama atau dakwaan alternatif Kedua Penuntut Umum;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari semua dakwaan Penuntut Umum;
3. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya.”
Pihak Jaksa mengajukan kasasi, keberatan terhadap pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa depresiasi aset bentuknya bukanlah dana tunai ataupun suatu barang yang diterima oleh Terdakwa selaku Direktur. Jaksa berpendapat, seharusnya Majelis Hakim meminta kepada Terdakwa untuk membuktikan bahwa hasil audit tersebut meragukan dengan mengajukan bukti-bukti di persidangan.
Jaksa bahkan keberatan ketika Majelis Hakim tidak mempertimbangkan laporan audit sebagai alat bukti, karena menganggap hasil audit tersebut diragukan keabsahannya. Jaksa menyebutkan, Laporan Hasil Audit yang dibuat oleh Tim Auditor dari Kantor Akuntan Publik merupakan alat bukti yang sempurna, karena diterangkan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus sehingga merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP.
Pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa hasil audit oleh Auditor dari Kantor Akuntan Publik yang dalam hasil pemeriksaannya menemukan ada kelebihan pengambilan keuntungan oleh Terdakwa sebesar Rp. 1.726.314.679,54,- dan pengambilan Prive I yang tidak diketahui oleh pihak Pesero Komanditer sebesar Rp. 3.957.343.129,81,- dan audit keuangan tersebut dilakukan Auditor setelah Terdakwa keluar dari CV. Perintis Putra Bangsa dan tanpa melibatkan Terdakwa, sehingga hasil auditnya diragukan kebenarannya.
Meskipun Terdakwa dan saksi ENDAH RATNA KOMALA dapat menunjukkan bahwa dana-dana dari para customer yang masuk ke rekening pribadinya dicatat dalam laporan keuangan perusahaan, akan tetapi Terdakwa dan saksi ENDAH RATNA KOMALA tidak dapat menunjukkan bukti-bukti penggunaan uang tersebut. Saksi ELLY SARININGSIH tidak mengetahui penggunaan uang tersebut karena yang mengetahui penggunaan dana tersebut hanya Terdakwa dan saksi ENDAH RATNA KOMALA, hal tersebut sesuai dengan keterangan saksi RINI KRISNAWATI yang menerangkan yang mengetahui penggunaan dana yang ditransfer oleh para customer ke rekening pribadi Terdakwa dan ke rekening pribadi saksi ENDAH RATNA KOMALA, hanya Terdakwa dan saksi ENDAH RATNA KOMALA yang mengetahuinya.
Terhadap keberatan Jaksa, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa/Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa/Penuntut Umum tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri Sumedang merupakan putusan yang telah mempertimbangkan secara tepat dan benar terhadap fakta-fakta hukum yang relevan secara yuridis sebagaimana yang terungkap di persidangan sesuai dengan alat-alat bukti yang diajukan, yaitu ternyata Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur dengan sengaja dan melawan hukum memiliki atau menguasai barang berupa uang sebanyak Rp. 6.091.404.036,35 milik perusahaan CV. Perintis Putra Bangsa, karena terjadi salah penghitungan pembagian keuntungan yang bukan kesalahan dan tanggung jawab Terdakwa, sehingga Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan Jaksa/Penuntut Umum;
MENGADILI :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / JAKSA/PENUNTUT UMUM pada KEJAKSAAN NEGERI SUMEDANG tersebut.”
Bahkan laporan KAP pun masih dapat diragukan oleh hakim, karena pembuktian dalam pidana bersifat materiil, bukan pembuktian formil. Dalam pembuktian materiil, hakim harus benar-benar yakin seyakin-yakinnya, tidak boleh ada data nilai besaran nominal yang bias atau belum pasti, sehingga bila terdapat setitik keraguan, maka menurut asas pemidanaan: sepanjang masih ada keraguan, maka terdakwa tidak dapat divonis.
Sementara itu perihal ganti-rugi, merupakan domain perkara perdata, bukan pidana, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1148 K/Pdt/2015 tanggal 27 Agustus 2015, gugat-menggugat antara:
- BISMARCK GURUMINDA, selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat III; melawan
- KOPERASI KARYAWAN SINAR SOSRO (Kopkar Sosro), sebagai Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
1. Hj. LIANAWATI; 2. RIZKY PERDANA MULYA, sebagai Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat I, II.
Penggugat berdasarkan amanat dari Rapat Anggota Luar Biasa (RALB) Kopkar Sosro melakukan audit investigasi independen terhadap keuangan Penggugat, berdasarkan laporan hasil penerapan prosedur yang disepakati bersama aliran penggunaan dana pinjaman bank untuk periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Agustus 2009.
Dari hasil temuan auditor Kantor Akuntan Publik (KAP) pada keuangan Penggugat, telah ditemukan penyimpangan yang dilakukan oleh (alm) H. Moestafa Suradilaga selaku Ketua Kopkar Sosro dengan Tergugat III selaku Manager Keuangan Kopkar Sosro atau Pengelola Kopkar Sosro.
Atas perbuatan (alm) H. Moestafa Suradilaga dan Tergugat III, kemudian Penggugat melaporkan H. Moestafa Suradilaga dan Tergugat III ke Polda Metro Jaya, yang kemudian diproses pidana dan diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur sebagaimana putusan Nomor 1341/Pid.B/2010/PN.Jkt.Tim., tanggal 10 Februari 2011, dimana (alm) H. Moestafa Suradilaga sebagai Terdakwa I dan Tergugat III sebagai Terdakwa II dalam perkara pidana tersebut, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut berdasarkan Pasal 374 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Perkara Pidana Nomor 1341/Pid.B/2010/PN.Jkt.Tim., yang diputus pada tanggal 10 Februari 2011 tersebut, telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Adapun isi pertimbangan hukum hakim dalam putusan perkara pidana Nomor 1341/Pid.B/2010/PN.Jkt.Tim., tanggal 10 Februari 2011, disebutkan bahwa:
“Menimbang, bahwa dari bukti surat pernyataan yang ditanda-tangani oleh Terdakwa II pada September 2009 tentang nilai uang Koperasi yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan adalah:
1. Moestafa Suradilaga Rp5.325.799.300,00.
2. Bismarck Guruminda Rp4.215.219.285,00.
3. Bismarck Singapur Rp1.255.625.000,00.
4. Bismarck Ruko Rp1.186.060.000,00.
5. Since Bismarck (istri) Rp 129.676.000,00.
6. Hipson Bismarck (teman) Rp 170.000.000,00.
“Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan perbuatan para Terdakwa telah memenuhi unsur ke-enam yaitu perbuatan berlanjut, sehingga harus dinyatakan terbukti sah meyakinkan;
“Menimbang, bahwa selanjutnya dari semua unsur yang dipertimbangkan ternyata perbuatan kedua Terdakwa telah memenuhi semua unsur dari Dakwaan Kesatu yaitu Pasal 374 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, karenanya patut dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan.”
Sejumlah uang yang diambil secara melawan hak oleh (alm). H. Moestafa Suradilaga dan Tergugat III sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, adalah uang yang dipinjam Penggugat dari Bank. Oleh karena (alm). H. Moestafa Suradilaga telah meninggal dunia pada akhir bulan Juli 2011, maka gugatan Penggugat diajukan kepada para ahli waris (alm). H. Moestafa Suradilaga yakni: sang istri sebagai Tergugat I dan sang anak sebagai Tergugat II.
Berdasarkan putusan pidana, membuktikan bahwa (alm). H. Moestafa Suradilaga dan Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan Penggugat mengalami kerugian. Baik perbuatan yang dilakukan oleh (alm). H. Moestafa Suradilaga maupun perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat III, telah merugikan Penggugat yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 501/PDT.G/2011/PN.JKT.TIM tanggal 3 Oktober 2012, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI:
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad);
3. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi atas kerugian materiil kepada Penggugat sebesar Rp5.325.799.300,00 dan menghukum pula Tergugat III untuk membayar ganti rugi atas kerugian materiil kepada Penggugat sebesar RP4.215.219.285,00;
4. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta kekayaan milik Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III berupa: ....”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat III, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 525/PDT/2013/PT.DKI Tanggal 30 Januari 2014. Selanjutnya, Tergugat III mengajukan kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal 18 September 2014 dan jawaban memori tanggal 19 November 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan permohonan kasasi sebagaimana termuat dalam memori kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan dan sifatnya pengulangan dan Judex Facti telah tepat dan benar dalam pertimbangannya serta tidak salah menerapkan hukum karena berdasarkan bukti P.3 berupa putusan pidana Nomor 1341/Pid.B/2010/PN.Jkt.Tim yang telah berkekuatan hukum tetap telah terbukti pihak Tergugat III telah melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang dilakukan secara bersama-sama dan perbuatan pidana yang terbukti dilakukan oleh Tergugat III bersama almarhum H. Moestafa Suradilaga tersebut ternyata telah merugikan pihak Penggugat;
“Bahwa atas perbuatannya tersebut mewajibkan pihak Tergugat III dan ahli waris almarhum H. Moestafa Suradilaga yakni Tergugat I dan II untuk membayar ganti kerugian kepada pihak Penggugat sekarang Termohon Kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Bismarck Guruminda tersebut harus ditolak;
MENGADILI :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi BISMARCK GURUMINDA tersebut.”
KESIMPULAN:
Belum terdapat kesatuan praktik peradilan, bahkan Mahkamah Agung RI belum memiliki pendirian baku, apakah terhadap dakwaan penggelapan, diwajibkan adanya alat bukti berupa laporan Audit dari Auditor Independen, atau tidaknya.
Idealnya, pihak saksi pelapor mengajukan bukti berupa dokumen hasil audit KAP, dimana terdakwa diberi hak untuk menyanggah isi laporan audit, yang membuktikan adanya kerugian pada perseroan akibat penggelapan. Dalam delik umum, beban pembuktian ada pada pihak Jaksa Penuntut, sementara beban pembuktian terbalik hanya dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi. Namun, ketika antara kekayaan pengurus dan kekayaan perseroan dicampur-baur tanpa tertib asas akuntansi, maka beban pembuktian pun dapat berbalik pada sang pengurus.
Oleh karenanya, ruang “kosong” aturan hukum pembuktian pidana demikian membuka ruang perdebatan, sepanjang argumentasi pihak terdakwa cukup logis untuk disadari dan dimaklumi hakim yang memeriksa dan memutus. Untuk itu pertanyaan kontra-aduan yang dapat diajukan, antara lain:
1.  Adakah keterangan saksi dari pihak pelanggan / supplier, yang menyatakan bahwa ada penyerahan sejumlah dana oleh pembeli namun barang tidak diberikan oleh perusahaan, atau ada penyerahan sejumlah barang oleh supplier namun harga tidak dilunasi?
2.  Alat bukti apa yang diajukan Jaksa Penuntut, apakah telah terpenuhi minimum 2 alat bukti?
3.  Berapa nilai kerugian yang diklaim pelapor? Apakah nilai klaim tersebut ternyata fiktif atau tidak benar, atau setidaknya hanya berupa tuduhan “sumir” berdasarkan asumsi bahwa selama ini perseroan mencetak keuntungan namun dilaporkan mengalami kerugian?
4.  Adakah pihak yang independen seperti KAP yang memeriksa pembukuan untuk membuktikan ada atau tidaknya kerugian bagi perusahaan?
5.  Apakah pembelaan diri terdakwa saat di persidangan telah memadai, seperti mengajukan alat bukti penyanggah seperti dokuman, atau saksi-saksi?
Bila memang atas tuduhan demikian belum pernah dibuktikan lewat laporan auditor independen, maka bila dikemudian hari terbit hasil investigasi auditor KAP, maka  dokumen laporan tersebut dapat dijadikan alat bukti baru (novum) dalam upaya hukum Peninjauan Kembali perkara pidana.
Meski demikian, ketika harta kekayaan pengurus dan harta kekayaan perseroan tercampur-baur, tanpa adanya pencatatan apapun dalam pembukuan perseroan, maka dapat dipastikan terdapat “rembesan” kekayaan perseroan yang dinikmati sang pengurus secara pribadi. Atau bisa juga terjadi, selama ini harta kekayaan pribadi sang pengurus yang telah memberi subsidi bagi kegiatan operasional perseroan.
Dalam sudut pandang falsafah, ada kesalahan secara moril dari seorang pengurus yang memakai rekening pribadi terkait hak dan kewajiban sebuah badan hukum: merugikan kepentingan para pemegang saham Perseroan Terbatas, maupun para penanam modal (sekutu pasif seperti dalam badan usaha CV).
ANALISA PENUTUP SHIETRA & PARTNERS:
Untuk mengetahui esensi pengaturan delik penggelapan, pertanyaan utama yang harus kita ajukan ialah: apakah pasal pidana penggelapan, tergolong sebagai delik formil ataupun delik materiil? Delik formil tidak mensyaratkan telah terjadinya kerugian pada korban, namun perilaku tertentu secarra spesifik yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana. Semetara delik materiil mensyaratkan terjadinya kerugian bagi korban.
Dalam delik formil, adalah perbuatannya yang dilarang, bukan akibatnya. Contoh delik formil, ialah pasal pidana penggunaan surat palsu, dimana korban tidak harus tertipu untuk dapat dijeratnya pelaku dengan pasal pidana penggunaan surat palsu. Untuk mengetahui apakah pidana penggelapan termasuk dalam delik formil ataukan delik materiil, maka mari kita simak kembali kaedah norma Pasal 372 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara.”
Tidak terkandung kaedah berupa frasa “sehingga menimbulkan kerugian bagi korban”, mengindikasikan delik formil suatu ketentuan pidana penggelapan. Karena adanya kerugian atau tidaknya pada korban, tidak lagi menjadi relevan dalam isu tindak pidana penggelapan, maka penghukuman semata ditujukan kepada sifat dari perbuatan itu sendiri yang pada dasariahnya keliru.
Meski demikian, dalam derajat tertentu, SHIETRA & PARTNERS menilai bahwa tipid penggelapan khusus Pasal 374 KUHP (pasal spesialis terkait jabatan pekerjaan) ialah delik formil sekaligus delik materiil, karena bila ternyata terbukti bahwa tidak terdapat kerugian apapun bagi perseroan selama pengurusan tersangka, maka apakah masih relevan terhadap pengurusan demikian dijatuhi pemidanaan penggelapan?
Ibarat seorang penyewa mobil rental yang baru mengembalikan kendaraan sewaan lewat beberapa hari dari jatuh tempo, maka sejatinya saat kendaraan tersebut tidak dikembalikan sesuai perjanjian, telah terjadi pidana penggelapan Pasal 372 KUHP. Namun karena pada akhirnya tetap saja kendaraan sewa dikembalikan oleh penyewa, meskipun telat, pihak pemberi sewa hanya membebani denda tarif sewa, bukan pidana penggelapan, karena memang tiada kerugian apapun ketika penyewa melunasi uang sewa dan sekaligus denda tarif yang diberlakukan—karena bagaimana objek kendaraan sewa pada akhirnya dikembalikan berdasarkan kesadaran pribadi sang penyewa.
Kembali pada persoalan: apakah dapat disebut telah terjadi tindak pidana penggelapan bila Jaksa tidak mampu menyebutkan secara pasti nominal kerugian akibat tuduhan penggelapan yang dilakukan seorang tersangka / terdakwa? Bila tiada nominal yang pasti, dapatkah kita asumsikan bahwa selama ini justru perseroan mencetak kerugian selama berdiri dan beroperasi, alih-alih mendapat keuntungan?
Namun ketika “pintu” peluang verifikasi justru ditutup oleh pihak pengurus perseroan dengan mencampur-aduk kekayaan perseroan dengan kekayaan pribadi, bahkan tidak mencatat setiap arus saldo keluar-masuk keuangan perseroan, maka sama artinya tertutup sudah peluang pembelaan diri sang pengurus—oleh sebab sedikit banyaknya, pastilah “merembes” kepada harta dan kepentingan pribadi sang pengurus. Kecuali, sang pengurus dapat membuktikan bahwa kekayaan pribadinya justru berkurang akibat mensubsidi kegiatan operasional perseroan yang diurusnya, terutama bila sang pengurus juga adalah pemilik saham / pendiri perseroan.
Ketika sang pengurus yang disebut terakhir demikian tidak mendokumentasikan segala arus keluar-masuk saldo dalam rekening pribadinya, sebagai bukti bahwa setiap sen kas perseroan yang masuk ke dalam rekening pribadi yang bersangkutan dipakai untuk keperluan perseroan, sama artinya pengurus bersangkutan telah menjatuhkan vonis bagi dirinya sendiri.
Itikad apakah yang ada dibalik perbuatan menggunakan rekening pribadi sang pengurus, tidak mencatat dalam pembukuan perseroan, bahkan tidak membuat laporan keuangan tahunan bagi para pemegang saham? Indikasi yang dapat ditarik dari pertanyaan tersebut, ialah: terjadinya penyalahgunaan wewenang (ultra vires). Alat bukti dalam hukum acara pidana, bukan hanya berupa surat maupun keterangan saksi, namun juga petunjuk. Itikad yang menjadi isi niat batin pelaku, sejatinya sudah mampu disimpulkan dari pertanyaan terkait etika pengelolaan korporasi tersebut diatas. Prinsip business judgement rules tidak berlaku, ketika pengurus perseroan tidak mampu mempertanggung-jawabkan pengurusan yang dilakukannya, yakni dengan cara tidak menunjukkan itikad baik apapun selama masa kepengurusan yang bersangkutan.
Dengan demikian, usai sudah polemik perihal “wajib atau tidaknya tuduhan pidana penggelapan disertai bukti audit akuntan publik”. Pidana penggelapan, ialah delik formil bermuatan delik materiil—demikian penulis mengistilahkannya guna memudahkan pemahaman.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.