Persaingan Usaha Tidak Sehat Jasa Asuransi oleh Perbankan

LEGAL OPINION
Question: Pabrik perusahaan kami sudah dilindungi polis asuransi. Nah, masalahnya, ketika hendak mengajukan fasilitas kredit modal kerja ke bank, malah disuruh untuk diasuransikan lagi pabrik kami yang akan dijadikan agunan kredit. Katanya itu SOP mereka, dan ternyata perusahaan asuransi yang diwajibkan dipakai debitor ialah anak perusahaan dari bank itu. Itu namanya monopoli usaha, bukan sih?
Brief Answer: Dalam konteks persaingan usaha tidak sehat, praktik demikian kerap dilakukan oleh perbankan “pelat merah” maupun perbankan nasional swasta lainnya, dengan istilah sebagai “bundling”. Disayangkan, hingga saat kini praktik di Mahkamah Agung RI masih konservatif, dalam artian pola berpikirnya masih orthodoks, tanpa mau menyadari bahaya dibalik praktik “bundling” yang sebenarnya merupakan salah satu indikasi praktik persaingan usaha tidak sehat.
Jika sudah demikian, sanksi sosial berupa embargo / boikot terhadap perbankan demikian oleh masyarakat calon debitor, menjadi satu-satunya jalan terakhir, dengan cara memilih kreditor lain yang lebih mengedepankan asas / prinsip fairness dalam pelayanannya dengan saling menjunjung harkat dan martabat masing-masing.
Negara, dalam hal ini perbankan yang bernaung dibawah BUMN/D, semestinya memberikan teladan praktik perbankan yang baik, bukan justru menjadi contoh yang buruk untuk menjadi preseden buruk dikemudian hari dengan diberikan pembenaran diri berupa justifikasi hukum untuk praktik “bundling” demikian.
PEMBAHASAN:
Sebagai cerminan praktik peradilan terkait “bundling” yang sangat menyerupai fakta hukum demikian, untuk itu SHIETRA & PARTNERS secara tepat dapat merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa persaingan usaha register 703 K/Pdt.Sus-KPPU/2015 Nomor tanggal 26 Januari 2016, perkara antara:
- KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU), sebagai Pemohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan; melawan
I. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (Persero) Tbk.; II. PT. ASURANSI JIWA BRINGIN JIWA SEJAHTERA; III. PT. HEKSA EKA LIFE INSURANCE, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Pemohon Keberatan I, II, dan III.
Singkatnya, KPPU menjatuhkan hukuman bagi praktik Bank BRI yang mewajibkan para nasabah debitornya untuk mengasuransikan diri sang debitor yang mengajukan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR), pada perusahaan asuransi yang sebenarnya adalah perusahaan asuransi milik /afiliasi Bank BRI itu sendiri, dimana hal tersebut menutup pilihan bebas para debitornya untuk memilih perusahaan asuransi sendiri, terkait faktor-faktor seperti pilihan biaya polis asuransi, maupun jenis cakupan perlindungan asuransinya, kualitas pelayanan dan tindak-lanjut klaim, dsb.
Namun terhadap penghukuman dan sanksi yang dijatuhkan oleh KPPU, para Pemohon Keberatan kemudian mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU sebagaimana tertuang dalam register Nomor 05/KPPU-I/2014, tanggal 11 November 2014, dengan amarnya sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor III terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
3. Menetapkan pembatalan perjanjian-perjanjian yang memuat persyaratan kewajiban Debitur KPR BRI (yang) hanya menggunakan asuransi jiwa dari konsorsium Terlapor II dan Terlapor III;
4. Memerintahkan kepada Terlapor I untuk menghentikan kegiatan yang menghalangi perusahaan asuransi jiwa lainnya untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
5. Memerintahkan Terlapor I untuk membayar denda sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran diBidang Persaingan Usaha);
6. Memerintahkan Terlapor II untuk membayar denda sebesar Rp19.000.000.000,00 (sembilan belas miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran dibidang Persaingan Usaha);
7. Memerintahkan Terlapor III untuk membayar denda sebesar Rp13.000.000.000,00 (tiga belas miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran dibidang Persaingan Usaha).”
KPPU mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang ternyata diputuskan tidak dengan “suara bulat” antar Hakim Agung, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan dari Pemohon Keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tertanggal 21 Mei 2015, dan kontra memori kasasi tertanggal 24 Agustus 2015, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa pertimbangan KPPU dalam putusannya yang menyatakan Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ‘harus ditafsirkan tidak secara sempit dan limitative’ telah bertentangan dengan Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun 2009 yang menentukan ketentuan Pasal 5 huruf a tersebut tidak boleh ditafsirkan secara luas, sehingga pertimbangan dan putusan Judex Facti dinilai sesuai hukum;
- Bahwa dari fakta yang terbukti di persidangan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian yang dibuat antara Termohon Kasasi I dengan Termohon Kasasi II dan III masih dalam koridor Prudential Banking Principle sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Perbankan dan Peratuaran Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Resiko Bagi Bank Umum dalam menjalankan kegiatan usahanya;
- Bahwa dari fakta ini Termohon Kasasi I tidak melanggar ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
- Bahwa Pemohon Keberatan telah membuka kesempatan seluas-luasnya bagi Perusahaan Asuransi lain selain Termohon Kasasi II dan III untuk presentasi dalam memasarkan produknya, akan tetapi setelah melalui seleksi tidaklah semua perusahaan asuransi memenuhi standar yang harus dipatuhi oleh Termohon Kasasi I karena harus mengacu pada ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan SEBI;
- Bahwa fakta Terms and Conditions yang sulit sehingga para perusahaan asuransi lain secara alami tidak bisa melakukan kerjasama dengan Termohon Kasasi II, bukan merupakan pelanggaran atas ketentuan Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
- Bahwa Para Termohon Kasasi II dan III telah melaksanakan kegiatan perasuransian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007;
- Bahwa dengan demikian Putusan Judex Facti (Pengadilan Negeri) yang mengabulkan permohonan Pemohon telah sesuai hukum;
“Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Anggota Syamsul Ma’arif, S.H., LL.M., Ph.D., berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Bahwa pokok perkara a quo adalah tindakan PT. Bank Rakyat Indonesia / Pemohon Keberatan I / Terlapor I mengarahkan Pemohon Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) PT. BRI untuk mengambil (membayar premi) Asuransi Jiwa (referensi bancassurance) hanya dari produk konsorsium antara Pemohon Keberatan II / Terlapor II dengan Pemohon Keberatan III / Terlapor III;
b. Bahwa menurut Termohon Keberatan (KPPU RI) kegiatan atau perjanjian tersebut melanggar ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sedangkan Judex Facti berpendapat bahwa kegiatan/perjanjian tersebut bukan pelanggaran karena tidak ada tegoran dari otoritas perbankan (Bank Indonesia (BI) dan dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
c. Pertimbangan Judex Facti tersebut adalah pertimbangan yang keliru dengan alasan sebagai berikut:
i. Pertama, mengenai tidak adanya teguran dari Bank Indonesia, bahwa fungsi Bank Indonesia sebagai regulator perbankan dan bukan regulator/otoritas persaingan usaha, sehingga Bank Indonesia tidak berwenang menilai ada atau tidaknya pelanggaran oleh bank terhadap Undang-Undang Persaingan Usaha, oleh karenanya pertimbangan Judex Facti bahwa Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan tidak memberikan tegoran terhadap PT. BRI dalam perkara a quo sehingga perjanjian tersebut dapat dibenarkan adalah pertimbangan yang tidak berdasar alasan yang sah;
ii. Kedua, mengenai ketentuan Pasal 50 huruf a, bahwa penerapan ketentuan tersebut terhadap perkara a quo tidak tepat dengan alasan sebagai berikut:
1. Bahwa telah benar, sesuai dengan kebijakan otoritas perbankan guna memperkecil resiko kerugian dalam pemberian kredit, maka pihak bank diperbolehkan mengkaitkan produk bank dengan produk asuransi (bancassuance) tindakan mana bukanlah substansi pokok perkara a quo sehingga pertimbangan Judex Facti bahwa tindakan Para Pemohon Keberatan dapat dibenarkan, karena dimaksudkan untuk melaksanakan kebijakan otoritas perbankan mengenai manajemen resiko adalah pertimbangan yang keliru;
2. Bahwa pokok perkara a quo sebagaimana diuraikan diatas adalah mengenai tindakan pembatasan yang diberlakukan oleh Termohon Keberatan I terhadap Pemohon KPR dalam menutup premi asuransi jiwa yaitu hanya produk dari konsorsium, pembatasan mana tidak diamanatkan atau diatur secara tegas baik dalam peraturan perbankan maupun perasuransian;
3. Bahwa sesuai Peraturan KPPU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pasal 50 huruf a pengecualian terhadap perbuatan atau perjanjian dari berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 harus dimuat dalam produk peraturan perundang-undangan yang sejajar in casu Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perasuransian, Undang-Undang mana tidak mengatur secara tegas bahwa perjanjian dalam perkara a quo adalah perjanjian yang dikecualikan dari berlakuknya ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Bahwa selain itu pelaku usaha yang dikecualikan adalah pelaku usaha yang ditunjuk oleh pemerintah, penunjukan mana tidak terbukti adanya dalam perkara a quo;
4. Bahwa selain itu Judex Facti tidak cermat dalam menilai fakta persidangan dikaitkan dengan kebijakan otoritas perbankan mengenai manajemen resiko sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 13/35/DPNP., tanggal 23 Desember 2010, dimana sesuai fakta persidangan Pemohon KPR BRI dalam memilih produk asuransi jiwa hanya diperbolehkan memilih 1 (satu) produk asuransi jiwa yaitu produk dari konsorsium terdiri dari Pemohon Keberatan II atau Pemohon Keberatan III, pembatasan mana justru bertentangan dengan ketentuan bagian II huruf C angka 1 SEBI Nomor 12/35/DPNP., yang mengharuskan pihak bank untuk memberikan kebebasan pada Pemohon Kredit termasuk Pemohon KPR BRI untuk memilih salah satu dari 3 (tiga) produk asuransi;
5. Bahwa oleh karenanya pertimbangan Judex Facti bahwa perbuatan / perjanjian dalam perkara a quo adalah termasuk perbuatan dan atau perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pertimbangan yang keliru;
d. Bahwa putusan Termohon Keberatan (KPPU RI) sudah tepat dan benar dengan pertimbangan sebagai berikut:
i. Bahwa sesuai dengan hasil pemeriksaan di persidangan terbukti bahwa Termohon Keberatan I melalui perjanjian kerjasama penutupan asuransi jiwa yang dibuat oleh Pemohon Keberatan I dengan Pemohon Keberatan II dan III, telah membatasi hak Pemohon KPR di lingkungan BRI dalam memilih asuransi jiwa kecuali produk konsorsium antara Termohon Keberatan II dan III, sehingga telah benar perjanjian kerjasama dalam perkara a quo adalah perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
ii. Bahwa selain itu perjanjian kerjasama dalam perkara a quo berpendapat pada terhalangnya pelaku usaha pesaing untuk masuk ke dalam pasar KPR BRI sehingga telah benar perjanjian a quo adalah termasuk kegiatan penguasaan pasar secara melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas Hakim Agung Syamsul Ma’arif, S.H., LL.M., Ph.D., berpendapat bahwa putusan Pemohon Kasasi (KPPU) dapat dibenarkan, sehingga terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi dan membatalkan putusan Judex Facti dalam perkara a quo;
“Menimbang, bahwa oleh karena terdapat beda pendapat dalam musyawarah, maka putusan diambil dari suara terbanyak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor 615/Pdt.KPPU/2014/PN.Jkt.Pst., tanggal 23 April 2015, dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang Undang, oleh karena itu permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.