ARTIKEL HUKUM
Semboyan utama Hakim Konstitusi Republik Indonesia: “Saya seorang hakim. Seorang hakim independen dan bebas dalam memutuskan serta diberi imunitas. Maka, saya bebas serta imun. Kami memeriksa dan memutus berdasarkan selera kami, bukan demi kepastian hukum. Dan, soal selera, tidak dapat diperdebatkan. Biarkan saja para pencari keadilan berspekulasi dan ber-ju-di terhadap selera hakim yang bisa jadi memutus A, bisa juga memutus B, tergantung mood dan pendekatan-pendekatan politis.”
Itulah kalimat sakti kalangan hakim di Indonesia yang mengadopsi sistem budaya hukum Eropa Kontinental: Hakim bebas dan independen. Negeri Belanda, yang menjadi kiblat sistem hukum Civil Law, kini sudah mulai merasakan “panas-dingin” akibat “kebebasan seorang hakim” di Hoge Raad.
Terbukti bukan hanya membuat bingung karena tiada lagi kepastian hukum yang tersisa bagi para masyarakat selaku pencari keadilan untuk dipegang dan dijadikan pedoman normatif hukum, namun juga kalangan profesi hukum seperti konsultan hukum maupun kalangan advokat di Tanah Air. Tiada lagi derajat paling minimum prediktabilitas dalam hukum. Keadilan macam apakah yang ditawarkan oleh sesuatu yang tidak pasti, namun bergantung pada “selera” (bahkan “mood”) dari seorang hakim?
Kini mari kita simak dialog empat mata antara seorang spekulan / makelar kasus (Markus) dan seorang Hakim Konstitusi yang sedang mentransaksikan serta menegosiasikan amar putusan:
- Markus : “Ini apa ndak apa-apa, bila Pak Hakim membuat putusan yang menyimpang dari putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang telah berkekuatan hukum tetap?”
- Hakim Konstitusi : “Ah, ngak apa-apa lah, kan hakim itu bebas dan independen. Bebas terabas undang-undang, termasuk undang-undang tentang MK RI itu sendiri. Bebas juga merobek-robek putusan MK RI terdahulu. Ngak ada itu yang namanya daya mengikat preseden di Indonesia. Ngak main lah, kalau soal yurisprudensi di Indonesia. Ngak ada ceritanya hakim terikat oleh putusan sebelumnya. Lagipula, belum pernah ada sejarah di Indonesia, hakim dihukum penjara karena menyimpangi preseden. Bahkan membuat putusan menyimpang dari undang-undang saja, ngak ada sanksinya. Namanya juga, hakim bebas dan independen saat memutus.”
- Markus : “Kedengarannya menarik.”
- Hakim Konstitusi : “Makanya enak banget ini kursi empuk hakim. Presiden aja kalah prestis dan kalah berkuasa dengan seorang presiden. DPR aja lobinya ke Hakim Konstitusi, bukan ke presiden untuk melemahkan KPK. Importir daging sapi berpenyakit dari India saja, nego-nya ke Mahkamah Konstitusi, agar usaha importasinya dilegalkan dan dapat justifikasi sehingga para aktivis ‘mati kutu’. Biar aja masyarakat Indonesia jadi bego, makanin daging merah impor, sementara ikan-ikan tidak laku di pasar, meski negara kita negara maritim.”
- Markus : “Makin mantap kedengarannya. Jadi, bisa ngak putusannya dibuat seperti ini, ... atau seperti itu?”
- Hakim Konstitusi : “Bisa banget. Gampang, kecil itu, mah. Setiap Hakim Konstitusi selalu punya dua versi putusan. Tergantung siapa yang melakukan pendekatan dan nego-nego gitu deh, kaya elu ngak tahu aja. Semua bergantung pada selera hakim. Se-simple itu. Elu mau putusan yang belok ke kiri, atau putusan yang belok ke bawah, itu bisa diatur. Tinggal setting aja. Namanya juga hakim, siapa yang mau protes, gue yang berkuasa memutus, bukan itu para aktivis yang bau keringat.”
- Markus : “Ngak takut nanti dikritik masyarakat karena putusannya nyimpang 180 derajat dari putusan MK RI sebelumnya?”
- Hakim Konstitusi : “Anjing menggonggong, kafilah berlalu.”
- Markus dan Hakim Konstitusi : “HAHAHAHA ...”
- Markus : “Wah, enak banget ini, jadi senang kami dan para bandit lainnya untuk mengajukan uji materiil ke MK atau untuk pendekatan agar gugatan para aktivis dianulir bila mengancam penguasa, kawan-kawan kriminil, dan pengusaha nakal.”
- Hakim Konstitusi : “Tergantung nego-nya, lah. Mau barter juga boleh. Ini kebetulan mau habis masa jabatan saya. Kalau you bisa kasih I masa jabatan perpanjangan 5 tahun lagi, I kasih you kemenangan dengan tolak mentah-mentah itu gugatan uji materiil para cecunguk aktivis kurang kerjaan.”
- Markus : “Gampang itu mah, sarangnya setan dan bandit, ya di tempat kami itu, Dewan Perwakilan Preman. Gampang, itu bisa diatur. Serangan fajar bisa diatur. Tapi, kalau cuma Pak Hakim seorang diri aja, gimana bisa menangnya? Kan ada delapan Hakim Konstitusi lainnya?”
- Hakim Konstitusi : “Ah, kaya you ngak tahu aja. Dulu si bego Patrialis Akbar aja bisa bikin delapan Hakim Konstitusi lainnya bertekuk-lutut, bahkan putusan MK RI sebelumnya yang telah inkracht menyatakan Maximum Security importasi daging sapi, ternyata kini bisa disetir menjadi diputuskan dengan suara bulat yang menjadikan Maximum Security menjadi Relative Security. Kini semua aktivis tidak lagi bisa protes. Sudah dikunci dengan putusan, impor aja itu sapi berkuman, legal kok kini, sudah ada justifikasinya. Gue yang pegang konstitusi. Gampang itu mah, namanya juga lobi-lobi politik. You ini pura-pura belaga bego aja, kaya ngak pernah lobi-lobi politik jual-beli pasal di parlemen.”
- Markus dan Hakim Konstitusi : “HAHAHA ...”
Simak artikel yang ditulis oleh Aji Prasetyo, berjudul “Kontradiksi Putusan Kedudukan KPK, Begini Pandangan Pakar”, 11 Pebruari 2018, sebagaimana dikutip dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a805fe0efdd5/kontradiksi-putusan-kedudukan-kpk--begini-pandangan-pakar :
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam ranah eksekutif, sehingga DPR bisa mengajukan hak angket masih menjadi polemik. Alasannya, sebagian pihak menganggap KPK merupakan lembaga independen yang menjalankan fungsi yudisial (yudikatif) yang tidak bisa diintervensi kekuasaan manapun termasuk presiden dan semua unsur pemerintahan.
Makanya, pada 2006 silam, MK telah menempatkan posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan sebagai lembaga yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif) melalui putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006. Kontras, kini MK justru telah menempatkan KPK sebagai lembaga eksekutif khusus yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi, sehingga bisa menjadi objek hak angket DPR melalui putusan MK No. 36/PUU-XV/2017.
Lalu, saat ini dimana posisi atau kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia? Apakah masuk lembaga yudikatif, eksekutif, atau di luar teori trias politika (yang dicetuskan oleh Montesquie) yang memisahkan tiga cabang kekuasaan negara itu (eksekutif, yudikatif, legislatif).
Pakar hukum tata negara Refly Harun berpendapat putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 yang diambil oleh MK itu harus dinilai beberapa aspek. Yakni, masalah moralitas dan materi; apa sebab KPK didirikan; dan hakikat dari hak angket itu sendiri. Refly pun menjabarkan satu per satu tentang putusan yang dianggap sebagian kalangan termasuk dirinya menuai polemik.
Dari sisi moralitas, menurut Refly sulit dibantah jika putusan tersebut tidak berkaitan dengan kabar yang berkembang di masyarakat mengenai adanya barter Ketua MK Arief Hidayat dengan pihak DPR. “Barternya apa, barternya memperpanjang jabatan, lalu kebetulan ada dua hakim MK yang inwaiting perpanjangan masa jabatan juga yang menolak permohonan ini. Kemudian ada dua hakim dari MK yang satu paket dengan ketua,” kata Refly.
Menurut Refly, melihat hal tersebut, sulit menurutnya meyakinkan publik jika putusan tentang hak angket dicapai melalui pemikiran mendalam. Apalagi, faktanya Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi etik kepada Arief Hidayat karena terbukti melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPR Komisi III tanpa surat undangan resmi. Pertemuan inilah yang diduga merupakan lobi Arief agar masa jabatannya diperpanjang.
Terkait uji materi Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang berbunyi; “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Menurut Refly, pasal itu sendiri hingga saat ini tidak pernah dibatalkan atau ada perubahan, sehingga hak angket menurut pasal tersebut yaitu berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Dan ini, lanjut Refly, terlihat jelas batasan atau limitasi kepada siapa seharusnya hak angket diajukan yaitu kepada pelaksana undang-undang atau kebijakan yang berada dibawah koordinasi presiden.
“Menurut saya MK sendiri tidak memberi kepastian hukum dalam putusannya. Jadi pasal itu tetap eksis. Saya setuju dengan dissenting opinion, kalau kita lihat penjelasan otentik kepada siapa hak angket ditujukan, ya lihatlah penjelasan Pasal 79 UU MD3 itu,” kata dia.
KPK sendiri, menurut Refly merupakan lembaga independen yang dalam alam demokrasi modern saat ini tidak hanya bisa menjalankan tugas sebagai lembaga eksekutif, tetapi juga yudikatif. “Para ahli di dunia ini menyebut cabang kekuasaan yang keempat. Jadi meletakkan KPK sebagai eksekutif, menurut saya itu kekeliruan luar biasa yang dibuat MK,” terang Refly.
Selanjutnya, mengenai hak angket itu sendiri menurut Refly, hakikatnya adalah pengawasan cabang legislatif ke eksekutif. Dalam sistem parlementer berlaku supremasi parlemen di mana pengawasan bisa merupakan kontrol kepada presiden agar tidak menjadi otoriter. Dan ini bisa berujung pada mosi tidak percaya kepada kepala negara.
Dalih konstitusionalitas hak angket DPR kepada KPK ditafsirkan sebagai pengawasan juga tidak sepenuhnya tepat. Sebab, praktiknya selain bertanggung jawab kepada publik, KPK juga bisa diawasi oleh lembaga eksekutif ataupun legislatif. Contohnya, bila memang kinerja dianggap tidak memuaskan, DPR bisa menanyakan pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP). Selain itu, pihak Senayan bisa mengurangi, bahkan menunda pencairan anggaran (KPK) melalui APBN.
Harus ada alasan rasional.
Sementara itu, mantan hakim MK Harjono berpendapat pembagian tiga cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif saat ini sudah tidak relevan lagi. Apalagi, UUD Tahun 1945 saat ini juga sudah mengenal lembaga yang tidak masuk dalam kategori teori trias politica tersebut, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Jadi kalau kita mau lihat janganlah terpaku ini masuk mana, tapi lihat kewenangannya saja. Kewenangan itu kemudian yang paling bisa untuk melaksanakan itu gimana? Jadi saya nggak kekeuh itu masuk mana eksekutif atau yudikatif. Itu zamannya Montesquie, zaman lama itu. zaman demokrasi yang kemudian ada persoalan transparansi itu sudah ditambah lembaga-lembaga lain dan tidak masuk salah satu dari itu (trias politica). Jangan terbelenggu dengan yudikatif, eksekutif,” ujar Harjono kepada Hukumonline.
Hanya saja, dia mengakui perbedaan putusan MK tahun 2006 dan 2018 ini memang cukup menarik (secara akademis) untuk dibahas. Sebab, selain “jenis kelamin” KPK dipertanyakan (eksekutif atau yudikatif), kedua putusan tersebut bisa membuat bingung majelis MK berikutnya ketika menguji kasus serupa. Nantinya, apakah akan mengikuti putusan MK pada 2006 atau 2008?
“Karena itu, MK tidak hanya menyelesaikan sengketa, tapi melengkapi kenapa itu jadi rasionalitas. Nanti pokoknya diselesaikan, karena putusan itu nanti jadi panduan bagi (hakim) berikutnya, dia harus menjelaskan. Ya moga-moga hakim berikutnya bisa menata, kalau enggak menata bisa morat-marit, di situ pentingnnya hakim menguasai UUD, bukan pasalnya doang,” tutur Harjono.
- Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006:
Perihal Pasal 2 UU KPK Juncto Pasal 20 UU KPK : Bahwa dalam perkembangan sistem ketatanegaraan saat ini, sebagaimana tercermin dalam ketentuan hukum tata negara positif di banyak negara, terutama sejak Abad ke-20, keberadaan komisi-komisi negara semacam KPK telah merupakan suatu hal yang lazim. Doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan kini telah jauh berkembang, antara lain, ditandai oleh diadopsinya pelembagaan komisikomisi negara yang di beberapa negara bahkan bersifat kuasi lembaga negara yang diberi kewenangan melaksanakan fungsi-fungsi kekuasaan negara
Bahwa KPK dibentuk dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945
Perihal Pasal 3 UU KPK : Bahwa penegasan tentang independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya justru menjadi penting agar tidak terdapat keragu-raguan dalam diri pejabat KPK. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU KPK, pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi terutama adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Dengan kata lain, pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi itu adalah pihak-pihak yang memegang atau melaksanakan kekuasaan negara.
- Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017: KPK Ranah Eksekutif.
Dalam Konsiderans Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut sebagai UU KPK) dinyatakan: bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Berpijak dari Konsiderans tersebut, yang dimaksud sebagai lembaga pemerintah yang dalam hal ini menangani perkara tindak pidana korupsi ialah Kepolisian dan Kejaksaan.
Hal ini dapat diketahui dengan mengingat bahwa tugas penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan. Dengan demikian, dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya lembaga negara in casu Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami public distrust dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, dibentuklah KPK. Dalam konstruksi demikian, secara tugas dan fungsi, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif. Bahkan lebih lanjut, tugas utama KPK sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ialah melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam hal ini menjadi trigger mechanism bagi Kepolisian dan Kejaksaan.
Mengacu pada pendapat Saskia Lavrijssen, 2008, KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen, dari departemen eksekutif, akan tetapi sebenarnya “eksekutif”. Dalam pandangan Mahkamah, KPK sebenarnya merupakan lembaga di ranah eksekutif, yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK jelas bukan di ranah yudikatif, karena bukan badan pengadilan yang berwenang mengadili dan memutus perkara. KPK juga bukan badan legislatif, karena bukan organ pembentuk undang-undang.
Benar bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Posisinya yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 pada halaman 269 dinyatakan, independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dia melanjutkan dunia hukum dikenal istilah yurisprudensi, sehingga harus menghargai dan mengikuti putusan yang ada sebelumnya. Namun, menurut Harjono, hal itu bukan berarti perbedaan putusan tidak diperbolehkan.
“Kalau memang itu beda harus dijelaskan mana bedanya dengan yang dulu, harus diberi rasionalitas. Di negara common law, ada istilah yang artinya hakim membedakan dengan kasus sebelumnya. Apalagi pendekatannya juga beda, itu sah-sah saja. Cuma kemudian jangan dadakan, kalau tidak diikuti gimana, ada perubahan paradigma, ya silakan,” terang Harjono.
Pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini menegaskan perubahan putusan MK dari sebelumnya memang dibolehkan asalkan ada alasan rasional yang tepat dan tidak bisa hanya berdasarkan keyakinan seorang hakim semata. “Kalau kemudian dadakan gitu rasionalitasnya gimana, jangan-jangan dia enggak baca (putusan sebelumnya),” tegasnya.
Saat ditanya apakah putusan MK yang menempatkan KPK di ranah eksekutif tidak mempunyai alasan rasional yang jelas, Harjono mengamininya. “Saya kira begitulah timbul polemiknya,” tutup Harjono.
Untuk lebih komprehensif, guna menghindari asumsi, namun merajuk gambaran utuh dari fakta-fakta konkret aktual perihal affair internal kalangan Hakim Konstitusi, kita perlu mengkaitkan pemberitaan diatas dengan artikel Rofiq Hidayat berjudul “Putusan MK Soal Hak Angket Dinilai Mengabaikan Asas Final and Binding: Padahal sudah terdapat putusan sebelumnya dan dapat merusak sistem ketatanegaraan”, 16 Pebruari 2018, dikutip dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a86c02da653c/putusan-mk-soal-hak-angket-dinilai-mengabaikan-asas-ifinal-and-binding-i :
“Beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerbitkan putusan terkait uji materi terhadap UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Dari putusan tersebut, dinilai ada yang bertentangan dengan putusan-putusan sebelumnya. Akibatnya, MK sebagai penjaga konstitusi tidak taat dengan putusan sebelumnya. Terlebih, putusan lembaga konstitusi itu bersifat final dan mengikat. Demikian intisari dalam sebuah diskusi di Jakarta bertajuk “Hak Angket DPR atas KPK Pasca Putusan MK No.36-40/PUU-XV/2017”.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Fery Amsari menilai dengan menjadikan KPK masuk dalam rumpun eksekutif, maka DPR dapat melakukan angket terhadap lembaga antirasuah tersebut. Meski pun dalam putusan MK, angket terhadap KPK dikecualikan terhadap tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam penanganan perkara korupsi.
MK di periode sebelumnya pernah menerbitkan putusan No.012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan No.5/PUU-IX/2011. Nah, putusan MK teranyar No.36-40/PUU-XV/2017 dipandang bertentangan dengan keempat putusan tersebut. “Putusan 36-40 bertentangan dengan putusan di atas,” ujarnya, Kamis (15/2).
Fery berpendapat, independensi KPK merupakan hal wajar. Sebab terjadi perkembangan pembagian kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan. Menjadi aneh, kata Fery, putusan MK No.36-40/PUU-XV/2017 hanya membagi kekuasaan menjadi tiga. Yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Padahal perkembangan sistem ketatanegaraan terus mengalami perkembangan.
Termasuk pembagian kekuasaan bertambah menjadi lembaga independen berintegritas. Yappi oleh MK, lanjut Fery, KPK justru dimasukkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Padahal, di putusan sebelumnya KPK berada di luar ketiga cabang kekuasaan. “MK menantang putusan MK sendiri yang sudah final dan binding,” ujar.
Putusan MK Sejatinya berlaku terhadap siapapun yang berkaitan dengan putusan tersebut, termasuk lembaga konstitusi. Menurutnya menjadi janggal ketika MK memutus uji materi yan putusannya bertentangan dengan putusan sebelumnya. Dengan menjadikan hak angket DPR tidak ada batasannya, malah menjadikan sistem ketatanegaraan menjadi kian bermasalah.
Sekretaris Eksekutif Indonesia Legal Roundtable (ILR) Firmansyah Arifn menambahkan putusan MK No.36-40/PUU-XV/2017 menjadi hambatan bagi KPK dalam melakukan penegakan hukum. Sebab boleh jadi, lembaga lainnya seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komnas HAM, PPATK dapat menjadi objek hak angket DPR. Pasalnya, seluruh lembaga tersebut merupakan pelaksana UU.
“Ini bisa merusak sistem ketatanegaraan. DPR ketika melakukan hak angket melampaui, bukan saja KPK, tapi juga lembaga lain. Kalau putusan ini tidak dikoreksi menjadi hal buruk ke depannya, “ujarnya.
Firmansyah juga melihat terdapat ketidaktaatan DPR untuk tak patuh pada putusan-putusan yang telah diterbitkan MK. Misalnya, dihidupkannya kembali pasal-pasal yang telah dicabut oleh MK dalam RKUHP. Ataupun, pasal-pasal yang terdapat pada revisi UU MD3. Akibatnya, sistem ketatanegaraan semakin berantakan.
Atas dasar itu, Firmansyah melihat, rangkaian putusan MK tentang hak angket dan revisi UU MD3 yang sudah disahkan menjadi UU saling memiliki keterkaitan. Menurutnya, terdapat upaya sistematis untuk melanggengkan kekuasaan dengan menciderai proses hukum.
Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti menambahkan dalam putusan MK soal hak angket, MK tidak memahami pembagian kekuasaan secara luas. Sebab Mahkamah hanya memahami teori pembagian kekuasaan klasik, takni trias politica. Sementara konsep pembagian kekuasaan telah mengalami perkembangan dari sekadar konsep trias politica.
“Yang jelas mereka keliru dan yang mereka pahami ketinggalan zaman dan kuno,” pungkasnya.
Terbelah.
Ketua Kode inisiatif Veri Junaidi menilai, putusan MK atas hak angket mesti dilihat menyeluruh. Sebab, MK memiliki peran strategis. MK di bawah tampuk kepemimpinan Arief Hidayat berbeda dengan zaman Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD. Di era Jimly misalnya, amat menjaga komposisi putusan jumlah hakim tidak terlampau tipis.
Dalam putusan MK soal angket KPK, komposisi hakim 5:4. Menurutnya MK di bawah tampuk kepemimpinan Arief mesti disikapi serius. Namun yang jelas, MK kini dalam posisi terbelah pandangan. Prinsipnya, perbedaan pandangan menjadi hal positif. Namun demikian, MK diharapkan ke depan tetap menjaga marwahnya.
“Kami berharap MK menjadi institusi yang punya marwah, bukannya membangun friksi dan kelompok di dalam MK,” ujarnya.
Firmansyah menambahkan dalam beberapa putusan, hakim MK yang berjumlah sembilan orang berada dalam posisi 5:4. Menurutnya dengan posisi 5:4 menjadikan putusan kurang legitimasi. Padahal legitimasi sangat penting agar MK menjadi lembaga yang memiliki marwah tinggi.
“Jadi pola putusan 5 berbanding 4, kalau posisi ketuanya masih yang sekarang sulit,” pungkasnya.
Bukankan paradigma “vulgar” sekaligus “seronok” yang ditampilan MK RI demikian, sejatinya sedang melecehkan konstitusi maupun rakyat RI? Mengapa rasa “malu” dan “tahu diri” tidak ditampilkan sang negarawan, seakan “sudah putus urat malu” itu?
“Mahkamah Korup” (MK RI), terbukti dari dilecehkannya berbagai preseden yang sebelumnya telah diterbitkan oleh lembaga / instansinya sendiri, dengan berlindung dibalik semboyan: “Hakim bebas dan independen.” Bebas untuk menghancurkan kepastian hukum dalam praktik hukum, adalah kejahatan besar (grave breaches) di negara-negara yang mengadopsi sistem hukum Common Law.
Adalah teladan yang buruk, dengan melabrak preseden yang ada, sehingga merusak standar moral kalangan hakim, seakan menjatuhkan putusan yang menyimpang dari preseden yang ada, sama sekali tidak merusak kepastian hukum bagi masyarakat. Apakah lobi-lobi politik tanpa undangan resmi, adalah pelanggaran etik “ringan” ataukah pelanggaran “berat” oleh seorang bergelar profesor yang sekaligus juga menjabat jabatan negarawan sebagai seorang Ketua Mahkamah Konstitusi?
Apakah menggunakan kedudukan untuk menguntungkan sanak saudara (nepotisme), adalah pelanggaran “ringan” etik? Sejak kapan, nepotisme menjelma pelanggaran etik, seakan Undang-Undang tentang Pembertasan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tidak berlaku dan seketika dibatalkan frasa “nepotisme” itu oleh sang hakim secara pribadi?
Apakah sang negarawan sekaligus sang guru besar, boleh berbohong sebagaimana pertama kali sang hakim berkilah atas desas-desus menyalah-gunaan jabatan yang dimilikinya? Apakah keliru secara moril, bila para sesama rekan seprofesi (para guru besar di Tanah Air), meminta sang hakim untuk mundur dari kursi jabatan hakim demi menjaga kebesaran gelar “Guru Besar intelektual”?
Bukankah seorang presiden incumbent saja bisa dimintakan mundur lewat makzul bahkan beberapa kali Presiden RI dijungkalkan oleh people power? Apakah masih dapat kita biarkan, Konstitusi dipegang kewenangan penafsirannya secara monopolistik di tangan orang-orang yang tidak semestinya duduk di singgasana seorang Hakim Konstitusi? Bukankah aspirasi dorongan moril untuk mendorong agar yang bersangkutan mundur, jauh lebih elegan daripada aksi demonstrasi?
Hakim Konstitusi RI : “Enak toh, jadi Hakim Konstitusi di Indonesia? Makanya saya kepingin menjabat lagi jadi Hakim Mahkamah Konstitusi RI. Hakim lebih berkuasa dan lebih sakti daripada seorang presiden. Presiden bisa di-makzul-kan, sementara Hakim Konstitusi bebas sebebas-bebasnya meski menginjak-injak preseden dan putusan MK RI sebelumnya.”
Hanyalah para akademisi munafik, yang justru mendukung hakim “pembohong” (sekali pernah berbohong, maka kebiasaan berbohong sudah dapat dipasitkan) untuk terus menjabat dan bahkan mengkritik para intelek yang meminta sang hakim untuk mundur dari jabatannya.
Ahmad Sudiro, dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, telah mencederai semangat intelektual, dengan justru mengkritik para para Guru Besar pengkritik Arief Hidayat, bahkan mendukung dan membenarkan segala “penghancuran kepastian hukum” yang dipertontonkan oleh MK RI secara pongah, perkasa, dan tanpa rasa malu ataupun takut.
“Ayo Arief Hidayat, teruskan perjuangan Anda menghancurkan kepastian hukum di Tanah Air. Maju terus, biarkan anjing menggonggong dan khafilan terus berkuasa dan menjabat.” Itukah ucapan yang patut ditambilkan secara arogan oleh seorang berkelas Dekan Fakultas Hukum yang semestinya lebih menyibukkan dengan kegiatan akademik ketimbang politik? Sebagai almamater lulusan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, penulis sangat prihatin atas pernyataan sang dekan yang justru membenarkan praktik lobi-lobi, praktik-praktik berbohong, praktik-praktik “tidak tahu malu” para pejabat kehakiman.
Seakan, sang dekan tidak terpilih secara demokratis untuk duduk di bangku jabatan seorang dekan, atau sebaliknya? Bila para akademisi lebih sibuk menceburkan diri dalam kegiatan politik praktis, maka apa jadinya dengan kualitas lulusan perguruan tinggi hukum di Tanah Air? Justru, saat inilah efek “gunung es” salahnya pola pendidikan para sarjana hukum di Tanah Air, para sarjana hukum justru menjelma mafia kasus, akibat para dosen dan para pejabat kampus-nya lebih sibuk berpolitik dan adu sikut-menyikut berebut kekuasaan. Sebagai alumnus, penulis memiliki hak untuk membuat pernyataan tersebut diatas, sebagai sebentuk keprihatinan.
Sejak kapankah, kepastian hukum dipandang lebih rendah derajatnya daripada seonggok sampah? Mereka yang tidak mengakui fungsi maupun peran kepastian hukum, tidak layak menyandang gelar intelektual hukum. Itulah pesan terakhir dari penulis, untuk sang Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Ahmad Sudiro, yang hidup di atas Menara Gading yang angkuh. Selaku sama intelektual, itulah somasi dari penulis kepada yang bersangkutan, agar bersikap selayaknya seorang intelek.
Sejak kapankah, seorang guru besar boleh berbohong dan hanya dianggap sebagai kesalahan etik “ringan”? Bila seorang Guru Besar boleh berbohong, maka apa jadinya dalam teladan bagi para peserta didik? Hendaknya pertanyaan tersebut dijawab dahulu, bila ada pihak-pihak yang tersinggung atas pernyataan penulis. Kejujuran adalah harta terbesar peradaban. Tanpa itu, sendi bernegara menuju kehancuran.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.