Mahkamah (Penyalahguna) Konstitusi, Memutus secara Tidak Konsisten

ARTIKEL HUKUM
Bagaimana mungkin, seorang penyidik justru diawasi oleh para tersangka? Selama ini, KPK paling banyak menangkap pejabat yang menduduki jabatan elit, seperti gubernur, bupati, anggota DPRD, dan tidak terkecuali anggota parlemen alias Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menjadi “jeruk makan jeruk”, adanya benturan kepentingan (conflict of interest) ketika DPR justru diberi kewenangan untuk mengintervensi dan mengendalikan gerak langkah berbagai “manuver” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini terbukti ambuh dan jitu menjerat para pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor).
Untuk kegiatan penegakan hukum terhadap kejahatan biasa, hal tersebut dimungkinkan. Namun untuk sebuah kejahatan luar biasa, dimana kejahatan seperti korupsi yang disusun secara rapih, tersembunyi / tertutup rapat, terencana dengan modus yang canggih, dan tersistematis, adalah termasuk dalam kategori pengecualian dari prinsip-prinsip hukum umum, sehingga cara penegakan hukumnya pun dilakukan dengan cara-cara extraordinary, seperti penyadapan, tangkap-tangan, mengisolasi tersangka dari dunia luar untuk meminimalisir langkah pemusnahan alat bukti, hingga seketika mendakwa ketika alat bukti telah memadai, serta tidak boleh adanya intervensi oleh lembaga yang sedang disidik—artinya, terhadap berbagai anggota DPR RI, secara moral-etis tidak membolehkan DPR untuk mengintimidasi KPK.
Seakan bergerak melawan semangat rakyat untuk memberantas korupsi, Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya register Nomor 36/PUU-XV/2017 yang diputuskan pada bulan Februari 2018, telah “menolak permohonan uji materiil” Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), dimana para Pemohon yang terdiri dari para aktivis (permohonan uji materiil yang diajukan secara terpisah oleh salah seorang mantan pimpinan KPK, dicabut olehnya ketika beredar kabar bahwa Arief Hidayat selaku Ketua MK RI telah melakukan praktik jual-beli putusan), memohon agar MK RI menyatakan bahwa DPR tidak memiliki hak angket terhadap KPK, sebab hanya pejabat yang dapat dipanggil dalam rangka hak angket DPR, bukan lembaga yang dapat menjadi subjek terperiksa dalam hak angket DPR.
Pasca putusan MK RI yang melukai nurani rakyat dan segenap bangsa, kini DPR RI dinyatakan berwenang melayangkan hak angket terhadap lembaga KPK, dimana KPK selaku lembaga independen sekalipun dianggap bagian dari Lembaga Eksekutif yang juga termasuk obyek hak angket DPR.
DPR (selaku  Termohon) “menang tipis”, dimana perbandingannya ialah 4 berbanding 5, alias 4 Hakim Konstitusi dalam dissenting opinion-nya menyatakan mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan para Pemohon, sementara mayoritas Hakim Konstitusi RI (5 orang hakim) menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Tentu saja, sebagaimana telah dapat kita prediksi, Prof. Arief Hidayat selaku Ketua MK RI, menjadi pemberi suara penentu ketika 4 : 4 hakim saling berbeda pendapat. Jadilah suara Arief Hidayat sebagai penentu dalam voting, dengan hasil “menolak” permohonan uji materiil—suatu konsekuensi dari “lobi-lobi politik” Arief Hidayat yang sebelumnya telah deal dengan DPR terkait pengangkatannya kembali sebagai Hakim Konstitusi RI—tuduhan yang telah terbukti dalam sidang etik MK RI, dan Arief Hidayat mendapat sanksi etik untuk kedua kalinya, meski kolusi ialah tindak pidana, bukan sebatas perilaku amoral ranah etika.
Namun bukanlah itu yang akan kita bahas dalam kesempatan kali ini. Biarlah para profesor dibidang ilmu hukum ataupun disiplin ilmu lain yang mendorong Arief Hidayat untuk mundur dari jabatan “kursi empuk” Ketua MK RI sebagai tanggung jawab moril para akademisi terhadap sang “profesor” Arief Hidayat yang justru mengontari secara ringan: Anjing menggonggong, khafilah berlalu. Apakah Arief Hidayat hendak menyatakan bahwa para profesor dari berbagai perguruan tinggi yang mendesak dirinya untuk mundur dari jabatan Hakim Konstitusi, sebagai anjing bodoh yang tidak memiliki hak untuk beraspirasi?
Saat kini, kecenderungannya sejak Arief Hidayat menjabat sebagai Hakim Konstitusi, mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi RI justru hanya akan memperkeruh keadaan. Bila keadaan sudah keruh karena ketidakpastian penerapan ataupun penafsiran hukum, mengajukan uji materiil ke MK RI justru akan membuat permasalahan kian keruh menjelma benang kusut, karena MK RI dalam berbagai putusannya justru menjustifikasi perbagai niat buruk para pelaku kejahatan, seperti uji materiil yang diajukan buron terpidana BLBI yang telah merampok uang rakyat dan tidak mau menjalani hukuman pidana dengan melarikan diri ke negara lain, uji materiil yang dimohonkan Setya Novanto yang dibenarkan untuk melemahkan kewenangan penegak hukum untuk menghimpun alat bukti tepat disaat Kejaksaan hendak menjerat dirinya karena kasus pencatutan nama “papa minta saham”, hingga DPR yang para anggotanya menjadi langganan terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Pasca putusan MK RI, menjadi jelas bahwa kini Lembaga Legislatif bernama DPR RI, tampak lebih superior ketimbang lembaga Eksekutif. Pimpinan Lembaga Eksekutif, ialah presiden. Secara manajemen tata negara, lembaga-lembaga negara, termasuk KPK, menyampaikan tanggung jawab kinerja kepada Presiden, bukan kepada DPR.
Ketika DPR diberi hak demikian besar untuk mengawasi, hingga hak angket dan hak menyatakan pendapat dengan bias dan sumir, bahkan terkesan superpower body yang melampaui lembaga superpower manapun (karena merasa berhak mendikte KPK), sama artinya MK RI hendak menyatakan bahwa “bos” besar dari KPK ialah DPR, bukan Presiden. Konsep Trias Politica menjadi rusak pasca putusan MK RI.
Bila kita mau adil memaknai konsep “check and balance”, maka lembaga apa yang berwenang mengawasi the superpower body bernama DPR? Jika DPR merasa berhak mengawasi dan meminta pertanggung-jawaban Presiden bahkan juga KPK, maka bagaimana mengawasi dan meminta pertanggung-jawaban DPR atas kinerjanya buruk, bahkan cenderung korup?
DPR selalu berkoar-koar perihal prinsip “check and balances”, namun disaat bersamaan menolak diawasi KPK dengan menyatakan penyadapan oleh KPK ialah ilegal. Justru, KPK-lah yang selama ini mengawasi praktik DPR yang lebih menyerupai “Taman Kanak-Kanak” berisi anak-anak nakal yang tidak mau diawasi ataupun ditertibkan.
Namun demikian, KPK mulai perlu untuk kembali mengingat, bahwa KPK bukan didirikan oleh UU Tipikor, namun oleh Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sudah saatnya KPK menyasar sang “pelobi jual-beli putusan demi jabatan” yang dilakukan oleh sang oknum hakim. Sementara yang dimaksud dengan “kolusi”, sejak dahulu memiliki makna: penyalahgunaan wewenang. Profesor manapun tahu akan hal itu, tidak terkecuali sang profesor Arief Hidayat. Tahu, namun pura-pura tidak tahu. Anti kritik, artinya hidup diatas menara gading, tidak membumi, tidak merakyat. Jika sudah demikian, maka bagaimana mungkin aspirasi rakyat dapat didengarkan oleh sang hakim? Mungkin itulah pertanyaan terbesar yang patut kita ajukan.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.