KPPU sebagai Representasi Kehadiran Negara terhadap Hak Ekonomi Rakyat

LEGAL OPINION
Question: Kalau yang dihukum KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) ada beberapa pengusaha, tapi hanya sebagian pengusaha saja yang mengajukan keberatan atas putusan KPPU ke pengadilan, apa putusan KPPU itu bisa dimintakan upaya hukum ke pengadilan agar khusus untuk perusahaan yang mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU itu saja, untuk dibatalkan separuh pihaknya?
Brief Answer: Khusus untuk persaingan usaha tidak sehat berupa “persengkokolan”, secara logika tidaklah mungkin menghukum separuh pihak, sementara dasar hukum yang menjadi penindakan KPPU ialah perihal “persengkokolan” alias “turut-serta”—sehingga menjadi absurd bila dalam persaingan usaha tidak sehat dalam persengkokolan, hanya separuh pihak-pihak dalam persengkokolan yang dihukum.
PEMBAHASAN:
Sebanyak-banyaknya sistem pasar bilamana memungkinkan, sebanyak-banyaknya peran negara bilamana dibutuhkan.” (Karl Schiller, Menteri Ekonomi Jerman 1966—1972, mengenai keseimbangan optimal dari pasar dan negara.)
Thomas Hobbes menyebutkan, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus)—baik secara sosial maupun secara ekonomi). Tanpa kerterlibatan atau kehadiran negara, maka manusia yang lemah akan termakan dan tergilas habis oleh manusia yang kuat, terlebih pada era korporasi yang diselubungi instrumen hukum yang rumit, dan faktor capital yang kian “pincang”, maka strata sosial menjadi kian kompleks dan terjadi kesenjangan ekstrim ketimbang dua abad lampau.
Mengapa negara harus hadir ditengah-tengah masyarakat? Salah satu alasan utama intervensi atau ikut campur-tangan dalam mekaniesme pasar, ialah untuk melindungi konsumen. Dari apakah konsumen seharusnya dilindungi? Untuk mudahnya: dilindungi dari keterbatasan pengetahuan mereka sendiri. Secara teori, konsumen memiliki pengetahuan yang sempurna mengenai kualitas dari segala macam produk. Pada kenyataannya, seringkali konsumen tidak memiliki kesempatan untuk mengakses kualitas ari barang dan jasa. Konsumen tidak dapat mengetahui seluruh informasi yang dimiliki oleh produsen. Para ahli ekonomi menamakan fenomena ini dengan sebutan “informasi asimetris”. Untuk menghindari produsen mengeksploitasi hal ini, Anda mungkin ingin memutuskan untuk mewajibkan pihak penjual untuk mematuhi standar kualitas atau keamanan tertentu. (Sebastian Sperling, Panduan Praktis Ekonomi Pasar sosial, Penerbit: Friedrich Ebert Stiftung Indonesia, Cetakan Kedua, Desember 2007.)
Suatu ekonomi pasar sosial, dalam cakupan luasnya, dijalankan oleh pelaku pasar (majikan, pekerja, dan konsumen) dan pelaku masyarakat sipil (serikat pekerja, asosiasi bisnis, kelompok perlindungan konsumen, dsb). Dalam kenyataannya, setiap warga negara memiliki kewajiban: suatu negara kesejahteraan sosial hanya dapat berfungsi apabila warga negaranya mengambil tanggung jawab terhadap kehidupan mereka masing-masing, dan meminta bantuan kepada masyarakat hanya jika usaha individu tersebut untuk mendapatkan penghidupan, tidak berhasil. Anda harus menentukan kerangka, dan mempertahankan keseluruhan kerangka tersebut. (ibid)
Perusahaan multinasional mengatur anggaran mereka dan menggeser keuntungan mereka alam struktur organisasi mereka yang kompleks sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dikenakan pajak. Yang kedua, perusahaan-perusahaan multi nasional ini menggunakan kekuatan tawar-menawar mereka kepada negara dalam rangka meminta penurunan standar tenaga kerja, lingkungan, dan perlindungan konsumen. Satu hal yang perlu kita ingat sepanjang masa: Globalisasi mengikuti aturan yang ditentukan oleh negara. Dengan dmeikian, aturan-aturan tersebut (tentu saja) dapat diubah. (ibid)
Sebagai ilustrasi konkret peran sentral yang sangat vital dari lembaga seperti KPPU, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa persaingan usaha sebagaimana register Nomor 514 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 tanggal 16 Agustus 2016, perkara antara:
- KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU), sebagai Pemohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan; melawan
1. PT. WIRA KARYA UTAMA; 2. PT. HARIDA JAYA; 3. PT. WIRA INDO KARYA UTAMA, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Pemohon Keberatan.
Para pengusaha yang dihukum karena persaingan usaha tidak sehat, mengajukan keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 06/KPPU-L/2013, tanggal 8 Desember 2014, dengan amar sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII dan Terlapor IX terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menghukum Terlapor II membayar denda sebesar Rp230.000.000,00  yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
3. Menghukum Terlapor III membayar denda sebesar Rp103.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
4. Menghukum Terlapor IV membayar denda sebesar Rp211.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
5. Menghukum Terlapor V membayar denda sebesar Rp108.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
6. Menghukum Terlapor VI membayar denda sebesar Rp88.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
7. Menghukum Terlapor VII membayar denda sebesar Rp108.000.000,00  yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
8. Menghukum Terlapor VIII membayar denda sebesar Rp80.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
9. Menghukum Terlapor IX membayar denda sebesar Rp80.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755.”
Yang unik, salah satu dalil keberatan pihak pengusaha tersebut, ialah bahwa telah dilanggarnya ancaman hukum denda minimum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 47 Huruf (g) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Putusan KPPU dinilai telah melanggar ketentuan batas minimum sebagaimana ketentuan Pasal 47 huruf (g) UU Nomor 5 Tahun 1999. dimana dalam pasal itu disebutkan bahwa sanksi tindakan berupa pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,- sehingga patutlah untuk dibatalkan.
Pihak pengusaha dengan demikian menyimpulan, memberikan besaran denda yang dijatuhkan kepada para pengusaha dengan menerobos batas minimum pengenaan denda, adalah melanggar hukum. Pihak KPPU bila berniat mengubah ketentuan batasan denda minimal, berarti harus didahului dengam merubah pengatuan norma UU No. 5 Tahun 1999;
Terhadap keberatan pihak pengusaha, Pengadilan Negeri Medan kemudian menjatuhkan putusan Nomor 13/Pdt.G/2015/PN.Mdn., tanggal 18 Maret 2015, demgam amar sebagai berikut:
MENGADILI :
“Mengabulkan permohonan dari Pemohon keberatan untuk sebagian;
“Membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 06/KPPU-I/2014, tanggal 8 Desember 2014;
Mengadili sendiri:
- Menyatakan bahwa Para Pemohon (Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV), terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
- Melarang Para Pemohon (Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV) untuk mengikuti proses pelelangan di seluruh Indonesia selama 4 (empat) bulan.”
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, memiliki pengaturan sebagai berikut:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
KPPU mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Putusan KPPU menghukum Terlapor I sampai dengan Terlapor IX karena melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Namun putusan Pengadilan Negeri menyatakan bahwa hanya Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999—dengan kata lain, Pengadilan Negeri telah membuat amar/diktum putusan menjadi bersifat parsial.
Betul bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 Ayat (1) huruf (g) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dimana dalam menjatuhkan putusan Hakim terikat dengan batas minimal sebesar Rp1.000.000.000,00 dan batas maksimal Rp25.000.000.000,00 sebagaimana normatif ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Namun guna rasionalisasi, dalam prakteknya terdapat beragam putusan KPPU yang menerapkan ketentuan denda dibawah ketentuan denda minimum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sehubungan dengan praktek penetapan denda dibawah batasan minimal denda dalam perkara persaingan, dapat dipahami apabila ada putusan yang menyimpang dari ketentuan tentang pengenaan denda minimum yaitu menjatuhkan denda di bawah batas minimal dengan alasan “rasa keadilan serta hati nurani”, sehingga majelis komisi yang memeriksa perkara tersebut dalam putusannya tidak mengikuti bunyi pasal undang-undang yang secara tegas tertulis. ini dapat saja terjadi karena Hakim dalam putusannya harus berdasarkan pada kerangka hukum, berupa: penegakan hukum dan penegakan keadilan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada KPPU untuk memberikan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebagaimana diatur pada Pasal 47:
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan/atau
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambil-alihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).”
KPPU merasa telah tepat dan benar dalam menjatuhkan sanksi denda kepada Termohon Kasasi I sebesar Rp230.000.000,00. Kepada Termohon Kasasi II sebesar Rp103.000.000,00 dan Termohon Kasasi III sebesar Rp211.000.000,00. Dalam memutuskan jenis dan besaran sanksi, KPPU selalu berpedoman pada asas keadilan, kepatutan, dan kepastian hukum, dan pertimbangan lain seperti tingkat kesalahan, cakupan pelanggaran, scope usaha, kooperatif atau tidaknya para pihak, serta faktor pelaksanaan putusan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Tindakan Administratif.
Sanksi administratif dimaksudkan agar dapat memberikan kepastian hukum pada dunia usaha, dan meningkatkan rasionalitas pelaku usaha untuk tidak melakukan tindakan anti persaingan. Secara filosofis, sanksi denda merupakan bentuk efek jera dan perampasan atas keuntungan yang diperoleh secara tidak sah, melawan hukum, atau atas tindakan anti persaingan.
Denda juga ditujukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku usaha, selain agar tindakan serupa tidak ditiru oleh calon pelanggar lainnya. Agar efek jera dapat diterapkan efektif, secara ekonomi denda yang ditetapkan harus dapat menjadi sinyal atau setidaknya dipersepsikan oleh pelanggar sebagai biaya (expected cost) yang jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat (expected benefit) yang didapat dari tindakannya melanggar hukum persaingan usaha.
Namun di sisi lain, KPPU juga mempertimbangkan syarat efektivitas putusan yakni dapat dilaksanakan (executable), sehingga sebaliknya KPPU akan bertindak semena-mena, tidak adil dan tidak wajar, apabila secara serta-merta menjatuhkan denda minimal sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), yang akan berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan (non-executable).
Penerapan sanksi denda dibawah Rp1.000.000.000,00 telah beberapa kali dibenarkan dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, diantaranya melalui preseden Putusan Mahkamah Agung, antara lain:
a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus/2008, terkait dengan upaya hukum terhadap Putusan KPPU Nomor 12/KPPU-L/2008, (tender pembangunan rumah dinas Bupati Humbang Hasundutan, Sumatera Utara);
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 35 K/PDt.Sus/2009, terkait dengan upaya hukum terhadap Putusan KPPU Nomor 21/2007 (tender pengadaan pipa PVC di Dinas Pekerjaan Umum, Kota Batam);
c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 582 K/Pdt.Sus/2009 juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 9 PK/Pdt.Sus/2010, terkait upaya hukum terhadap Putusan KPPU Nomor 09/KPPU-L/2008;
d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 K/Pdt.Sus/2010, terkait upaya hukum keberatan terhadap Putusan KPPU Nomor 23/KPPU-L/2008 (tender pekerjaan perbaikan dan pengembangan distribusi PDAM Tirta Siak Pekanbaru);
e. Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 788 K/Pdt.Sus/2011, terkait upaya hukum keberatan terhadap Putusan KPPU Nomor 08/KPPUL/2010 (tender paket pekerjaan pembukaan areal dan pra konstruksi);
f. Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 K/Pdt.Sus/2012, terkait dengan upaya hukum terhadap Putusan KPPU Nomor 19/KPPU-L/2009 (tender pekerjaan subsidi pengoperasian kapal perintis);
g. Putusan Mahkamah Agung Nomor 332 K/Pdt.Sus-KPPU/2013, terkait dengan upaya hukum terhadap Putusan KPPU Nomor 02/KPPUL/ 2011 (Tender Pembangunan Jalan Tenggarong–Samboja).
Terlapor I, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlappor IX, tidak mengajukan keberatan dan telah mengajukan Surat Permohonan Keringan Mencicil dan Bukti Pembayaran Denda Pelaksanaan Putusan KPPU.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 44 ayat (2) secara jelas mengatur pengajuan upaya hukum keberatan terhadap Putusan KPPU sebagai berikut:
“Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.”
Pasal 2 angka 1 Perma Nomor 03 Tahun 2005 mengatur tempat/Pengadilan Negeri dimana keberatan diajukan, sebagaimana dikutip sebagai berikut:
“Keberatan terhadap Putusan KPPU hanya diajukan oleh Pelaku Usaha Terlapor kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum usaha Pelaku Usaha tersebut.”
- Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatur:
”Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diangap menerima putusan Komisi”;
- Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999:
“Apabila tidak terdapat keberatan, Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.”
- Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999:
“Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi.”
Sementara itu pihak Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VIII dan Terlapor IX telah mengajukan permohonan pelaksanaan isi amar putusan KPPU. Sebagai contoh, berdasarkan surat dari PT, Sonak Malela / Terlapor VI yang diterima KPPU tanggal 4 Fabruari 2015, yakni permohonan pembayaran denda secara bertahap;
 Berdasarkan Surat PT. Faisal Kontraktor / Terlapor VIII tertanggal 2 Februari 2015 kepada Ketua KPPU, perihal tentang permohonan cicilan pembayaran denda kepada KPPU, dan dilampirkan bukti pembayaran cicilan denda untuk tahap pertama ke kas negara pada tanggal 28 Januari 2015 sebesar Rp5.000.000,00;
Berdasarkan Surat PT Elisabet / Terlapor IX tertamgga; Februari 2015 kepada Ketua KPPU perihal tentang permohonan cicilan pembayaran denda kepada KPPU dan melampirkan bukti pembayaran cicilan denda untuk tahap pertama ke kas negara pada tanggal 28 Januari 2015, sebesar Rp5.000.000,00;
Dengan bukti adanya Surat Permohonan dan Pelaksanaan Amar Putusan. menunjukkan bahwa Terlapor V, Terlapir VI, Terlapor VIII dan Terlapor IX sebagai pihak yang bersekongkol pada perkara ini, mengakui dan telah bersedia membayar denda melalui cicilan, yang mana sekaligus menunjukkan pengakuan para terhukum untuk tunduk pada sanksi yang dijatuhkan KPPU.
Para Pemohon Kasasi Tidak Mempunyai Itikad Baik Karena Tidak Pernah Hadir Selama Proses Pemeriksaan di KPPU. Faktanya, Para Termohon Kasasi tidak pernah menyampaikan pembelaan atau tanggapan terhadap laporan dugaan pelanggaran (LDP). Karena tidak adanya usaha dari Para Termohon Kasasi untuk memberikan pembelaan atau tanggapan terhadap LDP, maka dapat disimpulkan bahwa pada intinya pengusaha telah
Padahal kesempatan pembelaan tersebut telah diberikan oleh Pemohon Kasasi pada Sidang Majelis Komisi disetiap tahap pemeriksaan, yaitu Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Lanjutan dan Musyawarah Majelis Komisi, namun Para Pemohon Keberatan tetap tidak menyampaikan pembelaan atau tanggapannya terhadap LDP.
KPPU telah menjalankan proses pemeriksaanya dengan mengedepankan kepatuhan dengan melakukan pemanggilan kepada Para Penguasa, namun Para Pererja tidak mempunyai itikad baik untuk hadir di setiap pemeriksaan.
Sesungguhnya Para Termohon Kasasi telah bertindak tidak kooperatif. Oleh karena itu adalah cukup beralasan bagi Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk menetapkan dan menyatakan bahwa pengenaan sanksi denda kepada Para Termohon Kasasi telah tepat dan benar karena Dalam memutuskan jenis dan besaran sanksi, KPPU selalu berpedoman pada asas keadilan, kepatutan, dan kepastian hukum, dan pertimbangan lain seperti tingkat kesalahan, scope pelanggaran, scope usaha, kooperatif atau tidaknya para pihak, serta faktor pelaksanaan putusan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Tindakan Administratif.
Dimana terhadap keberatan-keberatan yang dipaparkan oleh KPPU, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Negeri Medan telah salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa tujuan pengenaan denda administrasi adalah untuk mendorong agar pelaku usaha yang terbukti melanggar tidak mengulangi perbuatannya, bukan untuk mematikan usahanya, sehingga pengenaan sanksi denda secara proporsional dapat dibenarkan, meskipun denda tersebut lebih rendah dari batas minimal denda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Bahwa selain itu Judex Facti tidak cermat dalam perkara a quo, sebab membatalkan putusan Termohon Keberatan/Pemohon Kasasi untuk seluruhnya, padahal keberatan dalam perkara a quo hanya diajukan oleh 3 (tiga) Terlapor dari 9 (sembilan) Terlapor yang dinyatakan bersalah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sehingga putusan Judex Facti menimbulkan ketidakpastian hukum serta tidak adil bagi 6 (enam) Terlapor yang menerima putusan Termohon Keberatan;
3. Bahwa Para Pemohon Keberatan/Para Termohon Kasasi adalah Para Pemohon Keberatan yang tidak baik, karena tanpa alasan sah tidak hadir dalam pemeriksaan di hadapan Termohon Keberatan/Pemohon Kasasi, akan tetapi dalam pemeriksaan di tingkat keberatan, Para Pemohon Keberatan justru mengajukan keberatan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan, Nomor 13/Pdt.G/2015/PN Mdn., tanggal 18 Maret 2015, yang membatalkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 06/KPPU-L/2014, tanggal 8 Desember 2014, serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara a quo dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 13/Pdt.G/2015/PN Mdn., tanggal 18 Maret 2015, yang membatalkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 06/KPPU-L/2014, tanggal 8 Desember 2014;
MENGADILI SENDIRI:
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII dan Terlapor IX terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menghukum Terlapor II membayar denda sebesar Rp230.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
3. Menghukum Terlapor III membayar denda sebesar Rp103.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
4. Menghukum Terlapor IV membayar denda sebesar Rp211.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran dibidang Persaingan Usaha);
5. Menghukum Terlapor V membayar denda sebesar Rp108.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
6. Menghukum Terlapor VI membayar denda sebesar Rp88.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
7. Menghukum Terlapor VII membayar denda sebesar Rp108.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
8. Menghukum Terlapor VIII membayar denda sebesar Rp80.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;
9. Menghukum Terlapor IX membayar denda sebesar Rp80.000.000,00 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.