Konsekuensi Hukum Membantu Kejahatan, Dihukum Renteng

LEGAL OPINION
Question: Dengan mencoba pakai analogi, orang-orang lawyer itu bebas bela klien, tapi tidak tersentuh hukum. Maksudnya, mereka bela klien untuk bebas, tapi si lawyer tidak juga dianggap sebagai pelaku kejahatan. Pengacara koruptor itu kan, sudah bak selebritis. Klien mereka sudah banyak terbukti dihukum karena korupsi, tapi lawyer-nya terus saja “mencetak uang” dengan menjadi langganan sebagai pembela dan kuasa hukum para koruptor. Padahal jelas-jelas mereka membela pejabat-pejabat yang terbukti korup, maka dari itu mereka dikenal dengan julukan sebagai “pengacara koruptor”.
Gimana kalau sebagai konsultan pajak, kami juga beri jasa bagi berbagai perusahaan, lalu ternyata ketahuan oleh kantor pajak ada pelanggaran pajak, apa kantor konsultan pajak kami juga bisa kena hukuman? Rasanya tidak adil, bila lawyer itu bisa kebal, tapi kami tidak.
Brief Answer: Profesi advokat bukanlah sebuah profesi yang dapat dibanggakan untuk ukuran idealisme. Masyarakat tidaklah perlu “ikut-ikutan” atau bahkan “latah” terhadap arogansi kalangan pengacara di Indonesia, yang mencari nafkah dengan cara-cara menggugat orang lain atau membebaskan para pelaku kriminil, karena kode etik profesi advokat di Indonesa tidak mengedepankan faktor etik / etika, sehingga kalangan tersebut selalu merasa benar untuk membela klien sekalipun dengan cara-cara curang, cara-cara kotor, ataupun cara-cara melanggar hukum, bahkan merasa “kebal hukum” (imune) dengan mengatas-namakan menjalankan tugas demi kepentingan klien, dengan mengatas-namakan dewan etik advokat belum mengadili meski sidang majelis / dewan etik advokat sama sekali bukan Lembaga Yudisial.
Mereka yang mengaku berprofesi sebagai advokat di indonesia, semestinya mulai merasa malu, bukan justru berbangga diri. Terbukti, dari hasil riset SHIETRA & PARTNERS terhadap ribuan putusan pengadilan hingga Mahkamah Agung RI, sebagian / separuh jumlah gugatan di pengadilan, berakhir pada amar putusan “DITOLAK” atau bahkan digugat balik oleh pihak lawan—yang sejatinya sudah dapat diprediksi akan “ditolak” jauh sebelum gugatan sang pengacara diajukan.
Sebagai contoh, hakim dalam psikologi peradilan, tidak pernah menyukai gugatan dengan angka bombastis yang terkesan “rewel” dan “cengeng”, namun tetap saja kalangan pengacara di Tanah Air mencantumkan nilai kerugian yang dimohonkan ganti-rugi dengan nominal yang tidak rasional dalam surat gugatan. Alhasil, hakim sudah seketika “ill feel” dan seketika itu pula gugatan menjadi “anti klimaks”. Psikologi kalangan hakim lebih menyukai nilai gugatan ganti-rugi yang rasional dan tidak terkesan berlebihan ataupun dipaksakan, alias tidak irasional dalam mengklaim segala sesuatunya.
Kalangan pengacara tidak pernah punya hak untuk mengganggu ketenangan hidup orang lain dengan cara menggugat, mengambil keuntungan bahkan mencari nafkah dengan cara mengganggu ketenangan hidup orang lain (tentunya dengan mengatas-namakan mewakili kepentingan klien yang “terobsesi” untuk menggugat orang lain yang tidak bersalah, suatu dalil yang menjadi tumpuan utama kalangan profesi pengacara untuk membela diri, alias pembenaran diri).
Pada prinsipnya, apapun latar belakang profesinya, membantu pelaku kejahatan untuk lolos dari jerat hukum ataupun dari beban pajak, adalah kejahatan itu sendiri, yang diancam sebagai pidana “penyertaan” alias “turut serta” melakukan pelanggaran / kejahatan hukum. Sama halnya dengan kalangan profesi dokter, kurator, akuntan, konsultan jasa konstruksi, dewan etik profesi hanya sebatas mengurusi masalah lisensi praktik, bukan perihal ranah pelanggaran hukum pidana yang menjadi kewenangan mutlak aparatur penegak hukum.
Prinsip etik / etika yang betul-betul disebut etis, ialah pertanyaan berikut: mengapa harus membela yang bayar dan mati-matian berupaya membebaskannya, mengapa tidak membela korban, mengapa membodohi klien seolah bisa bebas dari hukuman kejahatan (memberi harapan palsu), mengapa justru harus membela pelaku kejahatan, mengapa mengajukan gugatan ‘konyol’ yang jelas-jelas hanya akan merepotkan penggugat dan tergugat dan semestinya mampu diprediksi akan ditolak hakim, mengapa pengacara kerap sangat malas melakukan riset preseden meski nasib klien ada di tangan mereka atau bahkan mengajak kliennya untuk berspekulasi di “meja hijau”, mengapa harus membenarkan yang keliru, mengapa menutup rapat-rapat informasi kejahatan yang diketahuinya?
Mereka semua tahu kejahatan yang dilakukan oleh kliennya, namun mengapa mereka semua bungkam? Tidak lain karena berlindung dibalik “kode etik” advokat yang sama sekali tidak mencerminkan jiwa etis seorang manusia beradab. Khusus untuk kejahatan luar biasa seperti korupsi, penulis menilai bahwa menutupi atau bahkan bersikap seolah tidak tahu atas kejahatan sang klien, adalah sebuah kejahatan itu sendiri yang seharusnya turut dipidana.
Kode etik kalangan profesi advokat di Indonesia sama sekali tidak mengatur sampai sejauh itu, sehingga tidaklah tepat bila disebut sebagai “kode etik”, namun tidak mengandung unsur-unsur dasar dari etika. Sejatinya, setelah menelaah “kode etik” advokat Indonesia, substansinya hanya berupa tata-tertib anggota organisasi, bukan mengatur perihal etik / etika.
Yang lebih memprihatinkan ialah “kode etik” kalangan profesi notaris di Indonesia, yakni 99% substansinya tiada sangkut-paut dengan etika / etik, namun lebih berbicara mengenai tata-tertib organisasi yang menyerupai Anggaran Dasar sebuah perseroan, sehingga menjadi satiris mengingat hal tersebut dikemas dan diberi nama sebagai “kode etik” notaris yang notabene diberi julukan sebagai “pejabat umum” yang berwenang menggunakan stempel Pancasila—namun standar etik dalam “kode etik”-nya jauh lebih rendah dari kualitas “kode etik” kalangan advokat di Indonesia, karena subtansinya lebih menyibukkan diri dengan hal-hal atau urusan diluar prinsip-prinsip etik / etika.
Standar moral dan etika seseorang, ditentukan oleh derajat paling minimum dalam idealisme dan sikap jujur dirinya terhadap dirinya sendiri, sehingga sejatinya tidak dibutuhkan kode etik profesi apapun bagi mereka yang memegang teguh prinsip etis. Ketidak-mampuan seseorang untuk bersikap jujur terhadap dirinya sendiri, pada gilirannya akan bersikap tidak jujur terhadap lingkungan dan komunitas tempatnya hidup.
PEMBAHASAN:
Pemidanaan terhadap pelaku “turut serta”, dapat diberlakukan pula norma Pasal 39 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memiliki norma pengaturan relevan berikut, yang tidak dapat dipandang remeh, sebagai berikut:
“Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a) Benda atau tagihan Tersangka atau Terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.”
Seperti apakah cara memaknai ketentuan demikian? Hanya dengan merujuk konteks peristiwa konkret, kita barulah dapat dengan mudah untuk memahaminya. Ilustrasi berikut SHIETRA & PARTNERS angkat sebagai cerminan nyata, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa gugat-perlawanan register Nomor 1656 K/Pdt/2013 tanggal 28 Mei 2014, perkara antara:
- Drs. THAARIQ S. A. AZIZ, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
1. PEMERINTAH R.I., cq. KEJAKSAAN AGUNG R.I., cq. KEJAKSAAN TINGGI JAKARTA, cq. KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT; 2. FERRY J. ROBERTUS TANDIONO, sebagai Para Termohon Kasasi dahulu para Tergugat.
Penggugat mengaku sebagai pemilik sebidang tanah seluas 5.830 meter persegi berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 30/Dermaga, yang dibeli oleh Penggugat dari Tuan Ali Bawahab (Ali bin Muhamad Bawahab) senilai Rp87.000.000,00 sebagaimana termuat dalam kwitansi tertanggal 2 Oktober 1990—namun Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, baru dibuat dan terbit setelah Ali Bawahab terlebih dahulu menyelesaikan dan atau melunasi seluruh kewajiban hutangnya kepada Bank BRI Cabang Bogor pada tanggal 19 Mei 1992, yang selanjutnya SHM dilakukan roya atau pembersihan dari Hak Tanggungan.
Sekalipun telah dilakukan roya, namun hingga saat ini SHM masih tercatat pemegang hak semula, yaitu Ali Bawahab dan belum dibalik-namakan ke atas nama Penggugat. [Catatan SHIETRA & PARTNERS: itulah modus yang kerap dipakai untuk menyalah-gunakan kelemahan hukum pertanahan nasional: AJB tetap dibiarkan tidak disempurnakan dengan peralihan hak atas tanah, dimana hal demikian rawan disalah-gunakan ketika pihak para pihak dalam AJB tersebut saling berkomplot dan sekongkol untuk menjebak pihak ketika yang membeli SHM tersebut dikemudian hari, lalu dimunculkanlah AJB sebelumnya guna membatalkan jual-beli pihak ketiga bersangkutan.]
SHM tersebut kini disita oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Tergugat I) dengan alasan bahwa SHM dibeli oleh Penggugat dengan menggunakan uang hasil korupsi berupa restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Periode Mei 1990 sampai Tahun 1993, dimana menurut dakwaan Tergugat I pada waktu itu, Penggugat menjabat sebagai Direktur Keuangan PT. Yansco Mediatama.
Restitusi PPN pertama yang cair adalah pada tanggal 6 September 1991, dengan demikian pembelian atas tanah yang dilakukan Penggugat terjadi sebelum tanggal 6 September 1991, dengan kata lain sepenuhnya menggunakan uang milik pribadi Penggugat, tidak menggunakan pencairan dana restitusi PPN dan bukan sebagai hasil kejahatan tindak pidana korupsi.
Pada mulanya di bulan Mei 1990, Penggugat selaku Akuntan Publik memperoleh kuasa dari Direktur Utama P.T. Yansco Mediatama untuk mengurus segala keperluan perpajakan berdasarkan Surat Kuasa tanggal 12 Mei 1990. Pemberian kuasa oleh PT. Yansco Mediatama kepada Penggugat, adalah dalam rangka hubungan kerjasama antara Penggugat sebagai Akuntan Publik dengan PT. Yansco Mediatama sebagai pengguna jasa audit keuangan PT. Yansco Mediatama.
Dalam Perjanjian Kerja tersebut, ditegaskan hal-hal sebagai berikut antara pengguna dan pemberi jasa: “Adapun tugas Kantor Akuntan Drs. Thaariq S. A. Aziz adalah:
1. Melakukan Audit (Pemeriksaan) atas Financial Statements (Neraca dan Daftar Perhitungan Rugi/Laba) PT. Yansco Mediatama;
2. Menilai dan memperbaiki sistem pembukuan yang ada, jika diperlukan;
3. Selama melakukan pemeriksaan, mendidik Staf Pembukuan yang ada;
4. PT. Yansco Mediatama menyediakan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Kantor Akuntan Drs. Thaariq S. A. Aziz berkewajiban untuk:
a. Menyusun permohonan restitusi pajak dan menyerahkannya ke Kantor Pajak;
b. Seluruh hasil uang restitusi tersebut, harus langsung ditransfer dari Dirjen Pajak ke rekening PT. Yansco Mediatama dan sepenuhnya menjadi milik PT. Yansco Mediatama;
c. Karena Akuntan Publik harus independen dan tidak boleh berada di dalam Organisasi P.T. Yansco Mediatama, maka seluruh akibat hukum dari restitusi pajak tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab P.T. Yansco Mediatama.” [Note SHIETRA & PARTNERS: Penggugat menganggap, dengan dicantumkannya klausul demikian, dapat membuat Penggugat “cuci tangan” atas keterlibatan / kontribusi kejahatan korupsi yang dilakukan sang klien. Sama persis seperti praktik kalangan advokat, yang berasumsi dan bersikukuh bahwa dirinya dapat berlindung dibalik Undang-Undang Advokat.]
Penggugat mendalilkan, berdasarkan Surat Perjanjian Kerja tersebut, pencairan dan penerimaan restitusi PPN pada Periode Mei 1990 sampai dengan 18 Mei 1991, bukan menjadi tanggung jawab Penggugat, karena Penggugat pada saat tersebut hanya terlibat / berperan sebagai seorang penerima kuasa dan terkait hubungan kerja dengan PT. Yansco Mediatama. Pada periode tersebut yang bertanggung jawab atas pencairan dan penerimaan restitusi PPN adalah Direktur Utama PT. Yansco Mediatama.
Dengan demikian objek tanah diperoleh Penggugat sebelum Penggugat diangkat menjadi Direktur PT. Yansco Mediatama pada tanggal 18 Mei 1991, sehingga tidak dapat dikenakan penyitaan oleh Tergugat I, klaim Penggugat tanpa mau menyadari keterlibatan dan kontribusi kejahatan Tindak Pidana korupsi yang dilakukan oleh Penggugat.
Tergugat I menyita dan melaksanakan eksekusi terhadap asset milik Penggugat, termasuk sebidang tanah SHM yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini, dengan cara penjualan lelang eksekusi melalui perantaraan Kantor Lelang Negara (Turut Tergugat), pada tanggal 26 November 2009, dimana asset yang terjual sebanyak 12 bidang tanah, termasuk didalamnya SHM milik Penggugat, yang pada akhirnya dibeli oleh Tergugat II sebagai pemenang lelang.
Sementara dalam bantahannya pihak Tergugat menyanggah, yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini bukanlah milik Penggugat, melainkan “Barang Rampasan untuk Negara” sesuai dengan putusan perkara pidana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 54/Pid.B/1995/PN.Jakarta Pusat tanggal 6 September 1995 jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 112/Pid/1995/PT.DKI. tanggal 27 Desember 1995 jo. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor 870 K/Pid/1996 tanggal 2 Oktober 1996 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), dimana Penggugat telah dinyatakan dipidana berdasarkan pasal pidana “turut serta” atas pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa lainnya.
Terhadap gugatan pihak Penggugat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 95/PDT.G/2010/PN.JKT.PST. tanggal 10 November 2010, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, Putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian telah “dikuatkan” oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 435/PDT/2011/PT.DKI. tanggal 7 Desember 2011. Selanjutnya Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum, sebab putusan dan pertimbangannya sudah tepat dan benar, yaitu menolak gugatan Pemohon Kasasi / Penggugat untuk seluruhnya, dengan alasan sebagai berikut:
- Bahwa sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan berupa 8 (delapan) surat Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, yaitu bahwa dalam menyita objek sengketa Tergugat I telah melakukan secara melawan hukum;
- Bahwa tidak terdapat persesuaian bukti P-4 dan P-5 dengan P-2 maupun P-3, sehingga dapat disimpulkan, perolehan dan pemilikan Penggugat atas objek tanah tersebut telah direkayasa dengan cara menimbulkan dua bukti surat dengan nilai jual beli yang berbeda, sehingga dipandang telah tidak memiliki itikad baik, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan sebagai alat bukti. Sehingga Pemohon Kasasi / Penggugat tidak dapat membuktikan, sedangkan para Termohon Kasasi / para Tergugat tidak dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum;
- Bahwa dalam perkara perlawanan terhadap penyitaan yang sudah berkekuatan hukum tetap yaitu Putusan Nomor 941 K/Pdt/2004 Termohon Kasasi / Tergugat I telah dimenangkan, dan selain itu Pemohon Kasasi / Penggugat telah dipidana dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yaitu Putusan Nomor 870 K/Pid/1996;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata Putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Drs. Thaariq S. A. Aziz tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Drs. THAARIQ S. A. AZIZ tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.