Kode Etik (yang Justru) Melanggar Etika

ARTIKEL HUKUM
Baru-baru penulis membaca sebuah pemberitaan, kalangan pengacara di Tanah Air dengan pongahnya berbangga diri menyatakan (seolah idealis): “Lebih baik dihukum oleh hukum negara, daripada melanggar kode etik dengan membocorkan rahasia klien, terlebih melaporkan perbuatan koruptif klien ke PPATK.”
Penulis menjadi teringat pada pesan Soe Hoek Gie, seorang aktivis yang terkucilkan dari komunitas intelektual pada masa Orde Lama, justru karena idealismenya: “Mereka yang mengetahui adanya kejahatan, namun turut menutupinya, sama artinya ikut-ikutan menjadi penjahat itu sendiri.”
Para mahasiswa yang semula idealis, turut menjungkalkan Orde Lama, ketika menjelma pejabat di Orde Baru, ternyata sama korupnya dengan pemerintahan Orde Lama yang sebelumnya mereka jungkalkan bersama-sama. Gie merasa “perih”, sampai pada akhirnya menyebutkan: “Lebih baik dikucilkan, daripada menyerah pada kemunafikan.” Mungkin, Gie-lah yang memilh mengucilkan diri, daripada disebut sebagai dikucilkan oleh para kawan-kawan mahasiswanya yang kemudian menjelma menjadi para pejabat korup.
Pesan singkat Soe Hok Gie, sudah cukup menjadi filter “uji moril” terhadap kode etik kalangan advokat di Tanah Air. Ternyata, apa yang disebut sebagai “kode etik” dan dibangga-banggakan oleh kalangan pengacara di Indonesia, tidak tahan uji moril. Sebelum kita melangkah lebih jauh perihal bahasan uji moril, simak beberapa pertanyaan introspektif berikut:
- Apakah etis, organisasi advokat mencegah penegakan hukum oleh aparatur negara dengan alasan sang pengacara belum diperiksa oleh Majelis Etik organisasi, seakan negara harus tunduk pada organisasi swasta bernama PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia)? Sejak kapan, otoritas negara dan penegakan hukum, harus tunduk kepada organisasi swasta bernama PERADI?
- Apakah etis, menetapkan harga yang kelewat sangat mahal untuk PKPA, ujian advokat, pelantikan advokat, hingga upeti tahunan dari ribuan bahkan jutaan advokat dan calon advokat, kepada PERADI? Kemana semuakah dana-dana tersebut mengalir?
- Apakah etis, pejabat PERADI saling berebut kekuasaan hingga kemudian pecah menjadi tiga PERADI, bahkan hingga saling gugat-menggugat antar kubu PERADI masing-masing versi?
- Apakah etis, dewan kode etik PERADI tidak pula menyidangkan para petinggi PERADI yang saling berebut kekuasaan demikian?
- Apakah etis, PERADI yang notabene organisasi swasta, melakukan monopoli penerbit izin (license) beracara profesi advokat, dengan memungut biaya yang kelewat mahal?
Sudah saatnya, lembaga penerbit izin advokat dikembalikan kepada otoritas negara, sehingga segala biaya yang ditarik dari calon pengacara, mulai dari ujian advokat, hingga iuran tahunan, semua masuk ke kas negara, bukan masuk ke kantong saku para petinggi PERADI (swasta) yang sibuk berebut kekuasaan dan uang.
Sudah tidak relevan memakai alasan bahwa bila penerbitan izin beracara bagi pengacara dikembalikan kepada negara, akan menimbulan sikap represif kepada kalangan profesi pengacara oleh negara, mengingat alasan demikian sudah tidak relevan sejak didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara. Sejatinya, alasan demikian hanya menjadi alibi untuk menggelembungkan saku celana para petinggi PERADI, dan hanya “laku” pada saat Orde Baru saat PTUN belum benar-benar efektif bersidang.
Bila organisasi advokat (swasta komersil, PERADI) pemegang monopoli penerbitan izin beracara, ternyata adalah organisasi yang amat sangat tidak etis, bagaimana mungkin kita harapkan untuk mampu menegakkan etika para pengacara anggota organisasinya?
Bila organisasinya saja demikian jauh dari kata “etis”, maka apa yang dapat kita harapkan dari perilaku para pengacara anggotanya.
Kita masih ingat amar putusan Majelis Hakim dalam perkara pidana Jessica Kumala Wongso dalam kasus Kopi Es Vietnam yang merenggut nyawa Mirna Solihin, dengan tegas dan keras “menampar wajah” Otto Hasibuan, pengacara senior (mantan ketua PERADI) yang menjadi titik pembuka perpecahan PERADI, dan menyebut Otto Hasibuan sebagai pengacara yang tidak punya etika dalam bersidang.
Bila sang (mantan) Ketua PERADI memberi teladan tidak etis demikian, sehingga ditegur dengan sangat keras oleh Majelis Hakim dalam amar putusannya, maka kita tidak akan heran bila kemudian lahir pengacara-pengacara seperti Frederick Yunadi, sang pengacara Setya Novanto.
Fakta ternyata menyebutkan, bahwa Frederic Yunadi dan Otto Hasibuan adalah kawan dekat. Satu komunitas pergaulan, satu profesi, satu praktik berhukum, dan (besar kemungkinan) satu watak. Menjadi bukti: Otto Hasibuan gagal membina dan membimbing sang pengacara meski merupakan saling berkawan dekat, atau mungkin pula sebaliknya. Dan, tentu saja, keduanya merupakan mantan pengacara Setya Novanto, yang mundur sebagai kuasa hukumnya secara bersamaan dengan mundurnya Yunadi sebagai pengacara Novanto.
Rasanya, sungguh teramat “bodoh” bila kita sudi untuk menggemukkan saku para petinggi-petinggi semacam organisasi swasta monopolistik bernama PERADI. Itulah salah satu alasan terbesar, mengapa penulis lebih memilih untuk berprofesi sebagai seorang konsultan hukum. Mahalnya biaya ujian advokat yang dimonopoli PERADI, mengakibatkan penulis mengundurkan niat untuk mengikuti ujian advokat. Belum pernah satu kali pun penulis mengikuti ujian advokat, tidak sudi memperkaya para pejabat PERADI yang sudah sangat kaya namun terus menggemukkan pundi dari para calon advokat, dan sibuk berebut kekuasan.
Perilaku PERADI, jauh dari kata “etis”. Sebagai lembaga organisasi swasta, PERADI bahkan menghalang-halangi lembaga / organisasi swasta lainnya seperti KAI (Kongres Advokat Indonesia), bahkan lebih jauh lagi menentang perubahan Undang-Undang tentang Advokat yang selama ini memberi hak monopoli bagi PERADI untuk mengkomersialisasikan izin beracara bagi kalangan pengacara.
Entah apa yang selama ini dikerjakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sudah semestinya dan selayaknya KPPU menghukum PERADI karena seenaknya menerapkan tingkat biaya ujian advokat dan iuran tahunan (upeti) yang kelewat mahal bagi para pengacara dan calon pengacara di Tanah Air, sementara PERADI adalah swasta, dan justru bersikap monopolistik.
Organisasi profesi lainnya, seperti kurator, jasa konstruksi, akuntan publik, bernaung di banyak pilihan organisasi untuk dipilih sesuai keinginan masyarakat. Namun PERADI sebaliknya, ingin memonopolisir komersialisasi profesi advokat di Tanah Air.
Hebatnya, PERADI kebal hukum dari KPPU yang seakan tidak berani untuk menyentuh PERADI—menjadi cerminan ketidak-seriusan serta indikasi tebang-pilihnya KPPU dalam menegakkan hukum anti persaingan usaha tidak sehat. Bahkan setiap anggota PERADI merasa memiliki imunitas untuk melakukan kejahatan serta membantu pelaku kejahatan untuk lolos dari jerat hukum dengan “menghalalkan segala cara” (by all means).
Cukup sudah kita bicara perihal “kegilaan” organisasi advokat maupun arogansi kalangan profesi advokat di Tanah Air, yang menganggap membela penjahat ialah profesi mulia (officium nobile)—suatu kegilaan / kultuisme profesi yang sama sekali tidak etis, setidaknya dalam kacamata Gie maupun akal sehat penulis, terlebih menyebutnya sebagai “menegakkan hukum” yang terdengar lebih menyerupai “menyembunyikan dan membengkokkan hukum”.
Kini mari kita simak bagaimana menerapkan pemakaian alat “uji moril” menyikapi kode etik advokat terbitan versi PERADI yang mewajibkan para pengacara untuk merahasiakan kebusukan para klien mereka. Suatu ketika, datang kepada seorang pengacara, klien yang meminta jasa hukum untuk dibebaskan dari segala resiko hukum yang tengah dihadapinya.
Sang klien lalu menceritakan perbuatan yang telah dilakukannya, serta keinginannya untuk berencana mengebom suatu gedung bertingkat sepuluh, yang salah satu penghuni gedung tersebut ialah adik kandung sang pengacara. Pertanyaannya, (untuk kita jawab secara bersama-sama): apakah sang pengacara akan memilih untuk merahasiakan apa yang telah didengarnya dari pengakuan sang klien secara empat mata tersebut, atau justru melaporkan semua yang telah didengarnya tersebut kepada pihak berwajib? Dengan demikian:
- Apakah betul, dengan demikian, “kode etik” selalu identik atau sejalan dengan cara berpikir etis?
- Bagaimana bila ternyata “kode etik” melanggar etika?
- Apakah standar etika dan moralitas, atau bahkan suara nurani batin terjujur yang paling dalam, kalah tinggi dengan derajat “kode etik” yang ternyata tidak mampu lolos dari “uji moril” yang teramat sederhana demikian?
- Apakah “kode etik” diciptakan oleh dewa yang sudah maha suci?
- Apakah “kode etik” sudah sempurna sehingga dianggap lebih tinggi dari undang-undang, meski para founding father tidak pernah menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar telah sempurna sehingga tidak boleh diubah?
- Apakah manusia tidak boleh lebih mulia dan lebih etis daripada “kode etik”?
- Apakah bila sudah tahu bahwa sang klien benar-benar bersalah sesuai pengakuannya empat mata kepada sang pengacara (kuasa hukum), mengapa masih dibela dengan mengatas-namakan “kode etik”, meski sang pengacara selalu punya opsi untuk menolak ditunjuk sebagai kuasa hukum / pembela?
- Apakah dengan demikian, adalah etis membela penjahat, yang sekaligus dimaknai sebagai bangga menjadi penegak “kode etik”? Sejak kapan, yang disebut dengan etika ialah membela para penjahat, alih-alih membela para korban?
- Apakah dengan demikian “kode etik” tidak rawan disalah-gunakan oleh kalangan profesi pengacara di Tanah Air?
- Apakah tidak ada kesadaran etis bagi kalangan pengacara untuk menyadarkan kliennya untuk mengaku bersalah, menyerahkan diri, dan seketika menjadi justice collaborator, alih-alih sibuk berkelit dan melarikan diri? (lihat bagaimana M. Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat, memecat OC Kaligis sebagai pengacara yang justru mengajarkannya untuk melarikan diri dari KPK, atau Yunadi selaku pengacara Setya Novanto yang men-setting segala aksi rekayasa berkelit dari jerat hukum)
Pada zaman kini, kita harus bangga untuk tidak menjadi seorang advokat, bukan sebaliknya bersikap takut terhadap kalangan pengacara, terlebih fenomena ganjil: para sarjana hukum berbondong-bondong hendak menjadi advokat. Kita harus mulai menyadari, secara etika moralitas, kita masih jauh lebih “suci & mulia” ketimbang kalangan profesi mereka.
Advokat, sejatinya mencari nafkah dengan cara memprovokasi klien untuk menggugat dan berspekulasi, sekalipun diketahuinya gugatan tersebut tidak akan membuahkan hasil. Tanpa perkara, kalangan pengacara hanya akan “makan angin”. Dengan demikian, profesi advokat itu sendiri secara sendirinya telah bertentangan dengan prinsip etis mendasar alias adanya conflict of interest dimana pada satu sisi ada kepentingan dirinya untuk mengambil tarif jasa dari layanan mempersengketakan (untuk selengkapnya, tanyakanlah kepada kalangan perbankan, betapa setiap tahunnya ribuan gugatan diajukan oleh pengacara para debitor nakal—bahkan hakim sudah cukup “muak” dengan segala ulah tersebut).
Tidak ada yang “keren” dengan menggugat orang yang tidak bersalah. Tidak juga ada yang keren dengan berhasil melepaskan seorang penjahat dari jerat hukum. Tidak pula ada yang hebat dengan menjadi kaya raya dengan cara merugikan pihak korban.
Semestinya kita bangga menjadi sarjana hukum yang berprofesi diluar organisasi advokat. Hanya ketika izin beracara dikembalikan kepada otoritas negara, barulah Anda dapat kembali mengibarkan idealisme sebagai pengacara. Saat kini, Anda harus malu ketika menyebut diri Anda sebagai seorang advokat.
Advokat, semestinya menegakkan hukum, bukan menyembunyikan hukum dengan membela seorang penjahat. Mencoba atau berusaha meringankan hukumannya pun, sama sekali tidak dapat disebut sebagai etis. Yang adil dan etis, ialah dihukum secara proporsional sesuai derajat kesalahan atau kejahatannya.
Yang dapat disebut hebat, ialah mereka yang berhasil menyelesaikan masalah hukum secara mediasi, bukan bersengketa litigasi di pengadilan. Yang dapat disebut sebagai hebat, ialah sarjana hukum yang mampu mengarahkan para kliennya untuk memitigasi masalah, alias preventif, bukan kuratif. Itulah yang baru dapat disebut sebagai standar “etik” yang bermutu dan dapat dibanggakan.
Bukanlah satu atau dua kali kalangan pengacara Indonesia mencoba menipu penulis dengan berbagai cara tidak terpuji, mengambil keuntungan dengan cara merugikan orang lain. Bila memang profesi advokat ialah profesi yang mulia, menjadi pertanyaan besarnya, mengapa menggunakan cara-cara tipu-muslihat tidak terpuji ketika mencoba berhadapan dengan penulis? Dimana letak etisnya menggunakan cara-cara tipu-daya dalam menjalankan profesinya?
Sebagai penutup, cobalah kita renungkan bersama standar etis dalam “kode etik” yang tampak adanya “konflik nilai” berikut. Seorang pengacara yang menjadi pembela / kuasa hukum koruptor, mendapat fee dari manakah, bila bukan dari uang kotor hasil dari perbuatan koruptif sang klien? Bukankah, itu sama artinya dengan makan uang “haram”? Bila ada seekor hewan tertentu yang di-“haram”-kan untuk dimakan, mengapa memakan uang kotor dari klien kotor demikian tidak juga diterbitkan “fatwa haram”?
Pertanyaan terbesarnya, bila sang “pengacara koruptor” turut menikmati uang “haram” demikian, mengapa tidak juga izin lisensi beracaranya dicabut oleh Dewan Etik Advokat? Namun bukanlah itu yang menjadi pertanyaan pamungkasnya. Bila sang pengacara turut menikmati uang hasil korupsi sang klien, mengapa sang pengacara tidak juga turut dipidana oleh penegak hukum sebagai pelaku tindak pidana penyertaan / turut-serta?
Secara yuridis formil, mungkin saja pengacara yang bersangkutan dilindungi oleh Undang-Undang tentang Advokat. Namun secara etik moralitas, membela seseorang yang telah diketahuinya benar sebagai seorang penjahat, terlebih koruptor, adalah sebuah kejahatan itu sendiri. Anda bisa saja membantah tulisan ini dengan argumentasi irasional Anda, namun Anda tidak dapat membohongi suara hati Anda sendiri—kecuali bila Anda telah “menggadaikan” nurani Anda demi materi dan ketenaran. Kita harus selalu ingat, dewa kematian dan raja neraka tidak dapat disuap. Uang Rupiah ataupun Dollar milik Anda, tidaklah laku di alam baka. Idealiseme bukan untuk menjadi jargon, tapi di-lakoni.
Namun, tetap saja, siapapun tidak punya hak untuk mengganggu ketenangan hidup warga negara lain lewat digugat secara tanpa dasar. Hal tersebut secara moril disebut sebagai perampasan ketenangan hidup, yang lebih menyerupai perampokan dengan cara menyalahgunakan lembaga gugatan dan peradilan. Sekalipun demikian, pepatah sudah sejak lama mengingatkan, bahwa: 'Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang.'
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.