Negara yang Memelihara & Melestarikan Warga Penjahat & Kejahatan

ARTIKEL HUKUM
Jadi penjahat di Indonesia itu “enak”, itulah kesimpulan selama lebih dari tiga puluh tahun penulis telah tinggal di Indonesia. Betapa tidak, melaporkan pelanggaran hukum kepada pihak kepolisian, dinas pendidikan, dinas perumahan, kelurahan, kecamatan, bahkan hingga gubernur dan presiden, tidak mendapatkan tindak-lanjut sebagaimana mestinya. Dari sudut pandang tersebut, ketika laporan warga atas pelanggaran hukum tidak ditindak-lanjuti, apakah keliru bila warga kemudian melakukan aksi “main hakim sendiri” karena negara gagal hadir untuk menjalankan perannya?
Padahal, pelanggaran dan laporan diajukan masih dalam lingkup daerah perkotaan besar seperti DKI Jakarta. Menjadi pertanyaan, bagaimaan praktik di daeah lain di Indonesia? Kunci dari penegakan hukum yang tegas, idealnya ialah berujung-tombak pada lembaga penegak hukum yang tanggap serta responsif terhadap setiap laporan warga, tidak secara formalitas belaka membuka lembaga penampung aduan yang hanya menampung aduan, namun tanpa tindak-lanjut.
Ketegasan atau tidaknya aparatur pemerintah, dapat dilihat dari lambat atau cepatnya tindak-lanjut atas laporan warga, apakah laporan kita ditampung dengan keseriusan dan ketulusan untuk melayani, apakah ada jaminan atau tidaknya laporan warga ditindak-lanjuti sehingga tidak menjadi boomerang effect “hanya buang-buang waktu dan tenaga melapor”, apakah ada keseriusan atau hanya seremonial dan “gimmick” belaka membuka loket pengaduan, apakah disediakan sarana dan fasilitas memadai yang memudahkan warga mengadukan masalahnya, dan apakah ada profesionalisme manajemen penanganan tindak-lanjut atas setiap laporan warga? Itulah parameter negara maju yang sangat serius menegakkan aturan hukum guna menciptakan ketertiban sosial (social order).
Di negara beradab seperti Amerika Serikat, terhadap setiap laporan warga, amat sangat cepat tanggapannya, terdapat jaminan tindak-lanjut atas setiap laporan warga, penanganan memadai, adanya keseriusan, serta penangangan secara responsif dan sigap. Terlihat jelas adanya manajemen penanganan aduan secara profesional. Apa yang kemudian terjadi dari praktik budaya hukum yang tegas demikian? Tiada warga yang berani bermain-main dengan hukum.
Di Amerika Serikat, bila terdapat seorang warga / tetangga yang melakukan pelanggaran hukum, sepele sekalipun tampaknya seperti menyerobot lahan pekarangan atau membuat polusi udara, cukup diancam dengan kata-kata: “Jika Anda masih seenaknya mengganggu warga, akan saya panggil polisi!”
Apa yang kemudian menjadi respon dari warga yang diancam demikian di Amerika Serikat? Hanya warga / penduduk Amerika Serikat yang bodoh, yang meremehkan ancaman demikian. Mengapa? Karena sudah banyak contoh kasus di Amerika Serikat, ketika warga menelepon nomor telepon kepolisian, seketika itu juga polisi tiba dan melakukan pengawasan serta penegakan hukum. Jadilah, setiap Warga Negara Amerima Serikat tidak lagi dapat merasa dapat bermain-main dengan ancaman “akan saya laporkan perbuatan Anda!”
Sebaliknya, apa yang terjadi di Indonesia? Anda laporkan pelanggaran yang dilakukan oleh warga lain, sekalipun Anda benar-benar telah dirugikan, maka Anda hanya akan mendapat “kekecewaan” karena telah diberikan “pemberi harapan palsu” (PHP). Oleh karenanya, Negara Indonesia adalah negara dengan watak bangsa yang biadab, bukan beradab, karena memang dibiasakan oleh negaranya untuk “melanggar tanpa ditindak”—alias bebas melanggar tanpa ancaman ditindak oleh aparatur negara. Negara tidak pernah hadir, namun yang ada ialah “tebang pilih”, atau praktik “tumpul diatas, tajam kebawah.”
Berikut beberapa pengalaman pribadi penulis, yang meski tampak sepele dan sederhana, namun hal berikut dapat mencerminkan watak sejati Bangsa Indonesia, yang sama sekali tidak bermaksud menggenalisir, namun faktanya demikianlah terjadi secara masif dan “terpola” dimanapun penulis berada selama di dalam teritori kawasan Indonesia.
Suatu hari ketika penulis masih seorang pelajar, penulis dengan susah-payah mendatangi suku dinas pendidikan yang terletak di kompleks kantor Walikota Jakarta Barat, untuk mengadukan pelanggaran kebocoran soal ujian nasional, dimana oknumnya tidak lain seluruh guru pegawai negeri sipil yang menjual dan memaksakan para peserta didik untuk membeli jawaban soal ujian nasional.
Apa yang kemudian penulis alami? Pihak berwenang di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat hanya bersedia mendengar laporan penulis selama satu menit, meski laporan penulis bukanlah aduan yang sepele sifatnya: KEBOCORAN SOAL UJIAN NASIONAL DAN PEMAKSAAN GURU PNS YANG MENJUAL JAWABAN SOAL UJIAN KEPADA PARA SISWA-SISWI PESERTA DIDIK!!!
Tidak ditampilkan respon seperti mencatat nama penulis sebagai pihak pengadu, tidak juga menanyakan nomor telepon penulis sebagai pengadu untuk ditindak-lanjuti ataupun untuk menjadi saksi demi penegakan hukum, bahkan tidak ada sesi tanya-jawab “interogasi” untuk menggali detail peristiwa layaknya orang yang benar-benar ingin menyelidiki pelanggaran hukum serius demikian.
Praktis, penulis datang dan pulang dengan sia-sia. Dapatlah sebuah kesimpulan pada saat itu juga: negara ini memang negara busuk, busuk diluar dan didalamnya. Korup sekorup-korupnya. Ternyata, melaporkan pelanggaran adalah hal yang sia-sia, negara itu sendiri yang menjadi agen kejahatan, sekaligus oknumnya, dan negara itu pulalah yang akan menutupi segala kejahatan tersebut. Ternyata pula, negara itu sendiri yang melestarikan dan memelihara para penjahat dan kejahatan serta watak jahat para warga negaranya.
Bila satu peristiwa itu saja, lalu penulis mencoba menggenalisir, maka itu keliru. Namun pengalaman demi pengalaman berikutnya, mempertegas kesimpulan demikian. Penulis pernah dianiaya oleh seorang preman di Jakarta hingga terluka, dan penulis kemudian menelepon kantor polisi setempat. Tidak ada penanganan ataupun tindak-lanjut apapun. Ketika pada esok harinya penulis mendatangi kantor polisi tersebut untuk mengadu, yang penulis dapatkan hanyalah ditelantarkan selama berjam-jam dan “pelayanan” yang arogan dari para polisi yang kerjanya hanya duduk-duduk mengobrol sambil merokok.
Betapa enaknya menjadi penjahat di negeri ini, berbuat kejahatan tapi dibiarkan, bahkan korban dipermainkan oleh para aparatur penegak hukum. Kesan tersebut kuat sekali tertanam didalam benak penulis, yang lagi-lagi harus pulang dengan sia-sia, yang hanya membuat perasaan penulis kian terlecehkan. Ketika pada saat kini merebak berita kalangan polisi tewas terbunuh oleh aksi terorisme, apakah kalangan polisi mendapat simpati dari penulis ataupun oleh masyarakat? Sama sekali tidak, bahkan kami turut tertawa mendengar berita tersebut, dan diam-diam menikmatinya sebagai ajang “pembalasan dendam” secara kolektif.
Belum lama ini, rumah penulis diserobot oleh tetangga yang bahkan membangun rumah tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dimana tetangga tersebut secara arogan menyatakan dirinya “kebal hukum” tanpa butuh IMB, bebas merusak properti kami, dan menyerobot sekalipun. Atas kejadian tersebut, dengan sekali lagi menaruh harapan terhadap peran negara yang “konon” mengayomi warganya, penulis mengadukan peristiwa pelanggaran ketentuan pembangunan rumah tersebut kepada Dinas Perumahan dan Pemukiman DKI Jakarta, secara tertulis dan resmi, lengkap dengan alat bukti.
Apa yang kemudian terjadi? Lagi-lagi penelantaran dan tanpa tindak-lanjut. Lalu, buat apa Pemerintah Daerah DKI Jakarta membuat aturan dan Peraturan Daerah yang mewajibkan setiap warganya harus memiliki IMB sebelum mendirikan rumah? Berarti, atas penelantaran pengaduan tersebut, ada dua pihak yang melanggar: warga yang melanggar Perda, dan aparatur sipil negara yang menelantarkan pelapor serta yang telah membiarkan terjadinya pelanggaran demikian.
Ternyata, aktor kejahatan bukan hanya oleh warga, tapi aparatur negara itu sendirilah penjahat yang sesungguhnya. Bagi penulis, sikap “makan gaji buta” dari uang rakyat demikian adalah “korupsi berjemaah” yang menjadi watak mendarah-daging yang mengakar dalam praktik bernegara di Indonesia. Seakan, para aparatur sipil negara tersebut, digaji dengan uang rakyat hanya untuk melecehkan rakyat, dengan menelantarkan dan mempermainkan setiap aspirasi maupun aduan rakyat.
Tidak ada harapan bagi negeri “bobrok luar-dalam” bernama Indonesia ini, bila tidak ada keseriusan dari para aparatur negara yang memegang kekuasaan secara monopolistik demikian, meski telah digaji dengan uang rakyat—suatu sikap “durhaka” yang akan tidak adil bila kita akan bertetangga dengan mereka di surga, bukan?
Boleh saja polisi menelantarkan pengaduan warga, selama warga diberi pula kewenangan untuk memegang senjata api dan menegakkan hukum (baca: main hakim sendiri). Boleh saja dinas pendidikan dan dinas perumahan menelantarkan aduan warga, selama warga dibolehkan untuk tidak membayar pajak. Buat apa membayar pajak untuk menggaji para “pelaku pelecehan” terhadap para warga pembayar pajak?
Di Amerika Serikat, tidak ada alasan untuk tidak membayar pajak. Bahkan, untuk dapat izin dikremasi, almarhum oleh ahli warisnya harus mendapat surat keterangan bersih beban pajak dari Kantor Pajak, sebelum jenasah almarhum dapat dikremasi. Mengapa? Karena negara telah menjamin dan konsisten dalam praktiknya menegakkan hukum, aduan yang cepat dan responsif ditanggapi, adanya kehadiran penegak hukum di tengah-tengah masyarakat, adanya jaminan tindak-lanjut, keterbukaan dan akuntabilitas penegakan hukum, adanya transparansi dan profesionalisme manajerial penanganan terhadap setiap aduan.
Sementara dalam praktik di Indonesia, Anda hanya akan “gigit jari”. Sejatinya, mereka yang layak menjadi narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), jauh lebih banyak dari yang kini diberitakan. Bila penegakan hukum di Indonesia masih “tebang pilih”, tidak profesional, tidak konsisten, sudah membuat berbagai Lapas penuh sesak bahkan terjadi obral remisi, maka bila penegakan hukum dijalankan secara benar-benar serius dan konsisten, maka tidak dapat dibayangkan: Indonesia akan dicap sebagai negara tidak beradab, penuh sesak oleh penjahat dan kriminil.
Justru karena berbagai pelanggaran hukum tidak ditindak, (yang dapat ditengarai karena disengaja) seakan membuat negara Indonesia yang agamais penduduknya ini, tampak sebagai bangsa yang beradab oleh negara-negara dunia, dimana banyak warga yang sejatinya melanggar hukum, hidup bebas tanpa dihukum ataupun ditindak, bahkan terus menjabat, terus bersikap korup, terus melakukan kejahatan, terus merugikan masyarakat dan terus memakai atribut keagaaman, dan tidak terkecuali bersikap agamais penuh kemunafikan.
Mohon maaf bila penulis akan berterus-terang, Bangsa Indoenesia adalah negara dengan penduduk yang agamais, namun perilakunya lebih buruk dari negara-negara seperti Amerika Serikat yang dicap sebagai “kafir”. Penyalahgunaan wewenang, korup, pelecehan, “gaji buta”, pemerasan, penelantaran, ketidak-seriusan, ketidak-profesionalan, hingga penindasan oleh aparaturnya terhadap warga masyarakat, bahkan warga masyarakat yang bersikap sewenang-wenang hingga melanggar hukum dengan merugikan warga masyarakat lainnya yang taat hukum, sudah menjadi bukti konkret, dari dahulu kala, kini, dan (pastinya) dimasa mendatang, membuktikan betapa Bangsa Indonesia adalah bangsa “biadab”, jauh dari kata “beradab”.
Perasaan penulis adalah milik pribadi penulis, tiada ada yang berhak untuk mendikte apa yang penulis rasakan ataupun terhadap pengalaman yang penulis jumpai langsung secara empirik. Bila ada yang mencoba membahtah tulisan sederhana yang mencerminkan budaya hukum Bangsa Indonesia ini, besar kemungkinan merekalah itu sendirilah pelaku pelanggar hukum yang selama ini mendapat keistimewaan karena dibiarkan dan dipelihara oleh negara.
Terdapat adagium yang menyebutkan: sekalipun bila KPK menutup mata dan menembak secara acak (random), maka dapat dipastikan orang yang kena ialah seorang koruptor. Mengapa? Karena mungkin saja 99,9999% bangsa atau penduduk Indonesia, ialah orang-orang korup yang koruptif, meski agamais, serta rajin beribadah. Dengan kata lain, KPK tidak perlu pilih-pilih dalam menangkap dan menjadikan seseorang sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Contoh paling sederhana yang hampir setiap harinya selama bertahun-tahun ini penulis jumpai, kaum buruh / pekerja di Indonesia adalah kaum yang cukup egoistik. Mengapa penulis membuat stigma demikian? Dari berbagai pengalaman penulis selama berprofesi sebagai penyedia jasa konsultasi hukum, berbagai kalangan pekerja meminta pelayanan jasa konsultasi pada penulis, namun tidak berkenan untuk membayar tarif.
Mereka bekerja menuntut upah, bahkan berniat menggugat pengusaha yang telah mempekerjakannya dengan alasan tidak diberi upah ataupun pesangon. Terhadap keganjilan yang kerap penulis alami demikian, penulis mengajukan pertanyaan sederhana: Mengapa tidak Anda saja, yang bekerja pada penulis sesuai profesi anda mencari nafkah, tapi tanpa penulis berikan imbalan? Anda tidak berhak menyuruh penulis untuk memberi makan “batu” pada keluarga penulis, mengapa tidak Anda saja yang memberi makan “batu” pada keluarga Anda sendiri? Mengapa Anda merasa berhak untuk melecehkan profesi penulis?
Dari berbagai pengalaman tersebut, sejatinya kalangan buruh / pekerja dalam satu sisi jauh lebih munafik daripada kalangan pengusaha. Tidak ada konflik kelas disini, sama seperti ketika berbagai kalangan buruh / pekerja tersebut meminta dilayani oleh penulis, akan tetapi menolak untuk dibebani tarif.
Terdapat antinomi nilai yang membuat kita mulai menyadari, bahwa tiada lagi embarkasi yang jelas ataupun tegas antara kalangan “buruh” dan “pengusaha”. Banyak diantara kalangan buruh / pekerja, mengaku sebagai buruh tertindas, mengajukan berbagai uji materiil terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi, namun tanpa kita sadari, dirinya juga adalah seorang pengusaha meski disaat bersamaan mengaku sebagai seorang buruh.
Ketika seorang buruh / pekerja meminta dilayani oleh penulis, namun tidak mau membayar upah atas jasa, layanan, waktu, ilmu pengetahuan dan tenaga penulis, maka apakah sang buruh masih dapat menyebut dirinya sebagai “buruh”? Penulis menjulukinya sebagai “penjajah” dan “kerja rodi”.
Terdapat sebuah ambivalensi laten disini. Bila kalangan “pengusaha” dimaknai sebagai pengguna jasa dan pengguna tenaga dari para tenaga kerjanya, maka apa bedanya antara penyedia jasa seorang konsultan terhadap pengguna jasa yang bisa jadi berangkat dari kalangan “buruh”? Ketika buruh yang menjadi pengguna jasa menolak untuk menghargai profesi dan hak dari penyedia seorang konsultan atas tarif, maka tidak ada kata lain sebagai “kemunafikan” sebagai ujung kesimpulannya.
Kita baru bicara perihal kalangan buruh, belum berbicara perihal kalangan pengacara di Indonesia yang merasa berhak melanggar hukum dengan alasan imunitas advokat, guru yang justru memaksa para peserta didiknya membeli jawaban soal ujian nasional, Pegawai Negeri Sipil di Kantor Pertanahan (BPN) yang kerjanya hanya memeras dan pungli dengan ancaman pelayanan tidak akan diberikan bila tidak memberikan sejumlah uang yang tidak kecil nominalnya, pejabat negara yang kerjanya hanya memusingkan “balik modal”, kriminalisasi terhadap kaum minoritas lewat aksi Perda Syariah yang intoleran terhadap kemajemukan, hingga kasus “Ahok” yang hanya menggunakan “hak jawab” karena nama agamanya disebut-sebut secara tidak hormat dan tidak patut oleh kitab suci sebuah agama kaum mayoritas, namun berujung pidana penjara.
Seyogianya janganlah Anda membantah yang telah demikian terang-benderang, atau hal tersebut akan mempermalukan diri Anda sendiri bila memaksakan diri untuk membatah. Semua fakta diatas barulah sebagian kecil dari fakta yang masih penulis simpan untuk diceritakan, tentang betapa korup bangsa agamais bernama Indonesia ini. Memilih pejabat dari kalangan rakyat yang korup, hanya menghasilan pejabat yang korup. Karena seluruh rakyatnya korup, maka adalah logis bila setiap harinya selalu terdengar aksi OTT terhadap pejabat negara yang notabene dari rakyat dan dipilih oleh rakyat yang juga sama korupnya. Sekali lagi, janganlah membantah, penjara di Indonesia sudah penuh sesak oleh para kriminil.
Dalam lain kesempatan penulis akan mengisahkan pengalaman pribadi ketika melaporkan berbagai rumah di lingkungan pemukiman / perumahan yang menjelma pabrik dengan berbagai polusi suara dan polusi udaranya, mengakibatkan ketenangan warga penduduk setempat tertanggu dan tidak dapat beristirahat akibat polusi pabrik rumah yang menjelma pabrik, namun lagi dan lagi, pengalaman buruk kembali terulang: laporan yang penulis ajukan sama sekali tidak ditampung, tidak tanggapi, bahkan tidak ditindak-lanjuti.
Alhasil, ratusan warga penduduk setempat hidup menderita setiap harinya selama bertahun-tahun, hanya karena perilaku segelintir pengusaha yang dengan enak dan kebal hukumnya mengubah fungsi rumah menjadi pabrik di tengah-tengah pemukiman perumahan padat penduduk, seakan dirinya berhak untuk merampas ketenangan hidup warga setempat.
Namun, setiap harinya pula si kebal hukum ini disumpah-serapah dan didoakan oleh ratusan warga korban, agar dihukum oleh hukum karma dengan menjadikan para penyiksa tersebut sebagai penghuni alam neraka. Hukum karma berbeda dengan hukum Negara Indonesia dan Kepolisian Indonesia, dimana polisi Indonesia justru akan memeras dan menarik pungutan liar pada korban pelapor, hukum karma bekerja secara adil dan tidak dapat disuap.
Setidaknya, itulah berita baiknya. Memang susah hidup di negeri ini, namun disaat bersamaan negeri agamais ini menjadi surga bagi para pelanggar hukum. Masih ingat kisah penulis diatas tentang pejabat Dinas Pendidikan yang sama sekali tidak memberi respon terhadap aduan penulis perihal kebocoran soal ujian nasional? Sang pejabat adalah seorang wanita yang memakai atribut agama berupa (mohon maaf atas kejujuran penulis) jilbab penutup kepala.
Ketika baru-baru ini tersiar kabar seorang guru dianiaya oleh muridnya sendiri hingga tewas mengenaskan, terhadap kabar berita tersebut, penulis hanya tersenyum simpul. Siapa yang selama ini mengajarkan ketidak-jujuran dan kemunafikan? Bukankah wajar dan memang sudah seharusnya, yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang yang sama?
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.