Antara Ketidaktahuan & Kesengajaan untuk Tidak Mau Tahu

ARTIKEL HUKUM
Bila “tidak tahu hukum”, tidak pernah menjadi alasan pembenar untuk bebas dari ancaman hukum. Namun melecehkan profesi konsultan hukum dengan meminta dilayani sesi konsultasi tanya-jawab secara “tanpa mau dibebani tarif”, adalah jelas merupakan sebuah “kesengajaan nyata untuk melecehkan”—bukan murni “tidak tahu” bila profesi konsultan hukum mencari nafkah dari layanan jasa sesi konsultasi tanya-jawab seputar hukum.
Semua orang tahu pekerjaan dan sumber penghasilan jasa konsultasi seorang konsultan pajak, konsultan IT, konsultan properti, konsultan manajemen, konsultan desain interior, konsultan konstruksi, dan sebagainya. Apakah ada alasan, untuk tidak tahu bahwa profesi konsultan hukum mencari nafkah dari layanan jasa konsultasi? Sungguh naif bila masih ada yang mengaku “tidak tahu”, dan dengan demikian secara seenaknya merasa berhak untuk melecehkan profesi konsultan, dengan meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif.
Sumber daya waktu, ialah terbatas, harus dimanfaatkan dengan sangat baik dan produktif. Sumber daya ilmu, dibangun dari perjuangan serta segenap pengorbanan waktu, tenaga, serta biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Sehingga, atas setiap detik dan ilmu yang diberikan oleh jasa seorang konsultan, tentulah berhak untuk menuntut tarif jasa. Ada hak, ada kewajiban—dan sebaliknya, ada kewajiban, ada jasa.
Siapa yang akan sudi, diberi tarif berupa ucapan “terima-kasih”, seakan kalangan profesi konsultan hidup dengan memakan “batu”. Bila mereka selama ini tidak memakan batu, mengapa menyuruh konsultan mereka melayani mereka, dengan imbalan berupa menyuruh kami untuk “makan batu”. Itulah yang disebut dengan etika dalam berkomunikasi? Sejak kapan, seseorang dibenarkan untuk melecehkan kalangan profesi lainnya?
Mengapa logika etika komunikasi mewajibkan setiap pengguna jasa untuk menyadari hak penyedia jasa atas upah / tarif? Karena pada dasarnya, sejatinya, urusan para pengguna jasa bukanlah urusan kami. Mereka hanya berhak menuntut diri mereka sendiri untuk memusingkan masalah diri mereka masing-masing. Tiada kewajiban bagi waktu kami untuk diganggu, dan tiada hak bagi orang lain untuk menyita waktu terlebih meminta ilmu pengetahuan tanpa dibebani tarif.
Para pengguna jasa tersebut bekerja sesuai profesinya masing-masing dengan menuntut upah untuk menafkahi keluarga, namun ketika meminta dilayani oleh seorang konsultan, bersikukuh tidak mau dibebani tarif, maka sama artinya dengan “MERAMPOK”. Banyak diantara kalangan pekerja, bersengketa hukum karena dipecat tanpa upah ataupun pesangon.
Ketika menghubungi kami selaku penyedia jasa konsultan hukum, meminta dilayani sesi konsultasi, namun menolak untuk membayar sejumlah tarif. Mereka menuntut upah atas pekerjaan dan jasa mereka, namun ketika kami menuntut apa yang sudah sewajarnya menjadi hak kami atas tarif layanan jasa konsultasi, mereka menolak. Bukankah tiada kata yang lebih tepat daripada “PELECEHAN”?
Mereka merasa berhak atas upah dari setiap tetes keringat, setiap pengetahuan / keterampilan, atas setiap waktu, atas setiap tenaga, dan atas setiap kepusingan mereka melayani pengusaha tempatnya bekerja, namun sejatinya perangai dan karakter mereka lebih culas dan lebih munafik daripada kalangan pengusaha tempatnya bekerja selama ini. Tentunya, tidak lagi mengherankan bila mereka dipecat tanpa upah—karena memang sudah sepatutnya demikian.
Meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif, maka mereka pun sudah sewajarnya dipekerjakan tanpa diberi upah. Bukankah itu sudah merupakan kewajaran, mengapa dipersengketakan dan berkeberatan dipekerjakan tanpa upah oleh kalangan pengusaha, bila berbagai kalangan pekerja itu sendiri meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif.
Terhadap setiap pelaku pelecehan tersebut, penulis memberi respon yang sangat keras dan sangat tegas. Ada yang berkomentar atas sikap keras penulis, bahwa penulis terlampau berlebihan. Pertanyaannya: Bagaimana bisa “kalem” memberi respon, bila tiap hari dilecehkan dan terus dilecehkan selama bertahun-tahun oleh ratusan orang yang meminta dilayani tanpa mau menyadari hak dan kewajiban masing-masing antara pengguna dan pemberi jasa?
 Sudah tercantum secara eksplisit dalam website ini, bahwa profesi kami ialah “Konsultan Hukum”, “Hanya Melayani Klien”, “Setiap Pertanyaan Hukum Dibebani Tarif”, masih saja mereka langgar seenaknya—dengan berpura-pura tidak membaca semua syarat & ketentuan layanan tersebut.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa mereka kerap dan terbiasa melanggar aturan, bahkan melanggar hukum. Jadi, terhadap masalah hukum mereka, sebagai kesimpulannya, mereka sendirilah biang keladinya—karena watak, kebiasaan, atau karakter mereka yang kerap dengan mudahnya melanggar aturan, seakan tanpa beban moril apapun.
Yang lebih memprihatinkan, ialah pernyataan pihak yang pandai berkomentar, bahwa respon penulis “berlebihan”. Para komentator tersebut tidak tahu apapun tentang kondisi kami, namun merasa berhak untuk berkomentar—seakan diri mereka adalah “cenayang” yang mengetahui semua peristiwa yang melingkupinya.
Sang komentator pun akan lebih “marah” dari penulis, bila setiap harinya ratusan pesan, telepon, SMS, email, pada intinya hanya meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif apapun. Setiap harinya selama bertahun-tahun dilecehkan, meski tiada hak bagi mereka semua untuk melecehkan profesi seorang konsultan, akan menumpuk beban kemarahan yang siap diledakkan. Tanpa malu melecehkan profesi kami dengan meminta dilayani seakan diri mereka adalah seorang “raja” atau “ratu”, harus dan sudah semestinya diganjar dengan sanksi yang keras dan tegas.
Sang komentator tidak juga mau menyadari, bahwa tidak ada siapa pun yang berhak untuk mendikte perasaan dan pengalaman pribadi penulis. Hanya penulis seorang yang tahu persis bagaimana perlakuan para “biadab” yang “sudah putus urat malunya” demikian terhadap penulis, setiap harinya.
Dan, tentu saja, penulis-lah yang setiap harinya selama bertahun-tahun menjadi korban pelecehan, bukan sang komentator yang justru membela pihak pelaku pelecehan—sungguh zaman edan, segalanya menjadi terputar-balik, bahkan korban yang disalahkan.
Betul bahwa kemarahan haruslah proporsional. Namun ketika kemarahan itu terbit akibat / karena derajat keterlaluan dalam melecehkan dan pelecehan yang kami, kalangan profesi konsultan, alami dan rasakan sendiri dalam momen nyata setiap harinya, maka adalah terlampau “istimewa” bagi mereka untuk hanya cukup kami “blacklist” dan “blokir”. Mereka tidak pernah punya hak untuk melecehkan profesi orang lain, dan tiada kewajiban bagi kami untuk dilecehkan. Etika komunikasi yang melecehkan demikian, tidak boleh dibiarkan menginjak-injak harkat dan martabat profesi konsultan manapun tanpa ancaman sanksi yang tegas dan keras, bukan hanya penulis.
Etika komunikasi paling mendasar, yang semestinya disadari setiap manusia dewasa berakal sehat, ialah dengan bekerja maka berhak menuntut upah. Dipekerjakan tanpa diberi hak atas upah, sama artinya dengan “penjajahan” dan “kerja rodi”. Namun, mengapa semua kalangan pekerja tersebut, menuntut upah dari pengusaha tempatnya bekerja, akan tetapi justru disaat bersamaan melakukan “penjajahan” dengan tidak membayar upah bagi pihak yang telah melayani mereka?
Sejak saat itulah, dari berbagai pengalaman nyata yang terus berulang dan berulang dalam derajat yang melampaui batas toleransi, untuk setiap harinya berakumulasi, selama bertahun-tahun, membuat penulis sampai pada satu titik kesimpulan: kaum / kalangan pekerja / buruh, jauh lebih jahat daripada kalangan pengusaha manapun. Karena, kalangan pekerja / buruh mampu melecehkan kalangan profesi konsultan secara masif dan munafik.
Penulis selama ini dihidupi oleh kalangan pengusaha yang membayar tarif atas setiap layanan yang penulis berikan, namun tidak kalangan pekerja / buruh yang selalu menuntut dilayani tanpa mau dibebani kewajiban membayar tarif. Dengan demikian, apakah masih tersisa simpatik dari penulis bagi kalangan pekerja / buruh di Tanah Air?
Jawabnya: sudah tidak sama sekali. Bahkan timbul antipati setiap kali kaum pekerja / buruh mencoba menghubungi penulis. Untuk apa meladeni kalangan “munafik” demikian? Hanya membuang waktu, energi, dan konsentrasi pikiran. Menghadapi kalangan pekerja / buruh, biasanya tombol “blacklist” dan “blokir” akan diaktifkan tidak lebih dari 1 detik setelah mendapat pesan dari kalangan pekerja, karena tidak ada kewajiban bagi penulis untuk membaca isi pesan mereka yang terdiri dari unsur “uraian pertanyaan hukum” dan “ucapan terimakasih atas jawabannya / mohon pencerahannya”—yang sama sekali bukan merupakan kewajiban ataupun urusan penulis.
Seorang “pengemis”, tidak pernah punya sengketa tanah, sengketa ketenagakerjaan, tidak juga memiliki sengketa keuangan. Namun, lagi dan lagi, mengapa mereka semua bersikap seolah-olah seperti seorang “gembel” menggelandang, yang meminta dilayani masalah tanah mereka, masalah hubungan industrial mereka, masalah finansial mereka, tanpa mau dibebani tarif?
Jelaslah sudah, yang bermasalah bukanlah orang / pihak yang selama ini bermasalah dengan mereka, namun adalah diri internal mereka sendiri yang selama ini bermasalah, yakni: mental “gembel” yang culas sekaligus manipulatif, berpadu dengan karakter munafik. Bukankah sudah jelas, ada adagium klasik berbunyi: Maunya gra-tis, minta selamat.
Mengapa tidak mereka sendiri yang membayar uang kuliah, membeli buku-buku hukum, dan mengorbankan puluhan ribu jam untuk belajar, meriset ribuan putusan pengadilan, riset dan up to date regulasi, serta memusingkan urusan pribadi mereka masing-masing?
Selama ini mereka menimba ilmu dari berbagai publikasi kajian hukum yang penulis rangkai dan sajikan. Namun, bukannya berterima-kasih atas berbagai ilmu tersebut, malah melecehkan penulis yang sejatinya ialah “guru” mereka? Sungguh durhaka dan takabur, “murid-murid” kurang hajar seperti sikap mereka yang melecehkan “guru” mereka sendiri. Untuk menjadi murid sekalipun, harus membayar uang pangkal masuk sekolah, iuran sekolah bulanan, uang buku, dsb. Membalas air susu, dengan air tuba. Sungguh sopan sekali—atau, itulah definisi “sopan” dalam kamus Bahasa Indonesia kontemporer. Zaman edan, rusak sudah moral karakter bangsa ini.
Bahkan, dalam derajat yang lebih akut, memperkenalkan diri pun, mereka tidak, seolah mereka adalah “hantu tanpa nama”—yang datang tidak diundang, dan pergi pun tanpa pamit. Sungguh bobrok dan rusak, moral dan mental karakter Bangsa Indonesia.
Terlampau banyak penjahat dan manusia jahat di Indonesia, meski selama ini berbagai penjara di Tanah Air sudah penuh sesak dengan para kriminil, namun sejatinya para penjahat itu jauh lebih masih, tersebar merata, dan menjadi mayoritas populasi penduduk Indonesia. Terus bergentayangan mencari korban. Jangan protes ataupun marah ketika Anda terculasi secara hukum, karena bisa jadi andalah yang selama ini menjadi aktor culas tersebut.
Sebagai penutup, dan sekadar informasi, tiada satupun dari pihak-pihak yang beritikad buruk tersebut, penulis berikan jawaban terlebih solusi dan bimbingan hukum. Kesemuanya, penulis hadiahkan berupa “hardik” dan “pelecehan” yang jauh lebih serius dan lebih menyakitkan, sebagai kristalisasi kemarahan yang menumpuk selama bertahun-tahun dalam alam bawah sadar penulis. Jika sudah seperti itu, siapa lagi yang hendak Anda persalahkan bila bukan watak “pengemis” diri Anda sendiri?
Namun juga janganlah Anda pernah berpikir ataupun berasumsi bahwa Anda bisa seenaknya 'hit and run' setelah melecehkan profesi orang lain. Sekalipun bila Anda benar-benar kebal hukum meski telah melecehkan, bukan berarti Anda bisa melarikan diri seenaknya. Setidaknya, mereka-mereka yang telah melecehkan profesi penulis, selalu penulis berikan doa: semoga mereka masuk neraka. Pepatah menyebutkan, jangan pernah meremehkan kutukan dari orang yang terindas.
Apakah orang yang berpendidikan hanya boleh berkata secara sopan ketika dilecehkan harkat serta martabat dan profesinya dalam mencari nafkah? Apakah orang yang tidak berpendidikan, dibenarkan dan dapat menjadi alasan untuk melecehkan profesi serta harkat dan martabat orang lain? Bahkan memperkenalkan diri pun, mereka tidak, namun menuntut dilayani dengan hanya mau memberi imbalan berupa "batu". Sungguh, air susu dibalas air tuba. Itulah watak mayoritas warga dari Bangsa Indonesia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.