PHK Terhadap Pekerja yang Tersangkut Perkara Pidana

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya boleh atau tidak, mem-PHK karyawan yang melakukan kesalahan berat sehingga merugikan perusahaan? Apa harus menunggu adanya putusan pidana itu dulu, baru boleh ia dipecat? Putusan itu bisa berapa lama, berarti perusahaan yang sudah dibuat merugi, harus lebih rugi lagi bayar uang skoorsing.
Brief Answer: Bila pekerja melakukan pelanggaran berat dengan indikasi tindak pidana, sekalipun belum terdapat putusan pidana, dapat diajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial. Pembuktian akan adanya pelanggaran berat, tidak menjadi monopoli pengadilan negeri perkara pidana, tapi juga dapat dibuktikan dalam persidangan perkara hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah contoh kasus yang sangat menarik, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa register Nomor 900 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 29 November 2016, perkara antara:
- PT. PERTAMINA (Persero), sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- IMRAN MUSTAFA, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Terhadap gugatan antara Pekerja dan perusahaan tempatnya bekerja tersebut, Pengadilan Hubungan Industrial Palembang kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 3/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Plg., tanggal 29 Maret 2016 dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa selain tidak terdapat bukti Penggugat telah merugikan perusahaan serta berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 serta Surat Edaran Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/2005 tanggal 7 Januari 2005, yang pada intinya untuk dapat dikategorikan kesalahan berat harus dilalui dengan tahapan pengadilan umum terlebih dahulu;
“Menimbang, bahwa Penggugat dalam perkara a quo tidak terbukti salah diproses dan diputus oleh pengadilan umum dan telah berkekuatan hukum tetap, dengan demikian penggugat tidak dapat dinyatakan bersalah telah melakukan kesalahan berat;
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat bertentangan dengan hukum;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus sejak putusan ini dibacakan;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat atas pengakhiran hubungan kerja ini secara tunai dan seketika dengan perhitung yang seharusnya Penggugat terima, yaitu:
a. Uang Penghargaan Atas Pengabdian (PAP) sebesar Rp1.700.572.712,00;
b. Uang Pesangon sebesar Rp1.275.428.154,00;
c. Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) sebesar Rp425.142.718,00;
d. Uang Pergantian perumahan dan pengobatan serta perawatan dari perhitungan Pesangon yaitu sebesar Rp255.085.630,00;
e. Biaya pemulangan Pekerja dan keluarga serta pengiriman barang pribadi Rp9.055.800,00;
f. Istirahat tahunan 1 X take home pay = Rp43.035.932,00;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Tergugat mengajukan upaya hukum upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti / Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Termohon Kasasi telah terbukti bersalah menerima uang suap sebesar Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) untuk mengabulkan perizinan PT. Sokorina sebagai agen LPG 3 Kg di Kabupaten Aceh, dan uang tersebut telah diserahkan kepada Sodara Sarman untuk mengurus mempercepat keluarnya perizinan, disamping itu Termohon Kasasi juga melakukan manipulasi data laporan perjalanan dinas. Perbuatan tersebut telah melanggar Pasal 108 ayat (5) huruf o, z, bb Perjanjian Kerja Bersama, sehingga pemutusan hubungan kerja sah dan dapat dilakukan oleh Pemohon Kasasi terhadap Termohon Kasasi;
“Bahwa namun demikian Judex Facti salah dalam mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-I/2003 karena Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanyalah melarang pengusaha untuk langsung melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan melalui pengadilan yang fair tanpa harus menunggu putusan pengadilan pidana.
Surat Edaran Menakertrans Noor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 yang mengharuskan adanya putusan pidana terlebih dahulu tidak dapat dijadikan dasar hukum karena Surat Edaran tersebut tidak termasuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, melainkan hanyalah pendapat-pendapat hukum menteri saja;
“Bahwa pertimbangan Judex Facti bahwa Penggugat menerima uang tersebut berkaitan dengan pekerjaannya sehingga tidak saja telah merugikan perusahaan namun dapat merusak sistem penerapan pengelolaan perusahaan dengan baik, sehingga terhadap peristiwa hukum yang demikian patut dan adil diterapkan ketentuan Pasal 108 ayat (5) dan Pasal 79 Perjanjian Kerja Bersama PT. Pertamina (Persero) Periode 2012-2014 karenanya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat berikut kompensasinya adalah sah;
“Menimbang, bahwa dengan tanpa mempertimbangkan alasan-alasan kasasi lainnya, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. PERTAMINA (PERSERO);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. PERTAMINA (PERSERO) tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang Nomor 3/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Plg. tanggal 29 Maret 2016 serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. PERTAMINA (PERSERO) tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang Nomor 3/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Plg. tanggal 29 Maret 2016;
MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 108 ayat (5) dan Pasal 79 Perjanjian Kerja Bersama PT. Pertamina (Persero) Periode 2015 – 2017 juncto Pasal 107 dan Pasal 79 Perjanjian Kerja Bersama PT. Pertamina (Persero) Periode 2012 – 2014;
3. Menyatakan Surat Keputusan Direktur Sumber Daya Manusia PT. Pertamina (Persero) Surat Keputusan Direktur Sumber Daya Manusia PT. Pertamina (Persero) Nomor Kpts. P-400/K00000/2015-S8 tentang Pemutusan Hubungan Kerja tertanggal 24 Juni 2015 adalah sah dan sesuai hukum;
4. Menetapkan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus / berakhir sejak tanggal 31 Juli 2015, sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Direktur Sumber Daya Manusia PT. Pertamina (Persero) Nomor Kpts. P-400/K00000/2015-S8 tentang Pemutusan Hubungan Kerja tertanggal 24 Juni 2015;
5. Menetapkan hak-hak yang diterima Penggugat adalah sebesar Rp629.905.984,00 (enam ratus dua puluh sembilan juta sembilan ratus lima ribu sembilan ratus delapan puluh empat rupiah).”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.