Land Clearing diatas Lahan Gambut

LEGAL OPINION
Question: Di desa kami ada hutan gambut, kini ada pengusaha yang sedang membabat dan membuka hutan gambut itu yang katanya untuk tujuan mau membangun perkebunan kelapa sawit. Apa kini memang masih dibolehkan merusak gambut untuk tujuan tanaman industri?
Brief Answer: Ekosistem gambut, menurut hukum, terbagi menjadi dua, yakni: gambut ekosistem lindung dan gambut budidaya. Telah dimilikinya hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU), bukan dimaknai seluruh wilayah / area dalam HGU menjadi lahan yang dapat dibuka untuk dijadikan kegiatan usaha hutan tanaman industri, perkebunan, terlebih pertambangan.
PEMBAHASAN:
Yang disebut dengan land clearing, ialah sebuah kegiatan perorangan maupun industri secara skala masif pembukaan hutan, seringkali dengan teknologi canggih, dengan tujuan untuk membersihkan tegakan semak-belukar ataupun tanaman tua, untuk dijadikan lahan perkebunan / peternakan / hutan tanaman industri ataupun pertambangan, baik secara ilegal maupun legal—yang sahih dibuktikan dengan adanya Izin Land Clearing dari Pemerintah Daerah setempat.
Kini kita simak beberapa kaedah norma penting dalam PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK Indonesia NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT:
Menimbang:
a. bahwa gambut merupakan ekosistem rentan dan telah mengalami kerusakan yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, sehingga harus dilakukan upaya-upaya yang intensif dalam perlindungan dan pengelolaan;
b. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
PENJELASAN UMUM
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sampai dengan bulan Oktober 2015, mencapai luasan 1,7 (satu koma tujuh) juta hektar. Salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan akibat kesalahan dalam pengelolaan lahan gambut untuk kegiatan usaha.
Sesuai dengan karakter Ekosistem Gambut, maka kawasan hidrologi Gambut merupakan kawasan yang tidak boleh terganggu dalam anti digunakan untuk penggunaan lahan (land use) yang mengganggu fungsi hidrologis Kesatuan Hidrologi Gambut.
Kenyataan menunjukkan bahwa kebakaran terbesar terjadi di lahan Gambut terutama di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah serta sebagian di Provinsi Riau, Jambi dan Kalimantan Selatan yang memberikan indikasi kebakaran yang sangat sulit upaya pemadamannya.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi Ekosistem Gambut dan mencegah terjadinya kerusakan Ekosistem Gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
2. Gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa.
3. Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya.
4. Kesatuan Hidrologis Gambut adalah Ekosistem Gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut dan/atau pada rawa.
5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 9
(1) Penetapan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dilakukan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kehutanan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang sumber daya air dan penataan ruang, dalam hal Ekosistem Gambut yang akan ditetapkan berada di kawasan hutan; dan
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang sumber daya air dan penataan ruang, dalam hal Ekosistem Gambut yang akan ditetapkan berada diluar kawasan hutan.
(2) Fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. fungsi lindung Ekosistem Gambut; dan
b. fungsi budidaya Ekosistem Gambut.
(3) Menteri wajib menetapkan fungsi lindung Ekosistem Gambut paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dan seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut yang letaknya dimulai dari 1 (satu) atau lebih puncak kubah Gambut.
(4) Dalam hal diluar 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih terdapat:
a. Gambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih;
b. plasma nutfah spesifik dan/atau endemik;
c. spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang undangan; dan/atau
d. Ekosistem Gambut yang berada di kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam rencanatata ruang wilayah, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi,
Menteri menetapkan sebagai fungsi lindung Ekosistem Gambut.
(5) Luas Kesatuan Hidrologis Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) didasarkan pada peta final Kesatuan Hidrologis Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(6) Dalam hal Ekosistem Gambut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Menteri menetapkan sebagai fungsi budidaya Ekosistem Gambut.
Pasal 11
(1) Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya dapat diubah menjadi Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung.
(2) Perubahan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. dilakukan oleh Menteri; atau
b. berdasarkan usulan gubernur atau bupati / wali kota sesuai dengan kewenangannya kepada Menteri.
(3) Perubahan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
a. Ekosistem Gambut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf c dan huruf d;
b. adanya urgensi ekologis (salah satunya bila terjadi kebakaran lahan gambut) untuk melakukan upaya pencegahan atau pemulihan kerusakan lingkungan hidup pada dan/atau di sekitar Ekosistem Gambut; dan/atau
c. adanya urgensi ekologis untuk melakukan upaya pencadangan Ekosistem Gambut di provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Perubahan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang sumber daya air, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang tata ruang, menteri terkait, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 18
(1) Dalam hal Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya diubah menjadi Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 harus dilakukan perubahan.
(2) Perubahan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang dilakukan oleh gubernur atau bupati/wali kota harus terlebih dahulu dikonsultasikan secara teknis dan mendapat persetujuan dari Menteri.
Pasal 23
(1) Kerusakan Ekosistem Gambut dapat terjadi pada:
a. Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung; dan
b. Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya.
(2) Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung dinyatakan rusak apabila melampaui kriteria baku kerusakan sebagai berikut:
a. terdapat drainase buatan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan;
b. tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan Gambut; dan/atau
c. terjadi pengurangan luas dan/atau volume tutupan lahan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan.
(3) Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila memenuhi kriteria baku kerusakan sebagai berikut:
a. muka air tanah di lahan Gambut lebih dari 0,4 (nol koma empat) meter di bawah permukaan Gambut pada titik penaatan; dan/atau
b. tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan Gambut.
(4) Pengukuran muka air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan pada titik penaatan yang telah ditetapkan.
(5) Dalam penentuan titik penaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus didasarkan pada karakteristik lahan, topografi, zona pengelolaan air, kanal dan/atau bangunan air.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pengukuran muka air di titik penaatan diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 26
(1) Setiap orang dilarang:
a. membuka lahan baru (land clearing) sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal Ekosistem Gambut untuk tanaman tertentu;
b. membuat saluran drainase yang mengakibatkan Gambut menjadi kering;
c. membakar lahan Gambut dan/atau melakukan pembiaran terjadinya pembakaran; dan/atau
d. melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanaman tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Menteri.”
Pasal 30
(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut yang menyebabkan kerusakan Ekosistem Gambut di dalam atau di luar areal usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pemulihan sesuai kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan.
(2) Pemulihan di dalam dan di luar areal usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2).
(3) Pemulihan dilakukan dengan cara:
a. suksesi alami;
b. rehabilitasi;
c. restorasi; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pemulihan fungsi Ekosistem Gambut diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 31A
Dalam hal pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 merupakan akibat kebakaran dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan pemulihan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya terjadi kebakaran, Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota berkoordinasi dalam pemulihan fungsi Ekosistem Gambut atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk pelaksanaan lapangan. [Note SHIETRA & PARTNERS: dalam hal ini berlaku asas tanggung jawab strict liability.]
Pasal 31B
(1) Terhadap areal perizinan usaha dan/atau kegiatan terdapat Gambut yang terbakar, Pemerintah mengambil tindakan penyelamatan dan pengambilalihan sementara areal bekas kebakaran.
(2) Pengambilalihan sementara areal bekas kebakaran dilakukan untuk dilakukan verifikasi oleh Menteri.
(3) Hasil verifikasi dapat berupa:
a. pengelolaan lebih lanjut oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan; dan
b. pengurangan areal perizinan usaha dan/atau kegiatannya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengambilalihan areal bekas kebakaran oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 44
(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut yang melanggar ketentuan Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 31A dikenai sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3).
(2) Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut tidak melaksanakan paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pembekuan izin lingkungan.
(3) Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut tidak memenuhi ketentuan dalam pembekuan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin lingkungan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan jangka waktu pemenuhan terhadap ketentuan paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan diatur dengan Peraturan Menteri.”
Disayangkan, Mahkamah Agung RI dalam putusan uji materiilnya yang dimohonkan oleh mereka yang mengaku sebagai para buruh di perkebunan diatas lahan bekas gambut terbakar (yang hampir dapat dipastikan karena faktor kesengajaan pembukaan lahan secara murah dengan dibakar), sebagaimana register perkara Nomor 49 P/HUM/2017, justru membatalkan sebagian pasal penting dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri, meski Peraturan Menteri merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.