Hubungan Kuasa Vs. Hubungan Kerja Waktu Tertentu

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apa ada bedanya, antara PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dengan penjanjian Pemberian Kuasa?
Brief Answer: Masalah paling utama dari isu hukum tersebut, ialah belum terdapatnya pengaturan secara terinci dari suatu hubungan pemberian kuasa. Sebagai contoh, tidak terdapat pengaturan mengenai jangka waktu keberlakuan Surat Kuasa, sehingga seringkali kerap disalah-gunakan, untuk secara terselubung mengikat para Pekerja Kontrak dengan judul perjanjian sebagai “Perjanjian Pemberian Kuasa”.
Meski esensi pekerjaan, adanya perintah, serta upah yang bersifat tetap, dan memiliki suatu tempo waktu kerja selama tahunan, namun konsepsi Kerja Kontrak dapat di-‘selundupkan’ dengan memberi judul perjanjian sebagai “Surat Kuasa”, dengan tujuan untuk menghindari potensi resiko permintaan pesangon—mengingat surat kuasa dapat sewaktu-waktu dicabut oleh pemberi kuasa, berbeda halnya dengan konsepsi PKWT yang wajib disertai kompensasi selama sisa jangka waktu dalam Kontrak Kerja.
PEMBAHASAN:
putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 679 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 29 September 2016, perkara antara:
- PT. PESONA MARGA MANDIRI, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- TP. JOSE SILITONGA, S.H., M.A., selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat mengklaim telah bekerja pada PT. Pesona Marga Mandiri (PT. PMM) sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang. Adapun latar belakangnya, bermula pada kurun waktu 2002, dikarenakan Sdr. Eddy Daryanto selaku Direktur, tidak mau berhubungan langsung dengan instansi pemerintah maupun pihak ketiga lainnya termasuk berhubungan dengan anggota security PT. Pesona Marga Mandiri, maka untuk dapat menandatangani surat-surat resmi perusahaan, sdr. Eddy Daryanto menerbitkan Surat Pengangkatan selaku Kuasa Direktur dengan sebutan “Direktur” untuk maksud tersebut kepada Penggugat.
Surat pengangkatan selaku Kuasa Direksi tersebut tidak ada hubungannya dengan keberadaan tetap Penggugat sebagai karyawan di PT. Pesona Marga Mandiri. Dalam mempekerjakan Penggugat, disamping bekerja untuk PT. Pesona Marga Mandiri, Penggugat juga menangani perusahaan yang lain milik Sdr. Eddy Daryanto, dan termasuk juga pekerjaan pada kepentingan pribadi dan keluarga Sdr. Eddy Daryanto.
Namun sejak bulan Mei 2014, PT. Pesona Marga Mandiri (PT.PMM) menghentikan pemberian upah kepada Penggugat. Pokok gugatan ini, ialah Penggugat memandang dirinya adalah Pekerja pada Tergugat, sehingga  apabila PT. Pesona Marga Mandiri bermaksud untuk memutus hubungan kerja (PHK) Penggugat, maka tidak menjadi masalah bagi Penggugat sepanjang diberikan pesangon.
Penggugat kemudian mengajukan permohonan pencatatan perselisihan hubungan industrial ke hadapan Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Pusat terhadap PHK yang dialami Penggugat. Adapun yang kemudian emnjadi pendapat hukum Mediator Disnaker dalam Anjuran tertulisnya tertanggal 03 Juli 2015, yang pada pokoknya memandang Penggugat sebagai seorang Pekerja dari Tergugat, sehingga memandang Penggugat dapat merujuk norma Pasal 169 Ayat (1c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebutkan:
“Pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam hal Pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih.”
Dalam kesimpulannya, Mediator memandang pihak Penggugat berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai Pasal 156 ayat (3), uang pergantian hak sesuai dengan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, upah bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2015, serta THR 2014.
Sementara dalam bantahannya, pihak Tergugat menyebutkan, antara PT. Pesona Marga Mandiri selaku Tergugat dengan Penggugat, tidak ada pernah ada dibuat “Perjanjian Kerja” , maka oleh karena itu tidak benar bila dipandang Sdr. TP. Jose Silitonga adalah sebagai pekerja/buruh dari PT. Pesona Marga Mandiri, maka oleh karenanya Penggugat tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan terhadap PT. Pesona Marga Mandiri ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Adapun yang selama ini berlangsung, ialah sebatas pemberian “Surat Kuasa Direksi” yang diberikan oleh Direktur PT. Pesona Marga Mandiri dengan jangka waktu tertentu. Maka oleh karena itu Penggugat bekerja di PT. Pesona Marga Mandiri adalah disebabkan adanya pelimpahan kuasa yang diberikan oleh Direktur Perseroan dan bukan karena adanya perjanjian kerja, dikarenakan Penggugat bekerja berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pemutusan kuasa dan honorium antara Penerima kuasa dengan Pemberi Kuasa adalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan bukan diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 220/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst, tanggal 15 Februari 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat pada awalnya hanya merupakan penerima kuasa dari Tergugat Khusus untuk tanggal 16 Mei 2003 untuk mewakili Tergugat pada rapat dengar pendapat dengan komisi D, DPRD DKI Jakarta, dimana menurut Majelis Hakim Surat Kuasa tersebut hanya membuktikan bahwa Penggugat mewakili Tergugat pada tanggal 6 Mei 2003 saja, dan tidak membuktikan Penggugat adalah pekerja pada Tergugat, dan kemudian melalui surat... memberikan kejelasan atas status Penggugat denqan memperpaniang pengangkatan Penqquqat sebaqai Kuasa Direksi di Bidanq Operasional untuk masa kerja 3 (Tiga) tahun terhitung sejak tanggal 13 Mei 2009 sampai dengan 12 Mei 2012 dan memberikan jabatan Penggugat sebaqai Direktur dengan tugas dan kewenangan sebagaimana Surat Keputusan tersebut, sehingga Majelis berpendapat bahwa Tergugat melalui perpanjangan pengangkatan Kuasa Direksi telah mengangkat Penggugat sebagai Direktur dibidang Oprasional pada tanggal 13 Mei 2009 dengan dengan uraian tugas serta kewenangan dari Tergugat yang menunjukan adanya perintah dari Tergugat untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas dan kewenangan sebagaimana tercantum dalam surat Keputusan tersebut;
“Menimbang,bahwa berkaitan dengan jabatan Penggugat sebagai Direktur di Perusahaan Tergugat, dikarenakan Penggugat terbukti diangkat oleh Tergugat untuk jabatan Direktur melalui Surat Keputusan Direksi dan bukan diangkat melalui Rapat Umum Pemegang Saham, dimana terdapat hubungan atasan dan bawahan terbukti dengan tugas dan kewenangan pekerjaan yang diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat sebagaimana tercantum dalam surat keputusan (Vide buktiT-7), disamping itu sebagaimana pengakuan Tergugat sendiri, Penggugat juga menerima gaji perbulan yang bersifat tetap dari Tergugat sebesar Rp 6.500.000,00; maka menurut Majelis Hakim hubungan semacam ini merupakan hubungan kerja yang tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan ‘Putus’ hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan ini dibacakan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan THR Tahun 2014 yang jumlah keseluruhannya sebesar Rp133.575.000,00 (seratus tiga puluh tiga juta lima ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Terlepas dari kebenaran pandangan PHI bahwasannya hubungan yang terjalin ialah menyerupai Kerja Kontrak, meski diberi judul “Surat Kuasa”, namun esensi perikatan ialah telah memenuhi adanya 3 unsur esensial dalam hubungan industrial: adanya Upah, Perintah, dan Pekerjaan. Surat Kuasa tidak lazim berlaku untuk selama bertahun-tahun, karena lebih menyerupai esensi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, dan secara pribadi SHIETRA & PARTNERS memiliki pandangan serupa agar “Surat Kuasa” tidak menjadi pintu masuk penyalahgunaan istrumen “Surat Kuasa”. Jika penyalahgunaan tersebut dibenarkan peradilan, maka seluruh direksi perusahaan di Tanah Air memiliki justifikasi untuk mengikat seluruh pekerjanya dengan “surat kuasa”, alih-alih “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu”.
Meski demikian, pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa dalam hubungan antara penerima kuasa dan pemberi kuasa, seorang penerima kuasa melaksanakan mandat dalam pemberian kuasa dalam rangka bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan pemberi kuasa, maka dengan demikian penerima kuasa, secara hukum tidak ada memiliki jabatan yang dimiliki oleh pemberi kuasa, mengingat seorang kuasa pada dasarnya adalah hanya bersifat bertugas mewakili pemberi kuasa (pelimpahan sebagian wewenang) sesuai uraian tugas dan kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa dalam surat kuasa, maka dengan demikian seorang “penerima kuasa” adalah tidak sama jabatannya dengan Pemberi Kuasa, terlebih untuk dipersamakan dengan seorang “pekerja”.
Kewajiban kenerima kuasa diatur dalam Pasal 1800-1806 KUHPerdata, tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. PHI dalam memaknai keberadaan Surat Keputusan Tentang Pengangkatan Kuasa Direksi Tergugat tanggal 13 Mei 2009 sebagai konstruksi bahwa Penggugat diangkat sebagai Karyawan Kontrak untuk jabatan Direktur untuk jangka waktu 3 Tahun.
Tergugat merujuk kaedah Pasal 1797 KUHPerdata: “Tindakan-tindakan penerima kuasa hanya terbatas melaksanakan pekerjaan pada hal-hal yang dikuasakan kepadanya berdasarkan surat kuasa.” Sementara karyawan/buruh tunduk pada ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena adanya “perjanjian kerja” antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Tergugat keberatan bila surat kuasa disamakan sebagai surat perjanjian kerja, dan bersikukuh bahwa antara Penggugat dan Tergugat hanya terjalin hubungan “Penerima Kuasa” dan “Pemberi Kuasa”, bukan hubungan Industrial antara Pengusaha dengan Buruh. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 13 Maret 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 2 Mei 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Judex Facti telah mempertimbangkan bukti T-1,T-2, dan T-3 berupa Surat Kuasa Direksi, apablia bukti-bukti tersebut dipertimbangkan secara seksama, maka membuktikan adanya fakta hukum bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat adalah hubungan kuasa, sehingga Penggugat tidak masuk pengertian pekerja sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga Penggugat tidak mempunyai kapasitas sebagai Penggugat untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial;
- Bahwa oleh karenanya gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: P.T. PESONA MARGA MANDIRI tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 220/Pdt.Sus-PHI/PN.JKT.PST tanggal 15 Februari 2016 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. PESONA MARGA MANDIRI tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 220/Pdt.Sus-PHI/PN.Jkt.Pst tanggal 15 Februari 2016;
“MENGADILI SENDIRI:
Dalam Eksepsi:
- Menerima Eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.