Hak Kepemilikan atas Tanah Bersifat Utuh dan Penuh

LEGAL OPINION
Question: Ada orang yang mau beli ladang keluarga kami. Tapi dari awal sudah kami berikan syarat, yakni agar petani penggarap yang selama ini sudah lama menggarap tanah keluarga kami, tetap diizinkan menggarap sekalipun setelah tanah kami jual kepada pembeli itu. Bila calon pembeli sepakat dengan syarat yang kami ajukan, kesepakatan ini menjadi mengikat secara hukum, bukan?
Brief Answer: Setelah jual-beli hak atas tanah terjadi dan telah terjadi peralihan hak atas tanah, maka tampaknya pembeli sebagai pemilik baru menjadi bebas sepenuhnya penggunaan benda yang telah secara resmi sebagai miliknya. Akan berbeda bila konteksnya ialah sewa-menyewa.
Daripada memaksakan diri menjual seluruh bidang lahan, lebih baik dijual separuh bidang lahan yang bebas dari penggarapan, agar tidak timbul benturan konflik dengan petani penggarap yang ada. Sistem hukum pertanahan tentang kepemilikan hak atas tanah, tidak mengenal istilah kepemilikan secara “separuh nyawa”.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 888 K/Pdt/2015 tanggal 21 Oktober 2015, perkara antara:
- PANTI ASUHAN WISMA ANAK-ANAK HARAPAN (HOPE CHILDREN’S HOME), sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- YAYASAN BENJAMIN BALI, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Sekitar bulan Desember tahun 2008 Penggugat membeli sebidang tanah hak milik dari I Made Sukariatha seluas 974 m2, sesuai dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 8910. Berdasarkan Akta Jual-Beli tanggal 23 Desember 2008 tersebut, Penggugat selanjutnya mengajukan permohonan perubahan dan peralihan hak atas tanah tersebut dari hak milik menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Badung.
Proses perubahan serta peralihan hak atas tanah selesai diproses dengan diterbitkannya Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 6281 seluas 974 m2 atas nama Yayasan Benjamin Bali. Sebelum tanah tersebut dibeli oleh Penggugat, diatas tanah tersebut berdiri bangunan atau gedung milik Tergugat yang dipergunakan oleh Tergugat sebagai Panti Asuhan untuk menampung anak-anak jalanan dan atau terlantar, yang diberi nama Wisma Anak-Anak Harapan, dimana Panti Asuhan Wisma Anak-Anak Harapan tersebut diketuai oleh Tergugat sendiri.
Kemudian, setelah tanah dibeli oleh Penggugat, dan oleh karena bangunan rumah yang berdiri diatas tanah tersebut adalah bangunan tua yang sudah tidak layak untuk dihuni, maka Penggugat membongkar seluruh bangunan rumah lama tersebut dan Penggugat sekaligus melakukan pembangunan rumah dan atau gedung baru yang terdiri ruangan kantor, beberapa kamar tidur beserta dengan fasilitas yang diperlukan untuk menjalankan usaha sebagaimana maksud dan tujuan Yayasan Benjamin Bali didirikan.
Pada mulanya, oleh karena Panti Asuhan Wisma Anak-Anak Harapan milik Tergugat, yang pada saat itu masih menampung dan mengasuh beberapa orang anak asuhan, belum mendapatkan tempat yang baru sebagai tempat tinggal mereka, dan begitu juga dengan Penggugat yang belum mempergunakan bangunan rumah dan atau gedung yang telah selesai dibangun, maka Penggugat memberikan ijin secara lisan kepada Tergugat untuk meminjam dan mempergunakan bangunan gedung milik Penggugat tersebut sebagai tempat tinggal dan penampungan sementara bagi anak-anak asuhan Tergugat, dengan syarat dan ketentuan bahwa apabila Tergugat telah mendapatkan tempat tinggal yang baru, Tergugat beserta dengan anak-anak asuhannya tersebut bersedia meninggalkan dan mengosongkan bangunan rumah dan atau gedung milik Penggugat.
Sehingga atas dasar itulah, sejak sekitar tahun 2009, Tergugat beserta dengan anak-anak asuhannya menempati bangunan rumah dan atau gedung milik Penggugat. Seiring dengan berjalannya waktu, Penggugat bermaksud untuk segera melakukan aktivitas yayasan dan Penggugat memerlukan bangunan gedung milik Penggugat yang selama ini dipinjam oleh Tergugat, untuk dipergunakan sebagai tempat melangsungkan kegiatan Yayasan Benjamin Bali, maka Penggugat meminta kepada Tergugat untuk meninggalkan dan mengosongkan bangunan gedung milik Penggugat dengan memberikan kesempatan kepada Tergugat untuk mencari tempat tinggal yang baru.
Tergugat menyatakan kesanggupannya untuk meninggalkan dan mengosongkan bangunan gedung milik Penggugat dalam surat Terggugat tertanggal 25 Pebruari 2009, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Tergugat bersedia untuk menyerahkan gedung tersebut kepada Penggugat dan Tergugat akan membawa seluruh anak-anak panti ikut bersamanya.
Akan tetapi dalam realisasinya, sampai dengan saat kini, gedung milik Penggugat belum juga diserahkan kepada Penggugat dan masih ditempati dan dikuasai oleh Tergugat. Berbagai upaya dan usaha telah dilakukan oleh Penggugat untuk meminta Tergugat agar Tergugat menyerahkan, meninggalkan dan mengosongkan bangunan gedung milik Penggugat dengan sukarela, namun Tergugat bersikeras untuk tetap tinggal, bahkan Tergugat meminta dan menuntut sejumlah uang kepada Penggugat sebagai imbalan apabila Tergugat menyerahkan bangunan gedung milik Penggugat tersebut.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Denpasar kemudian menjatuhkan putusan Nomor 521/PDT.G/2013/PN.DPS tanggal 29 April 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar lewat putusan Nomor 113/PDT/2014/PT.DPS., tanggal 9 Oktober 2014 dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Penggugat / Pembanding tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 29 April 2014 Nomor 521/Pdt.G/2013/PN.DPS., yang dimohonkan banding tersebut;
DENGAN MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hukum bahwa Akta Jual Beli Nomor 458/2008 tanggal 23 Desember 2008 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT ..., yang ditandatangani antara I Made Sukariatha sebagai penjual dengan Penggugat sebagai pembeli atas sebidang tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 8910 seluas 974 m2 yang terletak di Jalan ... adalah sah dan mengikat secara hukum;
3. Menyatakan hukum bahwa sebidang tanah berdasarkan Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 6281 seluas 974 m2 atas nama Penggugat adalah sah secara hukum milik Penggugat;
4. Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk mengosongkan tanah, bangunan rumah dan atau gedung milik Penggugat yang terletak di Jalan ... berdasarkan Sertipikat HGB Nomor 6281 atas nama Penggugat seluas 974 m2 secara sukarela terhitung sejak putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap dan apabila Tergugat tidak melaksanakan pengosongan tersebut dilakukan dengan menggunakan bantuan dari aparat pihak kepolisian yang berwenang;
5. Menghukum Tergugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat / Pembanding yang selain dan selebihnya.”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa pihak Penggugat saat masih sebagai calon pembeli tanah, berjanji pada pihak penjual tanah bahwa Penggugat menjamin bahwa pembelian tanah tersebut hanya menampung anak-anak dari Panti Asuhan Wisma Anak-Anak Harapan.
Pengikatan jual beli tertanggal 5 Desember 2007 yang didaftarkan pada Notaris di Denpasar, dalam salah satu pasalnya disebutkan: “bahwa Pihak Benjamin Bali menjamin bahwa pembelian tanah tersebut hanya dipergunakan sepanjang untuk menampung anak-anak dari Panti Asuhan Wisma Anak-Anak Harapan”, sementara hingga kini klausul tersebut tidak pernah dibatalkan oleh para pihak yang membuatnya.
Dimana terhadap keberatan Tergugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa Putusan Judex Facti (Putusan Pengadilan Tinggi yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri) sudah tepat dan benar;
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Tergugat tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa sejak objek sengketa dibeli oleh Penggugat dari I Made Sukariatha, maka hak kepemilikan objek sengketa SHM Nomor 8910 kemudian menjadi SHGB Nomor 6281 atas nama Penggugat telah beralih kepada Penggugat selaku pemilik sah;
“Bahwa selaku pemilik sah, Penggugat mempunyai kebebasan terhadap tanah objek sengketa yang sudah menjadi miliknya;
“Bahwa apabila ada perjanjian awal sebelum jual beli dilaksanakan, maka bila ada perjanjian yang membatasi hak pemilik baru dalam bertindak atas objek jual beli, pembatasan tersebut adalah bertentangan dengan kepatutan / kepantasan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata Putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Denpasar dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PANTI ASUHAN WISMA ANAK-ANAK HARAPAN (HOPE CHILDREN’S HOME), tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PANTI ASUHAN WISMA ANAK-ANAK HARAPAN (HOPE CHILDREN’S HOME), tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.