Aspek Hukum Pidana Tambahan Uang Pengganti

LEGAL OPINION
Question: Kalau misalnya uang hasil korupsi dikembalikan (oleh pelaku) sebelum disidangkan, pengaruhnya apa terhadap hasil putusan (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi) nantinya?
Brief Answer: Untuk bebas, tidak dimungkinkan, karena faktor niat batin untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi telah terjadi ketika perbuatan melawan hukum terjadi. Namun dengan dikembalikannya uang hasil Tindak Pidana Korupsi sehingga kerugian negara dapat dipulihkan, setidaknya Majelis Hakim tidak akan menjatuhkan pidana tambahan berupa “uang pengganti” dalam amar putusannya, sehingga biasanya hanya akan dijatuhi hukuman berupa “pidana penjara” dan “pidana” denda, tanpa pidana tambahan “uang pengganti”.
PEMBAHASAN:
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar perkara Tindak Pidana Korupsi register Nomor 19/Pid.Sus-Tipikor/2014/PN.Dps. tanggal 7 Januari 2015, dimana terhadap dakwaan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli keterangan terdakwa, surat-surat serta barang bukti serta adanya keterangan ahli yang diajukan dipersidangan diperoleh fakta sebagai berikut:
- Bahwa Koperasi Jagadhita selaku koperasi sekunder berdasarkan peraturan dana bergulir harus membuka Rekening tersendiri untuk penampungan dana bergulir, akan tetapi terdakwa I sebagai Ketua Koperasi Jagadhita yang karena kewenangannya berinisiatif untuk mencampur menjadi satu di Rek. No. ... Bank BPD Bali, baik itu dana Koperasi Jagadhita maupun dana bantuan dana bergulir dari APBD Pemerintah Kabupaten Badung. hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi pemerintah mengenai Akuntansi Dana Bergulir (buletin Teknis Nomor 7, Agustus 2008);
- Bahwa pada tahun 2005-2010 Pemerintah Kabupaten Badung telah menyalurkan dana bergulir kepada Koperasi-koperasi Primer melalui Koperasi Jagadhita sebesar Rp. 8.477.500.00. Kepada koperasi-koperasi primer yang menerima pinjaman dana bergulir tersebut diwajibkan mengembalikan angsuran pokok dan bunga pinjaman yang disetorkan melalui Rekening Tabungan Pusat Koperasi Jagadhita sebagai Rekening penampungan dana bergulir;
- Bahwa peraturan kementerian Koperasi Nomor 19/per/M.KUKM/X/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam Koperasi pasal 19 ayat (6) menyebutkan ‘Koperasi sekunder dilarang melayani anggota perorangan secara langsung.’;
- Bahwa terdakwa II. I Wayan Mendi, SE selaku Bendahara Jagadhita tidak melaksanakan tugasnya dengan maksimal, dimana Terdakwa II hanya menantangani bukti-bukti penerimaan/pengeluaran uang tanpa pernah melakukan monitoring atau pengecekan atas kebenaran posisi fisik uang atas laporan kasir tentang lalu lintas keuangan Pusat Koperasi Jagadhita Kab. Badung;
- Bahwa Terdakwa I sebagai ketua Pusat Koperasi Jagadhita Badung terdakwa I. I WAYAN BUDIASA, SE leluasa melakukan (kas bon) dana Koperasi Jagadhita baik itu dana perguliran maupun dana simpan pinjam Pusat Koperasi Jagadhita Badung, disamping karena kewenangannya juga karena tidak dipisahkan antara dana setoran dana simpan pinjam anggota dengan dana setoran perguliran. Terdakwa I yang melakukan pinjaman secara pribadi (cash bon) maupun pinjaman atas nama KSU Kencana dengan saldo pada tahun 2010 sebesar Rp. 1.650.060.020,- yang seharusnya dana tersebut digulirkan kembali kepada koperasi primer yang mendapat rekomendasi Tim Pembina dari Dinas Koperasi UKM Kabupaten Badung;
- Bahwa perbuatan Terdakwa I Wayan Budiasa, SE yang menggunakan dana bergulir maupun kas Koperasi Jagaditha untuk kepentingan pribadi dengan tidak mengikuti persyaratan dan prosedur bantuan pinjaman dana bergulir serta bantuan dari terdakwa II. I WAYAN MENDI, SE menimbulkan kerugian keuangan negara dalam hal ini kerugian keuangan APBD Kabupaten Badung sebesar Rp. 1.650.060.020,- sesuai dengan laporan hasil audit BPKP Perwakilan Propinsi Bali Nomor ... tanggal 4 Agustus 2014;
“Menimbang, Perbuatan Terdakwa I Wayan Budiasa, SE selaku Ketua Koperasi Jagaditha yang telah menyalah-gunakan kewenangan yang ada padanya dengan melakukan pinjaman secara pribadi (cash bon) maupun pinjaman atas nama KSU Kencana dengan saldo pada tahun 2010 sebesar Rp.1.650.060.020,- tanpa mendapat rekomendasi dari Tim Pembina dari Dinas Koperasi UKM kabupaten Badung adalah melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh terdakwa I selaku Ketua Koperasi Jagaditha untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut.
Hal demikian dapat terjadi karena terdakwa II tidak melakukan tugas dengan maksimal, dimana terdakwa II hanya menantangani bukti-bukti penerimaan/pengeluaran uang tanpa pernah melakukan monitoring atau pengecekan atas kebenaran posisi fisik uang atas laporan kasir tentang lalu lintas keuangan Koperasi Jagadhita;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan para terdakwa lebih tepat dikenakan dakwaan melakukan perbuatan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai Ketua dan Bendahara Koperasi Jagadhita, daripada didakwa melakukan perbuatan ‘melawan hukum’ secara umum sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU.31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas Majelis Hakim berpendapat unsur ‘melawan hukum’, dinyatakan tidak terpenuhi;
“Menimbang, bahwa oleh karena ada salah satu unsur yaitu unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak terpenuhi, maka unsur selanjutnya tidak perlu dibuktikan lagi dan para Terdakwa secara hukum wajib dibebaskan dari Dakwaan Primair;
“Menimbang, bahwa oleh karena para terdakwa didakwa dengan dakwaan Subsidiaritas dimana Dakwaan Primair dinyatakan tidak terbukti, maka selanjutnya Majelis Hakim wajib mempertimbangkan Dakwaan Subsidiair yaitu melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 jo. Pasal 15 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64. KUHP;
“Menimbang, bahwa rumusan pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
‘Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah.’
“Menimbang, bahwa unsur dari Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
a. Unsur ‘Setiap orang’;
b. Unsur ‘Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’;
c. Unsur ‘Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’;
d. Unsur ‘Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’.
Ad. b. Unsur : ‘Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang Lain Atau Suatu Korporasi’;
“Menimbang, bahwa unsur ini mengandung kesengajaan (opzet) terdakwa dan kesalahan/sengaja yang termasuk dalam syarat pemidanaan adalah menghendaki dan mengetahui akan arti dan akibat dari perbuatannya, sehingga apabila dikaitkan dengan unsur selanjutnya yaitu ‘menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi’ dengan ‘merugikan keuangan negara’, maka kesengajaan ini harus berhubungan langsung dan yang menjadi tujuan utama dari perbuatan seorang terdakwa, yaitu untuk menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi, dengan merugikan keuangan negara. Dengan perkataan lain bahwa keuntungan itu diperoleh dengan kesengajaan sebagai tujuan atau maksud, sehingga dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
“Menimbang, bahwa apa yang dimaksud dengan tujuan ialah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan dengan menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang artinya memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada. Kekayaan dalam arti ini tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang termasuk hak.
“Selanjutnya Ahli hukum pidana menjelaskan bahwa dalam rumusan Pasal 3 tidak dicantumkan unsur melawan hukum, dalam hal yang dituju oleh pengetahuan si pembuat (tujuan menguntungkan diri dengan melawan hukum). Walaupun unsur melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan ini, tetapi menurut logika sebelum berbuat tidak mungkin si pembuat tidak memiliki kesadaran tentang tercelanya perbuatan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya untuk mencapai kehendak yang menguntungkan diri tersebut;
“Menimbang, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 813 K/Pid/1987 tanggal 29 juni 1989 terdapat kaidah hukum yang pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi cukup dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku terdakwa sesuai kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukan;
“Menimbang, bahwa unsur ini bersifat alternatif yaitu menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Kata atau dalam unsur ini mempunyai arti bersifat pilihan atau alternatif maka apabila salah satu elemen unsur ini telah terpenuhi maka unsur ini telah terbukti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan dan keterangan saksi-saksi, ahli, bukti surat, sebagai berikut:
- Bahwa berdasarkan peraturan Peraturan Bupati Badung No.31 tahun 2005 tanggal 15 Juni 2005, tentang Persyaratan dan Prosedur Bantuan permodalan Bergulir untuk pengembangan kelayakan usaha koperasi Kab.Badung dan peraturan lainnya tentang dana bergulir Koperasi Jagaditha selaku koperasi sekunder harus membuka Rekening tersendiri untuk penampungan dana bergulir, akan tetapi terdakwa I sebagai Ketua Koperasi Jagadhita yang karena kewenangannya berinisiatif untuk mencampur menjadi satu di Rek No. ... Bank BPD Bali baik itu dana Koperasi Jagadhita maupun dana bantuan dana bergulir dari APBD Pemkab Badung sejak tahun 2005 s/d 2010;
- Bahwa pada tahun 2005- 2010 pemerintah kabupaten Badung telah menyalurkan dana bergulir kepada Koperasi-koperasi Primer melalui Koperasi Jagadhita sebesar Rp. 8.477.500.00. Kepada koperasi-koperasi primer yang menerima pinjaman dana bergulir tersebut diwajibkan mengembalikan angsuran pokok dan bunga pinjaman yang disetorkan melalui Rekening tabungan Pusat Koperasi Jagadhita sebagai Rekening penampungan dana bergulir;
- Bahwa peraturan kementerian Koperasi 19/per/M.KUKM/X/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam Koperasi pasal 19 ayat (6) menyebutkan bahwa ‘Koperasi sekunder dilarang melayani anggota perorangan secara langsung’;
- Bahwa terdakwa II. I Wayan Mendi, SE selaku Bendahara Jagadhita tidak melaksanakan tugasnya dengan maksimal, dimana terdakwa II hanya menantangani bukti-bukti penerimaan / pengeluaran uang tanpa pernah melakukan monitoring atau pengecekan atas kebenaran posisi fisik uang atas laporan dari kasir tentang lalu lintas keuangan Pusat Koperasi Jagadhita Kab. Badung;
- Bahwa Terdakwa I sebagai ketua Pusat Koperasi Jagadhita Badung terdakwa I. I WAYAN BUDIASA, SE sejak tahun 2007 sampai tahun 2010 telah leluasa melakukan (kas bon) dana Koperasi Jagadhita baik itu dana perguliran maupun dana simpan pinjam Pusat Koperasi Jagadhita Badung, disamping karena kewenangannya juga karena tidak dipisahkan antara dana setoran dana simpan pinjam anggota dengan dana setoran perguliran. terdakwa I yang melakukan pinjaman secara pribadi (cash bon) maupun pinjaman atas nama KSU Kencana dengan saldo tahun 2010 sebesar Rp.1.650.060.020,- yang seharusnya dana yang tertampung di rekening penampungan dana bergulir tersebut digulirkan kembali kepada koperasi primer yang mendapat rekomendasi dari Tim Pembina dari Dinas Koperasi UKM Kabupaten Badung.
“Menimbang, bahwa perbuatan Terdakwa I. I WAYAN BUDIASA, SE sebagai ketua Pusat Koperasi Jagadhita Badung yang dengan inisiatifnya sengaja tidak membuat rekening tersendiri atas penerimaan pengembalian dana bergulir dari koperasi-koperasi primer, adalah untuk memudahkan tindakannya melakukan (kas bon) maupun pinjaman pribadi atau atas nama KSU Lestari atas dana Koperasi Jagadhita baik itu dana perguliran maupun dana simpan pinjam Pusat Koperasi Jagadhita Badung,yang telah dilakukan Terdakwa I sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 dengan saldo pada tahun 2010 sebesar Rp.1.650.060.020,-. Hal ini telah menguntungkan diri Terdakwa I, karena seharusnya dana dari rekening penampungan tersebut digulirkan kembali kepada koperasi-koperasi primer yang mendapat rekomendasi Tim Pembina dari Dinas Koperasi UKM Kabupaten Badung;
“Menimbang, bahwa dengan adanya penggunaan dana oleh terdakwa I. I wayan Budiasa untuk kepentingan pribadi tidak sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku yang telah menguntungkan diri terdakwa I, hal tersebut dapat terjadi karena bantuan atau kelalaian Terdakwa II. I Wayan Mendi selaku bendara yang tidak melakukan tugas dengan maksimal, dimana Terdakwa II hanya menantangani bukti-bukti penerimaan/pengeluaran uang tanpa pernah melakukan monitoring atau pengecekan atas kebenaran posisi fisik uang atas laporan kasir tentang lalu linta keuangan koperasi Jagadhita, dengan demikian maka unsur ‘Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’ telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
Ad. c. ‘Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan ‘menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’ adalah menggunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi, untuk tujuan lain dari kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukannya.
“Yang dimaksud dengan ‘kewenangan’ adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi, untuk mengambil tindakan yang diperlukan, agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan ‘kesempatan’ adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi, peluang mana tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat atau didapat sebagai akibat adanya kekosongan atau kelemahan dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja tersebut atau kesengajaan menafsirkan secara salah ketentuan-ketentuan tersebut.
“Sedangkan yang dimaksud dengan ‘sarana’ adalah syarat, cara, atau media (peristilahan hukum dalam praktek), sehingga yang dimaksud dengan sarana dalam ketentuan pasal 3 tersebut adalah cara kerja atau metode kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan ‘jabatan’ adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung-jawab, wewenang dan hak seseorang pegawai negeri sipil dalam satuan tugas dan wewenang. Sedangkan ‘kedudukan’ adalah posisi seseorang yang berkaitan dengan kewenangannya;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud kedudukan dalam unsur Pasar 3 UU 31 Tahun 1999, dalam bukunya tersebut diatas halaman 38, R, Wiyono, SH, dengan mengutip pendapat Sudarto, menjelaskan bahwa: ... yang perlu mendapat perhatian adalah apa yang dimaksud dengan ‘kedudukan’ yang disamping dapat dipangku oleh Pegawai Negeri sebagai pelaku tindak pidana korupsi, dapat juga dipangku oleh pelaku tindak pidana korupsi yang bukan Pegawai Negeri atau orang perseorang swasta. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendapat Sudarto senada dengan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 18 Desember 1984 nomor 892 K/Pid/1983 yang di dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa terdakwa dengan menyalahgunakan kesempatan, karena kedudukannya masing-masing sebagai Direktur CV dan pelaksana CV, telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf b Undang–undang Nomor 3 Tahun 1971;
“Menimbang, bahwa unsur menyalah-gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, adalah bersifat alternatif, artinya dalam membuktikan unsur tersebut tidak perlu semua sub unsurnya terpenuhi namun cukup satu sub unsurnya terpenuhi maka dianggap unsur tersebut telah terpenuhi secara sempurna;
“Menimbang, bahwa selanjutnya oleh Majelis Hakim akan dipertimbangkan apakah perbuatan yang para Terdakwa lakukan sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum adalah sebagai perbuatan ‘menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’ ataukah bukan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan terdakwa I. I Wayan Budiasa, SE telah menyalahgunakan kewenangannya selaku Ketua Koperasi Jagadihita yang dibantu terdakwa II. I Wayan Mendi selaku Bendahara Koperasi jagadhita, dengan inisiatif tidak membuat rekening tersendiri sebagai rekening penampungan dana bergulir atas setoran dana bergulir dari koperasi-koperasi primer, melainkan digabungkan dengan simpan pinjam Koperasi Jagadhita hal ini bertetangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi pemerintah mengenai Akuntansi Dana Bergulir (buletin Teknis Nomor 7, Agustus 2008).
“Bahwa sejak tahun 2007—2010 Terdakwa I. I Wayan Budiasa, SE atas pengembalian pokok angsuran dan bunga pinjaman dana bergulir Koperasi primer sebagian tidak digulirkan kembali melainkan dipinjam secara pribadi (kas bon) dan juga atas nama Koperasi Serba Usaha (KSU) Kencana tanpa melalui prosedur yang berlaku untuk kepentingan pribadinya, dengan saldo kas bon/pinjaman sebesar akhir tahun 2010 sebesar Rp. 1.650.060.020,- adalah merupakan penyalah-gunaan sarana yang ada padanya karena jabatan / kedudukan Terdakwa selaku ketua Koperasi Jagadhita, bertentangan dengan Peraturan Menteri Kopersi nomor 19 tahun 2008 pasal 19 (6) menyebutkan Koperasi sekunder tidak boleh melakukan pinjaman langsung;
“Menimbang, bahwa Perbuatan Terdakwa I melakukan kas bon/pinjaman pribadi tanpa melalui prosedur yang berlaku dapat terjadi karena adanya bantuan atau kelalaian Terdakwa II (I Wayan Mendi) selaku bendahara Jagadhita, yang hanya menantangani bukti-bukti penerimaan/pengeluaran uang tanpa pernah melakukan monitoring atau pengecekan atas kebenaran posisi fisik uang atas laporan kasir tentang lalu lintas keuangan koperasi Jagadhita, dengan demikian, maka unsur ‘Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’, telah terpenuhi;
Ad. d. Unsur ‘Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara’;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang atau menjadi susut atau menjadi merosot, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang atau menjadi susut atau menjadi merosot keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara;
“Pengertian keuangan negara dan perekonomian negara telah secara jelas ditafsirkan oleh pembentuk undang-undang tindak pidana korupsi dalam memori penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yaitu yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban BUMN / BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
“Menimbang, bahwa arti kata merugikan yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur ‘merugikan perekonomian negara’ adalah sama artinya dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan;
“Menimbang, bahwa terhadap pencairan dana pada rekening BPD Bali tersebut otorisasinya hanya dapat dilakukan oleh terdakwa I selaku Ketua Koperasi Jagadhita dan terdakwa II selaku Bendahara Koperasi Jagdhita;
“Menimbang, bahwa Penggunaan Dana perguliran pada rekening penampungan dana bergulir harus dilaporkan kepada pemerintah Kabupaten Badung cq. Dinas Koperasi UKM Kabupaten Badung untuk digulirkan kembali kepada koperasi Primer yang terseleksi oleh Tim Pembina dari Dinas Koperasi UKM Kabupaten Badung;
“Menimbang, bahwa Terdakwa I. I Wayan Budiasa, SE sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, pengembalian pokok angsuran dan bunga pinjaman Koperasi Jagadhita dalam tahun 2005—2010 sebagian tidak digulirkan kembali melainkan dipinjam secara pribadi (kas bon) dan juga atas nama Koperasi Serba Usaha (KSU) Kencana tanpa melalui prosedur yang berlaku untuk kepentingan pribadinya dengan saldo tahun 2010 sebesar Rp. 1.650.060.020,-.
“Menimbang, bahwa akibat dari perbuatan para terdakwa tersebut telah merugikan keuangan negara dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah Badung sebesar Rp.1.650.060.020,- sesuai dengan laporan hasil audit BPKP Perwakilan Prop.Bali Nomor ... tanggal 4 Agustus 2014, dengan demikian maka unsur ‘dapat merugikan negara atau perekonomian negara’ telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi,dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14;
“Menimbang, ... Tanpa adanya tanda-tangan terdakwa II pada slip pengeluaran uang, maka terdakwa I tidak dapat melakukan penarikan uang. Dengan demikian Terdakwa II dengan kewenangan yang ada pada dirinya dapat mencegah perbuatan terdakwa I. dengan tidak menanda-tangani slip penarikan, akan tetapi hal tersebut tidak dilakukannya;
“Menimbang, bahwa perbuatan Terdakwa I. I Wayan Budiasa selaku Ketua koperasi Jagadhita yang melakukan kas bon / pinjaman pribadi tanpa melaui mekanisme dana bergulir terjadi adalah karena bantuan atau kelalaian Terdakwa II. I Wayan Mendi, SE yang tidak melakukan tugas dengan maksimal, dimana terdakwa II. I Wayan Mendi, SE hanya menanda-tangani bukti-bukti penerimaan/ pengeluaran uang tanpa pernah melakukan monitoring atau pengecekan atas kebenaran posisi fisik uang atas laporan kasir tentang lalu lintas keuangan Pusat Koperasi Jagadhita Kabupaten Badung;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, terdakwa II. I Wayan Mendi, SE dalam perkara ini telah terbukti melakukan pembantuan dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa I. I wayan Budiasa,SE, dimana peranan terdakwa II melakukan pembantuan terhadap tindak pidana korupsi dalam perkara ini, kemudian dalam persidangan Terdakwa II terbukti tidak ikut menikmati hasil atau tidak memperoleh harta kekayaan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa I, maka mejelis hakim dalam perkara ini tidak menerapkan ketentuan pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, demi rasa keadilan majelis sependapat dengan surat tuntutan Penuntut umum yang menuntut pidana yang berbeda antara terdakwa I dan terdakwa II, dan mengenai berapa hukuman yang akan dijatuhkan akan disebutkan dalam amar putusan perkara ini;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan Pasal 64 KUHP yaitu ‘Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang berlanjut’;
“Menimbang bahwa yang dimaksud dengan suatu rangkaian perbuatan sehingga dapat dipandang sebagai suatu perbuatan yang berlanjut adalah: ‘Apabila antara perilaku itu terdapat hubungan yang sedemikian rupa, sehingga perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang diteruskan / berlanjut, walaupun tiap-tiap perilaku itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka diberlakukanlah hanya satu ketentuan pidana saja, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat.’ (P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hal. 677);
“Menimbang, bahwa untuk menentukan apakah perbuatan Terdakwa memenuhi unsur perbuatan berlanjut, haruslah memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Beberapa perbuatan tersebut timbul dari satu niat;
b. Perbuatan-perbuatan tersebut harus sama dan sejenis;
c. Jangka waktu perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan, relatif tidak terlalu lama.
“Menimbang, bahwa sebagaimana telah diuraikan diatas para Terdakwa selaku Ketua dan Bendahara Koperasi Jagadhita periode tahun 2005 sampai dengan 2014 dan perbuatan Terdakwa I. I Wayan Budiasa, SE yang dengan inisiatif tidak membuka rekening tersendiri atas pengembalian pokok dan bunga pinjaman dana bergulir oleh koperasi-koperasi primer, melainkan digabung dengan simpan pinjam Koperasi Jagadhita;
“Menimbang, Terdakwa I, I Wayan Budiasa telah melakukan kas bon / pinjaman pribadi tanpa melalui mekanisme aturan dana bergulir telah berlangsung sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 perbuatan pidana yang telah Terdakwa lakukan didasari atas niat yang sama, merupakan perbuatan sejenis, dan berlangsung dalam kurun waktu yang relative tidak terlalu lama, dengan demikian unsur ‘secara berlanjut’ secara hukum telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa seluruh unsur pada Dakwaan Subsidiair yang didakwakan terhadap terdakwa I. I WAYAN BUDIASA, SE dan terdakwa II. I WAYAN MENDI,SE telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum maka dengan demikian terdakwa I. I WAYAN BUDIASA, SE dan terdakwa II. I WAYAN MENDI, SE telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Dakwaan Subsidiair Pasal 3 jo. Pasal 18 Ayat (1) huruf (b) jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 KUHP, dan oleh karena itu para terdakwa haruslah dinyatakan bersalah dan dihukum setimpal dengan perbuatannya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut diatas, dimana seluruh unsur telah terpenuhi, maka Majelis Hakim berpendapat Terdakwa I. I WAYAN BUDIASA, SE dan Terdakwa II. I WAYAN MENDI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana pada dakwaan subsidair, dengan kwalifikasi yang disebutkan nanti dalam amar putusan;
“Menimbang, bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa selain pidana penjara terhadap Terdakwa I. I Wayan Budiasa,SE juga dijatuhi pidana tambahan Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari Tindak Pidana Korupsi yang besarnya akan ditentukan dalam amar putusan di bawah ini; [Note SHIETRA & PARTNERS: Semestinya bukan sebesar harta yang diperoleh dari kejahatan, tapi sebesar nilai kerugian negara, untuk memulihkan kerugian negara yang telah terjadi.]
“Menimbang, bahwa masalah uang pengganti ini telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001, mengenai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan atas diri terdakwa di luar yang telah ditentukan dalam KUHP, yaitu berupa:
a. Perampasan barang bergerak yang bewujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk/atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik para terpidana dimana tindak korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang-barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari Tindak Pidana Korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada para terpidana.
“Menimbang, bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut;
“Menimbang, bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pelakunya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam Putusan Pengadilan;
“Menimbang, bahwa uang pengganti hanya dapat dibebankan kepada Terdakwa apabila benar-benar ada kerugian keuangan negara akibat dari perbuatannya Terdakwa tersebut, dan besarnya uang pengganti yang harus dibayar oleh Terdakwa bukanlah sebesar keseluruhan potensi kerugian keuangan negara akan tetapi harus sebesar uang negara yang benar-benar nyata (riil) telah diambil dan dinikmati oleh Terdakwa; [Note SHIETRA & PARTNERS: Argumentasi demikian kurang memadai, sebab bila pelaku merugikan keuangan negara dengan cara melakukan ‘kelalaian’ atas tanggung-jawab tugasnya, maka pelaku dengan demikian tidak dapat dibebani pidana uang pengganti.]
“Menimbang, bahwa dalam persidangan telah dapat dibuktikan bahwa kerugian negara sebesar Rp. 1.650.060.020,- berasal dari APBD Kabupaten Badungsebagai dana bergulir, merupakan saldo kas bon/pinjaman pribadi Terdakwa I. I Wayan Budiasa, SE tahun 2010, berdasarkan perhitungan jasa audit koperasi dan audit perhitungan kerugian negara oleh BPKP Propinsi Bali sebagaimana disebutkan dalam Laporan ... 2013 tanggal 04 Agustus 2014 dan sampai persidangan berakhir terdakwa tidak ada mengembalikan uang tersebut, maka menurut majelis hakim terdakwa I I Wayan Budiasa, SE telah memperoleh harta / kekayaan dari tindak pidana korupsi dalam perkara, sehingga Terdakwa I. I Wayan Budiasa, SE harus membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.650.060.020,-;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa I. I WAYAN BUDIASA, SE. dan Terdakwa II. I WAYAN MENDI, SE. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair;
2. Membebaskan Para Terdakwa oleh karena itu dari Dakwaan Primair tersebut;
3. Menyatakan Para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana;
- Terdakwa I. I WAYAN BUDIASA, SE. melakukan tindak pidana ‘Korupsi secara berlanjut’;
- Terdakwa II. I WAYAN MENDI, SE. melakukan tindak pidana ‘membantu melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut’;
4. Menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu:
a. Untuk Terdakwa I. I WAYAN BUDIASA, SE.:
- Dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun;
- Menjatuhkan pula pidana denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
- Menetapkan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa I, maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan;
- Menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp. 1.650.060.020,- (satu milyar enam ratus lima puluh juta enam puluh ribu dua puluh rupiah);
- Menetapkan apabila pidana tambahan berupa uang pengganti tersebut di atas tidak dibayar oleh Terdakwa I dalam tenggang waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah Putusan Pengadilan ini berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dijual leleng untuk membayar uang pengganti tersebut, dan jika Terdakwa I tidak memiliki harta benda yang cukup maka dipidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;
b. Untuk Terdakwa II. I WAYAN MENDI, SE.:
- Dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;
- Menjatuhkan pula pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);
- Menetapkan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa II, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang akan dijatuhkan tersebut;
6. Menetapkan supaya ParaTerdakwa tetap berada dalam tahanan.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Satu hal yang menarik dari perkara Tipikor diatas, terhadap putusan Majelis Hakim, para Terdakwa tidak mengajukan upaya hukum, sehingga putusan seketika menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht). Ketika melakukan kekeliruan, maka cukup akui kekeliruan tersebut tanpa banyak melakukan ‘aksi berkelit’ ataupun pembenaran diri. Segala bentuk pembenaran diri, merupakan indikator konkret adanya itikad buruk untuk melawan fungsi korektif dari hukum dan pemidanaan.
Dalam satu sisi, perbuatan para Terdakwa adalah “buruk”, namun dari sisi moralitas etika, dengan tidak mengajukan upaya hukum terhadap putusan, para Terdakwa mengakui pula perbuatannya dalam persidangan, kooperatif terhadap proses persidangan dan pembuktian, maka sejatinya yang tertolong ialah para Terdakwa itu sendiri—karena hakim menjadikan sikap kooperatif para Terdakwa sebagai faktor peringan ancaman hukuman.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.