Antara Berkata Jujur, Pidana Pencemaran Nama Baik, dan Penistaan

ARTIKEL HUKUM
Perbincangan serta perdebatan perihal pencemaran nama baik, seakan tidak berkesudahan, menjelma retorita dan wacana yang menyerupai benang kusut karena diperkeruh oleh faktor sinisme / fanatisme agama, politik, dan campur-tangan unsur kekuasaan. Alhasil, salah kaprah kemudian berkembang di tengah masyarakat, dan kalangan hakim pun seakan bersikap “latah” terhadap persepsi menyimpang yang berkembang di masyarakat.
Namun tiada satupun esensi dalam wacana berhasil diangkat dalam retorika tersebut, yakni sebuah pertanyaan yang amat sederhana: “Apakah berkata jujur, adalah sebuah pidana?” Bagi yang meremehkan pertanyaan introspeksi tersebut, tidak akan mampu memahami esensi “pencemaran nama baik”. Apakah, nama yang sedari sejak awal sudah buruk, dapat dicemarkan?
Pertanyaan tersebut tidak dapat kita tutup rapat untuk dikupas dan dievaluasi. Untuk menjawabnya, secara sedikit mengajak para pembaca untuk berfalsafah, contoh berikut dapat menjadi ilustrasi sederhana: Seorang pasien diberi suntikan bius dan serum untuk berkata jujur, lalu si pasien diajukan serangkaian pertanyaan, apakah ia menyukai si A, dan mengapa tidak menyukai A? Seperti apa peristiwa yang ia alami sehubungan dengan A?
Selama sesi tanya-jawab tersebut, dimana sang pasien menjawab dengan lancar berdasarkan memori dan perasaan yang berangkat dari “alam bawah sadarnya”, semua keburukan A diutarakan sang pasien. Apakah sang pasien, dengan demikian telah melakukan “pencemaran nama baik” terhadap pribadi A yang dibicarakan olehnya?
Sampai disitu saja, kita sudah dapat menarik kesimpulan, tiada niat batin pada sang pasien yang sedang dibawah pengaruh obat bius, untuk mencemarkan nama pribadi dari A. Sang pasien semata hanya mengungkapkan pengalaman serta perasaan pribadinya secara jujur dan terbuka. Pembungkaman tidak pernah menyebuhkan, sesi terapi demikian kerap digunakan oleh para terapis, yang berangkat dari latar belakang dunia psiko-terapi (psikoanalisis).
Untuk lebih memberi penegasan, ilustrasi sederhana berikut juga dapat memberikan kita pemahaman yang mendasar: seekor anjing menggigit kaki seorang pejalan kaki yang melintas—entah sang anjing mengenal korban atau tidaknya. Sang korban menjerit dan mengolok sejadi-jadinya, ketika kakinya digigit sang anjing. Pertanyaannya, apakah “menjerit” adalah dilarang dan merupakan tindak pidana? Kita tidak dapat berkelit dari pertanyaan tersebut, dengan berkata bahwa seolah mungkin terjadi adanya “asap” tanpa adanya “api”. Segala peristiwa, dimulai dari suatu causa primair.
Banyak kalangan ditengah masyarakat bahkan diantara kalangan profesi hukum, yang tidak mampu memahami perbedaan antara “mencemarkan nama baik orang lain” dengan “mencemarkan nama baik diri sendiri”. Seseorang yang melakukan perbuatan tercela, sejatinya mencemarkan nama baiknya sendiri—kurang-lebih demikianlah esensi dari falsafah tentang kebenaran perihal reputasi diri.
Contoh sederhana yang nyata terjadi berikut selalu menjadi rujukan utama penulis: seorang artis Korea dikabarkan oleh sebuah media yang meliput, ditemukan dalam keadaan mabuk akibat minum-minuman keras, melucuti seluruh pakaiannya sendiri, dan tampil di hadapan publik dalam keadaan tanpa busana. Sang artis kemudian diputus kontraknya oleh para pengusaha media hiburan, akibat merebaknya pemberitaan reportase aktual tersebut. Pertanyaannya, apakah sang artis berhak mengajukan gugatan terhadap pers / jurnalis, yang meliput dirinya ketika dalam keadaan tanpa busana?
Hukum bersifat “murni”, namun tidaklah “naif”—demikian penulis selalu pula mengingatkan, agar kita tidak terjebak dalam persepsi dan konsepsi yang parsial, seakan hukum adalah sesuatu produk yang bersifat parsial.
Kita sudah saatnya untuk mampu membedakan pula antara “menggugat orang lain” dengan “hanya berhak menggugat diri sendiri”. Mungkin Anda akan terkejut, ketika penulis utarakan fakta bahwa sebagian dari jumlah gugatan di pengadilan, berakhir pada ditolaknya gugatan, atau bahkan digugat-balik oleh pihak tergugat. Artinya, berbagai gugatan yang ditolak hakim tersebut, sejatinya telah merepotkan dan mengganggu ketenangan hidup pihak tergugat, yang telah tercerabut kedamaian hidupnya akibat gugatan tanpa dasar yang dilandasi klaim sepihak dari pihak penggugat.
Sebagai gambaran konkret lainnya, pada suatu ketika seseorang mencoba menghubungi penulis, menuntut agar publikasi penulis yang menyinggung perkara hukum yang dihadapinya, agar dihapus, karena perkara pidana yang membuatnya pernah mendekam dipenjara dinilai olehnya telah mencemari nama baik pribadinya.
Menanggapi tuntutan demikian, menjadi pertanyaan sederhana bagi penulis, mengapa justru penulis yang menjadi objek tuntutan sang pelaku? Bukankah dirinya hanya patut untuk menuntut dan menggugat dirinya sendiri? Apakah setiap insan pers, akan digugat karena mencemarkan nama baik akibat liputan fakta dan faktualnya?
Kini, penulis akan mengangkat isu yang lebih sensitif. Yakni: antara “menista” dan “siapa yang menista siapa”. Isu sensitif tersebut wajib penulis ungkapkan untuk meluruskan persepsi salah-kaprah yang akan sangat berbahaya bila dibiarkan terus menguasai perspektif masyarakat Indonesia, karena berpotensi menjadikan banyak pihak lainnya, terutama kaum minoritas, menjadi korban kriminalisasi serupa dikemudian hari.
Sebagai contoh, bila kitab suci salah satu agama menyebut-nyebut nama “Agama K” secara tidak patut dan tidak hormat, bahkan memberinya emblem sebagai “kafir”, maka ketika umat “Agama K” bersuara untuk menggunakan hak jawabnya semata, apakah umat “Agama K” tersebut dapat disebut telah menista?
Sejatinya, siapa telah menista siapa? Bagaimana bila keadaan kita putar secara berkebalikan, Kitab Suci “Agama K” yang menyebut-nyebut nama “Agama I” secara tidak hormat dan tidak patut, bahkan menyebut umat “Agama I” sebagai “kafir”, maka apakah dengan demikian umat “Agama I” dilarang untuk bersuara dan menggunakan “hak jawab” atau “hak bantah”?
Hukum bersifat murni, namun hukum tidak diperbolehkan untuk bersikap munafik. Sikap munafik akan menutup sumber daya hukum untuk bersikap adil dan fairness. Munafik selalu condong “berat sebelah” dan tidak akan mampu mengadili secara objektif, terlebih bersikap netral, dan akan cenderung dijadikan alat politik yang mudah disetir dan dikontrol oleh kekuasaan ataupun kalangan mayoritas terhadap kaum minoritas. Hak jawab dan hak bantah adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dicabut terlebih diberangus, terlebih dengan ancaman kriminalisasi.
Berkata bohong, tidak sesuai fakta, terlebih memutar-balik fakta, berkelit dari fakta yang nyata, melecehkan tanpa hak, barulah dapat disebut sebagai fitnah. Tanpa unsur fitnah demikian, tidaklah dapat seseorang atau suatu pihak disebut sebagai telah mencemarkan nama baik. Oleh karenanya, tidaklah tepat bila antara pasal ancaman pidana karena “fitnah”, dipisahkan dengan pasal ancaman pidana karena “pencemaran nama baik” ataupun “penistaan”.
Tanpa kita mampu memahami seluruh uraian falsafah sederhana diatas, maka pasal pidana “pencemaran nama baik” dan “penistaan” berpotensi menjadi “pasal karet” yang sarat unsur penyalahgunaan. Hukum bersikap murni, namun kemurnian hukum dibangun diatas landangan kejujuran. Tanpa kejujuran, yang ada ialah pembungkaman.
Bukankah Konstitusi Republik Indonesia telah menjamin, bahwa setiap warga negara dijamin kebebasannya untuk menyampaikan aspirasi dan eskpresi diri? Selama hal tersebut bukan berangkat dari fitnah, dan bukan semata dilandasi untuk merusak reputasi pribadi lain, namun dilandasi pengungkapan fakta dan perasaan untuk menjadi pengingat bagi khalayak ramai agar tidak menjadi korban serupa, serta berangkat dari pengalaman nyata, maka tiada unsur kejahatan apapun dalam niat batin demikian yang dapat dipidana. Tiada pidana tanpa kesalahan. Dipidana tanpa kesalahan, itulah yang disebut dengan kriminalisasi.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.