Yurisprudensi NEBIS IN IDEM

LEGAL OPINION
Telaah Cara Bekerjanya Fungsi Utama Preseden dalam Penyusunan Strategi Langkah Hukum
Question: Memang fungsi yurisprudensi itu seperti apa signifikasinya dalam praktik, terutama bagi masyarakat yang awam hukum?
Brief Answer: Tanpa preseden ataupun yurisprudensi, maka praktik hukum lebih menyerupai praktik “per-ju-di-an” di meja hijau, dan penting baik bagi kalangan profesi hukum secara langsung, maupun bagi masyarakat umum secara tidak langsung.
Masyarakat yang cerdas, tidak bersikap spekulatif. Pada sisi lain, praktik peradilan yang tidak mengindahkan peran preseden, akan menjadikan masyarakat sebagai korban sistem peradilan yang tidak lagi mampu diprediksi, sehingga para pencari keadilan justru menjelma para spekulan dalam berhukum.
John Lenon secara tepat menggambarkan tujuan utama dibentuknya peran preseden, dengan menyimak kutipan berikut dari sang legenda: “Bagaimana aku bisa maju, jika aku tidak tahu jalan mana yang kutuju.” Tanpa preseden ataupun yurisprudensi sebagai patokan dalam berhukum, maka setiap warga negara hanya akan mampu meraba-raba dalam kegelapan tanpa kompas petunjuk, tanpa peta tanpa arah, serta tanpa kejelasan tujuan.
Apa jadinya bila seorang hakim pemutus memegang kuasa penuh atas “blangko kosong” putusan untuk diisi dan ditulis sesuka hati dan sesuka “selera” sang hakim? Daya ikat preseden lewat berbagai yurisprudensi, tidak lain tidak bukan ialah untuk membatasi kekuasaan kalangan profesi kehakiman, mengingat kekuasaan yang besar namun tidak disertai rambu-rambu pembatas, akan melahirkan kekacauan pada gilirannya di tengah masyarakat, karena pengadilan dapat menjelma sewenang-wenang terhadap kekuasaannya (abuse of power).
Memang disayangkan, sistem pendidikan tinggi hukum maupun praktik peradilan di Tanah Air, sama sekali belum menekankan peran utama sebuah preseden, bahkan sebuah preseden dinyatakan tidak bersifat mengikat dalam sistem hukum di Indonesia, namun sebatas persuasif belaka—dimana tentu saja, membuka ruang bagi kalangan hakim untuk “bermain” dan “bernegosiasi”.
PEMBAHASAN:
Sebuah kasus berikut dapat menjadi cerminan, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa gugatan perdata register Nomor 2771 K/Pdt/2012 tanggal 26 April 2013, perkara antara:
- SALEHA RIVAI, sebagai Pemohon kasasi dahulu Tergugat; melawan
- Hj. RATNAWATI MUHTAR, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Dalam kasus pemalsuan akta, menggunakan surat palsu, atau kejahatan sejenis terkait akta, dengan mengetahui berbagai preseden yang ada, dapat ditarik kesimpulan bahwasannya solusi terbaik ialah diajukannya terlebih dahulu proses pemidanaan sebelum secara gegabah mengajukan gugatan perdata terhadap pihak yang telah memalsukan.
Ilustrasi konkret berikut menggambarkan betapa fatalnya kekeliruan menyusun strategi langkah hukum, maju “menerjang” tanpa memiliki kepekaan terhadap berbagai hukum preseden yang hidup dalam praktik peradilan. Bermula dari objek sengketa berupa sebidang tanah yang diperoleh Penggugat karena dihibahkan oleh Ibu Penggugat bernama Hj.Andi Basse Dg. Caya sebagai mana tertera dalam Akta Hibah yang dibuat oleh Camat Panakkukang selaku PPAT pada saat itu.
Hj. Andi Basse Dg Caya memperoleh tanah tersebut secara waris dari Ibunya pula, yaitu Hatija Binti Lippu (Nenek Penggugat). Penghibahan tersebut diatas telah disetujui oleh anak-anak lainnya dari almarhumah Hatijah Binti Lippu.
Ketika tanah yang dihibahkan itu diterima oleh Penggugat, fisik tanah memang berada dalam penguasaan Tergugat. Adapun kronologi peristiwa sehingga hal tersebut bisa terjadi, sebagai berikut:
- Djaniah Dg Ngagi Binti Damang meminta tolong pada Hatidja Binti Lippu untuk memberi tempat penampungan bagi keluarganya, dengan cara membangun rumah tempat tinggal diatas tanah tersebut. Dikabulkan oleh Hatijah Binti Lippu, dengan syarat bahwa yang dibangun bukan rumah permanen, supaya sewaktu-waktu gampang dibongkar dan dipindahkan, syarat mana disetujui pula oleh Djaniah Dg Ngagi;
- Maka sejak itu lalu Djaniah Dg Ngagi membangun rumah darurat dan tinggal disitu bersama dengan suaminya bernama H. Dg. Tulo, dari perjalanan waktu rumah tersebut dikembangkan sedikit demi sedikit sehingga menjadi rumah semi permanen, lalu anaknya yang bernama Rivai kawin dengan seorang perempuan bernama Saleha, sehingga Saleha ini biasa juga dipanggil Saleha Rivai (Tergugat).
- Sehingga, Saleha Rivai (Tergugat) sebenarnya hanya menumpang saja di tanah milik Djaniah Dg Ngagi.
Keberadaan Tergugat di atas tanah milik almarhumah Djaniah Dg Ngagi itu bagi Penggugat tidak ada masalah, sepanjang yang bersangkutan tidak menyatakan diri selaku pemilik atas tanah pada mana rumah itu berdiri. Akan tetapi ketika Penggugat mengajukan permohonan Sertifikat Hak Milik atas bidang tanah tersebut dengan mendasarkan diri pada Akta Hibah Tanggal 13 Agustus 1998, Tergugat justru mengajukan keberatan ke kantor Pertanahan Kota Makassar dengan alasan sampai seluas ± 153 m² dari tanah yang dimohonkan Sertifikat oleh Penggugat, itu adalah miliknya yang berasal dari suaminya A. Rivai Amir (Almarhum).
Tergugat yang mengklaim objek tanah sebagai miliknya, nyata-nyata merupakan perbuatan melawan hukum (PMH), sebab tanah tersebut sebenarnya merupakan bagian dari keseluruhan tanah milik Penggugat seluas 431 M². Sekalipun telah dilakukan pendekatan secara kekeluargaan, namun dikarenakan tidak membuahkan hasil, mala Penggugat mengajukan gugatan perdata terhadap Tergugat ke Pengadilan Negeri Makassar, maka terbitlah putusan No.118/Pdt.G/2002/PN.Mks, berlanjut pada tingkat kasasi, namun pada akhirnya gugatan Penggugat dinyatakan “ditolak” sebagaimana putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Februari 2006 Nomor 1753 K/Pdt/2004. Dengan kata lain, dalam perkara tersebut Penggugat berada dipihak yang kalah.
Disinyalir, kekahalan Penggugat disebabkan karena Tergugat (Saleha Rivai) telah menggunakan surat palsu sebagai alat Bukti dalam Perkara gugatan terdahulu tersebut, sehingga ia menang. Berangkat dari kenyataan tersebut, Penggugat melaporkan Tergugat kepada pihak kepolisian, yang dalam prosesnya ternyata dugaan itu terbukti berdasarkan putusan perkara pidana Pengadilan Negeri Makassar tanggal 22 September 2005 No.570/Pid.b/2004/PN.Mks, dengan amar:
M E N G A D I L I :
1) Menyatakan Terdakwa Saleha Rivai telah terbukti secara Sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu Asli dan tidak dipalsukan;
2) Menghukum Terdakwa dengan Pidana Penjara selama 9 (sembilan) bulan;
3) Memerintahkan Pidana yang dijatuhkan itu tidak usah dijalani, kecuali bila dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain karena terpidana melakukan suatu tindak Pidana sebelum masa percobaan selama 1 (satu) tahun.”—[Note SHIETRA & PARTNERS: Hanya dipidana masa percobaan, suatu harga yang akan dibayar mahal oleh Penggugat dikemudian hari.]
Dalam tingkat Banding, putusan tersebut diatas kemudian dikuatkan berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Makassar tanggal 28 Maret 2006 No.20/Pid/2006/PT.Mks, bahkan permohonan kasasi terhadapnya juga kemudian ditolak sebagaimana putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Februari 2007 No.1611 K/Pid/2006.
Dengan demikian, maka berdasarkan putusan pengadilan perkara piadna yang sudah berkekuatan hukum tetap diatas, Saleha Rivai (Tergugat) telah terbukti melakukan tindak pidana dengan sengaja menggunakan surat Palsu atau yang dapat dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan.
Surat yang dimaksud sebagai barang bukti perkara pidana, telah ditetapkan dirampas untuk dimusnahkan sebagaimana disebutkan dalam amar putusan Pengadilan Negeri Makassar tanggal 22 September 2005 No.570/Pid.B/2004/PN.Mks, yakni antara lain;
a. Surat pendaftaran sementara Tanah Milik Indonesia atau Rincik An. Djaniah Bin Damang Kohir 326 CI Persil 20 DI tanggal 24 Juni 1958.
b. Surat Riwayat tanah wajib bayar Ipeda tanggal 25 Januari 1981.
Kedua barang bukti berupa surat-surat palsu itulah, yang sebelumnya dipergunakan oleh Ny. Saleha Rivai (Tergugat) sebagai alat bukti dalam Perkara Perdata No. 118/Pdt.G/2002/PN.Mks, dimana klaim Tergugat ialah bahwa tanah objek sengketa yang dikuasai olehnya adalah milik mertuanya.
Dengan kenyataan demikian, dapat ditarik sebuah konklusi, berarti ditolaknya gugatan Penggugat dalam tingkat banding dalam perkara No.118/Pdt.G/2002/PN.Makassar, disebabkan oleh karena Majelis Hakim Pengadilan Tinggi mendasarkan putusannya pada Surat Riwayat tanah yang diajukan oleh Tergugat, yang isinya kemudian ternyata kedua surat tersebut “Palsu”, sebagaimana putusan pidana yang terbit beberapa tahun kemudian.
Maka, kemenangan Tergugat dalam Perkara No.118/Pdt.G/2002/PN.Makassar tersebut harus dikesampingkan dalam pengertian isi surat riwayat tanah wajib bayar Ipeda tanggal 25 Januari 1981 yang pada pokoknya sama pula dengan isi surat pendaftaran sementara tanah milik Indonesia tanggal 25 Juni 1958, adalah tidak benar atau lebih tegasnya lagi tanah sengketa bukanlah milik Djaniah Dg.Ngagi binti Damang.
Oleh karena itu tidak ada alasan lagi bagi Tergugat untuk menempati tanah sengketa—itulah pokok permintaan dalam gugatan Penggugat yang kemudian menjadi “batu sandungan” bagi gugatan perdata saat kini yang diajukan untuk kedua kalinya.
Yang dituntut oleh Penggugat dalam gugatan saat kini, ialah (lagi-lagi) supaya Tergugat atau siapa saja yang mendapat hak daripadanya untuk mengosongkan tanah sengketa dan menyerahkannya tanpa syarat kepada Penggugat. Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Makassar kemudian menjatuhkan putusan No. 163/Pdt.G/2010/PN.Mks tanggal 7 Juni 2011, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
1. Menerima Eksepsi Tergugat;
2. Menyatakan gugatan Penggugat Ne Bis In Idem;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Makassar lewat putusannya No. 65/Pdt/2012/PT.Mks tanggal 5 April 2012, dengan amar:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding/Penggugat tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar tanggal 7 Juni 2011, No. 163/Pdt.G/2010/PN.Mks yang dimohonkan banding tersebut; dengan
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Eksepsi:
1. Menolak eksepsi dari Tergugat / Terbanding tersebut;
2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak nebis in idem;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat / Pembanding untuk sebahagian;
2. Menyatakan tanah sengketa adalah milik Penggugat;
3. Menyatakan perbuatan Tergugat menguasai tanah sengketa adalah merupakan perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum Tergugat atau orang lain siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan tanah sengketa dan menyerahkan tanpa syarat kepada Penggugat;--[Note SHIETRA & PARTNERS: rumusan petitum tersebut telah dinyatakan ‘ditolak’ oleh putusan sebelumnya, sehingga akan overlaping bila kemudian ‘dikabulkan’.]
5. Menyatakan lumpuh tidak mempunyai kekuatan eksekutorial putusan perkara perdata Pengadilan Negeri Makassar tanggal 2 Januari 2003 No. 118/Pdt.G/2002/Pn.Mks jo putusan Pengadilan Tinggi Makassar tanggal 16 Oktober 2003 No. 293/Pdt/2003/PT.Mks jo. putusan Mahkamah Agung No. 1753 K/Pdt/2004 tanggal 14 Februari 2006 jo putusan peninjauan kembali No. 315 PK/Pdt/2007 tanggal 28 November 2008;
6. Menghukum Tergugat / Terbanding untuk membayar biaya yang timbul dalam kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding sebesar Rp 150.000, (seratus lima puluh ribu rupiah);
7. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa hakim telah salah menerapkan hukum, karena terjadi nebis in idem, dimana dasar gugatan pada perkara No. 163/Pdt.G/2010/PN.Mks tanggal 01 Juli 2010 adalah sama dan sebangun baik dari segi subyek, obyek perkara, maupun alasan-alasan hukumnya dengan perkara gugatan perdata No. 118/Pdt.G/2002/PN.Mks tanggal 02 Januari 2003 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Tergugat untuk itu merujuk kaedah norma yurisprudensi berupa putusan Mahkamah Agung RI No. 647 K/Sip/1973 tanggal 13 April 1976:
“Ada atau tidaknya azas nebis in idem, tidak semata-mata ditentukan oleh pihak saja, melainkan terutama bahwa obyek dari sengketa sudah diberi status tertentu oleh Keputusan Pengadilan Negeri yang terlebih dahulu dan telah mempunyai kekuatan pasti dan alasannya adalah sama.”
Dimana terhadap argumentasi pihak Tergugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang penuh nuansa dilematis, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
- Bahwa Judex Facti (Pengadilan Tinggi) keliru dalam pertimbangan hukumnya, bahwa objek sengketa sudah jelas dan Judex Facti (Pengadilan Negeri) sudah mengadili sesuai fakta, bahwa atas sengketa in casu telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;
- Bahwa alasan kasasi Pemohon Kasasi dapat dibenarkan, karena Judex Facti tingkat banding (Pengadilan Tinggi) salah menerapkan hukum, sementara Judex Facti tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sudah tepat dan benar, karena itu putusan judex Facti tingkat banding (Pengadilan Tinggi) harus dibatalkan dengan menguatkan putusan Judex Facti (Pengadilan Negeri);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Makassar dengan putusan 65/Pdt/2012/PT.Mks tanggal 5 April 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 163/Pdt.G/2010/PN.Mks tanggal 7 Juni 2011 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: SALEHA RIVAI, tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Makassar dengan putusan 65/Pdt/2012/PT.Mks tanggal 5 April 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 163/Pdt.G/2010/PN.Mks tanggal 7 Juni 2011;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
1. Menerima Eksepsi Tergugat;
2. Menyatakan gugatan Penggugat Ne bis in idem;
DALAM POKOK PERKARA:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Sebenarnya bila saja Mahkamah Agung mau bersikap lebih jeli (suatu harapan yang sangat “mewah”, karena sukar mengharap / mengandalkan sumber daya waktu yang terbatas dari kalangan Hakim Agung untuk mau bersikap cermat atas tumpukan perkara yang mengantri untuk diputuskan, dimana sebagian diantaranya merupakan “gugatan sampah”), yang diajukan oleh Penggugat bukanlah perihal sengketa tanah lagi, namun telah bergeser menjadi gugatan Perbuatan Melawan Hukum berupa pemalsuan surat, hal mana menimbulkan kerugian perdata bagi Penggugat—dan itulah tepatnya yang sedang diajukan sebagai gugatan Penggugat saat ini, bukan lagi perihal gugatan dengan pokok perkara yang terfokus perihal sengketa kepemilikan, namun perihal perbuatan melanggar hukum berupa memalsukan akta yang menimbulkan kerugian bagi Penggugat—meski, Penggugat keliru membuat pokok permintaan dalam gugatan (petitum), berupa kembali kepada sengketa kepemilikan tanah untuk diberikan kepada Penggugat, alih-alih meminta ganti-rugi berupa nominal uang akibat perbuatan melawan hukum Tergugat yang memalsukan akta, sehingga jelas menjadi nebis in idem dengan putusan sebelumnya yang telah inkracht.
Meski demikian, dengan “memetakan” preseden dan yurisprudensi yang ada, dapat diambil keputusan untuk menghindari langkah yang berisiko seperti terlebih dahulu mengajukan gugatan perdata sebelum terbitnya putusan perkara pidana pemalsuan akta.
Karena putusan pidana belum terbit, sementara putusan perkara perdata telah terlanjur terbit dan berkekuatan hukum tetap, maka perkara perdata telah “terkunci”, bagai terjebak dalam keadaan yang tidak lagi mampu diperbaiki—semata akibat kesalahan dalam mengambil strategi langkah hukum.
Dengan menggeser isu pokok dari putusan sebelumnya berupa sengketa tanah, menjadi gugatan perbuatan melawan hukum memalsukan akta, meski sama-sama gugatan perdata, namun objek sengketanya terjadi perbedaan / pergeseran antara kedua register perkara perdata: dalam gugatan yang pertama, objek sengketa berupa hak kepemilikan atas tanah untuk diserahkan kepada siapa yang telah diberikan status oleh putusan yang berkekuatan hukum tetap (karena gugatan dinyatakan “ditolak”), sementara dalam gugatan kedua, objek sengketa “digeser” menjadi permintaan ganti-rugi uang akibat perbuatan melawan hukum tindakan memalsukan oleh Tergugat yang telah menimbulkan kerugian bagi pihak Penggugat. Penggugat justru kembali mengulang memakai petitum yang berasal dari gugatan yang pertama, alih-alih memakai jenis opsi petitum kedua yang sama sekali berbeda dari gugatan pertama.
Dengan menyadari adanya preseden perihal nebis in idem, maka resiko demikian sejatinya dapat di-mitigasi sejak semula, dengan menggeser petitum dari meminta dikembalikan tanah kepada pihak Penggugat, menjadi permintaan agar Tergugat membayar ganti-rugi uang terhadap kerugian yang dialami Penggugat akibat perbuatan melawan hukum Tergugat yang memalsukan akta—sehingga sengketa tanahnya menjadi tertutupi oleh isu perbuatan melawan hukum Tergugat yang memalsukan akta.
Hanya saja, konsekuensi dari langkah kedua ini, ialah ganti-rugi hanya dapat berupa nominal uang, bukan lagi objek fisik sebidang tanah. Namun, daripada tidak mendapat apapun, langkah cerdas tersebut masih lebih layak untuk ditempuh.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.