Upaya Hukum terhadap Putusan VERSTEK Hanyalah VERZET

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya kalau mau mengajukan upaya hukum terhadap putusan verstek (putusan pengadilan dimana terhadap gugatan Penggugat, pihak Tergugat sama sekali tidak pernah hadir dalam persidangan untuk melakukan proses jawab-menjawab terhadap gugatan), ialah upaya banding ataukah partij verzet (perlawanan)?
Brief Answer: Secara empirik, verzet lebih menyerupai pengulangan proses pemeriksaan dan putusan di Pengadilan Negeri terhadap putusan Pengadilan Negeri—sehingga menyerupai “jeruk makan jeruk”. Idealnya pula, verzet yang masih dimungkinkan terhadap putusan verstek hanyalah derden verzet (perlawanan oleh pihak ketiga).
Namun bila meninjau praktik dan pendirian peradilan, sejauh ini masih ambigu—ambiguitas yang seakan ditelantarkan para regulator, sehingga menjelma “duri dalam daging” bagi para pencari keadilan di persidangan. Meski demikian, untuk lebih amannya, ajukan upaya hukum verzet terhadap putusan verstek, dengan menjadikan kaedah preseden dalam contoh kasus “dilematis” sebagaimana SHIETRA & PARTNERS ulas dalam bagian pembahasan dibawah ini, sebagai rujukan paling utama.
Bila dibukanya kesempatan upaya verzet terhadap putusan verstek, hal tersebut memang mengandung moral hazard (seakan membenarkan praktik pembatalan putusan Pengadilan Negeri oleh Pengadilan Negeri yang  sama, sehingga saling menegasikan antar putusan).
Namun kendala paling utama yang harus kita pahami, ialah proses pembuktian berupa bukti-bukti surat ataupun keterangan saksi, hanya dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri, sehingga tampaknya memang verzet yang paling rasional untuk mengakomodasi proses pembuktian—mengingat dalam upaya hukum banding, Tergugat tidak mungkin dapat secara optimal mengajukan alat bukti surat ataupun menghadirkan keterangan saksi guna membantah klaim Penggugat.
Bayangkan bila putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa kehadiran pihak tergugat, namun tidak dapat dikoreksi lewat proses pembuktian di Pengadilan Negeri lewat verzet, tentu memiliki moral hazard yang jauh lebih hebat—sehingga putusan verstek dapat disalahgunakan oleh pihak Penggugat yang beritikad buruk.
Namun demikian, implementasinya tidaklah sesederhana konstruksi diatas, mengingat tidak jarang terjadi, putusan verstek meski pihak Tergugat tidak pernah hadir untuk membantah klaim sepihak dari Penggugat, Pengadilan Negeri tidak serta-merta mengabulkan gugatan Penggugat. Maka, wajar bila Penggugat kemudian mengajukan upaya hukum banding atas putusan verstek demikian.
Jika kemudian terhadap putusan banding, Pengadilan Tinggi mengabulkan gugatan Penggugat, maka apa yang dapat menjadi upaya hukum bagi pihak Tergugat terhadap putusan Pengadilan Tinggi, sementara Tergugat tidak lagi memiliki kesempatan mengajukan alat bukti surat ataupun saksi untuk membantah klaim sepihak dari Penggugat?
Itulah tepatnya problematik putusan Pengadilan Negeri yang bernuansa verstek, alias putusan tanpa pernah dihadirinya pihak Tergugat. Bahkan SHIETRA & PARTNERS tidak mampu memberikan jawaban secara leterlijk terhadap isu hukum demikian, selain kata “terjebak secara dilematis”.
Mengapa? Bila saja dalam setiap putusan verstek, Pengadilan Negeri dalam amar putusannya mengabulkan gugatan Penggugat, maka pihak Tergugat cukup mengajukan upaya hukum verzet terhadap putusan verstek. Namun realita tidak selalu sesederhana itu, karena bisa saja dalam putusan verstek, Pengadilan Negeri menolak gugatan Penggugat sekalipun Tergugat tidak pernah hadir untuk membantah.
Ketika putusan verstek oleh Pengadilan Negeri dinyatakan: gugatan Penggugat “tidak diterima” atau bahkan “ditolak”, maka Penggugat akan mengajukan upaya hukum banding. Pada titik krusial inilah, posisi hukum Tergugat “tersandera” dan “terkunci” dalam arti yang sesungguhnya.
Mungkin, solusinya ialah bila kemudian putusan banding mengabulkan gugatan Penggugat, Tergugat dapat mengajukan verzet. Akan menjadi tampak absurd sekaligus ambigu, ketika Tergugat kemudian mengajukan kasasi tanpa diberi peluang mengajukan alat bukti apapun—alias tersandera oleh keadaan hukum acara di Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi yang tidak memeriksa alat bukti ataupun saksi secara langsung seperti halnya proses persidangan di Pengadilan Negeri.
Ketika putusan kasasi justru menguatkan putusan Pengadilan Tinggi yang mengabulkan gugatan Penggugat, maka Tergugat tidak lagi dapat mengajukan verzet, sebab dalam putusan kasasi, Tergugat telah menampilkan dirinya ketika mengajukan permohonan kasasi.
Singkat kata, sebagi strategi yang paling ideal, ialah: Tergugat mengajukan verzet ketika putusan verstek memenangkan pihak Penggugat, entah putusan verstek yang memenangkan pihak Penggugat tersebut ialah terjadi saat putusan Pengadilan Negeri, tingkat banding, maupun tingkat kasasi.
PEMBAHASAN:
Prolog berikut sekiranya dapat mewakili kedudukan Tergugat terhadap putusan verstek yang demikian menyandera pihak Tergugat. Surat pembaca pada harian Kompas 27 juni 2012, dengan judul “Disandera Voucer Mandala Air” berikut sangat menarik untuk disimak dan direnungkan bersama:
“Saya pemilik tiket Mandala Air dengan kode pemesanan W9PESG Jakarta-Yogyakarta. Tiket saya beli secara online akhir Desember 2010 untuk penerbangan awal Februari 2011. Tiket tak bisa saya gunakan karena Mandala Air bangkrut. Saya, istri, dan ibu mertua terbang ke Yogyakarta dengan maskapai lain.
“Semula manajemen Mandala Air berjanji dalam waktu 45 hari sejak dinyatakan pailit pada Januari 2011 akan mengembalikan tiket dalam bentuk uang. Saya pun mengirim nomor rekening seperti disyaratkan.
“Lebih dari setahun menunggu tanpa kepastian, awal Mei 2012 saya menerima e-mail dari Mandala Air berisi voucer tiket Mandala Air sebagai pengganti tiket, bukan pengembalian uang seperti janji semula.
“Voucer tiket tersebut bersyarat dan merugikan. Tiket akan hangus jika tidak digunakan sampai November 2012. Padahal, penerbangan Mandala Air dari Jakarta hanya memiliki tiga tujuan: Medan, Kuala Lumpur, dan Singapura. Syarat lain, sisa kredit dari voucer tidak bisa ditukar dan berlaku hanya untuk satu kali transaksi. Saya seperti disandera.”
Sebagai ilustrasi simpang-siurnya praktik hukum acara perdata di Indonesia terkait putusan verstek yang sudah berlangsung lebih dari satu abad lamanya, dan terus menjadi momok hingga saat kini, secara konkret dapat kita jumpai sebagaimana putusan Mahkamah Agung sengketa gugatan perdata register Nomor 1301 K/Pdt/2015 tanggal 27 Januari 2016, perkara antara:
- ELPINA TAMBA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat / Terbanding; melawan
- Koperasi Kredit Rukun Damai, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat / Pembanding.
Sengketa gugatan perdata ini bermula dari hubungan antara koperasi dan anggotanya, dimana Tergugat selaku peminjam dana, tidak melunasi pinjamannya kepada pihak koperasi selaku Penggugat. Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam kemudian menjatuhkan Putusan verstek Nomor 142/Pdt-G/2013/PN-LP tanggal 26 Februari 2014, dengan ciri khas amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa pihak Tergugat oleh Majelis Hakim telah melepaskan hak bantahannya karena sudah dapat secara patut oleh Majelis di persidangan melalui Juru Sita Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dan telah dinyatakan sah terhadap panggilan tersebut, namun tidak pernah hadir dalam persidangan secara sendiri atau mengirimkan wakilnya tanpa adanya suatu alasan yang dapat dikatakan sah;
MENGADILI :
- Menyatakan pihak Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut namun tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah;
- Menjatuhkan putusan secara verstek;
- Menyatakan gugatan dari kuasa hukum Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvakelijk verklaard).”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Medan lewat Putusan Nomor 175/Pdt/2014/PT-MDN tanggal 11 September 2014, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa Terbanding semula Tergugat dalam kontra memori berpendapat bahwa Terbanding tidak hadir di persidangan perdata di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam karena tidak menerima relaas panggilan Pengadilan Tinggi mempertimbangkan bahwa sesuai dengan panggilan sidang yang dibuat juru sita Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tanggal 20 Desember 2013, 9 Januari 2014, 17 Januari 2014 telah secara sah memanggil Terbanding semula Tergugat, namun tidak bertemu dan menurut hukum acara perdata kemudian Juru Sita menyampaikan kepada Kepala Desa untuk disampaikan kepada Terbanding semula Tergugat;
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tanggal 26 Pebruari 2014, Nomor 142/Pdt.G/2013/PN-LP yang dimohonkan banding tersebut;
“MENGADILI SENDIRI:
- Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut namun tidak hadir maupun mengirim wakilnya di persidangan tanpa alasan yang sah;
- Menjatuhkan putusan secara verstek;
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
- Menyatakan sah menurut hukum Perjanjian Kredit Nomor 11 tanggal 09 Januari 2012 antara Penggugat dan Tergugat oleh Notaris Abidin Soaduon Panggabean, S.H., kecuali klausula bunga ditetapkan 1% perbulan dan klausula tentang denda keterlambatan serta ongkos penagihan dinyatakan tidak berlaku;
- Menyatakan bahwa tindakan Tergugat yang sama sekali tidak memenuhi janjinya untuk mengembalikan pinjaman dan bunga pinjaman yang telah disepakati dalam surat perjanjian pinjaman, walaupun Penggugat telah beberapa kali melakukan teguran, maka dengan demikian, tindakan Tergugat yang tidak memenuhi kewajiban untuk membayar utang tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan ingkar janji (wanprestasi);
- Menghukum Tergugat serta merta melakukan pembayaran pinjaman berupa pokok hutang beserta bunga pinjaman sebagai berikut: Hutang pokok Rp.150.000.000,00; Bunga pinjaman sebesar 1% perbulan selama 20 bulan Rp30.000.000,00. Total pinjaman sebesar: Rp.180.000.000,00.
- Menolak gugatan penggugat selebihnya.”
Selanjutnya, pihak Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi alih-alih mengajukan verzet, dengan pokok keberatan bahwa Tergugat tidak pernah menerima relaas panggilan dari juru sita Pengadilan Negeri. Tergugat menolak dan keberatan terhadap putusan secara verstek tersebut karena jika dengan benar-benar diteliti secara seksama panggilan sidang yang dibuat juru sita Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tanggal 20 Desember 2013, 9 Januari 2014, 17 Januari 2014, adalah tidak sah karena tidak sungguh dijalankan oleh juru sita sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku.
Tergugat menyebutkan pula, amar putusan secara verstek oleh Pengadilan Tinggi Medan jo. Pengadilan Negeri Lubuk Pakam telah mengakibatkan Tergugat kehilangan hak untuk melakukan bantahan terhadap gugatan di persidangan Pengadilan Negeri. Dimana terhadap keberatan pihak Tergugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan dengan suara tidak bulat, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti telah telah tepat dan benar serta tidak salah menerapkan hukum karena terbukti ada perjanjian meminjam uang yang tertuang dalam Akta Perjanjian Kredit Nomor 11 tanggal 9 Januari 20152 sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) antara Penggugat selaku kreditur dan Tergugat selaku Debitur;
“Bahwa setelah jatuh tempo, pihak Penggugat telah memberikan peringatan/teguran berkali-kali namun tetap pihak Tergugat tidak dapat membayar hutangnya sehingga dengan demikian terbukti pihak Tergugat telah ingkar janji (wanprestasi) dan pihak Tergugat berkewajiban untuk melunasi seluruh hutang beserta bunga yang telah disepakatinya tersebut;
“Bahwa lagi pula mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
“Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Agung anggota I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H. menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Facti tidak menerapkan hukum dengan benar, karena upaya hukum yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi seharusnya adalah verzet, bukan kasasi;
“Bahwa sejalan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 1936 K/PDT/1984 yang pada pokoknya menyebutkan ‘Permohonan banding terhadap putusan verstek, tidak dapat diterima. Karena upaya hukum terhadap verstek adalah verzet, oleh karena itu permohonan niet ontvankelijk verklaard.’;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Medan dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi ELPINA TAMBA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ELPINA TAMBA tersebut.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Contoh kasus diatas merupakan bukti sempurna terbukanya “lubang jebakan” dalam hukum acara perdata, yang seakan “dilestarikan” oleh regulator. Karena Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi menguatkan putusan Pengadilan Tinggi (tingkat banding) yang mengabulkan gugatan Penggugat, maka tertutup sudah kesempatan bagi Tergugat untuk mengajukan verzet, oleh sebab Tergugat telah menampilkan dirinya dalam tingkat kasasi, tanpa diberi kesempatan menghadirkan alat bukti apapun untuk membantah klaim Penggugat, mengingat Hakim Agung hanya memeriksa penerapan hukum, bukan memeriksa alat bukti dan saksi.
Salah dalam menyusun stategi litigasi, terjebak secara fatal. Dalam perkara diatas, pernyataan Hakim Agung yang melakukan dissenting opinion adalah pandangan yang paling relevan dan rasional, dimana Tergugat semestinya mengajukan upaya hukum verzet, bukan justru mengajukan permohonan kasasi.
Seandainya Tergugat mengajukan upaya hukum verzet, alih-alih memilih untuk mengajukan kasasi terhadap putusan verstek yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi, mungkin cerita akhirnya akan berbeda. Hukum adalah ilmu tentang prediksi, bukan ilmu berspekulasi yang terlampau mahal “harga” yang harus dibayar pada gilirannya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.