Skoorsing dalam Rangka Menuju Pemutusan Hubungan Kerja

LEGAL OPINION
Question: Saat ini saya di-skorsing dari perusahaan karena ada perselisihan dengan manajemen. Rasanya ada gelagat tidak baik, perasaan begitu. Memangnya apa yang paling perlu diwanti-wanti oleh pegawai ketika kena skorsing?
Brief Answer: Ada sebuah modus, oleh kalangan Pengusaha nakal, dimana kebijakan skoorsing diberlakukan bukan dalam rangka efisiensi usaha, namun dengan tujuan untuk mendorong Pekerja-nya agar tergerak untuk mengundurkan diri.
Dua modus yang bisa dan sering terjadi dalam praktik, antara lain: skoorsing tidak menyebutkan sampai kapan skoorsing diberlakukan sementara Pekerja / Buruh hanya diberikan separuh dari Upah Pokok, atau bahkan tidak diberikan Upah sama sekali.
Modus kedua, dan ini yang paling terselubung serta paling berbahaya, yakni ketika skoorsing telah lama diberlakukan, mendadak dilakukan pemanggilan masuk bekerja kembali, pemanggilan secara tidak semestinya atau karena sang Pekerja telah memiliki pekerjaan baru disebabkan selama skoorsing tidak diberi Upah, lalu sang Pekerja yang tidak kembali masuk bekerja akan dianggap sebagai mangkir dan diputus hubungan kerjanya dengan alasan “pengunduran diri” tanpa diberi pesangon. Dalam ketidakpastian masa skoorsing, yang paling rentan dalam praktiknya selalu ialah kalangan Buruh / Pekerja.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kasus yang dapat menjadi cerminan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa register Nomor 368 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 28 Juni 2016, perkara antara:
1. SUGIONO; 2. DWI FERRY CAHYONO, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Para Penggugat; melawan
- PT. LANGGENG MAKMUR INDUSTRI, Tbk., selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Bermula pada tanggal 14 April 2015, Penggugat I dipanggil lagi oleh HRD untuk diberikan Surat Skorsing menuju PHK, tanpa diberikan upah selama proses skorsing menuju PHK. Penggugat I kemudian mengajukan surat laporan/pengaduan pelanggaran hukum ketenagakerjaan kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Pemerintah Kabupaten Sidoarjo yang dalam hal ini ialah, Pegawai Pengawasan Ketenagakerjaan, tetapi tidak ditanggapi alias dibiarkan oleh otoritas Pengawasan Ketenagakerjaan.
Penggugat menengarai, perkara ini merupakan buntut dari pengekangan terhadap kebebasan menjalankan kegiatan organisasi Serikat Pekerja, dimana Tergugat menghalang-halangi hak Penggugat untuk menjadi pengurus Serikat Pekerja.
Sementara dalam bantahannya, pihak Perusahaan dalam sanggahannya mendalilkan, Penggugat tidak memenuhi panggilan masuk kerja dari perusahaan meski telah dipanggil sebanyak 3 (tiga) kali, sehingga perusahaan pada gilirannya menerbitkan surat tentang dikualifikasikannya tidak masuknya Penggugat sebagai mengundurkan diri, dengan merujuk ketentuan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
“Pekerja / Buruh yang mangkir selama 5 hari (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis, dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 109/G/2015/PHI.Sby, tanggal 4 Januari 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.”
Pihak Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Tergugat telah melakukan tindakan skorsing kepada Penggugat, namun upah berserta hak-hak lainnya yang biasa diterima Penggugat tidak diberikan oleh Tergugat. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang penting untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 21 Januari 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 9 Februari 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Facti tidak mempertimbangkan secara seksama bukti T.3-a, T.3-c berupa Surat Pencabutan Skorsing Menuju Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kalau bukti-bukti tersebut dipertimbangkan secara seksama, maka seharusnya pencabutan skorsing tidak dilakukan, namun dilakukan proses PHK, karena maksud dikeluarkan skorsing untuk maksud PHK; [Note SHIETRA & PARTNERS: Itulah kaedah normatif yang paling penting, yang tidak akan kita jumpai dalam peraturan perundang-undangan, namun dibentuk lewat praktik peradilan sebagai suatu best practice, sebagaimana asas kemanfaatan menuntut lembaga peradilan untuk membentuk preseden—mengingat undang-undang tidak akan pernah lengkap, oleh karenanya harus diisi lewat pembentukan preseden.]
“Bahwa oleh karena harus dilakukan proses PHK, maka surat pemberitahuan Para Penggugat dinyatakan mengundurkan diri sebagaimana bukti T-4, seharusnya dikesampingkan;
“Bahwa berdasarkan fakta-fakta di persidangan, Penggugat sebagai Pengurus Serikat Pekerja pada jam kerja telah menghadiri sidang mediasi melakukan pembelaan anggotanya dalam sidang mediasi (vide bukti P-8), tanpa mendapat izin dari Tergugat;
“Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas dan adanya ex aequo et bono, maka patut dan adil hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat putus dengan memperoleh kompensasi 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tanpa upah proses. Oleh karena masing-masing tidak membuktikan masa kerja Para Penggugat dan upah Penggugat, maka perhitungan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) didasarkan pada:
- Masa kerja Para Penggugat terhitung mulai diangkat sebagai pekerja sampai dengan tanggal 21 September 2015;
- Upah Para Penggugat ditetapkan sebesar upah bulan September 2015;
“Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Ad Hoc PHI sebagai Hakim Anggota Dwi Tjahyo Soewarsono, S.H., M.H., menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan keberatan dari Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah tepat dan benar dalam menilai, menimbang dan menerapkan hukumnya;
“Bahwa Pemohon Kasasi tidak memenuhi panggilan yang dilakukan oleh Termohon Kasasi atas Perkara Nomor 54/G/2015/PHI SBY, tanggal 27 Juli 2015 dan Termohon Kasasi telah melakukan pemanggilan tersebut sebanyak 3 (tiga) kali secara patut dan tertulis, lagi pula bipartit pun belum pernah dilakukan karena tidak hadir juga, maka menurut ketentuan Pasal 168 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga Pemohon Kasasi dikualifikasikan mengundurkan diri;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: SUGIONO dan kawan tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 109/G/2015/PHI.Sby, tanggal 4 Januari 2016 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. SUGIONO dan 2. DWI FERRY CAHYONO tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 109/G/2015/PHI Sby, tanggal 4 Januari 2016;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM KONVENSI:
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat putus;
3. Menghukum Tergugat membayar kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada Para Penggugat sebesar 1 (satu) kali Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3) dan (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan dasar perhitungan masa kerja Para Penggugat mulai diangkat sebagai pekerja sampai dengan tanggal 21 September 2015 dan upah Para Penggugat bulan September 2015;
4. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.