Ketika Sentimen Rumah Tangga Masuk dalam Lingkungan Kantor

ARTIKEL HUKUM
Sudah sejak lama, bahkan sebelum terbitnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang melarang sesama pegawai dalam satu perusahaan saling menikah. Begitupula praktik di berbagai dunia usaha, sudah sejak dahulu kala, pegawai yang saling menikah dengan pegawai lain dalam satu lingkup organisasi kerja, biasanya akan diminta salah satu dari pasangan tersebut untuk mengundurkan diri atau setidaknya di-putus hubungan kerja (PHK) dengan disertai pesangon.
Praktik demikian bukan tanpa alasan: sentimen rumah tangga agar tidak di-“bawa-bawa” ke dalam lingkup pekerjaan. Tidak semua perusahaan mengandung sistem manajemen yang hierarkhis dan kompleks seperti pabrik dengan ribuan karyawan. Sering dijumpai, berbagai perkantoran yang hanya memiliki sedikit jumlah pegawai, dimana satu fungsi divisi biasanya diduduki oleh satu orang pekerja.
Ambil contoh ketika seorang tenaga personalia / HRD, diminta oleh atasannya untuk memberi surat peringatan kepada seorang pegawai bagian administrasi, karena dinilai telah melanggar peraturan perusahaan. Bila tenaga HRD tersebut kebetulan adalah suami dari pegawai administrasi yang akan diberi surat peringatan, sentimen rumah tangga tentu tidak dapat dihindari dalam konteks organisasi usaha yang sederhana jenjang rantai komandonya.
Dalam manajemen usaha yang majemuk seperti sebuah perusahaan raksasa dengan jumlah pegawai tidak kurang dari seribu orang karyawan, dimana antar divisi dan antar fungsi kerja demikian berjenjang yang terdapat lebih dari satu orang pekerja pada masing-masing divisi, dan rotasi ataupun mutasi para pekerjanya dapat dilakukan secara manajerial tanpa adanya kesulitan berarti, pernikahan pegawai internal dengan pegawai internal, tentu bukan menjadi masalah besar.
Namun menjadi masalah sensitif yang tidak dapat dihindari, ketika sentimen keluarga dalam ikatan hubungan darah akan terjadi, sebagai konsekuensi logis dari institusi usaha swasta yang sifatnya dalam lingkup kecil, seperti perusahaan dengan jumlah pegawai kurang dari seratus orang karyawan, dimana saat masuk kantor, bekerja, hingga pulang kantor, seorang suami-istri yang sama-sama pegawai kantor tersebut, tentu akan saling berjumpa dan berinteraksi.
Apa jadinya, ketika hubungan rumah-tangga tidak sedang harmonis, sentimen tersebut menyusup dalam hubungan kerja, mengakibatkan produktivitas perusahaan terganggu, sadar ataupun tidak disadari, atau bahkan disusupi conflict of interest—semisal pegawai pembukuan / keuangan yang mencairkan dana fiktif bagi biaya dinas tenaga pegawai lapangan yang adalah sepasang suami-istri.
Telah diputuskan perkara uji materiil (judicial review) norma ketentuan tentang PHK bagi Pekerja yang berstatus suami-istri dalam satu perusahaan sebagaimana selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni putusan Mahkamah Konstitusi RI register Nomor 13/PUU-XV/2017.
Yang menjadi pemohon ialah Serikat Pekerja PLN, mendalilkan Pasal 153 Ayat (1) Huruf (f) UU Ketenagakerjaan melanggar hak konstitusional para pemohon selaku Pekerja. Adapun kaedah lengkap Pasal 153 Ayat (1) Huruf (f), sebelum diajukan uji materiil, mengatur:
“Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: (f) pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.”
Pemohon menilai, klausula “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”, berpotensi membuat Pemohon kehilangan pekerjaannya akibat perkawinan sesama pegawai dalam satu perusahaan, apabila hal tersebut kemudian ternyata diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama, dengan demikian dipandang membatasi Hak Asasi Manusia sebagaimana dilindungi oleh Konstitusi RI.
Mahkamah Konstitusi RI kemudian mengabulkan permohonan Pemohon, dengan menganulir / mengamputasi separuh isi kaedah norma tersebut diatas, sehingga pada saat kini kaedah utuh Pasal 153 Ayat (1) Huruf (f) UU Ketenagakerjaan, pasca diajukan uji materiil, mengatur:
“Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: (f) pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan.”
Dengan demikian, klausula “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama” dihapus setelah MK RI mengabulkan permohonan uji materiil. Putusan Mahkamah Konstitusi RI memang patut diapresiasi oleh kalangan Pekerja / Buruh se-Indonesia, namun penulis menilai bahwa konteks manajerial masing-masing perusahaan tidak dapat di-“pukul rata”.
Khusus untuk konteks Pengusaha dengan manajerial berjenjang yang kompleks, putusan MK RI tentu dapat diimplementasi tanpa kesukaran berarti. Namun tidak dapat kita bayangkan bila konteksnya ialah sebuah perusahaan dengan jumlah karyawan kurang dari seratus orang: sentimen rumah-tangga akan sangat menonjol dan mencolok dalam ruang kerja. Potensi demikian tidak dapat dihindari sebagai bagian dari realita.
Majelis Hakim MK RI menilai setiap perkara yang diperiksa dan diputusnya, memakai logika biner “hitam” atau “putih”, sementara realita banyak menampilkan wajah gradasi “abu-abu” yang tidak dapat kita pungkiri. Perusahaan dengan manajerial kompleks tidak pernah dapat disetarakan dengan perusahaan dengan manajerial yang sederhana, masing-masing memiliki karakter tersendiri yang tidak dapat dipertukarkan.
Bila MK RI mengabulkan untuk mengamputasi kaedah tersebut sepanjang atau sebatas bila konteksnya ialah perusahaan dengan manajerial yang majemuk dengan jumlah pekerja tidak kurang dari seribu orang pegawai, maka tidak akan timbul komplikasi berarti dalam implementasinya.
Mayoritas kalangan pengusaha di Indonesia, adalah pengusaha Usaha Kecil dan Menengah dengan jumlah Pekerja / Buruh kurang dari seratus orang. Sentimen sosial seperti pertemanan, kerap menjadi biang keladi rusaknya kondusivitas dunia kerja di lingkungan perusahaan, terlebih sentimen rumah-tangga. Apa jadinya bila sentimen rumah-tangga harus dihadapi oleh organisasi usaha yang bersifat kecil, mikro, dan menengah?
Dalam praktik selama ini pun, perusahaan dengan manajerial majemuk yang berjenjang, pernikahan antar pegawai internal tidak pernah membawa masalah signifikan, karena memang sistem manajerialnya demikian majemuk dengan kapasitas masing-masing divisi yang dapat dengan mudah dimobilisir lewat rolling, mutasi, dan kebijakan lainnya sehingga masing-masing pegawai yang menikah tetap dapat bekerja pada institusi perusahaan tersebut.
Satu alasan yang membuktikan bahwa tiada Pengusaha yang berminat untuk mem-PHK pegawainya dengan alasan terjadi pernikahan antar pegawai internal perusahaan: konsekuensi pembayaran pesangon—ingat, PHK selalu berkonotasi dengan pesangon. Oleh karenanya, solusi termudah menghindari fraud penyalahgunaan wewenang pasangan suami-istri yang keduanya menjadi pegawai internal, ialah mutasi atau rotasi fungsi kerja. Dalam perusahaan dengan manajerial yang majemuk, hal tersebut bukanlah perkara sukar untuk diberlakukan seketika itu juga, dan memang sudah biasa terjadi.
Namun bayangkan ketika stuktur perusahaan demikian sederhana, dimana lingkungan kerja diwarnai sentimen rumah-tangga, bisa jadi jalannya roda perusahaan akan terhambat akibat sentimen rumah-tangga yang dibawa dari rumah pasangan suami-istri ke lingkungan kantor yang tentunya akan mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Sang pengusaha, akan terdorong untuk kian kreatif mencari cara untuk menyingkirkan salah satu pegawainya tersebut, agar tidak lagi menjadikan lingkungan kantor sebagai medan perang sang pasutri yang sedang bertengkar. Atau bila perlu, menyingkirkan keduanya.
Pengusaha yang beritikad buruk, selalu memiliki 1001 cara untuk memecat pegawai yang tidak disukainya. Percayalah, sekalipun MK RI telah mengamputasi separuh isi pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait larangan bagi sesama pegawai untuk melangsungkan pernikahan, sang pengusaha masih punya 1000 cara untuk menyingkirkan pegawai yang sudah sejak semula akan disisihkan olehnya. Hendaknya kalangan Pekerja / Buruh tidak tenggelam dalam euforia putusan yang akan kontraproduktif terhadap kalangan Pekerja / Buruh itu sendiri dikemudian hari.
Contoh, seorang manajer memiliki hubungan perkawinan dengan seseorang pegawai lainnya. Pegawai bersangkutan menyimpan rasa tidak suka terhadap rekan kerjanya, maka jangan kaget bila sang manajer kemudian akan memecat pegawai yang tidak disukai pasangannya. Sebaliknya juga dapat terjadi, sang pegawai merasa cemburu ketika sang manajer tampak ramah dan dekat dengan pegawai lainnya yang berlawanan jenis gender.
Itulah kondisi lingkungan kerja yang kondusif? Sekali lagi, manajerial perusahaan yang majemuk dan kompleks tidak pernah menjumpai problema demikian, namun pertimbangkanlah lingkungan kerja perusahaan dengan manajerial yang sederhana. Hukum bersifat murni, namun tidak naif.
Kita perlu memahami, konflik antar pegawai, maupun fraud, dapat terjadi bukan karena hanya adanya niat, namun juga kesempatan, yang salah satunya dibuka oleh keberadaan sentimen rumah-tangga yang dibawa masuk ke lingkup lingkungan perusahaan. Putusan demikian, entah berkah ataukah bencana, kita lihat sendiri kedepannya. Ketika kalangan Pengusaha tidak dapat melihat kesempatan untuk melakukan penekanan secara yuridis, maka tekanan secara politis selalu menjadi andalan untuk menekan daya tawar Pekerjanya.
Perusahaan dan profesi, adalah domain rasio dan profesionalitas. Sementara rumah dan rumah-tangga, adalah lingkup perasaan dan sentimentil-sensitivitas. Setidaknya itulah yang perlu kita pahami dan pilah sesuai proporsionalitasnya masing-masing. Gagal untuk mendefinisikan masalah, itulah petaka sesungguhnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.