Prinsip Paling Hakiki dalam Hukum: “minus malum” dan “maximum bonum”

ARTIKEL HUKUM
Demikian banyak dan beragam asas-asas serta prinsip-prinsip dalam hukum, yang kadang dijumpai adanya sejumlah asas maupun prinsip-prinsip yang saling tumpang-tindih dan berkonflik satu sama lain, membuat ambigu berbagai pihak bahkan diantara kalangan sarjana hukum sendiri.
Ketika itu yang kemudian terjadi, sebagai bagian dari proses dialektika, maka pada dasarnya kita perlu kembali merujuk prinsip dan asas yang paling mendasar yang menjadi esensi hakekat hukum: hukum yang baik, ialah hukum yang bermanfaat bagi kehidupan penduduknya.
Namun, jawaban yang hanya berhenti sampai disitu saja, tidak memberikan solusi apapun selain “kebingungan” baru untuk dipecahkan: bermanfaat yang seperti apa? Hukum menjelma jargon belaka. Sederhananya, bila kita menarik hakekat hukum hingga ke “akar” dan tujuan yang menjadi awal-mula pembentukannya, saripati dari hukum hanya satu pedoman berikut ini: “minus malum” dan “maximum bonum” (mencari formulasi yang “efek negatifnya paling kecil”, atau “efek positifnya paling besar”)—itulah yang menjadi elemen yang harus ada dalam setiap pengaturan dalam norma hukum.
Karena setiap norma hukum harus mengandung prinsip tersebut, maka dapatlah kita menjadikan prinsip tersebut sebagai sendi paling hakiki dalam hukum. Tiada gunanya merumuskan aturan hukum yang hanya menjadi “sampah” dalam hukum, tidak membawa manfaat apapun bagi warga negara yang diatur dan dibebani olehnya.
Sederhananya pula, bila terdapat teori hukum ataupun kaedah hukum yang bertentangan atau menyimpang dari prinsip mendasar tersebut diatas, maka teori dan kaedah hukum tersebut tidak tahan uji moril. Sebagai contoh, bila kita bersikeras bahwa terhadap Organisasi Massa (Ormas) yang bertentangan dengan paham Pancasila, bahkan secara terang-terangan mencoba menggusur Pancasila sebagai ideologi negara dan menggantikannya dengan ideologi berbasis satu agama tertentu yang tidak mengakomodir kemajemukan, hanya dapat dibubarkan oleh negara sepanjang negara mengajukan gugatan pembatalan ke pengadilan, maka sama artinya mendudukkan negara sederajat dengan lembaga sipil berbentuk Ormas, meski negara memiliki tanggung jawab terhadap hajat hidup orang banyak, bukan hanya satu Ormas tertentu.
Argumentasi bahwa negara bersikap represif lewat upaya pembrendelan Ormas, adalah argumentasi yang hanya “laku” saat rezim Orde Baru berkuasa, saat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) belum terbentuk. Argumentasi yang menolak kewenangan prerogatif negara demikian, tidaklah lolos uji moril berikut: sejak dibentuk dan melembaganya secara mapan institusi Yudikatif bernama PTUN, maka terhadap surat keputusan Kementerian Hukum dan HAM yang membatalkan pendirian maupun pembatalan pengesahan sebuah Ormas, dapat dijadikan sebagai objek gugatan ke PTUN.
Dengan kata lain, upaya pemerintah hanyalah sekadar menggeser / membalikkan konsep klasik konservatif, dengan suatu faedah yang hendak dicapai demi keutuhan bangsa yang menjadi hal mutlak untuk dipertahankan dari sikap-sikap yang merong-rong ideologi negara. Bila sebelumnya, negara yang harus menggugat Ormas agar dapat dibatalkan, kini Ormas yang dibubarkan oleh negara-lah, yang dibebani kewajiban untuk menggugat pemerintah ke PTUN, bila keberatan terhadap keputusan pemerintah.
Adalah mengherankan, bila Ormas yang dibubarkan tersebut, justru mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi RI, alih-alih mengajukan keberatan ke PTUN. Akan sangat ironis pula bila MK RI mengabulkan permohonan sang Ormas yang hendak mengembalikan keadaan sebagaimana rezim orthodoks dimana justru negara yang dibebani kewajiban untuk menggugat sang Ormas, seakan negara tidak akan lebih baik untuk mencurahkan energi dan sumber daya yang ada untuk hal lain yang lebih bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak.
Kita tidak boleh memiliki asumsi yang terkesan naif, bahwa norma hukum yang lama sudah sempurna. Modus kejahatan selalu berkembang, mengakibatkan norma hukum bersifat tentatif. Pembalikkan konsepsi hukum, sebagai suatu instrumen yang bertujuan kemanfaatan, bukanlah suatu hal baru dalam terminologi hukum.
Sebagai contoh lainnya, sebelum Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi dibentuk, amat sangat sukar menjerat koruptor, karena negara yang dibebani kewajiban untuk membuktikan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang dilakukan terdakwa. Kini, terjadi pergeseran konsepsi, menjadi “shifting the burden of prove”, artinya: beban pembuktian terbalik—terdakwa-lah, yang harus membuktikan, darimana seluruh harta kekayaannya berasal. Kegagalan untuk membuktian sumber harta kekayaannya, maka dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi akan dinyatakan sebagai benar dan terbukti secara sah dan meyakinkan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor.
Dalam konsepsi hukum perdata, pergeseran konsep juga sudah lama terjadi, dimana “siapa yang mendalilkan maka ia yang wajib membuktikan”, digeser menjadi “strict liability” (tanggung jawab mutlak keperdataan) semisal kegagalan konstruksi, kasus terkait lingkungan hidup, dan kecelakaan pesawat udara berpenumpang, dimana ketika penumpang pesawat udara yang mengalami cedera atau kerugian akibat kecelakaan maskapai udara, sama sekali tidak dibebani beban pembuktian, cukup menampilkan tiket penumpang serta luka akibat kecelakaan pesawat yang terjadi, maka seketika itu juga pihak maskapai dinyatakan bersalah dan wajib membayar ganti-rugi tanpa syarat apapun.
Dalam konsep yang lebih modern, diatur dalam rezim hukum administrasi negara, dimana dahulu kala, bila rakyat sipil mengajukan permohonan, namun instansi pemerintahan tidak memberikan respon sebagaimana mestinya, maka diam atau pasifnya aparatur sipil negara, dimaknai permohonan pemohon sebagai “ditolak”. Namun, sejak terbitnya Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan pada tahun 2014, semua konsepsi tersebut dibalik keadaannya: pasif atau diamnya aparatur sipil negara, dimaknai sebagai permohonan warga telah “dikabulkan”.
Membalikkan konsepsi dalam hukum, tidaklah ditabukan sepanjang terdapat kemanfaatan (faedah) dibaliknya yang lebih besar dan layak untuk diperjuangkan dibanding dengan resiko mudaratnya. Tidak ada kebijakan yang dapat menyenangkan semua pihak. Bila kita mencoba untuk menyenangkan semua orang, itulah awal mula pintu kegagalan. Setidaknya, kita mampu membuat agar para koruptor dan pelaku kriminil merasa kecewa karena ruang mereka untuk “bermain”, semakin tertutup rapat di Republik ini.
Contoh lainnya dapat kita lihat dalam praktik best practice peradilan yang banyak mewarnai gugatan perdata terkait hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Bila dahulu kala, mutasi menjadi alat ampuh bagi kalangan pengusaha untuk mendorong pekerjanya agar mengundurkan diri, sehingga perusahaan terbebas dari konsekuensi pesangon akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), maka saat kini tindakan tersebut dapat menjadi bumerang bagi sang pengusaha, karena praktik PHI pada saat kini memaknai mutasi tanpa kepatutan, dapat menjadi hak bagi pekerja untuk mengajukan gugatan PHK disertai kompensasi pesangon.
Begitupula bila tejadi PHK secara politis berupa dipecatnya secara sepihak tanpa melalui putusan pengadilan, melahirkan hak bagi pekerja untuk menggugat pesangon dua kali ketentuan normal, dimana praktik di PHI kini telah memaknai kasus-kasus dengan karakter serupa demikian sebagai efisiensi usaha, sehingga pihak pekerja yang dipecat secara sepihak berhak atas dua kali ketentuan pesangon.
Sama halnya ketika pihak manajemen perusahaan secara curang memecat buruh secara sepihak, lalu menghapus database pekerja bersangkutan pada mesin sidik jari presensi kehadiran pekerja di tempat kerja, dimaknai sebagai pihak pengusaha tidak dapat berlindung dibalik asas “no work no paid”, karena pihak pengusaha yang menolak pekerjanya untuk bekerja, mengakibatkan pihak pengusaha dibebani hukuman membayar kompensasi berupa Upah Proses sekalipun sang pekerja tidak masuk bekerja karena tidak dapat mengakses mesin sidik jari presensi. Kaedah yurisprudensi tersebut, kini telah menjadi preseden yang relatif baku di Kamar Khusus Sengketa Ketenagakerjaan di Mahkamah Agung RI.
Pembalikan konsepsi, dengan demikian, bukan hanya dapat terjadi dalam peraturan perundang-undangan, namun juga pada praktik peradilan yang senantiasa turut berevolusi saling “berkejaran” terhadap berbagai modus kejahatan yang juga senantiasa mengembangkan diri serta kian canggih.
Singkat kata, kita tidak boleh menutup diri untuk perubahan paradigma berhukum, karena modus kejahatan terus berkembang, berevolusi, dan kian canggih serta tersistematis. Bila kejahatan dapat demikian canggih, hukum negara harus selangkah lebih maju dan lebih canggih. Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali unsur esensial dari setiap pengaturan norma hukum: “minus malum” dan “maximum bonum”—itulah rumusan utamanya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.