Pidana sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja

LEGAL OPINION
Question: Daluarsa untuk mengajukan gugatan sengketa PHK (pemutusan hubungan kerja), adalah satu tahun, itu dihitung dari sejak saat seorang pegawai di-PHK secara sepihak oleh perusahaan, atau terhitung sejak adanya putusan (pengadilan perkara) pidana bila alasan PHK sepihak itu adalah sang pegawai terkena kasus pidana?
Brief Answer: Berdasarkan penafsiran yang berangkat dari praktik peradilan yang ada di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), tampaknya tempo waktu kadaluarsa hak mengajukan gugatan sengketa PHK ialah satu tahun terhitung sejak terbitnya putusan pengadilan perkara pidana yang dihadapi sang Pekerja / Buruh.
PEMBAHASAN:
Sebagai prolog, belum lama ini penulis mendapati fakta adanya perusahaan pegadaian swasta yang memiliki ratusan kantor cabang yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali, dengan hampir mencapai lima ratus karyawan, namun setiap pegawai perusahaan tersebut diikat hubungan kerja kontrak (alias Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), dengan upah dibawah upah minimum kabupaten / kota.
Perihal jam kerja, lebih tidak manusiawi, dimana pekerja diwajibkan bekerja dari pukul 07.45 pagi hingga pukul 20.00 malam, setiap hari Senin sampai dengan hari Sabtu, tanpa upah lembur, yang jelas melanggar jam kerja sesuai hukum ketenagakerjaan. Jangan pula tanyakan kepatuhan sang pengusaha perihal jaminan sosial tenaga kerja para buruhnya.
Tidak mengherankan dan tidak mengejutkan, bila setiap karyawan perusahaan tersebut merasa terdorong untuk memutus hubungan kerja sebelum perjanjian kontrak kerja benar-benar berakhir, dan adalah manusiawi bila para buruh yang merasa telah dieksploitasi kemudian melakukan tindak pidana penggelapan ataupun pencurian terhadap aset perusahaan, karena sang pengusahalah yang telah terlebih dahulu mencuri hak-hak normatif mereka.
Namun, apa yang kemudian terjadi? Pihak perusahaan menuntut pinalti karena kontrak kerja diakhiri sebelum masa kontrak berakhir, atau pihak karyawan yang hendak mengundurkan diri tidak dapat menebus izajah mereka yang ditahan oleh pihak manajemen. Modus demikian adalah tidak etis, dan dapat kita sebut sebagai bentuk-bentuk pemerasan terselubung.
Apa juga yang terjadi berikutnya? Pihak perusahaan memidanakan karyawan mereka yang melakukan penggelapan, tanpa mau melihat faktor asal-muasal penggelapan yang dilakukan sang pekerja. Bukankah yang paling layak terlebih dahulu dipidana, ialah sang pengusaha itu sendiri karena melanggar norma hukum ketenagakerjaan yang melarang pihak pemberi kerja untuk mempekerjakan pekerja / buruh dibawah upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah?
Sekelumit fakta empirik demikian, penulis yakini terjadi secara masif oleh para pelaku usaha di Tanah Air yang dengan sangat pandai mengeksploitasi daya tawar yang lemah dari kalangan tenaga kerja. Terlepas dari semua problematik hubungan industrial demikian, terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 162 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 25 April 2016, perkara antara:
- ASMADI, SE, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
1. PT. HOMDAINDO PERKASA; 2. CV HONDAINDO PERKASA, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Tergugat.
Terhadap gugatan sang Pekerja yang di-PHK oleh Tergugat, Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru kemudian menjatuhkan putusan Nomor 51/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Pbr., tanggal 18 Februari 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa alat-alat bukti yang diajukan oleh Tergugat yaitu bukti surat T-1 berupa putusan pidana Nomor 242/Pid.B/2012/PN.SIAK, atas nama Asmadi, SE, bukti T-2 mengenai putusan Nomor 179/Pid.B/2014/PN.SIAK, dengan Terdakwa bernama Asmadi, SE, dan bukti T-3 tentang SOP tertib administrasi tanggal 26 Oktober 2004, serta saksi yang bernama Anggono yang menerangkan bahwa Penggugat telah di-PHK sejak April 2011 karena kasus penggelapan uang Penggugat telah membuat pernyataan akan membayar uang tersebut dan perusahaan pernah memberikan surat peringatan 1, 2 dan 3, kemudian baru dilakukan proses hukum oleh perusahaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak sebagaimana tersebut diatas dalam kaitannya satu sama lain terungkap bahwa Penggugat di-PHK oleh Tergugat karena permasalahan uang perusahaan yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan oleh Penggugat sejak bulan Oktober 2011 dan Penggugat telah ditahan sejak tanggal 1 Juni 2012 sebagaimana yang diuraikan dalam putusan Nomor 242/Pid.B/2012/PN.SIAK, dalam bukti P-5 yang identik dengan bukti T-1, dalam putusan tersebut Penggugat telah dijatuhi hukuman selama 6 bulan pada tanggal 24 Oktober 2012 selain itu Penggugat juga telah dijatuhi hukuman selama 2 tahun dalam putusan Nomor 179/Pid.B/2014/PN.SIAK, tanggal 6 November 2014 atas perkara penggelapan BPKB konsumen sesuai dengan bukti T-2, hal ini bersesuaian dengan keterangan saksi yang bernama Anggono yang telah menerangkan bahwa perusahaan telah memanggil dan memberikan surat peringatan kepada Penggugat dan Penggugat telah membuat surat pernyataan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut akan tetapi penggugat tidak datang untuk menyelesaikannya sehingga perusahaan mengeluarkan surat PHK tanggal 2 April 2012 sebagaimana bukti P-4;
“Menimbang, bahwa dari uraian diatas diperoleh fakta bahwa Penggugat telah terbukti melakukan penggelapan uang perusahaan sebagaimana bukti P-5 yang identik dengan bukti T-1 yakni putusan Nomor 242/Pid.B/2012/PN.SIAK, dengan demikian Majelis Hakim berpendapat Tergugat dapat melakukan PHK terhadap Penggugat dengan alasan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf a sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004, dimana Tergugat dapat melakukan PHK terhadap Penggugat apabila telah ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap dan jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Pasal 158 ayat 1 huruf a dapat diberlakukan PHK Penggugat tersebut; [Note SHIETRA & PARTNERS: Melihat fakta hukum diatas, sejatinya pihak Pengusaha telah mem-PHK sang Pekerja jauh sebelum Pekerja bersangkutan diputus bersalah dalam perkara pidana di Pengadilan Negeri, yang juga belum tentu telah berkekuatan hukum tetap.]
“Menimbang, bahwa terhadap bukti P-4 tentang surat PHK yang diberikan kepada Tergugat tanggal 2 April 2012, oleh karena putusan pidana Penggugat diputuskan tanggal 24 Oktober 2012, sehingga terhadap surat PHK tersebut dinyatakan batal demi hukum;
“bahwa dari keterangan saksi Tergugat yang bernama Anggono yang menerangkan bahwa setelah Penggugat membuat surat pernyataan untuk melakukan pembayaran atas uang perusahaan tersebut selanjutnya Penggugat tidak masuk bekerja lagi, telah dipanggil dan telah mendapat surat peringatan, yang akhirnya tidak melaksanakan kewajibannya lagi bekerja, Majelis Hakim menilai berdasarkan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Penggugat tidak berhak atas upah sampai dengan adanya putusan pidana tersebut;
“Menimbang, bahwa terhadap pembayaran jaminan sosial tenaga kerja yang tidak diberikan kepada Penggugat sejak bekerja dengan Tergugat II, Majelis Hakim berpendapat oleh karena pembayaran Jamsostek dilakukan melalui prosedur yang harus disetorkan oleh Tergugat kepada penyelenggara Jamsostek dan setiap pekerja wajib diikutsertakan dalam program tersebut sehingga apabila Penggugat tidak diikutkan dalam program Jamsostek dapat melakukan upaya hukum sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terhadap petitum Penggugat pada angka 3 dinyatakan ditolak;
“Menimbang, oleh karena pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat karena masalah uang perusahaan dan telah mempunyai putusan pidana yang diatur dalam Pasal 158 Ayat (1) huruf a, sesuai dengan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi: ‘Pekerja/Buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 Ayat 3 dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka Pekerja/Buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru yang didaftarkan dikepaniteraan pada tanggal 10 November 2014, sedangkan Penggugat telah dijatuhi hukuman pidana sebagaimana yang termuat dalam putusan Nomor 242/Pid.B/2012/PN.SIAK, sehingga pengajuan gugatan tersebut telah melebihi satu tahun sejak adanya putusan pidana Penggugat tersebut, dengan demikian pengajuan gugatan Penggugat menjadi daluarsa dan karena PHK antara Penggugat dengan Tergugat termasuk dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf a dan telah dilengkapi dengan putusan pidana, dengan demikian gugatan Penggugat tersebut haruslah dinyatakan ditolak;
MENGADILI :
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial menghitung bahwasanya gugatan Penggugat diajukan sejak adanya putusan pidana. Padahal sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, adanya putusan pidana terhadap seorang karyawan tidak otomatis dianggap telah terjadi PHK, tetapi yang benar adalah putusan pidana hanya merupakan satu syarat atau salah satu alasan untuk melakukan PHK.
Sang Pekerja dengan demikian berkeberatan terhadap putusan PHI Pekanbaru yang mulai menghitung kadaluarsa gugatan yang diajukan oleh Penggugat sejak adanya putusan pidana Nomor 242/Pid.B/2012/PN.SIAK, tanggal 24 Oktober 2012. Sementara itu, Penggugat baru tahu adanya PHK atas diri Penggugat sejak terjadinya mediasi pada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Siak selaku Mediator berdasarkan Surat Panggilan tertanggal 19 November 2013, yang mana kalau dihitung sejak tanggal diberitahukannya mediasi tersebut hingga diajukannya gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, belumlah lewat waktu (daluarsa) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial—Note SHIETRA & PARTNERS: inilah penafsiran ketiga versi sang Pekerja.
Dimana terhadap keberatan-keberatan sang Pekerja, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan keberatan tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama Memori Kasasi dari Pemohon Kasai yang diterima tanggal 12 Maret 2015, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa sekalipun Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak beralasan dinyatakan kadaluarsa 1 (satu) tahun karena tidak berkaitan dengan alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai Pasal 160 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, akan tetapi Penggugat / Pekerja telah dijatuhi pidana selama 6 (enam) bulan karena telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana ‘penggelapan yang dilakukan karena hubungan kerja’ (vide putusan Pidana Nomor 242/Pid.B/2012/PN.Siak) dan bersalah melakukan tindak pidana ‘penggelapan yang dilakukan karena hubungan kerja’ dan dipidana dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, (vide putusan Nomor 179/Pid.B/2014/PN.Siak), maka terhadap fakta hukum demikian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) beralasan hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula putusan Judex Facti tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi ASMADI, S.E., tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ASMADI, SE, tersebut.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS: Dalam setiap kesempatan sesi konsultasi, penulis selalu menyampaikan pada klien pengguna jasa, bahwa gugatan bukanlah cara yang logis untuk meluruskan apa yang salah dimata hukum. Gugatan bukanlah juga sebagai instrumen untuk membenarkan apa yang keliru (pemutihan kesalahan), terlebih dimaknai sebagai akan memihak atau memberi keuntungan bagi pihak penggugat.
Lembaga peradilan yang disalahgunakan lewat gugatan secara absurd, terbukti bersifat kontraproduktif terhadap reputasi pihak penggugat itu sendiri. Niat untuk menggugat, tidak selalu harus selalu “dituruti”. Kerap dan sering terjadi, mudarat lebih besar ketimbang faedahnya, ketika penggugat mengajukan gugatan tanpa nasehat hukum secara objektif. Bagaikan api yang disiram dengan bensin, itulah hal paling utama yang dapat dicegah terjadinya oleh profesi jasa konsultan hukum yang objektif memberikan pendapat hukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.