Perbedaan Jaminan Kebendaan & Jaminan Personal

LEGAL OPINION
Question: Kalau yang jadi debitor adalah perseroan, tapi tanah yang dijadikan jaminan atau diagunkan saat pengajuan fasilitas kredit modal kerja tempo hari, berasal dari milik pribadi (pejabat) direksi perseroan, apa kreditor bisa dibenarkan masih menagih ke pribadi sang direksi meski agunan telah dilelang eksekusi walau belum menutup seluruh tunggakan kredit?
Brief Answer: Antara pihak “penjamin” dan pihak “debitor” tidak dapat dicampur-aduk, karena masing-masing memiliki konsekuensi yuridis tersendiri, sehingga perlu dipilah satu per satu. Pihak “pemberi jaminan kebendaan” yang berbeda dengan pihak “debitor”, disebut sebagai “penjamin murni”, sehingga tidak selalu “debitor” adalah juga selaku “pemilik agunan yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan piutang”.
Ketika agunan kemudian dilelang eksekusi akibat debitor cidera janji, namun belum mampu menutup seluruh nilai piutang sang kreditor, maka tagihan terhadap sisa piutang hanya dapat diajukan terhadap pihak debitor. Ingat, antara “debitor” dan pihak “pemberi agunan”, bisa jadi adalah dua subjek hukum yang saling berbeda.
Contoh yang paling ekstrim, semisal agunan terjual lelang senilai satu miliar Rupiah, sementara nilai Hak Tanggungan hanya untuk menanggung pelunasan piutang senilai enam ratus juta Rupiah, maka meski nilai seluruh kredit tertunggak ialah senilai dua miliar rupiah, maka nominal empat ratus juta Rupiah (dari perhitungan satu miliar Rupih dikurangi enam ratus juta Rupiah) wajib dikembalikan pada sang pemberi agunan bila antara pihak pemilik agunan adalah berbeda dengan pihak debitor. Sisa piutang tertunggak senilai 1,4 miliar Rupiah, hanya dapat ditagihkan pada pihak debitor—INILAH NORMA HUKUM YANG KERAP DILANGGAR OLEH BERBAGAI LEMBAGA PERBANKAN NASIONAL SECARA MASIF DIMANA PARA PEMBERI AGUNAN TIDAK MENYADARI PENYELUNDUPAN DANA OLEH KREDITORNYA.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagaimana menjadi rujukan SHIETRA & PARTNERS, yakni putusan Mahkamah Agung Nomor 436 K/Sip/1973 tanggal 3 Oktober 1973, terkandung kaidah hukum yurisprudensi: Pengurus PT. yang menjaminkan harta pribadinya yang tertentu untuk pelaksanaan suatu perjanjian yang dibuatnya atas nama PT. itu, dalam hal PT. tidak melaksanakan perjanjian (wanprestasi), oleh pihak lawan hanya dapat dituntut mengenai “harta benda yang dijaminkan” saja, sedangkan untuk selebihnya harus dituntut PT.-nya sebagi subyek hukum.
Namun perlu untuk kita pahami, bahwasannya terdapat perbedaan mencolok antara “pemberi jaminan kebendaan” dan “pemberi jaminan personal” (personal guarantee ataupun corporate guarantee). Bila konteksnya ialah “pemberi jaminan personal”, maka pihak debitor dan pihak “pemberi jaminan personal”, keduanya harus secara bersamaan dijadikan sebagai Tergugat dalam satu register perkara, bila sang kreditor hendak menggugat pelunasan piutangnya—SEKALIPUN DALAM AKTA PERSONAL GUARANTEE DINYATAKAN BAHWA PEMBERI PERSONAL GUARANTEE MELEPAS HAK UNTUK MEMINTA AGAR KREDITOR MENUNTUT PELUNASAN PIUTANG TERLEBIH DAHULU DARI SANG DEBITOR.
Logikanya sangat sederhana, karena bisa jadi pihak kreditor penerima jaminan personal mengklaim bahwa debitornya cidera janji dengan suatu nominal tertentu. Sementara, bisa jadi sang debitor merasa tidak melakukan cidera janji, atau nominal hutang-piutang tidaklah sebesar klaim sang kreditor. Untuk itulah, setidaknya sang debitor ditarik sebagai Turut Tergugat untuk dapat didengar keterangannya di persidangan, guna meyakinkan Majelis Hakim akan kebenaran adanya atau besarnya nilai piutang yang ditanggung oleh jaminan personal demikian.
Untuk memperlihatkan kontras yang ada, untuk itu SHIETRA & PARTNERS perlu menyajikan putusan Mahkamah Agung RI sengketa penagihan atas Personal Guarantee register Nomor 2275 K/Pdt/2016 tanggal 14 November 2016, perkara antara:
- PT. DHARMA PUTRA KARSA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- BACHTIAR, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Antara Penggugat dengan PT. Cahaya Energi Mandiri telah menandatangani Kontrak Pekerjaan Penambangan Batu Bara tertanggal 7 April 2010, dimana PT. Cahaya Energi Mandiri bertindak selaku Pemegang Izin Kuasa Pertambangan (KP) Pengangkutan dan Penjualan atas bahan galian Batubara, dimana Penggugat selaku Kontraktor Pekerjaan Penambangan Batu Bara telah ditunjuk oleh PT. Cahaya Energi Mandiri.
Pada mulanya PT. Cahaya Energi Mandiri melakukan pembayaran jasa pekerjaan kepada Penggugat dengan lancar sampai dengan bulan Februari 2012. Namun, memasuki bulan Maret 2012, PT. Cahaya Energi Mandiri mulai menunggak pembayaran jasa pekerjaan kepada Penggugat.
Penggugat telah berusaha meminta PT. Cahaya Energi Mandiri agar dapat memenuhi kewajibannya kepada Penggugat, baik dengan cara mengirimkan surat tagihan maupun dengan mengadakan pertemuan langsung dengan PT. Cahaya Energi Mandiri. Akhirnya PT. Cahaya Energi Mandiri memberikan opsi kepada Penggugat untuk menjual sendiri batu bara yang telah ditambang, dengan tujuan hasil penjualan batu bara dapat mengurangi tagihan hutang PT. Cahaya Energi Mandiri kepada Penggugat. Opsi ini diterima dengan baik oleh Penggugat dan akhirnya kedua belah pihak sepakat menuangkan hal ini dalam suatu addendum Kontrak Penambangan tertanggal 14 Mei 2013.
Setelah diadakan kesepakatan penghitungan hasil penjualan batubara yang dilakukan sendiri oleh Penggugat, ditandatangani oleh Penggugat dan perwakilan PT. Cahaya Energi Mandiri, ternyata hasil penjualan batubara belum menutupi seluruh kewajiban PT. Cahaya Energi Mandiri kepada Penggugat.
Terhitung sejak bulan Maret 2014, PT. Cahaya Energi Mandiri masih menyisakan hutang kepada Penggugat sebesar USD 11.205.155,35 dan Rp2.112.646.994,00. Oleh karena PT. Cahaya Energi Mandiri masih menyisakan kewajiban kepada Penggugat, Tergugat atas nama pribadi memberikan jaminan pemenuhan kewajiban PT. Cahaya Energi Mandiri kepada Penggugat.
Jaminan pribadi tersebut tertuang dalam suatu Perjanjian Penanggungan (borgtocht) tertanggal 27 Maret 2014, ditandatangani oleh Tergugat selaku Penanggung dan Penggugat selaku kreditur, dimana pada halaman pertama Perjanjian Penanggungan, Tergugat menyatakan:
“Penanggung akan menjamin kewajiban pembayaran PT. CEM (Cahaya Energi Mandiri) sampai jumlah paling banyak sebesar $ 11.205.155,35 dan Rp2.112.646.994 ditambah bunga dan biaya, apabila PT. CEM setelah ditegur lalai melakukan kewajibannya atau jatuh pailit, maka Penanggung akan menggantikan kedudukan PT. CEM.”
“Penanggung akan membayar lunas kewajiban PT. CEM dengan segera dan secara sekaligus kepada PT. DPK (Penggugat) pada permintaan pertama sejumlah sebesar $ 11.205.155,35 dan Rp2.112.646.994.”
Dari kedua pernyataan tersebut, menunjukan Tergugat selaku penanggung hutang telah menegaskan dan mengikatkan dirinya pada janji pemenuhan pembayaran hutang PT. Cahaya Energi Mandiri kepada Penggugat, apabila PT. Cahaya Energi Mandiri melalaikan kewajiban membayar hutang kepada Penggugat.
Selain itu, pernyataan Tergugat yang menyebutkan “maka Penanggung akan menggantikan kedudukan PT. CEM”, menunjukkan adanya hubungan hukum tersendiri antara Penggugat dengan Tergugat dan terpisah dari hubungan hukum antara Penggugat dengan PT. Cahaya Energi Mandiri, sehingga dalam gugatan ini tidak perlu menarik PT. Cahaya Energi Mandiri sebagai pihak Tergugat lainnya—demikian Penggugat mendalilkan.
Disaat Penggugat intensif menagihkan kewajiban Tergugat, untuk membayar hutang PT Cahaya Energi Mandiri kepada Penggugat, Tergugat dengan itikad buruknya telah berusaha lari dari kewajibannya dengan cara mengalihkan saham Tergugat yang ada pada PT. Cahaya Energi Mandiri kepada pihak lain, sebagaimana dikutip sebagian suratnya yang menyatakan:
“Pada tanggal 27 Maret 2014 diantara kita telah ditandatangani Perjanjian Penanggungan (Borgtocht). Pada saat itu saya menandatangani Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) dalam kapasitas saya sebagai Direktur Utama CEM. Dengan telah beralihnya seluruh saham CEM kepada pemegang saham yang baru dan saya tidak lagi menjabat di dalam susunan kepengurusan CEM, serta adanya komitmen dari pemegang saham yang baru untuk bertanggung jawab terhadap seluruh kewajiban CEM, maka menurut saya Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) tersebut tidak relevan.”
Penggugat berpendirian, sifat perjanjian penanggungan yang diatur dalam Pasal 1821 KUHPerdata, adalah bersifat accessoir. Maka dari itu, sesuai dengan sifat accessoir-nya, pengalihan perjanjian penanggungan mengikuti perjanjian pokoknya, dalam arti pengalihan hak dan kewajiban perjanjian penanggungan baru efektif apabila terjadi pengalihan hak dan kewajiban perjanjian pokoknya (Kontrak Penambangan). Oleh karena selama ini belum ada pengalihan tagihan Penggugat atau pengalihan hutang PT. Cahaya Energi Mandiri berdasarkan Kontrak Penambangan kepada pihak lain, maka menurut hukum belum ada pengalihan tagihan Penggugat atau pengalihan hutang Tergugat berdasarkan Perjanjian Penanggungan kepada pihak lain.
Penggugat mencoba memberi penekanan, adanya itikad buruk Tergugat dapat diindikasikan dengan mencermati kalimat “Pada saat itu saya menandatangani Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) dalam kapasitas saya sebagai Direktur Utama CEM”. Pernyataan demikian menunjukkan bahwa Tergugat sedang berupaya menyelundupkan kedudukan Tergugat dalam Perjanjian Penanggungan. Yang sebenarnya, diri pribadi Tergugat-lah yang menanggung hutang PT. Cahaya Energi Mandiri, bukan kedudukan Tergugat sebagai perwakilan suatu badan hukum.
Dalam bagian komparisi (identitas pihak-pihak) Perjanjian Penanggungan-pun tidak menyebutkan kedudukan / kapasitas Tergugat sebagai Direktur Utama PT. Cahaya Energi Mandiri. Sehingga penjaminan tersebut bersikap Personal Guarantee, bukan Corporate Guarantee.
Sampai dengan saat gugatan diajukan, Tergugat belum juga memenuhi kewajibannya untuk menanggung seluruh hutang debitor, sehingga patut dikategorikan sebagai wanprestasi terhadap Perjanjian Penanggungan.
Sementara pihak Tergugat dalam sanggahannya menyebutkan, Gugatan Penggugat yang ditujukan kepada Tergugat adalah salah sasaran (Error in Persona), karena Perjanjian Borgtocht tertanggal 27 Maret 2014 menyangkut tentang kewajiban PT. Cahaya Energi Mandiri (“PT. CEM”) kepada Penggugat. Sedangkan faktanya kewajiban CEM kepada Penggugat, yang menjadi dasar dibuatnya Perjanjian Borgtocht, telah diambil-alih seluruhnya oleh pemegang saham/manajemen baru PT. CEM berdasarkan Perjanjian Jual-Beli Saham tertanggal 17 April 2014, sehingga kewajiban Tergugat untuk menanggung beban PT. CEM kepada Penggugat, sudah beralih kepada pemegang saham/manajemen baru PT. CEM.
Pada pokoknya Tergugat mendalilkan, dengan telah ditandatanganinya Perjanjian Jual-Beli Saham tanggal 17 April 2014, Tergugat sudah tidak lagi mempunyai hubungan hukum apapun baik dengan Penggugat maupun dengan PT. CEM, termasuk dan tidak terbatas pada hubungan hukum berupa menanggung kewajiban PT. CEM kepada Penggugat yang didasarkan pada Perjanjian Borgtocht.
Note SHIETRA & PARTNRES: Tergugat mencoba mengaburkan duduk perkara, dimana perjanjian akuisisi saham hanyalah kontruksi peralihan penanggung-jawab pihak debitor yang merupakan badan hukum perseroan, sementara Jaminan Personal tidak mungkin secara yuridis untuk dialihkan karena melekat pada pribadi perorangan selaku pemberi jaminan.
Namun satu dalil pihak Tergugat berikut cukup relevan, bahwa terdapat peran penting PT. CEM dalam perkara ini, karena perkara ini tidak lepas dari pelaksanaan kewajiban PT. CEM kepada Penggugat. Dengan tidak ditariknya PT. CEM sebagai pihak dalam perkara ini, mengakibatkan gugatan menjadi “kurang pihak”, sehingga gugatan Penggugat haruslah tidak dapat diterima.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Samarinda kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 39/Pdt.G/2015/PN.Smr., tanggal 17 Desember 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan sah dan mengikat Perjanjian Penanggungan (borgtocht) tertanggal 27 Maret 2014 yang ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat;
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji / wanprestasi dengan segala akibat hukumnya;
4. Menghukum Tergugat untuk mengganti kerugian material kepada Penggugat sebesar USD 8.104.282. (delapan juta seratus empat ribu dua ratus delapan puluh dua Dollar Amerika) dan Rp2.112.646.994,00 (dua miliar seratus dua belas juta enam ratus empat puluh enam ribu sembilan ratus sembilan puluh empat rupiah) secara seketika dan sekaligus pada saat perkara ini berkekuatan hukum tetap;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp23.526.000,00 (dua puluh tiga juta lima ratus dua puluh enam ribu rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Samarinda dengan Putusan Nomor 27/PDT/2016/PT.SMR., tanggal 30 Maret 2016 dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Tergugat dalam / Pembanding;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 14 Desember 2015 Nomor 39/Pdt.G/2015/PN.Smr., yang dimohonkan banding tersebut;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Eksepsi:
- Menerima dan mengabulkan eksepsi dari Tergugat / Pembanding;
- Menyatakan gugatan Penggugat kurang pihak;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat / Terbanding tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);
- Menyatakan Penetapan Sita Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 30 Juli 2015 Nomor 39/Pdt.G/2015/PN.Smr., tidak mempunyai kekuatan hukum.”
Pada tingkat akhir, seluruh upaya sang kreditor menjadi pupus. Sang kreditor mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti /Pengadilan Tinggi Samarinda, tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan;
“Bahwa PT. CEM (Cahaya Energi Mandiri) sebagai pihak yang berhutang yang dalam perkara ini tidak ikut digugat, padahal keikut-sertaannya untuk diikutkan dalam perkara adalah penting/urgen untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya sehubungan dengan hutang yang dijamin oleh Tergugat a quo, sehingga oleh karena itu gugatan Penggugat mengandung cacat formil karena kurang pihak (plurium litis consortium);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Samarinda dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. DHARMA PUTRA KARSA, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. DHARMA PUTRA KARSA, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.