LEGAL OPINION
Question: Secara hukum, kekuatan Peraturan Perusahaan itu seperti apa dalam implementasinya? Sebenarnya kenapa sih, kok masih aja ada buruh yang bersikap tidak pantas, sekalipun itu ada aturan larangannya dalam peraturan perusahaan atau tidaknya, rasanya apa yang tidak pantas tetap saja tidak pantas.
Brief Answer: Setiap organisasi, pasti memiliki peraturan internal yang berbeda dengan organisasi lainnya (semisal Anggaran Dasar). Setiap permainan, memiliki aturan mainnya masing-masing. Begitu pula dengan setiap lingkungan rumah-tangga maupun lingkungan kerja, masing-masing memiliki aturan tuan rumah maupun peraturan perusahaan. Kesemua ini disebut sebagai “peraturan otonom”, dimana komunitas sipil membuat peraturan yang berlaku internal bagi anggota dan/atau penghuninya, dan diakui keberlakuannya oleh negara sebagai aturan main sebatas kalangan internal komunitas bersangkutan.
Setiap individu warga negara yang melakukan tindakan tidak etis, mencerminkan kondisi kematangan mental serta fase moralitasnya. Bukan hanya dalam suatu ikatan hubungan ketenagakerjaan, warga negara yang tetap menabrak atau melanggar aturan hukum, sekalipun menyadari ada ancaman sanksi dibalik pelanggaran tersebut, tetap berani untuk melanggarnya. Hal tersebut dapat terjadi, karena selama ini negara hanya mengandalkan instrumen hukum dengan harapan dapat membentuk karakter bangsa—suatu asumsi yang terbukti keliru secara fatal.
Dalam suatu organisasi, sekalipun tanpa terdapat Peraturan Perusahaan, sepanjang budaya (culture) perusahaan telah terbentuk secara kondusif lewat konsistensi dan prinsip kesetimpalan, maka hukum konvensi / kebiasaan menjadi lebih terinternalisasi secara moril maupun secara mentalitas setiap anggota komunitas / organisasi, bahkan kadang lebih efektif dari sekadar aturan dan ancaman yang diatur dalam Peraturan Perusahaan.
Singkat kata, entitas usaha yang baik, mengandalkan pembangunan budaya organisasi dengan para anggota / pekerjanya, bukan mempersenjatai manajemen dengan Peraturan Perusahaan yang mencekik kalangan pekerja.
Fase atau tingkatan yang paling tertinggi, ialah ketika para pekerja mempunyai “rasa memiliki” terhadap perusahaan yang selama ini diasuh dan dibangunnya bersama-sama. Itulah, tahap yang penulis sebut sebagai “loyalitas” yang melampaui Peraturan Perusahaan dalam bentuk apapun.
PEMBAHASAN:
Perihal tahap perkembangan / kematangan moralitas, buah pemikiran Kohlberg (1970) kerap menjadi rujukan, dengan teorinya bahwa tingkat perkembangan moral terbagi dalam tiga fase: pra-konvensional (biasanya dimulai dari tahap masa kanak-kanak), konvensional (berkembang dalam konteks masyarakat yang lebih luas), dan fase pasca-konvensional (tidak lagi bersandar pada konvensi komunitas, namun pada suara hati yang tertinggi.
Pada tahap pra-konvensional, ditandai dari orientasi “kepatuhan” dan “hukuman”. Pembelajarannya sebatas proses reward and punishment. Pada fase ini, seorang individu belajar melalu kaedah sosial yang selama ini diterima oleh masyarakat, dan mengikutinya sebagai suatu budaya perilaku, dan bisa pula lewat apa yang diperintahkan oleh tokoh otoritas (semisal guru atau orangtua).
Apa yang disebut dengan baik atau buruk, dengan demikian menjadi sangat bergantung pada konsekuensi respon masyarakat tempat komunitas ia hidup. Bila dipuji, atau setidaknya dibiarkan suatu perilaku tertentu, berarti itu baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila mengundang cela atau bahkan penghukuman, berarti itulah yang disebut dengan tidak baik.
Dari situ, seorang kanak-kanak beranjak lebih tinggi ke pemahaman adanya kerja sama dan manfaatnya bagi diri sendiri (kalau kita baik ke orang lain, orang lain akan bersikap baik ke kita juga). Tahap ini disebut individualisme, instrumentalisme, dan pertukaran. Fase ini adalah fase yang paling rendah, karena menyerupai proses pembelajaran seekor binatang yang dapat dilatih lewat metode yang sama.
Ironisnya, hukum dalam rangka mengemban tugas amanat untuk mendidik seseorang menjadi manusia, sejatinya hanya mampu berperan sebatas pada ranah fase pra-konvensional, tidak dapat beranjak lebih tinggi dengan memanusiakan manusia. Itulah sebabnya, tidak jarang dijumpai penegak hukum ataupun sipir penjara, yang justru lebih patut menjadi narapidana penghuni penjara.
Menjadikan instrumen hukum untuk memuliakan dan memanusiakan manusia, akan selalu menjumpai kegagalan demi kegagalan, karena instrumen hukum hanyalah alat yang sebatas berfungsi menstimulus kesadaran moral pra-konvensional. Strategi nasional yang tepat guna, tidak bertumpu pada instrumen hukum, namun pada budaya bangsa secara mikro maupun secara makro, yang harus menampilkan wajah konsistensi berupa sikap dan sifat humanis, kejujuran, keluhuran, serta afeksi, dan empati.
Kembali pada teori Kohlberg, yang menjadi tahap kedua dari moralitas manusia, dalam level setingkat diatas prakonvensional, ialah fase konvensional, yang pertama-tama ditandai dengan sikap suatu pribadi atau individu untuk mencari apa yang memperoleh peneriman dari lingkungan (tahap hubungan interpresonal atau anak baik). Berlanjut dengan kesepakatan sosial mengenai aturan dan hukum, suatu individu menjalankan kewajiban sesuai aturan masyarakat. Disadarinya atau mulai lahirnya kepekaan norma sosial, menjadi salah satu ciri mulai terbentuknya moral konvensional ini.
Tahap terakhir, yang menjadi puncak perkembangan seorang manusia, ialah ketika seseorang telah berhasil bermetamorfosis menuju fase pasca-konvensional, dimana seorang individu mulai mampu beranjak dari standar sosial, dan masuk pada prinsip-prinsip ideal, bahkan mampu memperbaiki kungkungan standar moral sosial yang ada dengan menggali standar moral yang bersumber dari nurani.
Tahap ini dimulai dari pemahaman mengenai kontrak sosial, yakni kesadaran dengan niat baik atas sesuatu yang demikian halus serta abstrak serta mendetail, bahwa aturan perlu dibentuk untuk kebaikan semua orang, sehingga dapat dan perlu diikuti dalam kehidupan yang demokratis. Berlanjut ke tahap internalisasi prinsip etis universal, sehingga benar-benar tidak lagi ditentukan dari luar diri, melainkan oleh hadirnya suara hati yang paling murni dan paling jujur.
Menurut Kohlberg, sebagaimana dapat kita amati sendiri, evolusi mental suatu kepribadian beranjak dari fase moral yang rendah menuju perkembangan moral yang lebih tinggi, namun tidak setiap pribadi sampai pada tahap prinsip etis universal—dan tidak selalu berproses linear demikian karena arah prosesnya bisa saja terbalik.
Teori Kohlberg tetap relevan hingga saat kini, meski dapat dijumpai kritik, bahwa beliau terkesan memandang moralitas sebagai sesuatu yang “berjarak”, tanpa melihat faktor multi-faset suatu kondisi realita yang ditemui oleh setiap individu dalam kesehariannya. Seakan, moralitas adalah bersifat impersonal, dan dengan mudah dinilai dari luar secara objektif.
Dalam kenyataannya, tidaklah selalu demikian. Proses pemikiran dan pengambilan keputusan maupun pembentukan watak, tidak pernah berjalan secara linear oleh satu faktor dominan tertentu. Mental, dapat disebut sebagai sebuah jalinan, bukan sebuah trayek atau lintasan berpikir. Moralitas demikian kompleks, tersusun dari berbagai variabel yang saling merangkai, meski kita masih dapat “meraba” pola yang ada dalam tingkatan tertentu. Karena tidak linear, maka dapat terjadi prosesnya justru bergerak mundur.
Kristi Poerwandari, seorang psikolog, menyebutkan bahwa tidak semua hal dengan mudah dapat dinilai “benar-salah”, karena situasinya sangat kompleks. Kita mungkin juga bisa bicara yang ideal, tetapi tidak melakukannya ketika ada dalam konteks yang sama. Itulah awal mulanya seseorang menjadi komentator yang andal ketika mengkomentari orang lain, tanpa pernah mau melihat perilakunya sendiri.
Gilligan (1982), secara lebih rasional menempatkan moralitas dalam konteks nyata dilema diri, dan menyebutnya sebagai moralitas kepedulian. Yang dapat kita pelajari dari Gilligan, adalah tindakan moral itu akhirnya, ketika sudah sampai pada pelaksaannya, menjadi terbatasi atau bahkan terkungkung oleh keadaan kondisi suatu situasi yang dihadapinya atau bahkan menghadangnya. Tindakan moral, dengan demikian bergantung pada tingkat kepedulian sang pelaku, apakah hanya pada kepentingan diri / kelompok sendiri, pada kepentingan pihak lain, atau pada kepedulian terhadap kepentingan semua pihak?
Kompleksitas situasi yang kita hadapi, dapat mendorong kita bertindak tampak seperti irasional akibat tekanan situasi dan kondisi, yang kadang sukar kita terjemahkan atau bahkan salah kita terjemahkan. Sebagai contoh, apakah mungkin kita mengambil tindakan yang menguntungkan orang lain?
Ternyata mungkin saja, semisal disaat kita sedang didera oleh ketakukan pada konsekuensi negatif bila berperilaku berbeda. Memang selalu ada kepentingan diri dalam tindakan kita, tetapi pada akhirnya tindakan kita lebih menguntungkan pihak lain. Menjadi tidak mengherankan, bila kita menjumpai fakta banyaknya orang tua yang tidak melaporkan pelaku tindak asusila dimana anaknya menjadi korban, karena khawatir atas ancaman pembalasan dendam sang pelaku bila dirinya dipidana, yang dengan sendirinya sangat menguntungkan pihak lain meski sebenarnya sangat merugikan korban.
Tindakan moral, dengan demikian terbatasi oleh situasi, karena kita mungkin mengambil keputusan berbeda ketika tahu bahwa suami/istri kita yang korupsi, atau orang lain yang tidak kita kenal, atau minimal tidak kita sukai, yang melakukannya. Tentu lebih mungkin kita melaporkan pihak yang tidak terlalu dekat dengan kita.
Moralitas yang tertinggi, menurut Kristi Poerwandari, sepertinya memang yang didasari kepedulian nyata dan jujur akan kepentingan semua pihak, kepentingan yang melampaui situasi konkret sesaat ataupun kepentingan bersama jangka panjang. Suatu hal yang sekaligus merupakan prinsip etis universal yang didasari oleh suara hati yang bersih, bebas dari anasir apapun.
Kristi Poerwandari merasa miris, membayangkan sepertinya masyarakat Indonesia lebih banyak yang berada pada moralitas tahap rendah, alias masih berjibaku pada tahap pra-konvensional yang sibuk dengan kepatuhan dan hukuman (bukan pada aturan hukum nasional, tetapi pada tokoh otoritas kelompok), dan manfaat bagi diri sendiri saja, yang sebenarnya adalah level moralitas anak TK DAN SD—suatu sindiran yang sangat mengena.
Bagai mampu memprediksi kejadian dimasa mendatang, Kristi Poerwandari menutup uraiannya, dengan berharap bahwa semoga kita dapat dengan jujur mengecek moralitas kita sendiri terlebih dahulu, sebelum mengevaluasi pihak lain ada dalam tahapan moralitas seperti apa. Kalau semua orang Indonesia bersedia melakukannya, semoga kejadian korupsi dapat berkurang, dan penyerangan kelompok lain dengan klaim keagunan moralitas kelompok sendiri tidak lagi ada. (Uraian diatas dikutip dari artikel Kristi Powewandari berjudul “Meneliti Moralitas Diri”, harian Kompas, 3 Juni 2012, dengan beberapa pengembangan bahasan)
Namun tampaknya Kohlberg terlampau “berbaik hati” dengan cukup mengkategorikan tiga fase perkembangan moralitas manusia. Kohlberg tampak menafikan perilaku atau perangai manusia yang justru secara sewenang-wenang melanggar norma hukum bahkan norma sosial, atau bahkan merugikan dan mencelakai orang lain yang merupakan pelanggaran terhadap prinsip etika sosial paling mendasar, tanpa rasa takut ataupun memiliki rasa malu untuk melakukannya.
Dengan demikian, manusia bukan mulai berangkat dari fase pra-konvensional, namun dari fase a-konvensional. Dapat juga terjadi, seseorang yang memiliki moralitas konvensional, justru dapat bergerak menurun / mundur menuju fase anti-konvensional. Menjadikan orang lain sebagai per0kok pasif, adalah salah satu cerminan konkret pergerakan fase moralitas seorang manusia menuju fase anti-konvensional.
Ilustrasi berikut dapat menjadi cerminan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 319 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 2 Juni 2016, perkara antara:
1. SUNARYO; 2. HENDI; 3. BAHRUDIN BIN MARSIN; 4. RIDWAN; 5. AFIFI FAHMI, sebagai Para Pemohon Kasasi, semula selaku Para Penggugat; melawan
- PT. PRAKARSA ALAM SEGAR, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Para Penggugat bekerja pada Tergugat dengan status karyawan tetap. Sengketa terjadi bermula pada tanggal 11 Oktober 2014, dimana Para Penggugat dianggap oleh Tergugat mer0kok diluar area yang telah ditentukan oleh Pihak Perusahaan / Tergugat.
Pada tanggal 18 Oktober 2014, Tergugat melakukan PHK secara seketika kepada Para Penggugat, dengan alasan merokok. Terhadap gugatan Para Penggugat yang berkeberatan telah di-PHK, Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 129/Pdt.Sus-PHI/2015/PN Bdg, tanggal 20 Oktober 2015, dengan amar:
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat Sunaryo, Hendi, Bahrudin bin Marsin, Ridwan, Afifi Fahmi dengan Tergugat PT. Prakarsa Alam Segar didasarkan pada Pasal 56 Angka 21 Peraturan Perusahaan PT. Prakarsa Alam Segar periode 2014-2016 terhitung tanggal 18 Oktober 2014;
3. Menghukum Tergugat membayar kekurangan Upah Bulan Oktober 2014 dan Uang Pisah kepada Para Penggugat sebagai berikut: ...;
4. Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebihnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa PHK oleh Pengadilan Hubungan Industrial terjadi tanpa disertai kompensasi pesangon, sehingga melanggar norma kaedah Pasal 156 Ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Dimana terhadap keberatan Penggugat yang merupakan para Pekerja, yang sebenarnya cukup relevan secara yuridis, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung tidak salah menerapkan hukum mengacu kepada Peraturan Perusahaan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa telah terbukti sesuai dengan pertimbangan Judex Facti bahwa para pekerja merokok di tempat kerja yang tidak diperbolehkan berdasarkan alat bukti tertulis dan saksi (vide bukti Saksi Wiliyanto dan T-6, T-7), sehingga tepat menerapkan ketentuan Pasal 56 angka 21 Peraturan Perusahaan Tahun 2014-2016 yang telah disahkan oleh Disnakertrans Kota Bekasi Nomor ..., tanggal 29 Januari 2014;
2. Bahwa adapun alasan Pemohon Kasasi Peraturan Perusahaan bertentangan dengan Pasal 111 dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya surat peringatan, serta tidak merupakan kesalahan berat tidak dapat dibenarkan, karena Peraturan Perusahaan a quo sebagai aturan otonom dalam hubungan kerja yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat diatur tersendiri, dan mengikat pengusaha dan pekerja;
3. Bahwa Peraturan Perusahaan a quo telah pula disahkan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Sosial serta telah disosialisasikan kepada para pekerja maka tepat wajib dipatuhi oleh pekerja dalam hubungan kerja;
4. Bahwa merokok di tempat kerja yang dilarang dalam lingkungan kerja merupakan perbuatan yang membahayakan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi: SUNARYO, dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. SUNARYO, 2. HENDI, 3. BAHRUDIN BIN MARSIN, 4. RIDWAN, 5. AFIFI FAHMI tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.