KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Mekanisme Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana

LEGAL OPINION
Question: Apa benar, bila sekarang ini bila anak-anak menjadi korban kejahatan, bisa minta kompensasi uang ke pemerintah?
Brief Answer: Dalam istilah hukum, hal tersebut disebut sebagai restitusi. Norma hukum positif pelaksanaannya dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Namun, yang perlu dipahami perihal restitusi korban anak, pemberian ganti rugi bersumber dari pelaku atau Orang Tua pelaku, apabila pelaku merupakan Anak sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan. Sehingga Restitusi bukan dituntut dari negara.
Permohonan Restitusi diajukan secara tertulis kepada pengadilan, dan diajukan sebelum putusan pengadilan, yakni saat pelaku kejahatan masih dalam tahap penyidikan atau penuntutan. Selain melalui tahap penyidikan atau penuntutan, permohonan Restitusi dapat diajukan melalui LPSK.
PEMBAHASAN:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 2017
TENTANG
PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA
Menimbang:
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 71D ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA.
PENJELASAN UMUM
Bahwa setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan yang harus dihormati dan dipenuhi oleh siapapun. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengamanatkan setiap orang bertanggung jawab untuk melindungi Anak dari kekerasan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang anak secara wajar.
Tindak pidana terhadap Anak bukan hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruhi tumbuh kembang dan kualitas hidup Anak, namun juga menimbulkan kerugian materiil maupun imateriil bagi pihak keluarga.
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan perhatian besar untuk memberikan perlindungan khusus bagi Anak yaitu perlindungan bagi Anak yang berhadapan dengan hukum khususnya Anak korban (Note SHIETRA & PARTNERS: redaksional yang lebih tepat ialah (“korban Anak dibawah umur”), Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, Anak yang menjadi korban pornografi, Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan, Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis, dan Anak korban kejahatan seksual atas penderitaan atau kerugian yang dialami pihak korban dalam bentuk pemberian ganti rugi dari pelaku atau Orang Tua pelaku, apabila pelaku merupakan Anak sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan.
Selama ini apabila terjadi tindak pidana terhadap Anak, pihak korban tidak hanya menanggung sendiri kerugian materiil (yang dapat dihitung) dan kerugian immateriil (yang tidak dapat dihitung) antara lain kerugian berupa rasa malu, kehilangan harga diri, rendah diri, dan/atau kecemasan berlebihan yang bersifat traumatik. Kerugian ini seharusnya juga ditanggung oleh pelaku dalam bentuk Restitusi sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami Anak yang menjadi korban tindak pidana maupun pihak korban.
Restitusi yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana dimaksudkan selain untuk mengganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian biaya perawatan medis, dan/atau psikologis sebagai bentuk tanggung jawab tindak pidana yang dilakukan, juga dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menegakkan keadilan bagi Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagai akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Pemberian Restitusi kepada Anak yang menjadi korban tindak pidana harus dilaksanakan secara tepat, tidak salah sasaran, serta tidak disalahgunakan. Restitusi harus diberikan dan diterima oleh Anak yang menjadi korban tindak pidana atau pihak korban sesuai dengan kerugian dan kondisi Anak yang menjadi korban tindak pidana.
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara pengajuan dan pemberian Restitusi kepada Anak yang menjadi korban tindak pidana, dengan harapan akan memperjelas persyaratan bagi pihak korban untuk mengajukan permohonan Restitusi yang dilaksanakan sejak kasusnya berada pada tahap penyidikan maupun penuntutan. Selain itu, memperjelas penyidik dan penuntut umum untuk membantu Anak yang menjadi korban tindak pidana dan pihak korban untuk mendapatkan hak memperoleh Restitusi.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Restitusi adalah pembayaran ganti-kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
2. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai Orang Tua terhadap Anak.
BAB II
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN RESTITUSI
Pasal 2
(1) Setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi.
(2) Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: [Note SHIETRA & PARTNERS: Frasa ‘meliputi’ memiliki makna ‘antara lain’. Untuk lebih jelasnya, lihat Ayat ke-1.]
a. Anak yang berhadapan dengan hukum;
b. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
c. Anak yang menjadi korban pornografi;
d. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
e. Anak korban kekerasan fisik dan/atau dan
f. Anak korban kejahatan seksual.
(3) Restitusi bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan kepada anak korban. [Note SHIETRA & PARNTERS: Semestinya redaksional berbunyi “korban anak”.]
Penjelasan Resmi Pasal 2 Ayat (3): Yang dimaksud dengan “anak korban” adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Pasal 3
Restitusi bagi Anak yang menjadi korban tindak pidana berupa:
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan;
b. ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Pasal 4
(1) Permohonan Restitusi diajukan oleh pihak korban.
(2) Pihak korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Orang Tua atau Wali Anak yang menjadi korban tindak pidana;
b. ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana; dan
c. orang yang diberi kuasa oleh Orang Tua, Wali, atau ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana dengan surat kuasa khusus.
(3) Dalam hal pihak korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b sebagai pelaku tindak pidana, permohonan untuk memperoleh Restitusi dapat diajukan oleh lembaga.
Penjelasan Resmi Pasal 4 Ayat (3): Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini antara lain LPSK, Lembaga Bantuan Hukum, dan lembaga yang menangani perlindungan anak.
Pasal 5
(1) Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai kepada pengadilan.
(2) Permohonan Restitusi kepada pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diajukan sebelum putusan pengadilan, diajukan melalui tahap:
a. penyidikan; atau
b. penuntutan.
Penjelasan Resmi Pasal 5 Ayat (2):
Huruf (a): Permohonan Restitusi yang diajukan saat proses penyidikan, diajukan melalui penyidik.
Huruf (b): Permohonan Restitusi yang diajukan saat proses penuntutan, diajukan melalui penuntut umum.
(3) Selain melalui tahap penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan Restitusi dapat diajukan melalui LPSK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
Permohonan Restitusi yang diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan melalui LPSK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Resmi Pasal 6: Yang dimaksud dengan “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah Undang-Undang mengenai Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 7
(1) Pengajuan permohonan Restitusi yang diajukan oleh pihak korban, paling sedikit harus memuat:
a. identitas pemohon;
b. identitas pelaku;
c. uraian tentang peristiwa pidana yang dialami;
d. uraian kerugian yang diderita; dan
e. besaran atau jumlah Restitusi.
Penjelasan Resmi Pasal 7 Ayat (1) Huruf (a): Yang dimaksud dengan “identitas pemohon” antara lain nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan dan alamat. Identitas pemohon harus diisi dan dijelaskan hubungan antara pemohon dan Anak yang menjadi korban tindak pidana.
(2) Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan:
a. fotokopi identitas Anak yang menjadi korban tindak pidana yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang;
b. bukti kerugian yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
c. fotokopi surat keterangan kematian yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang jika Anak yang menjadi korban tindak pidana meninggal dunia; dan
d. bukti surat kuasa khusus jika permohonan diajukan oleh kuasa Orang Tua, Wali, atau ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana.
Penjelasan resmi Pasal 7 Ayat (2) Huruf (a): Yang dimaksud dengan “identitas Anak yang menjadi korban tindak pidana” antara lain dibuktikan dengan akta kelahiran, surat kenal lahir, ijazah, surat baptis dari tokoh agama, kartu identitas anak, surat keterangan temuan Anak dari kepolisian, atau surat keterangan dari kelurahan/kepala desa setempat.
Pasal 8
Dalam hal Anak yang menjadi korban tindak pidana lebih dari 1 (satu) orang, pengajuan permohonan Restitusi dapat digabungkan dalam 1 (satu) permohonan Restitusi.
Pasal 9
Pada tahap penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (2) Huruf (a), penyidik memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak Anak yang menjadi korban tindak pidana, untuk mendapatkan Restitusi dan tata cara pengajuannya.
Pasal 10
Pihak korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 mengajukan permohonan Restitusi paling lama 3 (tiga) hari setelah pemberitahuan mengenai hak Anak yang menjadi korban tindak pidana oleh penyidik.
Pasal 11
(1) Penyidik memeriksa kelengkapan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal pengajuan permohonan Restitusi bagi Anak yang menjadi korban tindak pidana diterima.
(2) Dalam hal terdapat kekurang-lengkapan pengajuan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik memberi-tahukan kepada pemohon untuk melengkapi permohonan.
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal diterimanya pemberitahuan harus melengkapi permohonan.
(4) Dalam hal pemohon tidak melengkapi permohonan dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemohon dianggap belum mengajukan permohonan Restitusi.
Pasal 12
(1) Penyidik dapat meminta penilaian besaran permohonan Restitusi yang diajukan oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada LPSK.
(2) Penyampaian penilaian besaran permohonan Restitusi yang diajukan penyidik kepada LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah permohonan Restitusi yang diajukan oleh pemohon dinyatakan lengkap.
(3) LPSK menyampaikan hasil penilaian besaran permohonan Restitusi berdasarkan dokumen yang disampaikan penyidik paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan penilaian Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima.
Penjelasan Resmi Pasal 12 Ayat (3): Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja.
Pasal 13
(1) Permohonan Restitusi yang telah dinyatakan lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), penyidik mengirimkan permohonan Restitusi yang terlampir dalam berkas perkara kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik meminta penilaian besaran permohonan Restitusi kepada LPSK, penyidik melampirkan hasil penilaian besaran permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 pada berkas perkara kepada penuntut umum.
Pasal 14
(1) Pada tahap penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (2) Huruf (b), penuntut umum memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak Anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan Restitusi dan tata cara pengajuannya pada saat sebelum dan/atau dalam proses persidangan.
(2) Dalam hal pelaku merupakan Anak, penuntut umum memberitahukan hak Anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan Restitusi pada saat proses diversi. [Note SHIETRA & PARTNERS: Hal ini dapat terjadi, ketika pelaku dan korban sama-sama masih dibawah umur.]
Pasal 15
Pihak korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 mengajukan permohonan Restitusi pada tahap penuntutan paling lama 3 (tiga) hari setelah pemberitahuan mengenai hak Anak yang menjadi korban tindak pidana oleh penuntut umum.
Pasal 16
(1) Penuntut umum memeriksa kelengkapan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal pengajuan permohonan Restitusi bagi Anak yang menjadi korban tindak pidana diterima.
(2) Dalam hal terdapat kekurang-lengkapan pengajuan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), penuntut umum memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi permohonan.
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal diterimanya pemberitahuan harus melengkapi permohonan.
(4) Dalam hal pemohon tidak melengkapi permohonan dalam waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), pemohon dianggap tidak mengajukan permohonan Restitusi.
Pasal 17
(1) Penuntut umum dapat meminta penilaian besaran permohonan Restitusi yang diajukan oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 kepada LPSK.
(2) Penyampaian penilaian besaran permohonan Restitusi yang diajukan penuntut umum kepada LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah permohonan Restitusi yang diajukan oleh pemohon dinyatakan lengkap.
(3) LPSK menyampaikan hasil penilaian besaran permohonan Restitusi berdasarkan dokumen yang disampaikan penuntut umum paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan penilaian Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima.
Pasal 18
Penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi sesuai dengan fakta persidangan yang didukung dengan alat bukti.
BAB III
TATA CARA PEMBERIAN RESTITUSI
Pasal 19
(1) Panitera pengadilan mengirimkan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang memuat pemberian Restitusi kepada jaksa.
(2) Jaksa melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada pelaku untuk melaksanakan pemberian Restitusi.
Pasal 20
Jaksa menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memuat pemberian Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1) kepada pelaku dan pihak korban dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima.
Pasal 21
(1) Pelaku setelah menerima salinan putusan pengadilan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan wajib melaksanakan putusan pengadilan dengan memberikan Restitusi kepada pihak korban paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima salinan putusan pengadilan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan.
(2) Dalam hal pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Anak, pemberian Restitusi dilakukan oleh Orang Tua.
Pasal 22
(1) Pelaku atau Orang Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 melaporkan pemberian Restitusi kepada pengadilan dan kejaksaan.
(2) Pengadilan mengumumkan pelaksanaan pemberian Restitusi, baik melalui media elektronik maupun non elektronik.
Penjelasan Resmi Pasal 22 Ayat (2): Ketentuan ini dimaksudkan agar tercipta adanya keterbukaan informasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan pemberian Restitusi kepada pihak korban.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 16 Oktober 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 16 Oktober 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 219
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6131
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.