Kemustahilan atau Keniscayaan? Sebuah IMPIAN

ARTIKEL HUKUM
Sketsa Refleksi Akhir Tahun, oleh SHIETRA & PARTNERS
Apa sebenarnya visi dan misi SHIETRA & PARTNERS? Mungkin itulah yang terbersit di benak para pengguna jasa maupun pembaca publikasi hukum-hukum.com. Untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut, ternyata bukanlah perkara mudah bagi penulis. Namun setidaknya, para pengguna jasa maupun para pembaca telah melihat dan membuktikan sendiri betapa efektif metode pengutaraan karakter hukum yang telah penulis susun dalam sistematika setiap publikasinya.
Telah demikian banyak penulis mendapat penentangan dari para sarjana hukum senior di Indonesia, ketika pertama kalinya penulis mencoba memperkenalkan konsep sistem hukum yang lebih relevan dan reliable, yakni sebuah falsafah paling mendasar dari konsep tentang keadilan dan kepastian hukum dari budaya hukum Common Law negara-negara dengan tradisi hukum Anglo Saxon.
Ilmu hukum adalah ilmu tentang prediksi. Sesingkat itulah definisi hukum yang diberikan oleh budaya hukum Common Law. Kita tidak akan menemukan definisi hukum lainnya di negara-negara dengan budaya hukum Common Law. Namun entah hakim maupun para akademisi hukum di Tanah Air, yang selama ini menerapkan budaya hukum Civil Law ala tradisi hukum Eropa Kontinental, sama sekali tidak melahirkan praktik hukum yang mencerminkan keadilan.
Berangkat dari falsafah mendasar, bahwa ilmu hukum ialah ilmu tentang prediksi—dimana para sarjana hukum negara-negara Anglo Saxon secara bulat memberi makna ilmu hukum secara tunggal demikian (mulai dari John Austin bahkan hingga tokoh sekaliber Hans Kelsen), kontras dengan teks ilmu hukum di Indonesia yang menelurkan segudang definisi tentang hukum—maka yang kemudian paling menonjol dari budaya hukum pada negara-negara Anglo Saxon ialah paradigma: keadilan terletak pada pilar bernama kepastian hukum, dimana kepastian hukum artinya ialah derajat paling minimum prediktabilitas dalam hukum. Karena hukum memiliki daya prediktabilitasnya, maka “mau tidak mau” hakim tidak bebas dalam memutus, namun terikat pada preseden, sehingga masyarakat terlindungi dari kesewenang-wenangan kalangan hakim. (Note Penulis: kalimat terakhir itulah yang paling patut kita garis-bawahi.)
Ya, itulah kata kuncinya. Namun berapa banyak sarjana hukum di indonesia yang mau menyadari akan hal yang paling sederhana demikian? Kalangan profesi kehakiman (bukan hakim non palu), demikian bebas dan independen dalam memutus, bahkan bebas memutus menyimpangi undang-undang, bebas dan independen memutus menyimpangi Surat Edaran Mahkamah Agung, terlebih menghormati yurisprudensi yang ada. Artinya, praktik hukum di Indonesia menjelma aksi spekulasi yang dapat disebut sebagai “Ber-Ju-Di” pada “selera” hakim pemutus yang kemudian berujung pada “ruang negosiasi”.
Bukan satu atau dua kalangan pengacara dan hakim di Tanah Air telah penulis ajak mendiskusikan hal tersebut. Namun seluruh kalangan tersebut justru melecehkan pemikiran para sarjana hukum tradisi Common Law yang selama ini telah terbukti melahirkan praktik peradilan yang jauh lebih sehat. “Kami menggugat dan menjatuhkan putusan, tidak pakai prediksi-prediksian, hahaha...”—itulah respon yang penulis dapatkan, selalu senada seperti itu. Ternyata, berbagai perguruan tinggi hukum di Indonesia, hanya mencetak para spekulan, bukan melahirkan seorang jurist.
Mencoba menyuap hakim di negara dengan tradisi Anglo Saxon, adalah hal yang paling bodoh—karena hakim tidak bebas dalam memutus, namun terikat oleh “blangko” berupa preseden. Bahkan, kalangan profesi konsultan dan pengacara di negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon, dapat memprediksi bahwa kliennya akan menang atau akan kalah bila mengajukan gugatan ke persidangan atau bila melakukan upaya hukum banding ataupun kasasi, jauh sebelum gugatan tersebut benar-benar dimajukan ke pengadilan.
Mengajukan gugatan atau kasasi atas apa yang telah diprediksi akan sia-sia, adalah sebuah kebodohan besar bagi mereka. Dampak tidak langsungnya, beban peradilan menjadi efisien, dan karena beban hakim telah demikian efisien, secara langsung kualitas putusan menjadi efektif. Bandingkan dengan kualitas putusan kalangan hakim di Indonesia yang overload sehingga kualitas putusannya seringkali terbukti “meragukan”. Pada tangan hakim seperti itukah, Anda menggantungkan nasib?
Sebaliknya, kontras dengan pemaparan diatas, praktik peradilan di Indonesia, karena mengundang para spekulan untuk bermain, gugatan demi gugatan dilancarkan secara masif secara “masa bodoh” ala para “spekulan” di “meja hijau”. Upaya hukum banding dan kasasi bagaikan ritual yang tidak lagi sakral, namun menjelma aksi spekulasi yang “bisa jadi menang”, dan “bisa jadi kalah”.
Sepenuhnya bergantung pada “selera” hakim pemutus. Karena memang tiada siapapun yang mampu memprediksi apa nantinya yang menjadi bandul putusan hakim, apapun peraturan perundang-undangan yang ada, apapun yurisprudensi yang ada. Preseden bagaikan hal tabu untuk dibicarakan di depan hakim yang dibentengi arogansi imunitas.
Tidak bosan-bosannya penulis mengutarakan fakta-fakta aktual demikian, dengan harapan mampu membentuk budaya berhukum dengan wajah lebih humanis di Indonesia. Akan tetapi mungkin hal demikian hanyalah sebuah utopia. Penulis bagai berjuang seorang diri. Para sarjana hukum lain tampaknya lebih suka berspekulasi daripada merepotkan diri mendalami riset preseden yang memang masih “asing” di Indonesia—meski sejujurnya “berspekulasi” jauh lebih meletihkan meski pada permukaannya riset preseden tampak lebih “menakutkan” sebagian kalangan hukum karena menuntut jam kerja yang tinggi.
Jacques Bothelin, seorang pilot aerobatik, pernah menuliskan uraian yang cukup relevan, dengan kutipan sebagai berikut:
“Sebagian orang berpikir, para pilot aerobatik adalah orang-orang nekat, para pemburu adrenalin, yang sekadar mencari tantangan dan sensasi. Padahal, kami justru kebalikan dari itu semua. Semua aksi telah direncanakan dan dilatih berulang-ulang. Kami semua mencintai kehidupan. Kami bukan orang-orang putus asa.”
Apakah Anda dapat melihat korelasinya dengan paradigma seorang spekulan? Apa jadinya bila petani masa-bodoh dengan prakiraan cuaca: gagal panen. Apa jadinya bila maskapai penerbangan tidak mengindahkan instruksi menara pemantau cuara? Anda mampu menjawabnya sendiri. Itulah sebabnya, sarjana hukum di Indonesia bukanlah seorang “arsitek” hukum yang cukup baik. Merancang hukum, harus dimulai dari merombak budaya hukum yang selama ini telah mendarah-daging, untuk dibentuk dan dipahat “peta” berhukum yang baru.
Utopia, sebuah mimpi yang tampaknya mustahil terwujud saat penulis masih hidup. Penulis menyadari serta mengakui sepenuhnya, melihat respon berbagai sarjana hukum senior hingga akademisi yang lebih cenderung melestarikan comford zone sistem hukum orthodoks milik mereka, justru meremehkan berbagai buah pemikiran penulis yang sebetulnya hanya meminjam atau mengadopsi falsafah mendasar budaya hukum Common Law.
Terkadang, untuk kembali menguatkan mental yang sadar bahwa utopia tersebut tidak mungkin terwujud saat penulis masih hidup, sesekali penulis menyimak kembali sebuah lirik lagu berjudul “The Impossible Dream” karya Joe Darion, yang mungkin juga berguna bagi Anda. Mari kita simak bersama:
“To dream the impossible dream,
to fight the unbeatable foe,
to bear with unbearable sorrow,
to run where the brave dare not go.

To right the unrightable wrong,
to love pure and chaste from afar,
to try when your arms are too weary,
to reach the unreachable star.

This is my quest,
to follow that star --
no matter how hopeless,
no matter how far.

To fight for the right
without question or pause,
to be willing to march into hell for a
heavenly cause.

And I know if I'll only be true to this
glorious quest
that my heart will be peaceful and calm
when I'm laid to my rest.

And the world will be better for this,
that one man scorned and covered with scars
still strove with his last ounce of courage.
To reach the unreachable stars.”
Bagaikan melawan arus, mungkin itulah visi dan misi SHIETRA & PARTNERS maupun publikasi hukum-hukum.com yang penulis asuh. Sekadar menghibur diri, Jacques Bothelin juga sempat mengutakan hal berikut sebagai penutup pemaparannya: “Gairah, disiplin, kemauan keras untuk terus-menerus menempa ilmu baru, serta kerendahan hati mengakui batas-batas diri, adalah kunci keberhasilan.” Meski, terkadang merasakan letih.
Setidaknya penulis menyadari sepenuhnya bahwa visi dan misi tersebut tidak akan terwujud saat penulis masih hidup. Setidaknya, batu peletak dasar telah penulis tawarkan dan tanamkan secara erat dalam paradigma para sarjana hukum muda lewat berbagai publikasi ilmiah penulis dan dalam setiap kesempatan penulis membawakan jasa konsultasi dibidang hukum. Setidaknya, itulah warisan dari penulis kepada para generasi penerus. Sebuah bibit ide yang sedang penulis tanam dan biarkan tumbuh.
Sudah terlampau banyak korban berjatuhan akibat sistem budaya hukum Indonesia yang memberi “mahkota emas” bagi kalangan profesi hakim, lengkap dengan segenap imunitasnya. Sudah terlampau banyak sarjana hukum menjelma “sarjana spekulan” di Indonesia. Tidak boleh lagi lahir spekulan-spekulan baru di Tanah Air. Lewat torehan tinta inilah, penulis melakukan perjuangan dari bawah. Butuh pengorbanan untuk sebuah pembaharuan, meski penulis hanyalah seorang manusia biasa lengkap dengan segala keterbatasannya.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.