Kekuatan Hukum Surat Pernyataan Pengakuan Hutang

LEGAL OPINION
Question: Kalau dulu sudah terlanjut kasih pinjam orang yang menjadi kenalan dekat, sejumlah hutang tanpa surat perjanjian hutang-piutang apapun, apa boleh sekarang si peminjam dimintakan surat pernyataan sedang berhutang? Maksudnya, apa ada resiko dengan begitu? Lalu, sebenarnya si peminjam itu wajib tidak, istri atau suaminya ikut tanda-tangan juga?
Brief Answer: Mungkin yang dimaksudkan ialah “Surat Pernyataan Pengakuan Hutang” yang diberikan secara satu pihak oleh pihak debitor. Sebenarnya surat pernyataan pengakuan hutang tidaklah sama dengan perjanjian pokok berupa perjanjian hutang-piutang, perjanjian jual-beli, perjanjian kredit, atau perikatan kontraktual lainnya—dimana perjanjian biasanya ditanda-tangani oleh kedua belah pihak secara bertimbal-balik (secara berkontra-prestasi).
Dilihat dari konstruksi tersebut, maka sifat atau derajat dari surat pernyataan pengakuan hutang hanyalah produk turunan dari perjanjian pokok. Adanya surat pernyataan pengakuan hutang tanpa adanya perjanjian pokok, tentu menjadi pertanyaan bagi hakim, apakah yang melandasi lahirnya hutang tersebut? Secara hakiki, produk hukum turunan tidak pernah sama kuatnya dengan derajat payung hukumnya.
Namun demi mengatasi kendala seperti tidak diikatnya hubungan hukum hutang-piutang, jual-beli, atau sebagainya, dengan sebuah perjanjian secara tertulis (meski secara lisan dimungkinkan meski riskan), maka langkah mitigasinya ialah dikemudian hari memintakan surat pernyataan pengakuan hutang dari pihak debitor untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, masih dapat dibenarkan dan menjadi alat bukti formil dalam hukum acara pembuktian perdata, meski perlindungan hukumnya tidak sesempurna “perjanjian pokok”.
Perihal pertanyaan kedua, cukup sukar untuk menerangkannya. Secara yuridis, pihak pasangan yang saling terikat hubungan perkawinan tanpa perjanjian perkawinan pisah harta bersama, yang kemudian meminjam kredit / hutang, wajib mendapat izin dari pasangannya dengan cara turut menanda-tangani perjanjian hutang-piutang. Mengapa? Karena pihak kreditor dapat mengajukan sita jaminan dan eksekusi terhadap harta bersama sang debitor, bilamana debitornya dikemudian hari ingkat janji untuk melunasi.
Namun, dalam praktik aktualnya demi rasionalisasi keadaan sosial masyarakat yang belum menyentuh hingga taraf demikian, maka cukuplah salah satu diantaranya saja yang menanda-tangani bukti pinjam-meminjam dana—kecuali bila konteksnya ialah mengagunkan harta benda bergerak maupun tidak bergerak yang menjadi milik harta bersama, barulah persetujuan pasangan menjadi prasyarat mutlak.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi yang dapat memudahkan pemahaman, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa wanprestasi hutang-piutang register Nomor 910 K/Pdt/2012 tanggal 10 Oktober 2012, perkara antara:
- NY. SRI WINARTI, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I; melawan
- NY. BENNY YULIANINGSIH, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
- Bapak NIYADI, Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat II.
Penggugat selaku Kreditur sedangkan Tergugat I merupakan Debitur dengan pinjaman uang pokok yang keseluruhannya berjumlah Rp.90.000.000,00 dimana uang pinjaman tersebut telah diterima oleh Tergugat I secara bertahap dari tahun 2008, sementara perjanjian pinjam-meminjam tersebut dilangsungkan secara lisan.
Kemudian pada tanggal 19 Juli 2009, baru dibuatlah surat pernyataan pengakuan hutang dan Kwitansi tanda terima uang—berisi pengakuan hutang Ny. Winarti kepada Penggugat, bahwa Ny.Winarti (Tergugat I) mempunyai hutang yang keseluruhannya berjumlah Rp.90.000.000,00 dan kesanggupan akan mengembalikan hutang tersebut selambat-lambatnya pada tanggal 5 Agustus 2009.
Hutang Tergugat I yang keseluruhannya mencapai nilai Rp.90.000.000,00 adalah merupakan jumlah atau kumulasi dari hutang-hutang Tergugat I sejak tahun 2008, dimana pada waktu itu karena hubungan pertemuan yang baik dan begitu percayanya Penggugat pada Tergugat, sehingga setiap Tergugat I meminjam uang, tidak pernah ada tanda buktinya, namun pada saat itu Tergugat I mengakui bahwa yang bersangkutan memiliki tunggakan pada Penggugat sejumlah nominal tersebut.
Namun demikian, oleh karena kemudian Penggugat mulai melihat ada gelagat, indikasi, atau tanda-tanda itikad tidak baik dari Tergugat, dimana setiap kali ditagih Tergugat I selalu menghindar dengan mengulur-ulur waktu dan sering memberikan alasan yang tidak logis, maka Penggugat meminta agar hutang-hutang Tergugat I tersebut dituangkan dalam suatu pengakuan tertulis seperti Surat pernyataan yang menyertakan ketegasan kapan hutang akan dibayar, maka dibuatlah oleh Tergugat I sebuah surat pernyataan pengakuan hutang dan mau untuk memberikan kwitansi tanda terima uang atas keseluruhan hutangnya sejumlah Rp.90.000.000,00 tetanggal 19 Juli 2009.
Setelah Tergugat I membuat pernyataan tertulis dan telah jatuh tempo kesanggupan untuk pelunasan hutangnya paling lambat pada tanggal 5 Agustus 2009, maka Penggugat kemudian berkali-kali menagih baik pada Tergugat I maupun Tergugat II untuk segera melunasi hutangnya kepada Penggugat.
Yang kemudian terjadi, telah sepuluh kali Penggugat menagih hutang kepada para Tergugat, baik dengan cara mendatangi langsung maupun melalui telepon, yang pada akhirnya Tergugat I pernah membayar hutang dengan cara mengangsur sebanyak dua kali, masing-masing sebesar Rp.500.000,00. Sehingga keseluruhan yang telah dibayarkan hanyalah berjumlah Rp.1.000.000,00. Dengan demikian hingga saat gugatan diajukan, hutang pokok Tergugat pada Penggugat masih tersisa Rp.89.000.000,00 meski sesuai dengan surat pernyataan seharusnya hutang para Tergugat sudah harus dilunasi paling lambat pada tanggal 15 Agustus 2009, alias para Tergugat telah cidera janji.
Tergugat II selaku suami dari Tergugat I, pernah menyanggupi untuk menyelesaikan hutang istrinya tersebut, dimana kesanggupan tersebut diucapkan di depan saksi-saksi dan oleh karena hutang-hutang tersebut diterima oleh Tergugat I masih dalam masa perkawinan, maka sudah seharusnya juga menjadi tanggung-jawab pasangan suami-istri (Tergugat Idan Tergugat II), maka oleh karenanya pula Tergugat II turut dijadikan pihak Tergugat dalam perkara ini.
Sementara pihak Tergugat dalam sanggahannya menyebutkan, Tergugat II mekipun sebagai suami dari Tergugat I, tidak dapat dijadikan subyek hukum dalam urusan dan atau hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat I, karena Tergugat II tidak tahu-menahu dan atau tidak pernah diberitahu atau dimintakan persetujuannya oleh Tergugat I maupun Penggugat sebelum adanya hutang-pihutang diantara mereka (Penggugat dan Tergugat I), sehingga sangatlah keliru dan salah alamat bilamana Tergugat II dijadikan sebagai Tergugat terlebih dimintakan pertanggung-jawaban.
Tanah dan bangunan rumah milik Tergugat II sebagai objek termohon sita jaminan dalam gugatan Penggugat, bukan merupakan harta bersama atau gono-gini dalam perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II, sebab sebelum perkawinan terjadi, objek tanah tersebut sudah ada dan merupakan harta bawaan (warisan) dari orang tua Tergugat II, sehingga Penggugat yang menjadikan obyek sita jaminan, adalah keliru dan salah sasaran.
Masih menurut Tergugat II, yang menjadi awal terbitnya Surat Pernyataan Pengakuan Hutang sebesar Rp.90.000.000,00 tertanggal 19 Juli 2009 dan kwitansi tanda terima uang dengan nilai nominal tersebut, disebabkan oleh Penggugat yang marah-marah dan menampar Tergugat I sebanyak tiga kali dalam sebuah pertemuan yang disaksikan warga, sehingga merupakan perbuatan main hakim sendiri, alias pemaksaan.
Terhadap gugatan sang kreditor maupun sanggahan debitornya, Pengadilan Negeri Sleman kemudian menjatuhkan putusan Nomor 40/Pdt.G/2010/PN.Slmn., tanggal 5 Oktober 2010, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa Tergugat I berhutang uang sejumlah Rp.89.000.000,00 kepada Penggugat;
3. Menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan wanprestasi atas hutangnya tersebut kepada Penggugat;
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar uang kepada Penggugat sejumlah Rp.89.000.000,00 (delapan puluh sembilan juta Rupiah) ditambah dengan bunganya 6% (enam persen) per tahun sejak 5 Agustus 2009 sampai dengan pelaksanaan putusan ini;
5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas tanah dan bangunan sebagaimana dalam Sertifikat SHM Nomor 8732/Desa Sinduadi, Surat Ukur tanggal 17 September 2007 Nomor 04246/Sinduadi/2007 luas 175 M2, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Sita Jaminan Nomor 40/Pdt.G/2010/PN.SLMN bertanggal 22 September 2010;
6. Menolak gugatan untuk selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I, putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 40/Pdt.G/2010/PN.Slmn., tanggal 5 Oktober 2010 tersebut, kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan putusan Nomor 29/PDT/2011/PTY., tanggal 15 September 2011.
Sang debitor mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan yakni tidak ada bukti surat maupun keterangan dari para saksi yang diajukan Penggugat yang menerangkan bahwa Tergugat II mengetahui adanya hubungan hutang-piutang antara Penggugat dengan Tergugat I, terlebih membuktikan Tergugat II menyetujui maupun menyepakati untuk ikut bertanggung-jawab atas terbitnya Surat Pernyataan dari Tergugat I maupun kwitansi pembayaran uang sebesar Rp. 90.000.000,00.
Tergugat mendalilkan pula, bukti kwitansi cicilan Ke-1 sejumlah Rp.500.000,00 dan kwitansi cicilan ke-2 sejumlah Rp.500.000,00 yang diajukan Penggugat, merupakan fakta hukum pembuktian yang kuat bahwa Penggugat telah menyetujui dan menyepakati bahwa Tergugat I dibenarkan dan diperbolehkan melunasi hutangnya dengan cara mengangsur setiap bulannya sebesar Rp.500.000,00 dan sebagai bukti Tergugat I beritikad baik telah melakukan kewajibannya dalam melunasi hutang kepada Penggugat secara mengangsur sehingga tidak benar Tergugat I melakukan wanprestasi—[Note Penulis: namun secara gegabah dan ceroboh, justru mengakui adanya hubungan hutang-piutang antara pihak Penggugat dan Tergugat. Suatu strategi pembenaran diri yang fatal, dengan membantah sendiri dalil sanggahan sebelumnya. Sehingga di dalam benak hakim yang memeriksa perkara, pembenaran diri demikian akan terkesan inkonsisten dan tidak rasional.]
Dimana terhadap keberatan pasangan dari sang debitor, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa, Judex Facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) tidak salah dalam menerapkan hukum dan pertimbangannya sudah tepat serta benar;
“Bahwa, telah terbukti Tergugat I telah wanprestasi yaitu tidak membayar hutangnya kepada Penggugat;
“Bahwa, Tergugat I di persidangan tidak dapat membuktikan adanya paksaan untuk menandatangani surat pengakuan hutang (Surat Pernyataan Pinjaman) tertanggal 19 Juli 2009 (vide bukti P-1), sehingga secara formil Tergugat I mempunyai hutang dan terbukti tidak membayarnya sehingga Tergugat I telah wanprestasi, sehingga sangatlah patut Tergugat I untuk dihukum melunasinya; [Note Penulis: Sebenarnya tidak ada orang, yang dengan senang hati membuat dan menanda-tangani surat pengakuan hutang. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum]
“Menimbang, bahwa dari uraian tersebut diatas, maka alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan karena putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan putusan Nomor 29/PDT/2011/PTY., tanggal 15 September 2011 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sleman, yaitu putusan Nomor 40/Pdt.G/2010/PN.Slmn., tanggal 5 Oktober 2010, sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi NY. SRI WINARTI tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi NY. SRI WINARTI.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.