Hutang dapat Terjadi karena Perjanjian juga Karena Undang-Undang

LEGAL OPINION
Question: Yang dimaksud dengan adanya hutang dalam konteks kepailitan, untuk bisa mempailitkan seseorang yang tidak bayar kewajibannya, itu hanya hutang-piutang yang terbit dari suatu perjanjian atau kontrak, ataukah bisa juga dikarenakan hutang yang timbul dari luar adanya hubungan kontrak, semisal nominal sebesar kerugian perusahaan akibat karyawan yang telah menggelapkan keuangan perusahaan? Kebetulan karyawan ini juga punya hutang kartu kredit ke bank, jadi rencananya hendak kami pailitkan mantan karyawan kami satu ini.
Brief Answer: Perbuatan Melawan hukum, dapat terjadi karena dilanggarnya sebuah perikatan kontraktual maupun karena dilanggarnya kaedah hukum normatif yang berlaku—semisal atlet suatu organisasi yang cedera tidak diberi penanganan medis oleh organisasi tempatnya bernaung, sehingga sang atlet menderita kerugian berupa lumpuh / cacat permanen.
Begitupula, wanprestasi (ingkar janji) dapat terjadi karena pelanggaran terhadap perikatan kontraktual maupun karena telah dilanggarnya peraturan perundang-undangan yang membawa kerugian bagi suatu pihak. Dengan demikian, baik Perbuatan Melawan Hukum maupun Wanprestasi, syarat utamanya ialah adanya kerugian yang ditimbulkan baik karena sengaja maupun kelalaian sang pelaku.
Perihal hubungan hutang-piutang, kerugian itu sendiri dapat dinilai dalam sebentuk nominal yang ketika kerugian tersebut tidak diberi kompensasi sejumlah nominal tersebut, itulah yang kemudian disebut sebagai adanya hubungan hutang-piutang—meski terkadang butuh perantaraan hakim pengadilan untuk menentukan besaran nominal ganti-rugi akibat Perbuatan Melawan Hukum.
Pajak terhutang juga merupakan salah satu wujud konkret perikatan hutang-piutang yang timbul bukan dari hubungan kontraktual, namun berdasarkan kaedah hukum positif yang berlaku. Sebagai contoh, Kantor Pajak dapat mendaftarkan piutang pajak pada pihak Kurator, dan dikategorikan sebagai Kreditor Preferen saat rapat pencocokan piutang terhadap debitor pailit.
Lebih spesifik, Mahkamah Agung RI dalam pertimbangan hukumnya terkait konsepsi syarat adanya hutang dalam kepailitan, mempertegasnya dengan kutipan sebagai berikut:
“Menimbang, ... Pajak Pertambahan Nilai juga merupakan utang dalam kepailitan yang dapat dijadikan dasar bagi Bank Niaga untuk menentukan syarat kepailitan, dan hutang dapat terjadi karena perjanjian juga karena undang-undang.”
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut menjadi rujukan SHIETRA & PARTNRS, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa kepailitan register Nomor 107 PK/Pdt.Sus-Pailit/2015 tanggal 27 Januari 2016, perkara antara:
- PT. BINA ENERGI SELARAS, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon Pailit; melawan
- PT. ABB SAKTI INDUSTRI, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Pailit.
Pemohon Pailit adalah suatu perusahaan yang bergerak dibidang usaha teknologi kelistrikan. Sementara Termohon Pailit merupakan salah satu konsumen Pemohon Pailit yang telah melakukan pemesanan dan pembelian produk/material dari Pemohon Pailit.
Pemohon Pailit telah menawarkan produknya dengan harga penjualan sebesar USD 682,000.00 dengan tahap pembayaran, sebagai berikut:
- 10% harga pembelian wajib dibayarkan Termohon Pailit dalam jangka waktu 10 hari setelah Purchase Order;
- 90% harga pembelian wajib dibayarkan Termohon Pailit dengan menggunakan Bilyet Giro dalam waktu 60 hari sejak pengiriman produk.
Termohon Pailit kemudian mengirimkan Purchase Order tertanggal 27 Februari 2012, berupa pemesanan produk/material yang ditawarkan oleh Pemohon Pailit senilai USD 682,000.00. Sesuai dengan Purchase Order tersebut, Pemohon Pailit telah melaksanakan kewajibannya untuk menjual dan menyerahkan produk material yang dipesan dan dibeli oleh Termohon Pailit dalam keadaan baik dan tepat waktu. Adapun pengiriman produk/material Pemohon Pailit tersebut dilakukan dalam 3 (tiga) tahap masing-masing sesuai dengan Delivery Note.
Selanjutnya Pemohon Pailit mengirimkan kepada Termohon Pailit Invoice pada tanggal 22 November 2012 sejumlah USD 522,625.00 belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai. Adapun invoice/tagihan tersebut wajib untuk dibayarkan oleh Termohon Pailit selambat-lambatnya 60 hari sejak tanggal pengiriman tagihan.
Walaupun Pemohon Pailit telah melaksanakan seluruh kewajibannya, termasuk mengirimkan produk/material yang dipesan dan dibeli oleh Termohon Pailit, namun Termohon Pailit tidak juga melakukan pembayaran sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang telah disepakati.
Adapun norma ketentuan Pasal 1 Butir (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, menyebutkan:
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk dapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.”
Pemohon Pailit telah berulang-kali mengingatkan dan meminta Termohon Pailit untuk membayarkan kewajibannya. Namun Termohon Pailit tetap tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya tersebut. Utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit juga terbukti berdasarkan Minutes of Meeting tertanggal 28 November 2014 yang ditandatangani oleh Pemohon Pailit, menyatakan bahwa: “Para Pihak sepakat bahwa total kewajiban bes kepada ABB adalah sebesar USD 172,542.00.”
Termohon Pailit juga memiliki utang atau kewajiban yang telah jatuh tempo dan belum dilunasi kepada kreditur lainnya, yaitu hutang Pajak kepada Kantor Pajak. Utang Termohon Pailit kepada Direktorat Jenderal Pajak, berasal dari tidak dibayarkannya kewajiban Pajak Pertambahan Nilai atas produk/material yang dibeli oleh Termohon Pailit, sesuai dengan Faktur Pajak tertanggal 22 November 2012 yang diterbitkan oleh Pemohon Pailit.
Penjelasan ketentuan pasal 9 Ayat (2) dan Pasal 16F Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, memiliki pengaturan:
- Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU PPN: “Pembeli barang kena pajak, penerima jasa kena pajak, pengimpor barang kena pajak, pihak yang memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, atau pihak yang memanfaatkan jasa kena pajak dari luar daerah pabean wajib membayar pajak pertambahan nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak ...
- Pasal 16F UU PPN: “Pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.”
- Penjelasan Pasal 16F UU PPN: “Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa ...
Maka Termohon Pailit sebagai pembeli produk/material dari Pemohon Pailit, wajib untuk membayarkan Pajak Pertambahan Nilai, yang dipungut oleh Pemohon Pailit sebagai pengusaha kena pajak. Adapun Pajak Pertambahan Nilai yang belum dibayarkan oleh Termohon Pailit sesuai dengan Faktur Pajak tertanggal 22 November 2012, adalah sebesar Rp503.392.400,00.
Terpenuhilah norma Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yang mengatur secara tegas:
Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Krediturnya.”
Sementara pihak Termohon Pailit dalam sanggahannya mendalilkan, Pajak terutang berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang belum dibayar oleh wajib pajak, maka kedudukan wajib pajak tersebut bukanlah Debitur, melainkan wajib pajak. Pemerintah selaku yang berwenang memungut pajak bukanlah Kreditur dalam konteks hubungan hukum keperdataan seperti yang dimaksud oleh Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan.
Termohon Pailit pada tanggal 28 Februari 2014 telah melakukan pembayaran kewajiban PPN atas nama Termohon Pailit, dengan cara mentransfer melalui Bank sebesar Rp503.392.400,00 ke rekening Pemohon Pailit dalam kedudukan Pemohon Pailit sebagai Pengusaha Wajib Pungut PPN, sesuai faktur pajak yang diserahkan oleh Pemohon Pailit pada Termohon Pailit. Justru PPN sebesar Rp503.392.400,00 sebagaimana dalil permohon Pailit belum terbayar, membuktikan bahwa Pemohon Pailit telah menggelapkan pembayaran PPN yang telah dibayar oleh Termohon Pailit.
Menerangkan pula, bahwa fakta demikian menunjukkan bahwa Pemohon Pailit telah melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karenanya Termohon Pailit segera melaporkan perbuatan Pemohon Pailit pada Direktur Jenderal Pajak—suatu klaim yang menjadi bumerang bagi pihak Pemohon Pailit itu sendiri.
Terhadap permohonan sang Pemohon Pailit, Pengadilan Niaga Makassar kemudian menjatuhkan putusan Nomor 02/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Mks., tanggal 3 Agustus 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
I. Dalam Eksepsi:
- Menyatakan menolak eksepsi Termohon Pailit;
II. Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan menolak permohonan Pailit dari Pemohon tersebut.”
Meski permohonan pailit telah “ditolak” oleh Pengadilan Niaga, Termohon Pailit tetap mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Niaga telah melakukan kekeliruan yang nyata dengan menganggap bahwa Utang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai salah satu dasar bagi Pemohon Pailit untuk mempailitkan Termohon Pailit.
Termohon Peninjauan Kembali selaku Pengusaha Kena Pajak (PKP) menurut ketentuan dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai, wajib melakukan hal-hal berikut:
a. Wajib membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan barang atau jasa kena pajak, yang harus dibuat pada saat penyerahan barang atau jasa keja pajak.
b. Penyetoran PPN oleh PKP dilakukan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
Maka secara yuridis Termohon Pailit tidak mempunyai utang pajak pada Negara karena Pemohon Pailit justru memiliki kewajiban secara hukum untuk menyetorkan PPN atas barang atau jasa kena pajak yang telah dibayarkan konsumen, dalam waktu yang ditentukan dalam Pasal 15A Undang-Undang PPN.
Pengadilan Niaga semestinya mempertimbangkan mengenai PPN yang dijadikan alasan adanya dua kreditor yang piutangnya telah jatuh tempo, sebagai alasan yang tidak dapat dibenarkan karena Pemohon Pailit selaku PKP seharusnya menyetorkan PPN atas barang atau jasa kena pajak setelah Pemohon Pailit menerbitkan faktur pajak atas barang atau jasa kena pajak, sehingga bukti pembayaran PPN yang dilakukan oleh Termohon Pailit sebesar Rp503,392.400,00 bukan hanya sekadar bukti pendukung, tapi merupakan bukti yang menentukan.
Dengan demikian, secara hukum, Pemohon Pailit-lah, yang berutang PPN pada Negara atas barang atau jasa kena pajak yang telah diserahkan. Dengan demikian, bukan Termohon Pailit yang berutang pada negara, namun sebaliknya adalah Pemohon Pailit yang berhutang kepada Kantor Pajak.
Pemohon Pailit dengan iktikad buruk dan dengan tujuan untuk menyesatkan peradilan, menjadikan utang PPN yang tidak pernah ada sebagai salah satu utang yang jatuh tempo untuk mempailitkan Termohon Pailit. Padahal Pemohon Pailit mengetahui dengan pasti bahwa Termohon Pailit tidak mempunyai utang PPN dalam hubungan dengan pembelian barang elektrik oleh Termohon Pailit pada Pemohon Pailit. Fakta hukum demikian, justru tidak dipertimbangkan secara saksama oleh Pengadilan Negara sehingga putusannya mengandung kekeliruan yang nyata—meski pada akhirnya permohonan pailit tetap ditolak oleh Pengadilan Niaga.
Dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
- Bahwa ternyata tidak ada kekhilafan Hakim ataupun kekeliruan nyata dan telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar oleh Judex Facti karena Pajak Pertambahan Nilai juga merupakan utang dalam kepailitan yang dapat dijadikan dasar bagi Bank Niaga untuk menentukan syarat kepailitan, dan hutang dapat terjadi karena perjanjian juga karena undang-undang;
 “Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjuan Kembali PT. BINA ENERGI SELARAS, tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. BINA ENERGI SELARAS, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.