LEGAL OPINION
Question: Apakah tanah yang sudah bersertifikat hak milik (SHM), bisa hapus haknya dengan alasan telah ditelantarkan pemiliknya, sehingga kemudian dimiliki orang lain? Bagaimana juga jika tanahnya masih berbentuk girik?
Brief Answer: Berdasarkan hukum pertanahan nasional yang masih berpedoman pada ketentuan umum hukum perdata (KUHPerdata), bisa dinyatakan hapus suatu hak atas tanah, bila: objek tanah tersebut musnah, dicabutnya surat keputusan pemberian hak atas tanahnya oleh Kementerian Agraria (BPN) meski lebih jamak terjadi pada Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), atau bisa juga terjadi karena kadaluarsa.
Secara umum, yang dimaksud dengan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan, ialah bisa terjadi karena terbitnya surat keputusan pencabutan hak atas tanah, dan bisa juga terjadi karena kadaluarsa yang disebabkan karena ditelantarkan secara de facto oleh pihak pemegang hak.
Sementara bila konteksnya ialah hak atas tanah berupa SHM, maka yang paling mungkin terjadi ialah hapusnya hak karena kadaluarsa. Jangankan tanah girik, SHM sekalipun dapat gugur secara “demi hukum” (otomatis sifatnya, tanpa perlu adanya amar putusan hakim sekalipun) bila ditelantarkan selama 30 tahun atau lebih.
Namun fakta hukum yang dapat dijadikan sebagai pedoman, ialah bahwa: jangan pernah membeli tanah dari seorang tuan tanah partikelir “guntai” (menjadi pemilik namun tidak menempati, atau bahkan menelantarkan tanahnya).
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah contoh kasus konkret yang sangat menarik untuk menjadi rujukan utama SHIETRA & PARTNERS, sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Sekayu sengketa tanah register Nomor 26/Pdt.G/2013/PN.SKY tanggal 11 Juni 2014, perkara antara:
- SAILAN bin MUHAMMAD YAMAN, sebagai Penggugat; melawan
1. KUD Sumber Makmur, sebagai Tergugat I; dan
2. Kepala Desa Telang Makmur, sebagai Tergugat II.
Penggugat mengklaim sebagai pemilik tiga bidang tanah dengan luas 22.500 m2, berupa SHM No. 0912 dengan luas 2.500 m2 tertanggal 22 Juli 2011, bidang kedua bernomor 0913 dengan luas 10.000 m2, dan bidang ketiga bernomor 0914 dengan luas 10.000 m2 tanggal 22 Juli 2011. Jadi
Penggugat mendapat tanah Penggugat tersebut dari sdr. ALWI berdasarkan akte jual-beli tertanggal 20 Nopember 2007 dengan nomor 1269/2007 dan akte nomor 1271/2007, dimana ALWI berkedudukan sebagai penjual dan Penggugat sebagai pembeli.
Sekitar tahun 2010, diatas tanah tersebut, tanpa sepengetahuan Penggugat kemudian dikuasai oleh Tergugat I secara tanpa hak. Tergugat I mengatakan bahwa Tergugat I mendapatkan tanah tersebut dari Tergugat II. Tergugat I hingga saat kini bersikukuh tidak mau menyerahkan tanah kepada Penggugat.
Sementara terhadap dalil-dalil klaim pihak Penggugat, pihak Tergugat dalam sanggahannya menerangkan, sdr. SAILAN merasa bahwa yang dibeli dari sdr. ALWI bermasalah, semestinya sdr. SAILAN menanyakan atau menuntut permasalahan ini kepada sdr. ALWI atau siapapun yang telah menjual tanah tersebut kepadanya. Menurut pendapat Tergugat, terdapat kesan mengada-ada perihal klaim sepihak dalam gugatan ini.
Sepanjang yang Tergugat ketahui selaku kepala desa, tanah yang dipertanyakan sdr. SAILAN adalah tanah Kas Desa (KUD Sumber Makmur) Desa Telang Makmur yang pemanfaatanya untuk pembangunan oleh masyarakat.
Dimana terhadap gugatan Penggugat maupun bantahan pihak Tergugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan yang menarik untuk disimak, sebagaimana kutipan berikut:
“Menimbang, bahwa Pasal 1888 KUH Perdata menyatakan bahwa: ‘Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.’;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 tersebut, maka fotocopy dari sebuah surat / dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan aslinya, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata);
“Menimbang, bahwa dari alat-alat bukti yang diajukan oleh Penggugat yaitu alat bukti surat P-9, P-10, dan P-11 tentang Sertipikat Hak Milik atas tanah sengketa dan Saksi ARIP RAHMAT HIDAYAT yang pada pokoknya menerangkan bahwa Penggugat mendapat hak atas tanah dari sdr. ALWI, dimana sdr. ALWI telah pindah dari tanah sengketa sejak tahun 1981 sehingga meninggalkan tanah sengketa dan tidak menggelola tanah tersebut sejak tahun 1981, serta tanah saat ini digarap oleh warga RT.15 dan RT.16 dari tahun 2000 hingga sekarang serta selanjutnya Saksi SUPRIHADI bin SASTRO PAWIRO menerangkan yang pada pokoknya bahwa luas tanah adalah 22.500 m2 terdiri dari 3 hamparan, Penggugat membeli tanah dari ALWI pada tahun 2007 dan pernah datang ke lokasi pada tahun 2007;
“Menimbang, bahwa ada persesuaian antara keterangan Saksi Penggugat, Saksi ARIP RAHMAT HIDAYAT dan Saksi Para Tergugat, Saksi AHMAD SYAFII MZ, yaitu sdr. ALWI telah pindah dan meninggalkan tanah sengketa sejak tahun 1981, selain itu berdasarkan keterangan para Saksi tersebut sdr. ALWI tidak pernah menggelola tanah tersebut sejak tahun 1981 hingga sekarang, kemudian tanah sengketa saat ini digarap oleh warga Desa Telang Makmur dari tahun 2000 hingga sekarang;
“Menimbang, bahwa Majelis menilai selain bukti otentik tentang kepemilikan atas tanah, juga diperlukan adanya penguasaan atas tanah atau paling tidak adanya pengelolaan atas tanah sejak dimiliki oleh seseorang;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 1967 KUH Perdata menyatakan bahwa: ‘Semua tuntutan hukum, baik bersifat perorangan, hapus karena kedaluarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjukkan adanya kedaluarsa itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasari itikad buruk.’;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim menilai bahwa sejak tahun 1981 hingga tahun 2013 sejak didaftarkannya gugatan aquo, Penggugat tidak dapat membuktikan adanya penguasaan terus-menerus dari sdr. ALWI ataupun Penggugat, sehingga dari tahun 1981 hingga 2013 yang adalah 32 tahun lamanya, hak atas tanah sengketa hapus karena kedaluarsa yaitu melebih 30 tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 1967 KUH Perdata;
“Menimbang, terhadap bukti surat P-9, P-10, dan P-11 tentang Sertipikat Hak Milik atas tanah sengketa, Majelis Hakim menilai bahwa bukti-bukti tersebut adalah yang kuat, tapi bukan bukti yang mutlak, hal ini berkaitan dengan sistem publikasi yang dianut oleh sistem publikasi yang dianut oleh hukum Pertanahan Indonesia, baik PP Nomor 10 Tahun 1961, maupun PP Nomor 24 Tahun 1997 yakni sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif karena untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik. Jadi sertipikat adalah akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna, kecuali dibuktikan sebaliknya;
“Menimbang, bahwa oleh karena itu bukti surat sertipikat P-9, P-10 dan P-11 tidak mempunyai kekuatan hukum berkaitan dengan penguasaan tanah sengketa perkara aquo seperti telah diuraikan sebelumnya diatas sesuai dengan ketentuan Pasal 1967 KUH Perdata;
“Menimbang, bahwa dari alat-alat bukti yang diajukan Penggugat sebagaimana diuraikan diatas dalam hubungannya satu sama lain, Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya;
“Menimbang, bahwa karena itu gugatan Penggugat harus ditolak dan Majelis Hakim tidak perlu lagi mempertimbangkan alat-alat bukti yang diajukan Tergugat;
“Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat ditolak, maka Penggugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara;
“M E N G A D I L I :
“Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.