Hak Tagih Personal Guarantee Menjadi Hak Pembeli Cessie

LEGAL OPINION
Question: Kalau ada akta pemberian jaminan personal, terpisah dengan akta kredit (sehingga terdapat dua buah akta), lalu piutang berdasarkan akta kredit itu dijual kepada kreditor baru, apa akta jaminan personal juga turut beralih menjadi hak tagih kreditor baru pembeli piutang?
Brief Answer: Akta Personal Guarantee tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian hutang-piutang yang menjadi dasar terbitnya akta Personal Guarantee. Dalam konsep hukum perdata kontraktual perihal cessie / subrogasi, konstruksi akta Personal Guarantee disebut sebagai accesoir (turunan) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian hutang-piutang.
Konsekuensi yuridisnya, bila hak tagih atas piutang dialihkan kepada pihak ketiga, maka hak tagih atas Personal Guarantee juga turut beralih sebagai hak prerogatif dari pihak ketiga pembeli piutang tersebut untuk menagih pelunasan piutang dari pemberi Personal Guarantee.
PEMBAHASAN:
Untuk membuktikan keberlakuan konsep hukum cessie / subrogasi demikian, SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa Personal Guarantee terkait cessie register Nomor 64 PK/Pdt/2015 tanggal 25 Juni 2015, perkara antara:
- KAIRUDIN NUR, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu selaku Tergugat; melawan
- PT. PERTAMINA DANA VENTURA (d/h. bernama PT. PERTAMINA SAVING & INVESTMENT), selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat; dan
1. PT. GORO BATARA SAKTI (debitor dalam pailit); 2. DEVELOPMENT CAPITAL INVESTMENT LIMITED; 3. PT. BANK IFI (kreditor semula), sebagai Para Turut Termohon Peninjauan Kembali dahulu Para Turut Tergugat.
Semula, Turut Tergugat III yang merupakan bank swasta nasional telah menyalurkan fasilitas kredit senilai Rp15.000.000.000,00 kepada Turut Tergugat I, sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian Kredit Nomor 11 tanggal 30 Januari 2003 juncto Akta Pengakuan Hutang Nomor 12 tanggal 30 Januari 2003.
Guna menjamin pembayaran kembali fasilitas kredit yang telah dikucurkan, Turut Tergugat III kemudian menerima jaminan pelunasan piutang, salah satunya berupa jaminan pribadi (personal guarantee) dari Tergugat. Dengan demikian Tergugat telah menyatakan mengikatkan diri sebagai penanggung hutang (personal guarantor / borgtocht) yang akan membayar hingga lunas semua jumlah hutang kredit Turut Tergugat I kepada Turut Tergugat III menurut Perjanjian Kredit, yang terdiri dari hutang pokok, bunga, denda, komisi, biaya administrasi dan biaya-biaya lain.
Jaminan pribadi dinyatakan oleh Tergugat dalam Akta Jaminan Pribadi (Personal Guarantee) Nomor 13 tanggal 30 Januari 2003 yang dibuat di hadapan Notaris, dimana untuk perbuatan menjamin atau menanggung pembayaran hutang sang debitor, Tergugat telah mendapat persetujuan dari isteri Tergugat. Dalam Perjanjian Jaminan Pribadi tersebut, diatur antara lain:
- Penanggungan yang diberikan Penanggung (Tergugat), berlaku secara terus menerus yang akan tetap mengikat dan mempunyai kekuatan hukum selama debitur masih mempunyai hutang kepada kreditor; dan
- Penanggungan ini dengan cara bagaimanapun juga tidak dapat ditarik atau dicabut kembali selama debitur masih mempunyai hutang kepada kreditor, kecuali Penanggung dibebaskan bank sebagai penanggung hutang.
Namun kemudian Turut Tergugat III selaku kreditur yang berhak atas penagihan hutang kredit Turut Tergugat I, mengalihkan (cessie) tagihan hutang kredit berikut semua jaminan, termasuk personal guarantee yang dibuat Tergugat, kepada Turut Tergugat II.
Adapun jumlah total hutang Turut Tergugat I sampai dengan saat hak tagih atas hutang kredit dialihkan Turut Tergugat III kepada Turut Tergugat II, adalah sebesar Rp19.898.533.397,00. Pengalihan hak atas hutang Turut Tergugat I, didasarkan pada Perjanjian tanggal 7 Mei 2004 yang kemudian diatur kembali secara notariil dengan akta yang dibuat dan ditanda-tangani pada tanggal 30 Juni 2004.
Selanjutnya, cessie / peralihan hak tagih atas hutang kredit kepada Turut Tergugat II telah diberitahu kepada debitur (Turut Tergugat I), sehingga karenanya pengalihan hak tagih menjadi sah mengikat para pihak. Sekitar empat bulan berikutnya, pada tanggal 5 Agustus 2004, hak tagih Turut Tergugat II atas hutang kredit PT. Goro Batara Sakti, dialihkan Turut Tergugat II kepada Penggugat, dengan jumlah hutang yang saat itu sudah sebesar Rp20.000.000.000,00.
Cessie kedua tersebut dituangkan dalam Akta Perjanjian Pengalihan Piutang tanggal 5 Agustus 2004 yang dibuat di hadapan Notaris. Pengalihan hak tagih tersebut kemudian diberitahukan kepada Turut Tergugat I, oleh karenanya cessie secara hukum mengikat PT. Goro Batara Sakti.
Dalam perjalanannya, PT. Goro Batara Sakti (Turut Tergugat I), tidak dapat membayar (wanprestasi) hutang pokok maupun bunga dan denda hutang kredit kepada Penggugat. Bahkan lebih jauh lagi, PT. Goro Batara Sakti kemudian jatuh pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 26 Juli 2006.
Fakta yuridis adanya putusan “pailit” terhadap sang debitor yang telah berkekuatan hukum tetap, secara yuridis, telah (dapat) menjadi bukti yang sah dan mengikat tentang ketidakmampuan debitur untuk membayar hutang kreditnya kepada Penggugat sebagai pemegang hak tagih atas hutang kredit yang diperoleh dengan cara cessie dari Turut Tergugat II.
Sebagai konsekwensi yuridis dari ketidakmampuan PT. Goro Batara Sakti (dalam pailit) melunasi hutangnya kepada Penggugat, maka Tergugat yang telah terikat dalam perjanjian penanggungan terhadap hubungan hukum hutang-piutang antara Penggugat selaku pembeli cessie dengan Turut Tergugat I selaku debitur, menjadi berkewajiban untuk membayar lunas semua hutang PT. Goro Batara Sakti (dalam pailit) kepada Penggugat senilai Rp20.000.000.000,00.
Penggugat telah menegur Tergugat lewat somasi, agar melunasi hutang Turut Tergugat I yang dijaminnya, kepada Penggugat, karena Turut Tergugat I tidak mampu lagi membayar hutangnya. Namun Tergugat menolak untuk merealisasi kewajiban melunasi kredit yang menjadi hak Penggugat.
Penolakan Tergugat untuk melunasi hutang PT. Goro Batara Sakti (dalam pailit), dengan demikian dapat dikualifikasi sebagai wanprestasi yang telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat sebesar nilai piutang yang telah dibeli oleh Penggugat.
Sementara dalam bantahannya, pihak Tergugat mendalilkan, gugatan Penggugat adalah premature, oleh karena setelah seluruh harta Turut Tergugat I selaku Debitur berada dalam Pengawasan Kurator, maka berlaku mekanisme ketentuan hukum Kepailitan dimana menurut ketentuan Pasal 16 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, terdapat pengaturan:
“Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjuan kembali.”
Selanjutnya dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, mengatur pula:
“Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kapailitan.”
Dengan demikian segala pemenuhan kewajiban Turut Tergugat I (Debitur) termasuk kepada Penggugat, diselesaikan oleh Kurator melalui hasil penjualan seluruh harta Turut Tergugat I. Jadi seharusnya Penggugat terlebih dahulu meminta pemenuhan piutangnya kepada Turut Tergugat I selaku Debitur melalui Kurator.
Tergugat juga mendalilkan bahwa pemberi Personal Guarantee terhadap sang debitor, bukan hanya pihak Tergugat, namun ada dua pihak pemberi Personal Guarantee lainnya disamping Tergugat. Merujuk ketentuan Pasal 1836 KUHPerdata, yang mengatur:
“Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang berutang yang sama, lagi pula untuk utang yang sama, maka masing-masing adalah terikat untuk seluruh utang itu.”
Sehingga seharusnya seluruh pemberi Personal Guarantee bertanggung jawab dan ditarik sebagai pihak dalam perkara ini, namun dengan tidak ikut digugatnya seluruh pemberi Personal Guarantee, mengakibatkan gugatan
“kurang pihak”.
Terhadap gugatan sang kreditor pembeli piutang, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 629/Pdt.G/2008/PN Jkt.Sel., tanggal 11 Desember 2008, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan pihak Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan Wanprestasi;
3. Menyatakan perjanjian jaminan pribadi (Personal Guarantee) Nomor 13 tanggal 30 Januari 2003 sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
4. Menyatakan perjanjian pengalihan piutang (Cessie) Nomor 5 tanggal 5 Agustus 2004 sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar sebagian jumlah hutang (pokok, bunga dan denda) kredit sebesar 1/3 dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) = Rp6.666.666.666,00 (enam miliar enam ratus enam puluh enam juta enam ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh enam rupiah);
6. Menyatakan menolak gugatan selebihnya.”
Dalam tingkat banding, yang kemudian emnjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 533/PDT/2009/PT.DKI., tanggal 8 Februari 2010, adalah sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding / Tergugat;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 629/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel., tanggal 11 Desember 2008 yang dimohonkan banding tersebut;
Mengadili Sendiri:
Dalam Konvensi:
Dalam Eksepsi:
- Mengabulkan eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2860 K/Pdt/2010 tanggal 10 Mei 2012, adalah sebagai berikut:
MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi PT Pertamina Dana Ventura (dahulu bernama PT Pertamina Saving & Investment) tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 533/PDT/2009/PT.DKI., tanggal 8 Februari 2010 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 629/Pdt.G/2008/PN Jkt.Sel., tanggal 11 Desember 2008;
Mengadili Sendiri:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan pihak Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan Wanprestasi;
3. Menyatakan perjanjian jaminan pribadi (Personal Guarantee) Nomor 13 tanggal 30 Januari 2003 sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
4. Menyatakan perjanjian pengalihan piutang (Cessie) Nomor 5 tanggal 5 Agustus 2004 sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar sebagian jumlah hutang (pokok, bunga dan denda) kredit sebesar 1/3 dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) = Rp6.666.666.666,00 (enam miliar enam ratus enam puluh enam juta enam ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh enam rupiah);
6. Menyatakan menolak gugatan selebihnya.”
Sang pemberi Personal Guarantee mengajukan upaya hukum Peninjauan kembali, dengan pokok keberatan bahwa Akta Personal Guarantee tidak turut beralih ketika terjadi cessie serta terjadinya cessie harus diberikan oleh juru sita pengadilan kepada debitor. Dimana terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali/Tergugat tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Juris sudah tepat dan benar dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Novum P-PK.1 dan P-PK.2 bukan bukti baru, karena baru ada setelah putusan perkara in casu sudah putus;
Novum P-PK.3 pihaknya berbeda dengan perkara in casu sehingga tidak ada putusan yang pihaknya sama namun bertentangan satu dengan lainnya, untuk itu ketiga bukti baru tersebut bukan merupakan bukti yang menentukan dalam perkara a quo;
2. Kekeliruan yang nyata: Pemohon menilai putusan Judex Facti dan Judex Juris keliru karena salah dalam menyimpulkan pokok sengketa antara Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali;
- Bahwa pokok sengketa adalah perjanjian jaminan pribadi (personal guarantee) Nomor 13 tanggal 30 Januari 2003 (PKD – TDR) yang sah mengikat, dan Pemohon Peninjauan Kembali telah wanprestasi;
- Bahwa didalam perjanjian Nomor 13 tanggal 30 Januari 2003 tersebut tidak ada klausul arbitrase antara Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali;
3. Kekeliruan yang nyata. Pemohon menilai dalil gugatan yang menyatakan dibuat dihadapan ... , S.H., Notaris di Jakarta adalah kekeliruan yang nyata karena faktanya adalah di Tangerang;
- Bahwa kekeliruan penyebutan tersebut bukan kekeliruan yang substansial yang menyangkut isi dan petitum gugatan;
- Hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai kekeliruan nyata;
4. Tentang tidak adanya pemberitahuan cessie kepada cessus:
- Bahwa Judex Facti / Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar mempertimbangkan cessie Akta Nomor 5 tanggal 5 Agustus 2004 tidak bisa dipisahkan dengan Akta Perjanjian Piutang Nomor 13 tanggal 30 Januari 2005;
5. Tentang Legal Standing Termohon Peninjauan Kembali.
Judex Facti dan Judex Juris sudah tepat dan benar, bahwa hubungan hukum Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali adalah didasarkan perjanjian jaminan pribadi (personal guarantee) Nomor 13 tanggal 30 Januari 2003 yang sah mengikat kedua belah pihak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali KAIRUDIN NUR tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali KAIRUDIN NUR tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.