Meminta PHK Batal Namun Menuntut Pesangon

LEGAL OPINION
Question: Sampai sejauh apa resikonya, tuntutan dalam surat gugatan ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) bila meminta agar PHK (pemutusan hubungan kerja) dinyatakan batal sehingga dapat dipekerjakan kembali, tapi dalam butir tuntutan lainnya meminta agar diberikan pesangon? Kan, ada tuntutan subsidair, artinya itu dimaknai bila hakim menilai tidak mungkin rukun lagi atau dinilai tiada hubungan yang harmonis sehingga PHK harus tetap terjadi, maka mau tidak mau pesangon yang jadi konsekuensinya. Kan, hakim bisa putuskan “mengabulkan sebagian”.
Brief Answer: Tidak perlu mengambil resiko yang tidak perlu dipertaruhkan, membuka peluang gugatan untuk dinilai sebagai “kabur / tidak jelas” (obscuure libel) oleh hakim dan pastinya pula akan dibantah demikian oleh pihak lawan. Lebih baik menghindari resiko, dengan cara menyusun petitum gugatan dalam bentuk opsional / alternatif / fakultatif agar putusan apat diimplementasi atau dieksekusi sekalipun pihak Tergugat tidak kooperatif terhadap isi amar putusan.
PEMBAHASAN:
Untuk membuktikan perihal resiko dibalik rumusan pokok permintaan dalam gugatan (petitum) yang terkesan inkonsisten, untuk itu SHIETRA & PARTNERS menjadikan cerminan putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 571 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 28 September 2016, perkara antara:
- TAJOEH POERNOSAROSO, sebagai Pemohon Kasasi I, dahulu selaku Penggugat; melawan
- PT. BORWITA CITRA PRIMA, selaku Termohon Kasasi I, dahulu Tergugat.
Penggugat selaku pihak Pekerja, menyusun pokok permohonan dalam surat gugatannya, dengan rumusan sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan perbuatan Tergugat adalah perbuatan melawan hukum;
3. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum;
4. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus dan berakhir sejak diputuskan oleh pengadilan hubungan industrial;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil dengan membayarkan hak-hak Penggugat berupa kompensasi pemutusan hubungan kerja sebesar Rp141.056.000,00 dengan perincian, yaitu: Uang pesangon ...;  Uang penghargaan; Uang penggantian hak; Cuti yang belum diambil;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian immateriil yang diderita Penggugat dengan membayarkan sebanyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).”
Sementara pihak Tergugat dalam sanggahannya menyebutkan, Penggugat meminta agar “Pemutusan hubungan kerja batal demi hukum” dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 155 ayat (1) dan 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang konsekuensi hukumnya adalah kerja kembali.
Akan tetapi disaat bersamaan Penggugat meminta agar Penggugat diberikan uang pesangon, uang penghargaan, serta uang penggantian hak sebagaimana Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Sehingga dalil-dalil Penggugat dengan demikian saling bertentangan satu dengan yang lain dan mengakibatkan kaburnya fokus gugatan Penggugat.
Penggugat meminta agar “Pemutusan hubungan kerja batal demi hukum” dengan konsekuensi hukumnya adalah kerja kembali, namun disaat bersamaan Penggugat meminta agar dinyatakan: “Hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus dan berakhir sejak diputuskan oleh pengadilan hubungan industrial”—mengakibatkan gugatan menjadi tidak jelas dan kabur (obscuur libel).
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 155/G/2015/PHI.Sby., tanggal 21 Maret 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim terhadap gugatan yang demikian adalah bentuk gugatan yang saling bertentangan atau kontradiksi antara posita (fundamentum petendi) dan petitumnya yang mengandung cacat formil, sehingga mengakibatkan gugatan a quo menjadi tidak jelas dan kabur (obscuur libel) dan menghadapi gugatan yang kabur (obscuur libel) maka Hakim menurut hukum acara haruslah menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) sesuai Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 720 K/Pdt/1997, tanggal 7 Maret 1999 (vide Buku Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad, oleh M. Ali Boediarto, S.H., halaman 62, Penerbit Swara Justicia);
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan dan mencermati bagian posita (fundamentum petendi) dan petitum gugatan a quo maka telah terjadi dalil gugatan dan pokok tuntutan yang saling bertentangan satu dengan lainnya, yaitu:
- Di satu sisi pada dalil gugatan dan pokok tuntutan Penggugat yang memohon agar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dinyatakan batal demi hukum yang konsekuensi hukumnya adalah kerja kembali;
- Namun, disisi lainnya pada dalil gugatan dan pokok tuntutan Penggugat yang memohon agar menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus serta menghukum Tergugat untuk membayarkan hak-hak Penggugat sebagai kompensasi pemutusan hubungan kerja;
“Menimbang, bahwa terhadap eksepsi Tergugat yang menyatakan gugatan Penggugat tidak jelas/kabur (obscuur libel), menurut pendapat Majelis Hakim adalah cukup beralasan dan karenanya patut untuk dikabulkan;
“Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi Tergugat dikabulkan, maka menurut Majelis Hakim gugatan dalam pokok perkara ini tidak perlu dipertimbangkan lagi;
MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
- Mengabulkan eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan Pemohon Kasasi I dan II tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi dari Pemohon Kasasi I dan II serta kontra memori kasasi dari Termohon Kasasi I dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa antara posita dengan petitum gugatan Penggugat saling bertentangan sehingga amar putusan yang menyatakan gugatan NO (niet ontvankelijk verklaard) sudah tepat dan benar;
2. Bahwa posita mendalilkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) batal demi hukum, sedangkan petitum menuntut pembayaran uang kompensasi yang merupakan akibat hukum dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I TAJOEH POERNOSAROSO dan Pemohon Kasasi II PT. BORWITA CITRA PRIMA, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I TAJOEH POERNOSAROSO dan Pemohon Kasasi II PT. BORWITA CITRA PRIMA, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.