Falsafah Rezim Hukum Perizinan

LEGAL OPINION
Question: Dalam hukum, yang namanya perizinan itu wajib didapat sebelum usaha, saat kegiatan sedang dilakukan, atau bisa juga setelah kegiatan usaha dilakukan?
Brief Answer: Bila izin diberikan pasca dimulainya kegiatan atau pembangunan, dalam terminologi hukum disebut sebagai “pemutihan”. “Pemutihan” dalam konteks perizinan, semata dilandasi asas pragmatisme, dimana asas pragmatisme itu sendiri sejatinya bersifat “tidak taat asas”—dalam artian menabrak kaedah hukum prosedural yang semestinya, sehingga akan menimbulkan moral hazard bila pemerintah terkesan mengobral praktik “pemutihan” (tidak mendidik dan tidak memberi efek jera).
Yang menjadi taat asas dalam rezim hukum perizinan, ialah dimohonkan dan diperoleh sebelum dimulainya kegiatan ataupun pembangunan—sebagai bentuk penghormatan terhadap otoritas negara yang mewakili segenap kepentingan rakyat umum. Bentuknya dapat berupa permohonan maupun proposal, yang bila dikabulkan, maka akan diterbtikan penetapan / keputusan pemberian izin.
Sementara bila perizinan dimohonkan secara paralel / simultan saat pembangunan atau kegiatan baru dimulai, tetap diartikan sebagai melanggar hukum, karena telah melangkahi prosedur hukum perizinan yang berlaku—alias “mencuri start” dimana belum tentu permohonan izin dikabulkan sementara pembangunan / kerusakan mungkin saja telah atau sedang terjadi dari kegiatan yang menjelma ilegal karena tanpa memiliki izin kegiatan / usaha.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut dapat menjadi cerminan, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI perkara pengujian undang-undang (judicial review) register Nomor 27 P/HUM/2016 tanggal 2 November 2016, antara:
- Berbagai warga dan Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan Hidup, sebagai Para Pemohon; melawan
- PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, selaku Termohon.
Yang menjadi objek permohonan uji materiil Para Pemohon, ialah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar. Dimana terhadap permohonan warga dan berbagai LSM yang memiliki perhatian atas isu lingkungan ini, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji permohonan keberatan hak uji materiil didasarkan pada ketentuan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 20 Ayat (2) Huruf (b) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, serta Pasal 1 Angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, yang pada intinya menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
“Menimbang, bahwa objek permohonan hak uji materiil a quo merupakan peraturan yang diterbitkan oleh Presiden selaku Termohon, sebagai amanat dari ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan untuk meningkatkan peran listrik berbasis energi baru terbarukan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019. Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, menyatakan bahwa: ‘Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya’. Oleh karenanya, objek permohonan hak uji materiil merupakan norma hukum yang mengikat secara umum sebagai tindak lanjut dari ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, objek permohonan hak uji materiil a quo merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum, yang secara hierarki kedudukannya berada di bawah undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sehingga termasuk jenis peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011, dengan demikian Mahkamah Agung berwenang untuk menguji objek keberatan hak uji materiil in litis;
“Menimbang, bahwa Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 menyatakan bahwa permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan tersebut, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
c. badan hukum publik atau badan hukum privat;
“Dalam Penjelasannya ditentukan bahwa yang dimaksud dengan ‘perorangan’ adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
“Bahwa lebih lanjut Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 menentukan bahwa pemohon keberatan adalah kelompok orang atau perorangan yang mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang;
“Bahwa dengan demikian, Pemohon dalam pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011;
b. kerugian hak yang diakibatkan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian;
“Menimbang, bahwa Para Pemohon terdiri dari warga masyarakat dan Badan Hukum Perdata yang merasa telah dirugikan hak normatif / hak konstitusionalnya dengan dikeluarkannya objek hak uji materiil. Terhadap hal tersebut, Mahkamah Agung terlebih dahulu mempertimbangkan kedudukan warga masyarakat yang mengajukan permohonan, yaitu Para Pemohon nomor urut 1 sampai dengan 15;
“Menimbang, bahwa Para Pemohon nomor urut 1 sampai dengan 15 (selanjutnya disebut warga masyarakat) merupakan sekelompok orang yang berkewarga-negaraan Indonesia (sebagaimana foto copy kartu tanda penduduk yang dilampirkan dalam surat kuasa), sebagai pihak yang berpotensi terdampak oleh risiko pencemaran udara dari kegiatan PLTSa sebagaimana diatur dalam objek hak uji materiil tersebut. Para Pemohon memiliki keterkaitan (causal verband) dengan objek hak uji materiil, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Aisya Aldila (Pemohon I): Pemohon I merupakan warga kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, yang merupakan salah satu lokasi percepatan pembangunan PLTSa teknologi termal, yang berpotensi merugikan kesehatan Pemohon I;
2. ...;
5. Krishna Bayumurti M. Zaki (Pemohon V): Pemohon V merupakan warga Kabupaten Sleman, DIY yang menetap di Bali sejak Tahun 2010. Pemohon merasa khawatir, bahwa pembangunan PLTSa ini akan mengancam hak untuk hidup sehat di lingkungan yang bebas pencemar, yang merupakan hak dasar Warga Negara Indonesia, sekalipun tidak berdampak bagi kesehatan pribadinya. Pemohon V juga merasa hak atas informasi dan haknya untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah yang baik dan ramah lingkungan telah terlanggar dengan pengundangan objek hak uji materiil yang sama sekali tidak pernah disosialisasikan kepadanya. Sekalipun objek hak uji materiil tidak secara langsung berdampak terhadap wilayah tempat tinggalnya, Pemohon V khawatir objek hak uji materiil akan menjadi awal menjamurnya pembangunan PLTSa di seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah tempat tinggalnya;
7. Dwi Retnastuti (Pemohon VII): Pemohon VII merupakan aktivis lingkungan yang secara khusus menginisiasi berbagai kegiatan pengelolaan sampah yang baik, dengan mengedepankan pengomposan dan 3R (reduce, reuse, recycle) di berbagai tempat, antara lain di Labuan Bajo, Kupang, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Jakarta dan Kota Yogyakarta sejak Tahun 2004. Pemohon VII juga merupakan warga Kota Bandung yang bertempat tinggal di Griya Cempaka Arum, 300 meter dari lokasi PLTSa yang direncanakan pada Tahun 2007. Sejak mengetahui rencana pembangunan PLTSa di dekat rumahnya pada Tahun 2006, Pemohon VII aktif mengkampanyekan pengelolaan sampah dengan cara non-termal/tidak bakar. Pemohon VII berkepentingan terhadap pembangunan PLTSa didekat rumahnya terutama terkait dengan pencemaran udara yang berpotensi berdampak terhadap kesehatannya dan keluarganya, termasuk anak-anaknya yang berumur 11 tahun (laki-laki) dan 17 tahun (perempuan) yang masih tinggal bersamanya. Pemohon VII juga khawatir dengan ketersediaan air di rumahnya jika PLTSa dibangun, mengingat PLTSa merupakan teknologi yang membutuhkan sangat banyak air. Dengan pengundangan objek hak uji materiil yang salah satunya melakukan percepatan PLTSa di Kota Bandung, Pemohon VII menganggap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak partisipasinya dalam pengelolaan sampah terlanggar;
8. Wahyu Widiarto (Pemohon VIII): Pemohon VIII merupakan aktivis lingkungan dan anggota WALHI Jawa Barat yang aktif mengadvokasi pengelolaan sampah yang baik sejak Tahun 2006 hingga sekarang. Ia pernah terlibat dalam menolak dibangunnya PLTSa Gedebage di Kota Bandung bersama dengan WALHI Jawa Barat karena tidak ada pelibatan sama sekali terhadap dirinya sebagai warga Kota Bandung untuk berpartisipasi menentukan kebijakan pengelolaan sampah. Pemohon VIII merupakan warga Kota Bandung dan telah tinggal di Kota Bandung sejak Tahun 2005 dan secara sadar memilih bertempat tinggal di Bandung, salah satunya karena kualitas lingkungan Kota Bandung yang baik, termasuk kualitas udara yang masih baik. PemohonVIII merupakan ayah dari seorang anak perempuan yang berusia 9 (sembilan) tahun dan Pemohon VIII berkepentingan agar anaknya memiliki lingkungan tumbuh kembang yang baik. Pemohon VIII telah berinvestasi membeli rumah di Bandung, dan Pemohon VIII khawatir akan dampak pencemaran udara dan kesehatan jangka panjang yang akan ditimbulkan oleh PLTSa. Pemohon VIII tidak diinformasikan mengenai potensi dampak yang ditimbulkan teknologi ini dalam hal pencemaran udara, termasuk kemungkinan penurunan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat Kota Bandung secara umum;
9. Sri Wulandari (Pemohon IX): Pemohon IX merupakan warga Kota Bandung dan sejak lahir tinggal di Kota Bandung. Pemohon IX yang bertempat tinggal di kawasan Antapani yang berjarak 7,4 Km dari tempat dimana PLTSa teknologi termal akan dibangun. Pemohon IX sangat berkeberatan dengan pembangunan PLTSa teknologi termal yang sangat merugikan terutama akan berdampak bagi kesehatan Pemohon IX dan keluarganya, serta terhadap nilai ekonomi dari rumah Pemohon IX yang Pemohon IX investasikan untuk jangka panjang. Pemohon IX mengkhawatirkan asap dari PLTSa teknologi termal bersifat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker. Hal ini melanggar hak Pemohon IX atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak Pemohon IX untuk mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah yang baik dan berkelanjutan, karena pengelolaan sampah itu banyak cara yang lebih baik selain dibakar seperti didaur ulang atau sampah organik dapat dimanfaatkan menjadi kompos tanpa harus dibakar, sehingga Pemohon IX berpotensi dirugikan hak atas lingkungan yang baik dan sehat dengan diundangkannya objek hak uji materiil;
10. Afifi Rachmat (Pemohon X): Merupakan penduduk Kota Bandung yang bertempat tinggal di dekat Gedebage, salah satu lokasi dimana PLTSa kemungkinan didirikan. Pemohon X secara konsisten melakukan upaya-upaya pengurangan dan pengelolaan sampah dengan composting dan 3R, dan dengan diundangkannya objek hak uji materiil merasa haknya atas pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan terlanggar. Pemohon X juga merasa haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terlanggar dengan dipercepatnya pembangunan PLTSa teknologi termal dengan berbagai kemudahan non-perizinan bidang lingkungan hidup, yang mengancam kesehatan jangka pendek maupun jangka panjangnya sebagai warga yang akan terdampak langsung pencemaran dari PLTSa teknologi termal;
14. RR GA Tiwi Arsianti (Pemohon XIV): Pemohon XIV merupakan warga Kabupaten Bandung dan tinggal di Kabupaten Bandung. Pemohon XIV sangat paham mengenai ancaman pencemaran udara beracun dari PLTSa teknologi termal, utamanya dari bahaya asap yang bersifat karsinogen. Pemohon XIV memiliki satu anak yang memiliki masa depan dan tidak ingin anak Pemohon XIV terkena dampak dari asap pembakaran PLTSa. Pemohon XIV merasa haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dijamin tidak hanya untuk generasi masa kini, namun juga anak dan cucunya, terlanggar dengan diundangkannya objek hak uji materiil;
15. Yanti Kurnaeni (Pemohon XV): Pemohon XV menyukai proses berinteraksi dengan alam dan menyempatkan waktunya untuk menjadi staf keuangan paruh waktu YPBB di sela-sela kesibukan mengurus anak lelakinya. YPBB merupakan salah satu lembaga yang sejak Tahun 2005 mengkampanyekan gaya hidup Zero Waste sejak awal Tahun 2014. Aktivitas pengurangan sampah telah dilakukan di rumah sebagai bentuk tanggung jawab Pemohon XV terhadap sampah yang dihasilkan. Hal tersebut mulai dilakukan Pemohon XV seiring dengan banyak pengalamannya berinteraksi dengan program-program kampanye Zero Waste di YPBB. Pemohon XV dan keluarganya ingin bisa tinggal di lingkungan yang nyaman serta bebas racun. Hal ini justru bertolak belakang rencana pembangunan insinerator yang akan dibangun di area Kota Bandung. Meskipun Pemohon XV bertempat tinggal di Kabupaten Bandung, tetapi berbagai aktifitasnya bersama YPBB banyak dilakukan di area Kota Bandung. Artinya besar kemungkinan berbagai dampak racun yang akan dilepaskan oleh insinerator, baik yang berupa gas ataupun padatan dikhawatirkan akan mengakibatkan resiko kesehatan yang serius, termasuk kanker, gangguan reproduksi dan gangguan perkembangan Pemohon XV beserta keluarganya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat Para Pemohon no. urut 1 sampai dengan no. 15 merupakan pihak yang dilanggar haknya atau setidak-tidaknya menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi potensi dirugikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai akibat dari diterbitkannya objek hak uji materiil yang mengatur percepatan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah di beberapa kota, yang berpotensi menimbulkan resiko pencemaran lingkungan hidup.
“Dengan mendasari pada paradigma ekosentrisme, pengaturan (norma) jenis usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi pada realitas ekologis, harus ada kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap makhluk hidup dan benda-benda abiotis yang saling terkait satu dengan lainnya. Pengaturan (norma) dalam objek hak uji materiil, perlu dipahami sebagai pola pengaturan yang harus selaras dengan lingkungan hidup sebagai sebuah sistem kehidupan di alam semesta. Atas dasar hal itu, terdapat kepentingan Para Pemohon tersebut yang harus dilindungi oleh hukum, karena pengaturan (norma) dalam objek hak uji materiil berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup bagi Para Pemohon;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka badan-badan hukum perdata dimaksud dapat dianggap sebagai subjek hukum atau organisasi lingkungan yang mempunyai kedudukan hukum yang berhak mengajukan hak uji materiil terkait lingkungkan hidup sepanjang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor juncto 23 Tahun 1997 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 92 ayat (1), (2), dan (3) yang menyebutkan:
Ayat (1): Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan/hak uji materiil (judicial review) untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
Ayat (2): Hak mengajukan gugatan/hak uji materiil terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil;
Ayat (3): Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan/hak uji materiil apabila memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun;
“Menimbang, bahwa Pasal 92 ayat (3) huruf a, b dan c, sebagaimana dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
“Bahwa Badan-Badan Hukum Perdata tersebut (Para Pemohon nomor urut 16 sampai dengan 21) merupakan organisasi yang dibentuk dengan mengikuti prosedur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa Badan-Badan Hukum Perdata tersebut sudah mendaftarkan diri/organisasinya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, sebagaimana Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan selainnya didirikan berdasarkan Akta Notaris, dengan bentuk badan hukum Yayasan dan perkumpulan, yang di dalam anggaran dasarnya semuanya berhubungan dengan menjaga kualitas dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam menjalankan tugas dan perannya tersebut, Badan-Badan Hukum Perdata tersebut secara nyata dan terus menerus telah membuktikan dirinya peduli terhadap fungsi pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup, dan bahkan sampai sekarang juga telah mendayagunakan segenap kemampuannya sebagai sarana partisipasi publik dalam upaya mencapai tujuan pelestarian dan pengelolaan lingkungan yang lestari dan berkesinambungan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Agung ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara objek hak uji materiil dengan Para Pemohon sebagai makhluk ekologis, yang berpotensi menimbulkan kerugian secara spesifik dan aktual sebagai akibat diterbitkannya objek hak uji materiil, yaitu hak terhadap pengelolaan lingkungan yang lestari dan berkesinambungan. Kerugian dimaksud merupakan akibat langsung dari berlakunya norma objek hak uji materiil, dimana kerugian tersebut tidak akan terjadi jika permohonan a quo dikabulkan. Kerugian tersebut adalah dampak lingkungan hidup akibat pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan yang berkaitan adanya Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) sebagaimana diatur dalam objek hak uji materiil. Dengan demikian Para Pemohon mempunyai kepentingan dan legal standing dalam pengajuan hak uji materiil a quo sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 dan Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
“Menimbang, bahwa karena permohonan terhadap objek hak uji materiil diajukan oleh Para Pemohon mempunyai legal standing, maka permohonan a quo secara formal dapat diterima;
Substansi Permohonan:
“Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil Para Pemohon yang diuraikan dalam permohonannya dihubungkan surat-surat bukti yang diajukan Para Pemohon, dan dalil-dalil Termohon sebagaimana juga diuraikan dalam Jawabannya, maka Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
- Bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil bertentangan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena pengaturan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah dalam Pasal 6 objek permohonan keberatan hak uji materiil yang mana pengurusan izin lingkungan dilakukan bersamaan dengan kegiatan konstruksi dan pengurusan izin mendirikan bangunan guna percepatan tidak sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, selain itu juga bertentangan dengan kerangka hukum perlindungan lingkungan hidup yaitu wajib melalui Amdal/UKLUPL terlebih dahulu sebelum diterbitkan izin lingkungan, hal tersebut terangkum dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, objek hak uji materiil telah mengingkari prinsip pokok dalam hukum perizinan yaitu diberikan sebelum usaha atau kegiatan berjalan dan tidak mengindahkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta menimbulkan ancaman serius yang tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan hidup. Selain itu, ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 dapat diartikan bahwa oleh karena izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha / kegiatan maka konsekuensinya sebelum dilakukan kegiatan / diperoleh izin usaha terlebih dahulu harus dipenuhi adanya izin lingkungan, oleh karena itu ketentuan Pasal 6 ayat (2) Perpres No. 18 Tahun 2016 yang antara lain menentukan bahwa kegiatan untuk memulai konstruksi dapat langsung dilakukan secara paralel dengan pengurusan izin mendirikan bangunan dan izin lingkungan telah melanggar maksud dan tujuan substansi norma yang terkandung dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Bahkan pejabat tata usaha negara yang memberikan izin usaha dan/atau kegiatan PLTSa tanpa didahului izin lingkungan diancam dengan sanksi pidana, sesuai Pasal 111 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penjara 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). Dengan demikian, objek hak uji materiil tidak sejalan dengan paradigma pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang menjadikan instrumen izin lingkungan merupakan proses berantai dari aspek prosedur atau aktivitas, orientasi kebijakan, dan dampak pengiring dari adanya usaha atau kegiatan dimaksud. Instrumen izin lingkungan ini merupakan tindakan hukum yang bersifat preventif, proaktif, dan represif;
- Bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, secara substansi Pasal 1 angka 5 jo Pasal 11 ayat (1) huruf a, karena penerapan Pasal 1 angka 3 objek hak uji materiil merupakan peraturan untuk percepatan pembangunan listrik berbasis sampah yang membatasi ruang lingkup pada teknologi thermal process meliputi : gasifikasi, incinerator dan pyrolysis yang dapat menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan manusia karena dapat menghasilkan dioxin, furan, merkuri, timbal, cadmium, berdasarkan hasil riset internasional (vide bukti P-33, P-36, P-37, dan P-40) sedangkan dalam Pasal 1 angka 5 jis Pasal 4 dan Pasal 11 ayat (1) huruf a, mengatur tentang sistem pengelolaan sampah yang seharusnya pengelolaan sampah sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan serta membebankan kewajiban kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan;
- Bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 163 ayat (3), karena teknologi thermal dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang ditimbulkan residu sisa pembakaran PLTSa (vide bukti P-27, P-28, P-29, P-30, P-31, dan P-32);
- Bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil bertentangan dengan Pasal 5 huruf d dan e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengenai asas dapat dilaksanakan, karena objek hak uji materiil a quo yang berpotensi residu pembakaran yang berbahaya bagi kesehatan ditujukan justru pada beberapa kota besar yang justru padat penduduknya, seperti: Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar, dengan demikian ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, terbukti bahwa Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar (objek permohonan keberatan hak uji materiil) bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon harus dikabulkan dan peraturan yang menjadi objek dalam perkara uji materiil a quo harus dibatalkan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 A ayat (8) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011, Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara;
M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. AISYA ALDILA, 2. ANITA SYAFITRI ARIF, 3. CATUR YUDHA HARIANI, 4. PUPUT TD PUTRA, 5. KRISHNA BAYUMURTI M ZAKI, 6. 1) ASRUL HOESEIN, 2) FARISTIAWAN, 7. DWI RETNASTUTI, S.T., 8. WAHYU WIDIARTO, 9. SRI WULANDARI, 10. AFIFI RACHMAT, 11. DADAN RAMDAN, 12. CAN CAN WIDARNA, 13. IRA IRAWATI, 14. RR. GA TIWI ARSIANTI, 15. YANTI KURNAENI, 16. YAYASAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI), 17. PERKUMPULAN YPBB, 18. YAYASAN LEMBAGA PENGEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA (INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW), 19. YAYASAN GITA PERTIWI, 20. KOALISI RAKYAT UNTUK HAK ATAS AIR, 21. YAYASAN BALI FOKUS tersebut;
2. Menyatakan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
3. Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar;
4. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.