Conflict of Interest Jabatan Hakim, Peradilan Sesat

ARTIKEL HUKUM
Ketika Ketua Mahkamah Konsitusi, Arief Hidayat menjadi keynote speaker dihadapan pertemuan yang diselenggarakan APINDO, terjadi conflict of interest, dimana Arief Hidayat justru memberi laporan perihal permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan yang telah banyak diputus olehnya sebagai salah satu dari Hakim Mahkamah Konstitusi
 Seakan, APINDO adalah atasan Arief Hidayat sehingga Arief Hidayat selaku Ketua MK RI merasa perlu untuk melaporkan kegiatan dan pertanggung-jawaban justru kepada kalangan pengusaha—bukan kepada publik. Sehingga, conflict of interest demikian menjadi signifikan ketika selama ini selaku Ketua MK RI, Arief Hidayat justru memaparkan laporan kinerjanya terkait uji materiil UU Ketenagakerjaan ke hadapan para pengusaha yang tergabung dalam lembaga asosiasi para pengusaha bernama APINDO.
Adalah tidak etis, dan tidak dapat dibenarkan secara etika kenegarawanan maupun etika profesi jabatan hakim, seorang hakim menjumpai suatu pihak yang juga memiliki kepentingan terhadap keberlakuan UU Ketenagakerjaan, bahkan memberikan laporan kinerja terkait putusan uji materiil UU Ketenagakerjaan ke hadapan kalangan pengusaha, seakan meminta diberi apreasi oleh para pengusaha tersebut, atas prestasi gemilang sang Ketua MK RI dalam membela kepentingan para pengusaha tersebut. Bagaikan seorang direksi memberi laporan pertanggung-jawaban ke hadapan para pemegang saham (RUPS).
Dalam kode etik profesi kalangan hakim, hakim dilarang menjumpai atau berjumpa dengan salah satu pihak yang memiliki kepentingan dalam gugatan, demi menghindari conflict of interest. Hakim harus bersikap netral dan “mengasingkan diri” (dalam arti yang harafiah) dari para pihak yang saling bersengketa.
Ketika seorang hakim, semisal Hakim Konstitusi Partialis Akbar menjumpai pihak yang berkepentingan atas suatu gugatan uji materiil, dalam hal ini pengusaha importir daging sapi, maka sikap netralitas tersebut telah dilecehkan oleh sang hakim itu sendiri. Padahal, saat Arief Hidayat menghadiri pertemuan yang diselenggarakan APINDO, pada bulan atau tahun itu pula berbagai permohonan uji materiil terkait UU Ketenagakerjaan sedang disidangkan. Mengapa Arief Hidayat justru meminta “restu” dari kalangan pengusaha?
Penulis merupakan salah satu korban dari peradilan sesat yang ditampilkan MK RI dibawah kepemimpinan Arief Hidayat. Sudah pula penulis utarakan terhadap berbagai kalangan buruh yang hendak mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, untuk mengurungkan niatnya mengajukan judicial review ke MK RI, sepanjang para Hakim Konstitusi yang kini menjabat belum diganti oleh para Hakim Konstitusi yang baru. Namun tampaknya harapan tersebut, pupus.
Kini, mari kita simak manuver Arief Hidayat berikutnya, sebagaimana diberitakan dalam berita berjudul “Kecewa dengan Ketua MK, Busyro Dkk Cabut Uji UU MD3”, 07 Desember 2017, sebagaimana dikutip dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a292448c9915/kecewa-dengan-ketua-mk--busyro-dkk-cabut-uji-uu-md3 :
Lolosnya Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam fit and proper test perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi periode kedua, menimbulkan kekecewaan salah satu pemohon uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). 
Mereka adalah Mantan Pimpinan KPK Busyro Muqoddas, Adnan Topan Husodo (ICW), Asfinawati (YLBHI), Damar Panca Mulya (KPBI). Alasannya, tak lain lantaran Arief Hidayat disebut diduga melobi dan menebar janji kepada sejumlah anggota DPR bakal menolak permohonan judicial review terkait keabsahan hak angket DPR terhadap KPK yang diketahui selama ini menimbulkan perdebatan sengit antara Pansus Angket KPK dan KPK.
Karena itu, sebagai bentuk kekecewaan, mereka sepakat untuk mencabut permohonan uji materi yang tercatat dengan nomor register perkara 47/PUU-XV/2017. “Saya datang ke MK hari ini, untuk mencabut secara permanen judicial review perkara No. 47/PUU-XV/2017 tentang pengujian UU MD3,” ujar mantan Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, di Gedung MK Jakarta, Kamis (7/12/2017).
Dia menuturkan sikap ini merupakan catatan kritis dan respon terkait hakim MK yang diduga datang ke Ketua Komisi III DPR Bambang Soestyo dalam rangka memperpanjang masa jabatannya dengan janji akan menolak permohonan pengujian hak dan kewenangan angket DPR terhadap KPK. Dirinya merasa khawatir kedatangan Arief Hidayat ke sejumlah anggota DPR diduga menyangkut perkara mengenai angket KPK ini disertai janji.
Busyro menyayangkan sikap seorang hakim MK yang diberikan predikat negarawan dan melekat nama lembaga MK datang ke DPR. Apalagi, ia masih menduduki jabatan sebagai Ketua MK. Padahal, jabatan hakim konstitusi melekat kehormatan martabat yang harus senantiasa dijaga keluhurannya. Hal ini merupakan prinsip kode etik dan perilaku hakim yang dikenal di dunia internasional seperti juga terumus dalam Peraturan MK tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
“Salah satunya, hakim tidak boleh melakukan langka-langkah atau tindakan yang mengurangi/menurunkan martabatnya sebagai hakim,” sebutnya.
Padahal, awalnya pihaknya berharap judicial review yang diajukannya ada keputusan yang adil dari MK tanpa dipengaruhi sesuatu apapun, dari pihak manapun. “Tapi, Ketua MK malah datang ke Komisi III DPR. Kita sangat kecewa sekali, makanya, kita menarik permohonan ini,” tegasnya.
Senada, Kordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan Ketua MK yang diduga melakukan lobi-lobi politik ke Komisi III dengan janji-janji menolak permohonan uji materi angket KPK yang dimohonkan masyarakat sipil. “Makanya, kami menarik permohonan ini untuk menunjukkan pada publik bahwa MK harus tetap dijaga marwahnya baik oleh masyarakat yang mengawasi dan hakimnya sendiri,” ujar Adnan.
“Dengan mencabut uji materi ini, kami berharap majelis hakim MK menjernihkan kembali persoalan yang sempat muncul sekaligus memberikan kepastian kepada masyarakat agar masyarakat tetap percaya terhadap MK. Sebab, tindakan memberi janji seperti barter masuk dalam indikasi korupsi.”
Di tempat yang sama, Asfinawati menuturkan hakim MK terikat dengan berbagai macam sikap tindak (etik) yang tidak boleh dilanggar. Seperti, tidak boleh bertemu pihak manapun yang terkait dengan perkara. Karena memang begitu tingginya posisi hakim untuk menentukan sebuah perbuatan benar atau salah, pantas atau tidak?
“Dalam kasus kami, (tentunya) putusan MK nantinya akan mempengaruhi konstalasi politik hubungan antara lembaga negara dan komisi negara. Maka dari itu, kami sepakat mencabut uji materi ini,” tegasnys.
Seperti diketahui, sidang beberapa permohonan pengujian UU MD3 terkait hak angket DPR ini sejak 15 Agustus 2017 hingga 25 Oktober 2017 dengan agenda mendengarkan pemerintah, dan dilanjutkan mendengarkan keterangan KPK sebagai pihak terkait serta ahli. Pemohon Busyro Dkk sendiri telah menyerahkan kesimpulan pada 2 November 2017. Namun, pada akhirnya pemohon mencabut uji materi ini, sehingga putusannya bakal dinyatakan gugur.
Pihak Legislatif berdalih, dengan menyebutkan bahwa Arief Hidayat hanya seorang hakim, sementara hakim MK RI berjumlah sembilan orang, sehingga tidak mungkin bernego dengan seorang hakim untuk memengaruhi putusan. Faktanya, Patrialis Akbar mampu menjadikan putusan uji materiil memihak kalangan pelaku usaha dengan menabrak preseden putusan MK RI terdahulu yang menyatakan “maximum security” namun kemudian diputus berkebalikan dari putusan sebelumnya tersebut, menjadi “relative security”. Daging sapi bukanlah sesuatu yang urgensinya tinggi, karena substitusinya tinggi, semisal protein hewani dari laut yang justru belum populer di Indonesia, meski Indonesia mendaulat dirinya sebagai bangsa maritim.
Perlu pula kita perhatikan, bahwa putusan MK RI yang melanggar preseden yang ada perihal “Maximum Security” produk hewani importasi, diputus dengan suara bulat alias kedelapan Hakim Konstitusi lainnya sepakat dan satu suara dengan Patrialis Akbar yang telah terbukti bersalah melanggar Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi.
Simak pula pemberitaan berjudul “Diduga Lobi DPR, Dewan Etik Segera Periksa Arief Hidayat”, 06 Desember 2017, dimana menurut Jimly Assidiqie, proses perpanjangan masa jabatan Arief Hidayat tidak memenuhi syarat transparan dan partisipatif sesuai amanat UU MK, sebagaimana dikutip dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a2820abf206f/diduga-lobi-dpr--dewan-etik-segera-periksa-arief-hidayat :
Temuan dugaan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat melobi sejumlah anggota DPR agar memperpanjang masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berbuntut panjang. Hampir bersamaan Arief menjalani proses fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) di Komisi DPR, sejumlah LSM yakni ICW, Perludem, Lingkar Madani, dan tiga orang individu yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Selamatkan MK melayangkan laporan dugaan pelanggaran etik Arief Hidayat ke Dewan Etik MK.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama S Langkun mengatakan pihaknya melaporkan Arief ke Dewan Etik MK terkait dugaan lobi-lobi Arief Hidayat ke DPR agar diperpanjang masa jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua. Bahkan, diduga perpanjangan ini disertai janji bahwa MK akan menolak pengujian Pasal 79 ayat (3) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) mengenai hak angket DPR terkait keberadaan Pansus Angket KPK.
“Terlebih, ini  mengenai kasus yang sedang ditanganinya, tentu diduga melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi menyangkut independensi, imparsial (keberpihakan), dan integritas seorang hakim konstitusi,” kata Tama di Gedung MK, Rabu (6/12/2017).
Ia menyebut dugaan pelanggaran prinsip independensi, ketika Arief melobi dan janji. Hal ini tentu dapat menimbulkan ketidakadilan beberapa pihak terkait yang mengajukan uji materi UU MD3 di MK. Lalu, hakim konstitusi dilarang memihak. Menurutnya, keberpihakan tidak boleh dilakukan meski dilihat secara luas. Mengenai integritas, jika hakim tak memiliki integritas, maka posisi kenegarawanan sebagai seorang hakim konstitusi dipertanyakan. “Apakah yang bersangkutan layak menjadi ketua MK?”
Tama mengungkapkan Arief tidak hanya sekali melakukan dugaan pelanggaran etik. Salah satunya, dia pernah dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Etik lantaran mengirim memo kepada Jaksa Agung Pengawasan R Widyo Pramono agar memperlakukan khusus Jaksa M. Zainur Rochman, Kasie Perdata Kejaksaan Negeri Trenggalek yang merupakan kerabat Arief. Arief terbukti melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, sesuai Penerapan Butir Kedelapan Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
“Kami kesini bukan hanya meminta respon dari Dewan Etik, tetapi juga DPR untuk berhati-hati mengambil langkah meski siang tadi sudah diputuskan bahwa Arief Hidayat lolos fit and proper test untuk kembali menjadi hakim konstitusi periode kedua,” ujar Tama.
Seperti diketahui, Komisi III DPR telah menyetujui Arief untuk memangku jabatan hakim konstitusi untuk periode 2018-2023 setelah melalui proses uji kepatutan dan kelayakan di Gedung DPR, Rabu (6/12).
Selanjutnya, kata dia, masih ada tahap proses keputusan rapat paripurna untuk secara resmi menetapkan Arief Hidayat diperpanjang masa jabatan hakim konstitusi untuk periode kedua. Lalu, pengangkatannya dikukuhkan melalui Keppres yang dimungkinkan dapat digugat di PTUN untuk dibatalkan status Arief Hidayat menjadi hakim konstitusi kembali.
“Jadi ini bukan soal materi pembuktian ada atau tidaknya rekaman lobi-lobi tersebut, tetapi ini berbicara mengenai soal kepantasan dan kepatutan yang dilakukan oleh ketua MK,” katanya.
Karena itu, dia mengingatkan jangan proses pengangkatan hakim konstitusi di DPR seperti saat memilih Patrialis Akbar yang akhirnya digugat oleh masyarakat ke PTUN karena proses pemilihannya tidak transparan dan partisipatif sesuai amanat UU MK.
Mantan Ketua MK, Jimly Assiddiqie mengaku belum mengetahui benar peristiwa adanya dugaan lobi-lobi Arief kepada sejumlah anggota DPR. Namun, terpenting, proses pemilihan calon hakim konstitusi harus sesuai dengan UU MK yang terdiri dari dua tahap yaitu pencalonan dan pemilihan. “Pencalonan harus memenuhi prinsip partisipatif dan transparan. Tahap pemilihan harus memenuhi prinsip objektif dan akutanbel,” kata dia.
Menurut Jimly, jika Komisi III DPR langsung melakukan rapat pleno, itu berarti langsung masuk dalam tahap pemilihan, tidak terlebih dahulu menempuh tahap pencalonan. “Tetapi yang terpenting empat prinsip seperti partisipatif, transparan, objektif dan akutanbel itu terpenuhi,” jelasnya.
Dia mengingatkan DPR agar proses pemilihan calon hakim MK mengacu UU MK itu. “(UU MK) Jangan dilampaui, jangan bisik-bisik, jangan mendadak, tapi harus partisipatif. Kalau calonnya cuma satu berarti tidak partisipatif,” katanya.
Senada, pengamat hukum tata negara, Refly Harun mengatakan lobi-lobi kepada DPR ini memang menjadi dilema. Dia menilai ketua MK saat ini nampaknya berkeinginan untuk dipilih kembali, sehingga dimungkinkan dilakukan lobi ke DPR. Menurut Refly, tanpa melobi tidak mungkin rasanya, DPR memilihnya kembali.
Tetapi, apabila isi dari lobi tersebut menyangkut kasus yang sedang ditangani di MK. “Yah itu masalahnya, dengan mengatakan si X jangan sampai menjadi ketua, karena jika si X kepilih maka akan pro KPK. Nah, itu sudah menjadi kategori pelanggaran etik. Tapi kan kita tidak tau fakta sebenarnya,” katanya.
Apakah seorang hakim konstitusi dapat dimaafkan karena berdusta? Apakah seorang profesor dapat ditolerir karena memiliki kebiasaan berbohong? Apakah sarjana hukum atau bahkan seorang Doktor hukum, dapat dengan mudahnya memungkiri perbuatan ilegalnya? Simak pelanggaran serius Arief Hidayat saat menjabat sebagai Ketua MK RI, sebagaimana berita berjudul “Sekali Lagi, Ketua MK Diminta Mundur”, 03 Mei 2016,  sebagaimana dikutip ari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57285dc7c1544/sekali-lagi--ketua-mk-diminta-mundur :
Hakim konstitusi sebagai negarawan seharusnya sangat menjunjung tinggi integritas, kepribadian tidak tercela, dan kehormatan.
Desakan organisasi masyarakat sipil agar Ketua MK Arief Hidayat mengundurkan diri semakin menguat. Kini, giliran Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) meminta orang nomor satu di lembaga pengawal konstitusi itu mundur dari jabatannya. Sebelum dijatuhi sanksi etik lantaran terbukti menulis memo katebelece, sang ketua MK ini pernah melakukan kebohongan publik dengan membantah membuat memo katabelece tersebut.
“Kami sangat menyayangkan dan prihatin atas tindakan ketua MK Arief Hidayat karena pernah melakukan kebohongan publik dan menggunakan kekuasaannya membuat memo di selembar kertas dengan Logo Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Ketua Umum FKHK Victor Santoso Tandiasa saat dihubungi hukumonline, Selasa (03/5).
Dia menjelaskan kebohongan publik atau tidak jujur yang dimaksud sebelum Dewan Etik belum menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran lisan dalam kasus ini. Dalam pemberitaan media pada 30 Desember 2015, Arief Hidayat sempat membantah telah mengirim memo katabelece kepada jaksa senior Widyo Pramono yang berisi pesan menitipkan keponakannya, M. Zainur Rochman sebagai jaksa pada Kejaksaan Negeri Trenggalek.
 “Di media keduanya, Arief dan Widyo Pramono juga pernah membantah menerima memo dari Ketua MK. Tetapi, sekarang ketahuan setelah Arief dijatuhi sanksi teguran lisan oleh Dewan Etikkarena terbukti melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,” ungkapnya.
Victor menyesalkan putusan Dewan Etik yang hanya menjatuhkan sanksi ringan terhadap Arief Hidayat, karena seolah-olah sangkalan Arief di media tidak dilihat sebagai pelanggaran etik. Padahal, jelas bahwa kebohongan publik adalah bentuk tindak pidana.
 “Karena itu, demi menjaga kewibawaan dan kepercayaan publik terhadap lembaga penjaga hak konstitusional warga negara ini, kami meminta dengan segala kerelaan dan kebesaran hati Ketua MK Arief Hidayat agar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim Konstitusi jika memang beliau seorang negarawan sejati,” pintanya.
 Dia menambahkan FKHK sedari awal memiliki ekspektasi tinggi terhadap sembilan hakim konstitusi. Mereka adalah negarawan yang seharusnya sangat menjunjung tinggi integritas, kepribadian tidak tercela, dan kehormatannya demi terjaganya wibawa dan kehormatan MK. “Karena hanya MK yang menyaratkan hakim konstitusi adalah seorang negarawan,” tutupnya.
Sebelumnya, desakan serupa disuarakanLembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Meski hanya dijatuhi sanksi ringan, LeIP memandang seharusnya posisi Ketua MK dicopot. Sebab, tindakan Arief memanfaatkan jabatannya masuk kategori nepotisme yang menguntungkan orang lain, menjadi preseden buruk rekam jejak personalnya.
 “Jadi memang seharusnya mundur sebagai Ketua MK. Tetapi masih tetap menjadi hakim konstitusi,” ujar Peneliti Liza Farihah di Jakarta, Senin (02/5) kemarin.
 Meski mengapresiasi sikap Arief yang mau mengakui kesalahannya saat diperiksa oleh Dewan Etik. Namun, menurutnya hal ini harus diikuti dengan penyesalan. “Jangan hanya sekadar pengakuan. Tetapi harus ada kesadaran untuk tidak mengulangi hal semacam itu di waktu mendatang,” katanya.
Saat dikonfirmasi, Arief Hidayat enggan mengomentari sanksi etik yang dijatuhkan kepadanya lantaran pernah mengeluarkan memo katebelece kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Widyo Pramono untuk menitipkan keponakannya, M. Zainur Rochman yang berprofesi sebagai jaksa pada Kejaksaan Negeri Trenggalek. “Itu nanti tanya Dewan Etik MK yang bisa menjelaskan,” kata Arief di gedung MK kemarin.
Arief mengatakan dirinya merasa tidak etis kalau membela diri di hadapan publik. “Saya kalau membela diri tidak baik karena kita sudah dijaga Dewan Etik. Nanti tanya saja Dewan Etik, ketuanya Pak Mukhtie,” tegasnya.
Perihal perilaku Arief Hidayat di-“balik panggung” Mahkamah Konstitusi, dapat kita simak pada pemberitaan tanggal 28 Pebruari 2017 sebagaimana dikutip dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58b4b62e1b1d4/ketua-mk--jangan-sampai-hukum-internasional-menegasi-hukum-bisnis-indonesia :
Dalam CEO Gathering yang diadakan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi satu-satunya narasumber dalam diskusi dua arah yang melibatkan para pengusaha. Diksusi tersebut dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai peran MK dalam membangun perekonomian nasional dan memberikan kepsatian hukum bagi dunia usaha.
Arief juga menegaskan bahwa MK memiliki peran dalam membangun perekonomian nasional. Meski hanya menyelesaikan perkara-perkara uji materi di MK, namun MK erat kaitannya dengan stabilitas ekonomi. Pasalnya, tak jarang uji materi dilakukan terhadap UU yang berhubungan dengan ekonomi, misalnya saja mengenai UU Keuangan Negara, UU Koperasi ataupun perkara antara buruh dan pengusaha.
MK pernah mengeluarkan putusan menolak pembubaran OJK, dan yang teranyar adalah putusan MK yang menolak pembatalan sebagian atau seluruhnya UU Pengampunan Pajak. Beberapa contoh uji materi tersebut merupakan UU yang berhubungan dengan stabilitas nasional. Putusan MK memberikan kepastian hukum bagi iklim usaha di Indonesia.
 Berdasarkan catatan MK, UU Ketenagakerjaan merupakan UU yang paling banyak di review baik oleh pengusaha maupun buruh. Arief mengatakan hal tersebut terjadi karena posisi yang tidak seimbang antara buruh dan pengusaha. Sehingga di sini peran MK menjadi penting untuk mewujudkan hubungan yang harmonis antara pelaku usaha dan pekerja. Lagi-lagi, tujuannya unuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui putusan-putusan.
Karena tak memiliki kewenangan eksekusi, maka dalam beberapa hal putusan MK tidak implementatif. Hal tersebut diakui oleh Arief terkait pajak kendaraan berat yang dikenalan pajak kendaraan bermotor. Ketua Asosiasi Industri Kendaraan Bermotor, Gunadi, mengeluhkan soal implementasi pajak kendaraan bermotor yang terbaru. Menurut Gunadi, alat atau kendaraan berat yang tidak bisa dipindahkan seharusnya tidak dikenai pajak, sesuai putusan MK.
 Arief sepakat atas hal tersebut. Bahkan pada medio 2016 lalu, MK memutuskan bahwa alat berat bukanlah kategori kendaraan bermotor. “Kendaraan berat termasuk ke dalam alat produksi, tidak bisa dikenakan pajak kendaraan bermotor. Putusan menjadi tidak implementatif karena ada kelemahan di implementasi, MK tidak bisa mengeksekusi,” pungkasnya.
Kini, silahkan masyarakat dan pembaca sendiri, yang menilai wibawa Arief Hidayat setelah membaca berita-berita tersebut diatas. Tidak ada kata yang lebih tepat untuk mewakili perasaan “prihatin” atas perilaku seseorang yang semestinya mencerminkan sikap negarawan sekaligus seorang hakim yang tidak semestinya bersentuhan langsung dengan salah satu pihak yang berkepentingan terhadap gugatan uji materiil undang-undang—terlebih memberikan laporan pertanggung-jawaban sebagai Ketua MK RI kepada para kalangan pengusaha yang tentunya memiliki kepentingan (interest) terhadap berbagai putusan MK RI.
Cobalah para pembaca melakukan eksaminasi terhadap berbagai putusan MK RI dibawah kepemimpinan Arief Hidayat, berapa banyak putusan kontroversi yang tidak dapat dibenarkan oleh akal sehat: penghapusan frasa “dapat” (potential loss) dalam UU Tipikor, memenangkan uji materiil yang diajukan Setya Novanto (tepat ketika Kejaksaan hampir berhasil menjerat Setya Novanto dalam kasus 'Papa Minta Saham'), mengamputasi kewenangan Pemerintah Pusat untuk menerbitkan Pemerintah Daerah yang menerbitkan Peraturan Daerah yang intoleran terhadap kaum minoritas, hingga kasus fenomenal importir sapi yang menjerat Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Masih banyak lagi putusan-putusan MK RI, dengan satu kesimpulan: yang semestinya ditolak, justru dikabulkan. Dan, yang yang semestinya dikabulkan, justru ditolak. Silahkan para pembaca sendiri untuk menilai dan melakukan eksaminasi terhadap produk putusan MK RI lima tahun kebelakang ini. Untuk lima tahun kedepan, wajah putusan MK RI tidak akan jauh berbeda. Itulah prediksi yang besar kemungkinan terjadi. Mari kita buktikan bersama. Semoga prediksi penulis, keliru sepenuhnya. Semoga.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.