Mental, Watak, & Karakter Bangsa Indonesia

ARTIKEL HUKUM
Sudah tidak lagi mengejutkan bila berbagai lembaga pemasyarakatan (Lapas) kelebihan penghuni “hotel rodeo” ini bahkan diminati para narapidana amatir ataupun kambuhan yang terus saja berdatangan menjadi penghuni baru. Sudah juga tidak lagi mengherankan bila berbagai kalangan koruptor justru marah-marah dan bahkan menggugat KPK. Juga sudah tidak lagi mengejutkan bila lebih dari separuh gugatan di pengadilan dinyatakan “ditolak”, bahkan berujung pada digugat-baliknya pihak penggugat oleh tergugat.
Di Indonesia, bukan kejadian ataupun fenomena baru, bila penjahat yang justru memaki dan memarahi sang korban. Bukan pula barang baru, berbagai kalangan secara menggebu-gebu hendak menggugat, yang pada akhirnya digugat-balik oleh lawan. Bukan pula tren baru, sang korban yang justru merasa takut karena pelaku kejahatan lebih galak dan lebih merasa berhak untuk memarahi korbannya—suatu fakta realita yang harus penulis “telan” setiap harinya hidup di tengah komunitas masyarakat Indonesia yang sakit secara mental dan secara moral.
Bahkan, sampai-sampai tuan rumah yang dimarahi oleh sang tamu, dimana tuan rumah dikatakan “tidak sopan” oleh sang tamu. Bukan satu atau dua kali hal tersebut terjadi, sehingga penulis berhak untuk menggeralisasinya sebagia watak dasariah karakte Bangsa Indonesia. Bukan pula satu atau dua kali kejadian pelaku kejahatan yang justru memarahi korbannya harus pula penulis alami. Mungkin Anda pun pernah atau sedang mengalami kejadian serupa.
Dalam sebuah pengalaman pribadi penulis berprofesi sebagai konsultan hukum, penulis mendapati fakta bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat yang gemar melanggar aturan, bukan hanya aturan hukum, namun juga aturan-aturan yang hidup di tengah masyarakat, maupun aturan milik “tuan rumah” semisal peraturan organisasi ataupun aturan perusahaan.
Itulah fenomena yang sangat memprihatinkan. Sebagai contoh, setiap harinya selalu saja ada pelanggaran terhadap “syarat dan ketentuan” layanan jasa hukum dalam website ini oleh para pengunjung situs, dimana penulis sudah menyatakan secara tegas bahwa setiap pertanyaan hukum dibebani tarif. Namun tetap saja berbagai pesan, email, hingga telepon membanjiri penulis setiap harinya, meminta untuk dilayani, secara panjang lebar menceritakan masalah hukum mereka yang noatbene bukan urusan kami, namun tanpa mau dibebani tarif, hanya mau memberi imbalan berupa ucapan “terima kasih”, bahkan dengan cara-cara tipu-daya hendak mengecoh dan menipu penulis.
Masyarakat Indonesia demikian kreatif, kreatif untuk menipu, yang menjadi maksud penulis. Berbagai modus penipuan terhadap penulis telah penulis rasakan. Mulai dari pihak-pihak penelepon meminta dilayani yang mengaku sebagai mahasiswa, ormas, bahkan mengaku sedang dikriminalisasi di tahanan dengan maksud untuk mengundang simpatik penulis. Tanpa mau memperkenalkan nama dirinya, secara panjang-lebar menceritakan masalah hukum yang dihadapinya, namun diakhir uraian meminta jawaban dengan hanya bersedia membayar dengan ucapan “terima kasih”.
Sungguh, masyarakat Indonesia sejatinya demikian sangat kreatif: kreatif untuk menipu. Kecerdasan yang diiringi tingkat kematangan moralitas, jadilah praktik-praktik etika komunikasi yang hanya melecehkan subjek hukum lainnya. Seakan, hanya dirinya yang berhak untuk menuntut hak, sementara orang lain hanya dibebani kewajiban. Uniknya, dalam setiap permasalahan hukum yang mereka sampaikan, terkesan bahwa mereka adalah orang tertindas alias terculasi—meski penulis tahu sepenuhnya bahwa merekalah yang lebih kerap melanggar aturan, dimulai dengan melanggar aturan main penulis selaku “tuan rumah”.
Belum apa-apa, sudah melanggar aturan penulis. Dari hal sederhana tersebut saja, sudah tercermin niat batin sang penelepon / pengirim pesan.  Yang terlebih ironis, mereka semua telah banyak menikmati / menimba ilmu dari website ini yang penulis asuh selama bertahun-tahun. Namun kemudian, apakah balasan yang mereka berikan bagi penulis: hanya pelecehan terhadap profesi penulis.
Semakin tidak mengherankan, betapa banyak diantara masyarakat Indonesia yang memiliki kendaraan mewah, namun dengan bangga mengaku memiliki Jaminan Kesehatan Nasional yang iuran bulanannya dibiayai oleh pemerintah, yang semestinya menjadi subsidi kalangan miskin. Artinya, mereka bukan hanya mencuri hak penulis atas tarif, namun juga mencuri hak-hak rakyat yang betul-betul miskin. Mental pengemis semacam itulah yang setiap harinya dipertontonkan bangsa ini.
Setiap harinya membanjiri penulis manusia-manusia tidak tahu malu yang meminta dilayani perihal sengketa tanah, namun tidak mau menyadari kewajiban mereka untuk membayar tarif pada penyedia jasa. Bayangkan, sengketa tanah, tapi meminta dilayani seolah dirinya adalah seorang pengemis. Sementara, seorang pengemis tidak pernah memiliki sengketa tanah, sengketa ketenagakerjaan, ataupun sengketa finansial.
Bangsa Indonesia, adalah bangsa kerdil bermental pengemis. Bangsa Indonesia selamanya tidak akan pernah bisa maju, itulah vonis yang penulis berikan bagi realita wajah Bangsa Indonesia yang demikian picik disamping munafik. Tidak kurang banyaknya mereka yang menceritakan urusan sengketa hubungan industrial dengan perusahaan tempat mereka bekerja, yang juga bukan urusan penulis, namun meminta layanan konseling hukum tanpa mau dibebani tarif.
Apakah selama ini mereka bekerja sesuai profesi mereka mencari nafkah, tanpa pernah dibebani tarif? Bila mereka dipecat oleh pihak pengusaha tanpa diberi pesangon, maka sudah sewajarnya. Jadi mengepa mereka mempermasalahkan hal tersebut, sementara mereka sendiri tidak mau menyadari kewajiban dirinya sendiri terhadap orang lain. Mengapa tidak mereka sendiri yang memberi makan anak dan istri mereka dengan “batu”?
Dari ilustrasi sederhana tersebut saja, kita sudah memiliki gambaran perihal watak mental picik bangsa ini. Berangkat dari fakta tersebut, penulis kemudian mulai menarik kesimpulan, bahwa bukan hanya kalangan pengusaha yang licik, kalangan pekerja pun tidak kalah piciknya. Sejak saat berbagai pelecehan yang penulis derita itulah, penulis memutuskan untuk tidak lagi membela hak-hak kaum pekerja / buruh di Tanah Air. MEREKA YANG PANDAI MELECEHKAN, PATUT UNTUK DILECEHKAN.
Sudah dinyatakan secara tegas bahwa konsultasi tidak diperkenankan dalam kolom komentar, tetap saja aturan demikian dilanggar oleh para pengunjung situs, dengan menyalahgunakan kolom komentar yang fungsi utamanya untuk menyampaikan pendapat dan komentar atas substansi publikasi, bukan ajang aji mumpung berkonsultasi tanpa mau menyadari kewajiban pengguna jasa.
Penulis sudah berbaik hati mempublikasi ribuan ilmu hukum yang bersifat aplikatif sebagai Corporate Social Responsibility dalam website yang penulis asuh ini, mengapa kemudian mereka menuntut untuk mencekik leher penulis dengan meminta dilayani tanpa mau menyadari hak-hak penulis selaku pemberi jasa? Bahkan tiada satupun dari mereka yang pernah mengucapkan terimakasih atas berbagai publikasi yang penulis sajikan. Yang ada ialah justru menuntut dilayani tanpa mau dibebani kewajiban. Prinsip timbal balik “meminta dan memberi”, seakan asing bagi mereka yang merupakan manusia-manusia dewasa namun bermental kerdil.
Sudah dinyatakan secara tegas bahwa penulis mencari nafkah dari layanan jasa konsultasi hukum sebagai seseorang yang berprofesi sebagai konsultan, lengkap dengan logo besar bertuliskan LEGAL CONSULTANT pada website. Tetap saja para masyarakat Indonesia membanjiri penulis dengan masalah hukum mereka yang bukan merupakan urusan penulis, menuntut dilayani, namun tanpa mau menyadari hak penulis atas tarif, bahkan tidak jarang terjadi penulis yang ditipu dengan tidak dibayarnya tarif yang telah disepakati meski layanan telah diberikan.
Satu lagi kesimpulan dapat ditarik: Bangsa Indonesia ialah bangsa yang tidak tahu diri, tidak tahu malu, bahkan bahkan tidak tahu berterimakasih. Bukan maksud penulis menuntut disanjung atau puja-puji. Cukuplah dengan bersikap profesional bila hendak dilayani secara profesional, dengan menyadari hak dan kewajiban masing-masing, dengan tidak melecehkan profesi penulis. Bila mereka hendak dihargai dan dihormati harkat dan martabat serta profesinya, mengapa mereka dengan mudahnya melecehkan martabat dan profesi orang lain?
Mereka bukanlah tidak tahu bahwa penulis berprofesi sebagai konsultan, dimana layanan jasa sesi konsultasi menjadi tumpuan satu-satunya penulis mencari nafkah dan penghidupan bagi keluarga. mereka terlampau munafik dengan tetap saja melanggar aturan yang telah penulis cantumkan secara tegas dalam “syarat dan ketentuan” website. Tidak ada yang lebih melecehkan dari seorang “tamu” yang dengan seenaknya melecehkan aturan “tuan rumah”, bahkan mencoba merampok sang “tuan rumah”. Mereka bukanlah tidak berpendidikan, mereka terlampau korup dan terlampau kotor isi pikirannya.
Sudah dinyatakan secara tegas bahwa formulir yang tersedia di website, ialah untuk konsultasi bagi klien yang telah mendaftar dan deposit dana tarif konsultasi, atau untuk memesan buku-buku hukum karya penulis, namun tetap saja dilanggar dengan menyalahgunakan formulir tersebut untuk meminta dilayani tanpa pernah mau menyebut kesediaan mereka untuk dibebani tarif. Panjang lebar mereka menuliskan masalah hukum mereka yang sama sekali bukan urusan penulis. Mengapa tidak mereka simpan dan makan sendiri saja, sampah milik mereka tersebut?
Bangsa Indonesia, gemar dan boros soal keuangan untuk berkunjung ke kafe yang tidak murah hanya untuk minum kopi, pergi haji yang mencapai biaya puluhan juta, berbelanja ke mall, membeli handphone keluaran terbaru, membeli kendaraan mewah, dan segenap atribut esklusif yang hanya membuang-buang biaya secara tidak produktif.
Namun untuk meminta diberikan layanan jasa hukum, dengan sikap kikir bahkan tidak segan melakukan tipu-daya, mencoba mengecoh dan menipu penulis, atau bahkan tanpa tahu malu meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif dengan mengaku-ngaku sebagai mahasiswwa, ormas, pensiunan, dsb yang mana kesemua itu bukanlah urusan penulis. Terlebih, masalah hukum yang mereka tanyakan ialah perihal sengketa tanah, seakan diri mereka adalah seorang pengemis yang menggelandang. Pengemis mana yang memiliki sengketa tanah?
Sudah dicantumkan secara tegas, bahwa bila Anda menuntut dilayani tanpa mau menyadari hak dan kewajiban antara pengguna dan pemberi jasa, maka Anda hanya berhak mengganggu diri Anda sendiri. Mengapa tidak Anda cari tahu sendiri jawaban atas permasalahan hukum Anda, dengan mengorbankan jutaan jam kerja untuk belajar ratusan teks-teks buku ilmu hukum, jutaan peruuan, dan ribuan putusan pengadilan?
Mengapa Anda bersikap seolah penulis adalah “budak” dari Anda? Hak dari mana bagi Anda untuk mem-“budak”-i penulis? Kewajiban dari mana bagi penulis untuk melayani para penjajah tersebut? Bukanlah sikap-sikap demikian adalah pelecehan yang tidak layak ditampilkan oleh bangsa yang mengaku sebagai bangsa beradab? Mengapa tidak Anda saja yang bekerja bagi penulis, sesuai profesi Anda dalam mencari nafkah, namun tanpa penulis berikan upah. Tuntut diri Anda terlebih dahulu, sebelum Anda menuntut orang lain.
Apakah Anda selama ini bekerja sesuai profesi Anda mencari nafkah, tanpa pernah menuntut hak atas upah? Tetap saja hal paling mendasar demikian dilanggar oleh bangsa ini, yang dengan mudahnya melecehkan profesi penulis. Hal paling mendasar seperti tersebut diatas, tidak dipahami oleh bangsa ini. Betapa rusak dan sakitnya mental bangsa Indonesia.
Sebenarnya tidak mengherankan bila mereka terlibat dalam masalah hukum, karena untuk aturan paling mendasar itu saja, mereka melanggarnya dengan demikian seenaknya dan dengan demikian mudahnya. Masalahnya ialah masalah mindset internal mereka sendiri yang paling perlu dibenahi, yakni: mental pengemis dan moral penipu.
Sekalipun penulis berikan bantuan konseling hukum sebanyak apapun, bila mentalnya ialah mental seorang penipu, sama artinya percuma, karena sampai kapanpun seseoarng bermental penipu dan bermental pengemis akan terjerat dan terlibat masalah hukum. Penulis pernah membuktikan hipotesis demikian. Pada awalnya penulis mulai merintis sebagai konsultan hukum, berbagai pihak menghubungi penulis, mengaku sebagai orang miskin (tapi sengketanya perihal masalah tanah), dan penulis berikan konseling secara percuma, dengan harapan yang bersangkutan akan tahu diri dan tidak lagi meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif dikemudian hari.
Apa yang kemudian terjadi? Tidak lama kemudian, pihak-pihak tersebut kembali mengubungi penulis, dengan permasalahan hukum baru (lagi-lagi perihal sengketa tanah), dan dengan riangnya meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif. LUAR BIASA!!! Bangsa Indonesia, sungguh diluar biasa. Luar biasa tidak tahu malunya. Bosan dengan kejadian demikian yang terus berulang, fenomena serupa terus terjadi, maka penulis berhak untuk menggeralisasi watak karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa bermental penipu.
Bagaimana jika sebaliknya profesi mereka yang dilecehkan? Bagaimana jika aturan main mereka yang dilanggar orang lain secara seenaknya, apakah pelanggaran aturan secara terang-terangan demikian mampu ditolerir? Ketika orang lain menyuruh Anda untuk “makan batu”, apakah Anda akan dengan senang hati meladeni? Kewajiban dari manakah, yang menjadikan penulis subordinat dari mereka yang sudah “putus urat malunya”?
Melihat fenomena demikian, menjadi tidak mengherankan bila kita jumpai fenomena penuh sesaknya para narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan (lapas) yang bahkan para narapidana diberikan obral remisi karena Lapas telah overload, tidak mampu menampung para narapidana baru. Bangsa indonsesia secara produktif mencetak para biadab baru setiap harinya.
Bangsa yang agamais, berbaju soleh, berbicara dengan atribut-atribut keagamaan, lulusan pendidikan tingi S3, namun bermental pengemis dan korup. Tidaklah perlu kita bicara pejabat yang dihukum oleh Pengadilan Tipikor, fakta realita menampilkan wajah bangsa Indonesia korup hingga ke akar-akarnya. Entah petugas loket pelayanan di berbagai instansi pemerintah, hingga pegawai swasta kelas officeboy, semua berlaku korup. Penulis tidak bermaksud berlebihan dengan menggenalisasi, namun itulah faktanya.
Terhadap berbagai pelecehan yang penulis hadapi setiap harinya, yang sudah bagaikan makanan sehari-hari harus penulis hadapi sambil mengurut dada saking geramnya, yang bisa penulis sampaikan terhadap para pelanggar aturan penulis yang dengan seenaknya melecehkan profesi penulis, ialah:
Masalah Anda bukanlah urusan saya. Dalam masalah hukum Anda, Andalah yang paling bermasalah. Tidak perlu jauh-jauh, Anda bahkan telah melanggar syarat dan ketentuan layanan, dengan seenaknya meminta dilayani tanpa mau menyadari hak pengguna jasa, tanpa mau menyadari profesi penulis yang mencari nafkah sebagai konsultan hukum. Jadi untuk apa penulis mau tahu urusan Anda?”
Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang kurang pendidikan, juga bukan kurang dalam ukuran harta materi, namun sangat miskin etika komunikasi, demikian dangkal kualitas moralnya. Itulah satu-satunya kesimpulan yang penulis temui setiap harinya selama lebih dari tiga puluh tahun lamanya hidup sebagai Warga Negara Indonesia. Penulis merasa malu mengaku sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Bangsa yang korup, korup di tingkat kalangan atas, dan korup hingga ke tingkat akar rumput di kalangan rakyat jelata. Bobrok dari luar dan dari dalam.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.