Perihal Hak Publik, Hak yang Bersifat Terbuka

ARTIKEL HUKUM
Berbagi Sumber Daya Ruang dan Lingkungan Hidup
Semua orang ingin berdagang di tempat-tempat strategis, bukan hanya pedagang liar yang memakan badan jalan yang menjadi hak para pejalan kaki, yang merasa memiliki hak untuk berdagang di pusat-pusat perbelanjaan. Jika semua orang merasa berhak dan merasa ingin, mengapa hanya para pedagang liar itu yang kemudian boleh berdagang di tempat tersebut? Adalah sikap naif, mencari pembenaran diri.
Oleh karenanya, penertiban oleh pihak pemerintah menjadi elemen vital dalam menyikapi keterbatasan sumber daya ruang yang ada. Semua orang berhak untuk berdagang, namun semua orang tidak berhak untuk berdagang secara semparangan yang merugikan hak publik atas lingkungan yang aman dan nyaman.
Bila dalam konsep rumah susun / kondominium, ada istilah seperti benda bersama dan ruang milik bersama, artinya benda dan ruang tersebut adalah milik segenap penghuni rumah susun, bukan hanya milik kelompok tertentu saja. Sementara itu dalam konsep ruang publik, jalan umum adalah milik publik, bukan milik pihak-pihak tertentu, sehingga dengan dirampasnya hak akses pengguna jalan oleh segelintir pihak, sama artinya merampas hak segenap publik.
Jalan umum adalah milik publik, bukan milik warga setempat ataupun lurah dan pejabat setempat, sehingga tidak boleh menutup jalan umum dengan alasan hajatan, kegiatan tempat ibadah, dsb, yang pada gilirannya merugikan kepentingan lebih banyak orang hanya karena ego segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ketenangan untuk terbebas dari gangguan polusi suara adalah hak setiap warga negara. Mungkin kita mengalami langsung atau bahkan menjadi korban polusi suara suatu tempat ibadah yang menjadi demikian tidak toleran terhadap umat beragama lain lewat pengeras suara yang mengumandangkan ritual ibadah kaum agamanya dengan desibel yang kelewat batas, sementara kita perlu mengingat bangsa Indonesia bersifat majemuk dari segi etnis maupun keyakinan. Bila Anda merasa berhak untuk beribadah, maka orang lain yang berbeda keyakinan pun merasa berhak untuk beribadah sesuai keyakinannya serta bebas dari gangguan kaum keyakinan lainnya.
Ketika peralihan tahun baru, sebagai contoh, petasan dan mercon diledakkan. Apa yang kemudian terjadi? Dilaporkan, bahwa ribuan burung meninggal dunia akibat terpapar polusi asap petasan. Warga yang mengidap asma mengalami penderitaan akibat hak publiknya atas udara bersih, terenggut. Hak para lansia atas suara yang tenang juga terenggut, bahkan terancam terkena serangan penyakit jantung akibat berbagai kejutan ledakan petasan. Warga masyarakat kita terlampau egois, untuk mau memahami sensitifitas hak publik.
Hak publik lainnya, ialah hak atas udara yang bersih yang juga menjadi bagian dari milik publik, bukan milik perorangan atau komunitas tertentu. Kita pun dengan mudahnya menemukan berbagai wilayah pemukiman yang diubah menjadi pabrik mebel, pabrik cat sablon, maupun bengkel yang mengakibatkan polusi udara dari cat semprot atau bahan kimia, hingga polusi tanah dan air yang pada gilirannya secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak buruk terhadap para warga sekitar—yang gaibnya dibiarkan berlangsung oleh para pejabat setempat—jika tidak dapat disebut sebagai sengaja “dipelihara”.
Demi kepentingan seorang pengusaha, mengorbankan demikian banyak warga setempat. Bercermin pula pada kasus kebakaran hutan yang disebabkan oleh seorang pengusaha kebun kelapa sawit yang melakukan land clearing dengan cara membakar hutan gambut, mengakibatkan polusi udara (kabut asap) dan menimbulkan penyakit iritasi mata serta penyakit pernafasan bagi warga satu provinsi, yang bahkan menimbulkan dampak berantai berupa ditundanya penerbangan pesawat udara, jarak pandang penglihatan para pengendara di jalan raya yang menjadi rentan karena kabut asap, hingga komplain negara tetangga seperti Singapura yang terkena imbas kabut asap yang terbawa angin hingga mencemari udara (hak publik) warga Singapura. Hanya karena ketamakan seorang pengusaha, demikian banyak hak publik yang menjadi tumbalnya. Bahkan lahan gambut yang merupakan museum bentang perjalanan evolusi bumi selama jutaan tahun, dirampas dan dirusak dalam hitungan hari.
Ekosistem, juga termasuk dalam bagian dari hak publik. Contoh, saat terjadi gempa yang mengakibatkan reaktor Fukushima di Jepang mengalami kebocoran, terdapat kadar radioaktif yang merembes hingga ke laut, yang kemudian ditemukan pada tubuh ikan yang bermigrasi ke samudera lain. Ekosistem, dengan demikian adalah satu-kesatuan dari hak publik.
Contoh paling ekstrim yang telah kita rasakan langsung, ialah global warming, menipis (berlubangnya) lapisan ozon di atmosfer akibat polusi udara, mengakibatkan pemanasan global, berujung pada sinar ultraviolet menembus awan yang memberi potensi kanker kulit bagi penduduk bumi, terganggunya siklus dan pola cuaca hingga berdampak pada kepastian masa tanam dan masa panen bagi kalangan petani. Akibatnya, paceklik berdampak pada kelangkaan bahan kebutuhan pokok di pasaran.
Hanya karena ulah pengusaha properti yang hendak mengreklamasi pantai atau pulau-pulau di sekitarnya, mengakibatkan permukaan laut meningkat, mempercepat tingkat abrasi di permukaan / daratan. Hanya karena ulah orang-orang tidak bertanggung jawab yang menyedot air tanah tanpa memperhatikan kesinambungannya, diperparah kebiasaan menutup permukaan tanah dengan semen beton, mengakibatkan ancaman tenggelamnya Kota Jakarta bukan lagi menjadi mitos semata.
Buktinya, para developer raksasa tersebut yang telah mengantungi izin reklamasi pantai utara Jakarta, tetap hidup dan mampu eksis sekalipun hingga tulisan ini disusun izin reklamasi pantai utara Jakarta dalam keadaan moratorium. Sekalipun tanpa proyek mewah pembangunan properti diatas pulau buatan hasil reklamasi, developer raksasa tersebut tidak akan mati.
Hanya ketamakan para pengusaha properti itu saja, yang mengakibatkan bencana kemanusiaan bagi keutuhan bangsa. Desakan untuk mereklamasi, ialah hasil dari dorongan ketamakan, bukan kebutuhan, mengingat masih banyak daerah lain yang tidak tersentuh oleh pembangunan. Mengapa harus reklamasi?
Hanya karena ulah seorang pengusaha pabrik plastik, mengakibatkan ekosistem danau, sungai, hingga pantai dipenuhi oleh sampah-sampah plastik, bahkan di dalam perut penyu-penyu di lautan ditemukan sampah-sampah plastik tersebut. Ikan-ikan terpapar sampah logam berat, kemudian termakan oleh manusia dalam siklus rantai makanan, terakumulasi menjelma bumerang bagi umat manusia itu sendiri.
Hanya karena ulah segelintir pengusaha yang berspekulasi dengan melakukan penimbungan bahan kebutuhan pokok masyarakat, mengakibatkan harga-harga bahan kebutuhan pokok merangkak naik dan bahkan disetir oleh pengusaha nakal demikian.
Hanya karena segelintir korporasi bermodal kuat, praktik kartel, monopoli usaha, atau bentuk-bentuk persaingan tidak sehat lainnya, berbagai pengusaha kecil terpukul, tersisih, dan gulung tikar. Hak atas lapangan pekerjaan dan mencari nafkah, pun termasuk hak publik. Itulah sebabnya, KPK boleh dibubarkan suatu saat nanti ketika institusi penegak hukum lainnya mulai mau berbenah, namun KPPU tidak boleh bubar oleh alasan apapun selama republik ini masih berdiri.
Hak publik berikutnya ialah sumber daya air bersih. Air bersih, sifatnya terbatas, oleh karenanya menjadi tidak dapat dibenarkan bila sumber mata air di-privatisasi atau dikapling menjadi milik suatu korporasi perusahaan air minum mineral demi tujuan komersialisasi swasta, yang pada gilirannya mengorbankan kepentingan publik.
Hanya karena kebodohan generasi masa kini, para warga menjadi penambang yang merusak hutan, menyisakan lubang-lubang menganga, tandus dan rusak. Mata air hilang. Satwa dan tumbuhan sirna. Warisan apa yang akan kita sisakan bagi generasi penerus selain “luka” tersebut? Keegoisan generasi masa kini, merenggut hak publik para generasi penerus.
Apa yang melandasi penulis untuk mengangkat tema “hak publik” demikian? Sebuah kejadian sederhana, namun membuat penulis berkontemplasi dalam tempo yang cukup panjang. Tidak paham atas fenomena sosial demikian. Sebenarnya masyarakat kita sendiri yang menjadi korban, namun juga sekaligus sebagai pelaku. Sukar dipercaya, namun itulah realitanya.
Sungai ataupun danau, juga termasuk hak publik. Namun, banyak diantara warga kita yang membuang sampah di sungai yang menjadi tempat tinggal warga bersangkutan dan para warga lainnya. Ketika terjadi banjir, warga tersebut yang juga menjadi korbannya. Tanpa kenal “kapok”, sang warga kembali membuang sampah di sungai bantaran depan rumahnya. Atau, warga yang tinggal di hulu sungai, membuang sampah, terbawa arus sungai, yang kemudian mengakibatkan pendangkalan di hilir sungai. Terjadilah bandir rob air laut di pesisir. Itulah tepatnya yang terjadi pada warga Bogor serta Depok yang memperparah kondisi ekosistem sungai di Jakarta yang juga sama “jorok”-nya. Kontribusi merusak secara kolektif.
Hak publik bukan hanya uang rakyat di APBN/APBD yang menjadi lahan empuk praktik korupsi para wakil rakyat di parlemen ataupun para pejabat birokrasi kita. Hak publik bersifat esensial dalam kehidupan manusia. Namun berapa banyak dari kita yang mau memahami dan menyadari hak dari publik ini? Masyarakat kita diajarkan untuk lebih condong berpikir “hak saya”, bukan hak milik bersama sebagai bagian dari “hak publik”. Masyarakat kita belum mengenal konsep “hak kita bersama”.
Warga kita seakan merasa ada yang salah bila ada seekor tupai berkeliaran bebas di pohon tanpa ditangkap. Warga kita seakan merasa ada yang salah bila ada buah yang bergantungan di ranting pohon tanpa dipetik dan dicuri. Berhasil mencuri tanpa diketahui sang pemilik, seakan menjadi suatu prestasi tersendiri yang dibanggakan. Mencuri dianggap sebagai keisengan yang dapat ditolerir oleh bangsa yang menyebut dirinya beradab.
Jabatan, pun termasuk hak publik. Semua orang berhak menjadi presiden, namun tidak semua orang layak menjadi presiden. Untuk mendapat jabatan, kerap dijumpai praktik suap-menyuap untuk jual-beli bangku jabatan. Karena mereka tidak memahami bahwasannya jabatan adalah hak publik, sehingga melekat kewajiban diatas bangku jabatan tersebut, maka yang terjadi kemudian ialah penyalahgunaan kekuasaan karena seakan jabatan yang telah dibelinya memberinya hak untuk memperalat jabatan yang kemudian dikuasainya. Jabatan ini milik saya, tanpa pernah mau menyadari hak publik atas jabatan tersebut.
Itulah juga sebabnya, tanah selalu dinyatakan memiliki fungsi sosial, sekalipun itu telah dibebani Sertifikat Hak Milik atas tanah, sebagai konkretisasi konsep “hak publik”, alasi hak segenap anak bangsa. Itulah juga sebabnya akses publik atas jalan tidak dapat di-derogasi, dengan alasan “egoistik” seperti acara hajatan, kegiatan tempat ibadah, atau alasan naif yang mencerminkan kedangkalan berpikir lainnya.
Kejadian sederhana sebenarnya sudah dapat membuka mata kita, sebagaimana pada suatu malam, tetangga kediaman penulis berpesta dengan membakar barbeque di kebun mereka yang berbatasan langsung dengan kediaman penulis. Alhasil, mereka yang bersenang-senang dan menikmati hidangan barbeque panggang, sementara keluarga penulis yang harus menderita “menikmati” polusi asap yang membuat kami tidak mampu untuk beristirahat pada tengah malam itu.
Pertanyaan sederhana muncul dibenak penulis, apakah tidak bisa, mencari usaha mata pencaharian ataupun mencari kesenangan, dengan cara-cara yang tidak merugikan orang lain? Hak publik adalah milik publik, tidak dapat direnggut oleh segelintir pihak, dengan alasan apapun.
Hanya bangsa tidak beradab yang tidak mampu mencerna prinsip paling mendasar demikian. Hal tersebut sekaligus membuktikan, bahwa bangsa Indonesia yang dahulu dikenal toleran, ramah, bertenggang-rasa, penuh empati, kian hari kian menunjukkan wajah biadab. Merosot dari segi moril maupun etika. Sungguh ironis dan disayangkan. Warisan budaya Hindu-Buddha dari para leluhur kita, yang membuat bangsa Indonesia dahulu dikenal “tepo-seliro”, kini hanya menyisakan kepingan-kepingan memori yang terasa perih bila diingat dengan perbandingan realitanya pada masa kini.
Penulis masih ingat, dua puluh tahun lampau, bukan hal sulit untuk mencari pantai di daerah Banten, yang memiliki terumbu karang indah dan ikan-ikan hias kecil hilir mudik di sekitarnya. Bahkan melangkah sejauh dua puluh meter sekalipun, kedalaman air hanya selutut seorang anak kecil. Demikian indah dan lestari.
Kini, hanya terpaut dua puluh tahun kemudian, semua itu sirna, menyisakan kehancuran dan keprihatinan. Tiada lagi yang tersisa. Sungguh-sungguh tiada lagi yang tersisa. Semua rusak oleh tangan-tangan manusia Indonesia, hanya dalam tempo dua puluh tahun, oleh generasi saat kini yang sangat tidak menghargai warisan generasi sebelumnya, yang semestinya kita wariskan bagi generasi penerus kita.
Pertanyaan tersebut kembali menggema di telinga penulis: apakah tidak ada cara-cara lain yang lebih cerdas dan kreatif untuk mencari nafkah ataupun untuk mencari kesenangan selain dengan menghancurkan, mengeksploitasi, dan merusak? Bangsa berwatak kerdil selalu mencari cara-cara dangkal untuk memenuhi hasrat yang tidak terpuaskan.
Para leluhur kita di Bumi Nusantara, selama ribuan atau bahkan jutaan tahun, kelestarian dan keindahan alam tetap terjaga. Namun hanya dalam tempo 20 tahun oleh generasi saat kini, seketika semua itu rusak dalam sekejap mata, hanya demi memuaskan ketamakan yang demikian hina dan dangkal. Sungguh tidak termaafkan. Keindahan alam yang dibentuk selama jutaan tahun evolusi Bumi, rusak hanya dalam tempo 20 tahun. Luar biasa, rusaknya moral peradaban manusia Indonesia masa kini.
Penulis tidak butuh gadget canggih yang men-dehumanisasi watak manusia. Penulis tidak butuh kendaraan canggih yang membuat para pengemudinya menjadi arogan. Penulis tidak butuh pusat hiburan yang mewah namun mahal. Penulis tidak butuh aturan hukum yang kian “jelimet” dan kompleks mengatur kehidupan manusia. Jika boleh memilih, penulis memilih dunia atlantis dua puluh tahun lalu di Indonesia, serta watak beradab bangsa Indonesia, yang kini tidak pernah lagi dapat penulis jumpai.
Penulis tidak butuh hidangan-hidangan penuh rasa ala junkfood yang lezat namun tidak sehat. Penulis lebih memilih cemilan kue tradisional yang sehat dan menyimbolkan harmonisasi dengan lingkungan hidup. Tidak ada salahnya bersatu dengan alam. Baru salah bila kita memungkiri sifat alamiah alam kehidupan.
Dari tanah segala sumber kehidupan bertumbuh. Manusia masih memakan hasil bumi seperti padi dan buah-buahan ataupun sayur-mayur. Sampai kapanpun, manusia tidak dapat memakan uang kertas, emas batangan, saham digital, ataupun peralatan gadget canggih itu. Anda rusak tanah tempat Anda berpijak, maka itulah yang disebut dengan penduduk yang durhaka terhadap Bumi Pertiwi.
Kita tidak perlu melawan kodrat seorang manusia. Sampai kapan pun manusia hidup dengan berpijak di Bumi, bukan dengan hidup terbang di pesawat terbang. Bahkan seekor burung pun masih bergantung pada biji-bijian dari pohon yang tumbuh di Bumi.
Kini, sebagai penutup, penulis beritahukan Anda rahasia kodrat seorang manusia terkait hukum: manusia akan dapat hidup bebas dan tertawa lepas, bila tidak banyak aturan hukum yang dibebani ke atas pundaknya. Sebaliknya, kian hari aturan hukum diproduksi dan direproduksi. Sampai pada gilirannya, untuk melangkahkan kaki dan menghirup nafas pun, Anda akan dibebani berbagai aturan. Itukah yang sungguh-sungguh Anda inginkan?
Itulah sebabnya, hidup di zaman klasik, meski sederhana, tanpa kemewahan mall sekalipun, hidup masyarakat zaman dahulu demikian “lepas” dan “ringan”. Mengapa? Karena mereka tidak banyak dibelenggu oleh aturan hukum negara. Semakin tamak karakter suatu bangsa, semakin banyak aturan hukum akan diproduksi. Semua bahagia meski hanya mampu memakan nasi putih dan bumbu garam.
Dibanding negara-negara beradab lainnya, Indonesia termasuk sebagai negara dengan “hutan rimba hukum” yang demikian membelit menyerupai tentakel gurita, bahkan menjelma benang kusut. Sesungguhnya kita patut prihatin, bila tingkat sengketa di pengadilan semakin meningkat, bukan justru berbangga diri. Bila orang zaman dahulu (tempoe doeloe) merasa malu dan tabu bersengketa di pengadilan, orang zaman kini justru bangga dan mencari-cari sengketa di peradilan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.