Ambivalensi Gugat Cerai

LEGAL OPINION
Tersandera Ikatan Perkawinan, Meski Tanpa Kesamaan Komitmen dalam Membangun Rumah-Tangga
Question: Sebenarnya kalau memang sudah tidak cocok dengan pasangan, apa mungkin gugat cerai akan ditolak atau tidak dikabulkan oleh pengadilan?
Brief Answer: Memang, secara hakekatnya, pernikahan adalah “kesepakatan” antara kedua calon pasangan untuk membina perikatan rumah-tangga. Pernikahan bukalah aksi “beli kucing dalam karung”, karena terdapat elemen komitmen sebagai pilar utamanya.
Masalah utamanya, beberapa praktik peradilan masih memandang hubungan ikatan perkawinan masih menyerupai perjanjian yang bersifat menyerupai kontraktual “bisnis” dimana tunduk sepenuhnya secara mutlak pada ketentuan Pasal 1338 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana disebutkan: Perjanjian yang telah disepakati tidak dapat dibatalkan secara sepihak, tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.
PEMBAHASAN:
Kontras dengan corak karakter sengketa hubungan industrial, dimana bila salah satu pihak, baik pihak pengusaha ataupun pihak buruh, melakukan gugatan terhadap satu sama lain, maka Mahkamah Agung RI secara rasional akan menyatakan bahwa hubungan kerja tidak akan lagi mampu berjalan secara harmonis ataupun memaksakan diri untuk dipaksakan, sehingga yang paling relevan ialah mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) disertai pesangon.
Dalam hubungan suami-istri yang tidak lagi harmonis, bukan pada tempatnya bagi hakim untuk memaksakan ikatan pernikahan yang sudah tidak ada lagi kesesuaian komitmen dari salah satu pihak terhadap pasangannya. Yang saling menikah, adalah pasangan bersangkutan, bukan domain hakim sekalipun untuk mengintervensi rumah-tangga suatu pihak.
Bila seorang pekerja, dapat mengundurkan diri dari perusahaan bila sudah tidak merasa adanya kecocokan, namun tidak bagi pekerja kontrak yang terikat masa kerja dalam kontrak. Menjadi ironis, bila ikatan perkawinan dimaknai sebagai “kontrak seumur hidup” tanpa escape clause apapun, dimana salah satu pasangan tercerabut hak-haknya untuk memilih kembali kebebasannya.
Terlepas dari kesemua kontroversi yang ada, perihal praktik sengketa perkawinan, tampaknya Mahkamah Agung RI masih bersikap konservatif, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa gugatan perceraian register Nomor tanggal , perkara antara:
- F.X. WIJAYA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- DIAN PETHERESIA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Dari perkawinan antara Penggugat dan Tergugat, telah dikaruniai satu orang anak perempuan yang lahir pada tahun 2000. Namun demikian, diantara Penggugat dan Tergugat dalam membina rumah-tangga, sering diwarnai perselisihan dan percek-cokan, sehingga tidak ada kebahagiaan dan kedamaian dalam rumah tangga seperti yang diharapkan dan didambakan oleh Pasangan suami Istri pada umumnya.
Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak bertempat tinggal bersama sejak empat bulan yang lalu. Dalam membina rumah-tangga, sering terjadi perselisihan dan percekcokan hanya karena masalah tidak adanya kesadaran dari Tergugat selaku seorang istri untuk melakukan kewajibannya sebagai ibu sekaligus istri bagi suaminya, sehingga tidak ada kedamaian lagi dalam rumah-tangga Penggugat dan Tergugat. Tiada alasan lagi untuk mempertahankan rumah-tangga yang dalam kesehariannya memang sudah tidak mencerminkan kehidupan berumah-tangga, demikian klaim Penggugat.
Mengingat tujuan dari perkawinan adalah untuk hidup bersama dan bahagia, maka Penggugat mengajukan gugatan perceraian. Terhadap gugatan sang suami, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 05/Pdt.G/2011/PN Jkt.Pst., tanggal 25 Mei 2011, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan perkawinan antara Franciscus Xavarius Wijaya (Penggugat) dan Dian Petheresia (Tergugat) yang terjadi pada tanggal 30 April 2000, sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan Nomor 101/U/JP/2000 yang dikeluarkan oleh Kepala Satuan Pelaksana Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Pusat pada tanggal 30 April 2000, dinyatakan putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya;
3. Memerintahkan Penggugat dan Tergugat untuk melaporkan putusan perceraian ini kepada Kantor Pencatatan Sipil Kotamadya Jakarta Pusat sebagai instansi pencatat untuk mencatat perceraian Penggugat dan Tergugat tersebut pada register Akta Perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian, paling lama 60 (enam puluh) hari sejak putusan pengadilan tentang perceraian ini telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Dalam tingkat banding atas permohonan sang istri, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 649/PDT/2011/PT DKI, tanggal 26 Maret 2012, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Tergugat tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 05/Pdt.G/2011/PN Jkt.Pst., tanggal 25 Mei 2011, yang dimohonkan banding tersebut;
“MENGADILI SENDIRI:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Membuka aib pernikahan untuk membuktikan adanya percek-cokan dalam rumah tangga, dapat menjadi demikian dilematis karena sifatnya yang personal dan privasi. Namun demikian, pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Penggugat dengan Tergugat, sudah tidak ada kecocokan selaku suami-istri (tidak harmonis), sedangkan pula pihak Tergugat sudah tidak tinggal satu rumah dengan Penggugat.
Sang suami mengklaim, sang istri tidak menghargai Penggugat selaku suami, apalagi terhadap kedua orang tua Penggugat, selalu bersikap kasar. Yang menjadi penyebab ketidak-harmonisan hubungan Penggugat dengan Tergugat, ialah keseharian yang diwarnai dengan pertengkaran, sehingga Penggugat merasa tidak tahan lagi hidup bersama dan menghendaki Perceraian.
Penggugat, pernah mengajukan gugatan cerai kepada Tergugat dengan alasan yang sama, namun gugatan tersebut oleh Penggugat kemudian “dicabut” karena perimbangan atas nasehat orang tua Penggugat, dengan harapan Tergugat akan merubah sikapnya sehingga hubungan suami-istri dapat diperbaiki dan direkatkan kembali. Tetapi dalam faktanya sehari-hari, Tergugat tidak bisa mengubah sikap maupun perilaku selayaknya seorang istri yang saling menghargai. Singkat kata, tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (vide Pasal 19 Huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
Penggugat untuk itu mengutip norma Yurisprodensi Nomor 534 K/Pdt/1996, tanggal 18 Juni 1996, dengan kaedah: “Dalam hal perceraian tidak perlu dilihat siapa penyebab pertengkaran atau percek-cokan dan tidak perlu dilihat pihak mana yang meninggalkan, tetapi yang perlu dilihat apakah perkawinan sendiri masih dapat dipertahankan atau tidak.”
Dimana terhadap keberatan sang suami, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang amat fatal, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara seksama memori kasasi dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi Jakarta tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa tidak ada bukti yang diajukan Penggugat untuk mendukung serta membuktikan dalil gugatannya tentang adanya cekcok yang terus menerus antara Penggugat dengah Tergugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Jakarta dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi F.X. WIJAYA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi F.X. WIJAYA tersebut.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Mengapa disebut sebagai putusan yang bersifat fatal? Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi yang menyatakan “menolak gugatan” yang diajukan Penggugat. Konsekuensi hukumnya, Penggugat selaku sang suami, seumur hidup tidak lagi dapat mengajukan gugatan cerai terhadap sang istri, dengan ancaman akan dinyatakan nebis in idem bila sang suami sepuluh atau dua puluh tahun kemudian, tetap memaksakan diri untuk kembali mengajukan gugatan perceraian. Sama artinya, tersandera untuk seumur hidup sang istri. Hanya kematian salah satu pasangan yang dapat menjadi alasan putusnya ikatan pernikahan secara “demi hukum”.
Yang dimaksud dengan “demi hukum”, sifatnya ialah “otomatis” seketika itu juga ketika suatu kondisi terjadi, bukan bergantung pada penetapan pengadilan manapun untuk membuat keadaan hukum baru (constitutief). Meninggalnya salah satu dari pasangan suami-istri, tidak mewajibkan pasangan yang masih hidup untuk menggugat cerai ke pengadilan untuk dinyatakan ikatan perkawinan putus karena kematian.
Anehnya, sebagai contoh pendirian Mahkamah Konstitusi RI, yang memaknai “demi hukum” tidak berlaku secara otomatis, namun perlu penetapan dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang kemudian didaftarkan ke Pengadilan Negeri dalam hal adanya pelanggaran dalam jenis pekerjaan tetap yang diikat dengan Kerja Kontrak PKWT, sebagai ilustrasi berbagai salah-kaprah praktik peradilan di Tanah Air.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.