Persekusi dan Main Hakim Sendiri sebagai Antinomi Negara Hukum

ARTIKEL HUKUM
Apakah perbuatan main hakim sendiri maupun persekusi (ada pendapat yang menyebutkan bahwa keduanya adalah berbeda), selalu dinilai negatif atau tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun? Negara berhukum, artinya hanya aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk mengadili dan menghukum.
Dalam realita lapangan, aparat berwajib dari pihak kepolisian itu sendiri yang telah melahirkan dan melestarikan praktik main hakim sendiri. Mengapa dapat demikian? Karena aparat yang “berwajib” tidak lagi dapat diandalkan, bahkan menjadi sumber penyakit sosial itu sendiri, maka tiada pilihan lain bagi masyarakat, selain melakukan praktik main hakim sendiri—sebagai pilihan yang paling relevan dan rasional sebagai solusi terakhir ketika upaya pelaporan dinilai tidak lagi efektif.
Cobalah Anda mengadukan tindak pidana yang Anda alami sebagai korban penganiayaan, pencurian, perampokan, pelecehan, ataupun kejahatan lainnya. Apa yang kemudian akan Anda dapatkan selain kekecewaan yang justru menjadi sumber masalah baru: laporan Anda tidak ditindak-lanjuti, tiada kejelasan penyidikan, pelaku tidak juga disidangkan, bahkan Anda diperas oleh oknum kepolisian yang meminta pungutan liar.
Hal tersebut bukanlah isapan jempol belaka, hampir setiap anggota masyarakat pernah menjadi korban tindak kejahatan, termasuk penulis yang juga kerap menjadi korban perilaku kriminil yang hanya menampilkan fakta bahwa kepolisian tidak hadir di tengah masyarakat.
Ketika warga masyarakat sangat membutuhkan kehadiran dan sosok polisi, polisi justru menghilang dan tidak mudah dijangkau, bahkan tidak menegakkan hukum sebagaimana mestinya. Sebaliknya, perihal tilang kendaraan bermotor, polisi selalu menjadi nomor satu dalam prestasi menilang dan me-mungli.
Jika kita menarik “benang merah” secara lebih jauh, tampaknya para korban persekusi menjadi korban dari sistem hukum di Indonesia yang sangat tidak dapat diandalkan. Politikus yang berkuasa, dapat lolos dari jerat hukum dengan mudahnya, merusak kepercayaan masyarakat akan citra penegakan hukum itu sendiri, sehingga lahir stigma di tengah masyarakat: mulai dari bobroknya instansi kepolisian, rusaknya moral instansi kejaksaan, hingga maraknya aksi kolusi di tubuh peradilan. Lembaga parlemen  dan eksekutif pun disusupi para mafia yang mampu menyetir arah hukum normatif.
Lebih dalam lagi, kita menemukan kebijakan “obral remisi”, “obral grasi”, dan “korting hukuman”, sehingga para penjahat kembali ke tengah masyarakat tanpa efek penjeraan apapun. Pelaku teror kembali melakukan teror, pelaku pencurian kembali mencuri, pelaku perampokan kembali merampok. Alhasil, tingkat residivis di tanah air demikian tinggi. Itu baru yang tercatat sebagai residivis, pelaku kriminil yang tidak diproses aparat penegak hukum, jauh lebih masif dan masih berkeliaran di tengah masyarakat secara bebas.
Bukan sekali ataupun dua kali, pelaku kejahatan diseret oleh korban ke kantor kepolisian, namun pihak kepolisian hanya memberi respon: “Ini pelakunya, mau diapain?”
Adalah suatu moral hazard, bahwa aparat penegak hukum itu sendiri yang semestinya perlu dijerat oleh hukum: menelantarkan laporan warga, melepaskan pelaku kejahatan, menyalahgunakan kekuasaan, transaksional pasal pidana, aksi korupsi dan kolusi hingga ke dalam sendi-sendi lembaga peradilan. Kejahatan sistem pidana ini demikian masif dan tersistematis sehingga para “calo” bermain di dalamnya dengan aturan “hukum rimba” yang sangat sederhana: semua sudah sama-sama tahu.
Budaya hukum yang tidak sehat, hanyalah efek berantai yang bersumber dari “struktur hukum” berupa mental aparat penegak hukum yang rusak dan sakit. Ketika paradigma yang kemudian terbentuk di tengah masyarakat: “Melapor ke polisi, membuat masalah baru”, atau “Tidak akan ditindak-lanjuti oleh polisi, buang waktu saja”,  “Polisi adalah PHP (Pemberi Harapan Palsu)”, “Keadilan dan hukum dapat dijual-belikan”, “Polisi yang justru harus dipidana dan dipenjara”, “Polisi dan negara tidak pernah hadir saat dibutuhkan warga”, “Polisi justru memeras pelapor”, “Polisi yang selama ini menyakiti warga”—maka apakah tindakan persekusi ataupun main hakim sendiri oleh warga, dapat dipandang sebagai suatu anomali atau fenomena penyakit sosial?
Persekusi maupun perbuatan main hakim sendiri, bukanlah anomali dan bukan pula sebagai fenomena penyakit sosial warga masyarakat. Hal tersebut hanyalah efek dorongan perlawanan dari warga masyarakat akibat rusaknya citra penegakan hukum yang diperkeruh oleh aksi kotor praktik para penegak hukum yang justru memelintir dan merusak tatanan hukum, sehingga semakin membenarkan citra buruk aparat penegak hukum itu sendiri.
Stigma demikian bukan lahir dari tengah masyarakat, namun stigma dibentuk secara konsisten lewat aksi-aksi tidak bertanggung-jawab aparatur penegak hukum. Ketika kita keliru menunjuk pihak yang betul-betul paling bersalah, dalam hal ini pihak berwajib itu sendiri, maka selamanya pihak berwajib tidak akan melakukan introspeksi diri, dan persekusi niscaya akan kembali berulang tanpa kenal henti sebagai solusi yang paling “terjangkau”.
Penegak hukum, artinya menegakkan hukum. Namun, ketika warga hendak menuntut penegakan hukum, hanya mendapat kekecewaan, yakni hukum menjelma “polisi tidur” yang mengganjal, maka warga merasa adanya kebutuhan dan kemendesakan untuk menegakkan hukum versi hukum sosial itu sendiri.
Hasrat maupun kekecewaan perlu disalurkan. Hanya saja, pemerintah lewat aparat penegak hukumnya tidak memberikan saluran untuk menyalurkan rasa rindu masyarakat akan keadilan dan penegakan hukum yang serius. Oleh karenanya, bagai air yang mencari alurnya sendiri, “aliran air” tersebut mencari jalannya sendiri dengan melakukan persekusi.
Bila kita saat kini hendak menggugat, tidak ada pihak lain yang lebih patut dipersalahkan daripada sikap acuh tak acuh para aparatur penegak hukum itu sendiri. Ketidakseriusan sendi-sendi negara dalam konteks penegakan hukum, menjadi sumber masalahnya. Mengobati gejala, tidak pernah menghentikan masalah / penyakit secara permanen.
Hanya saja, sampai pada suatu titik tertentu, kita perlu menyampaikan pula, bahwa persekusi maupun perbuatan main hakim sendiri memiliki rambu-rambu yang jelas, yakni dilakukan secara proporsional. Menghakimi pelaku pencurian dengan cara keroyok massal, penganiayaan berjemaah, bahkan merenggut nyawa sang pelaku pencurian, bukanlah persekusi yang proporsional.
Begitupula dengan tuduhan berbuat asusila, bila sampai para tertuduh dipermalukan, bahkan disakiti hingga mencapai cacat permanen, jika dikemudian hari terbukti bahwa aduan atau tuduhan tersebut adalah fitnah belaka, maka untuk memulihkan kerusakan pada korban tuduhan, sangat sukar untuk dikembalikan kepada kondisi semula, terutama luka batin dan cacat permanen yang dideritanya. Memotong tangan seorang pencuri, bukanlah solusi hukum yang rasional, namun aroganisme.
Penulis merupakan korban dari berbagai aksi kriminil oleh sesama bangsa. Namun bukan menjadi alasan bagi penulis untuk menghakimi hingga menewaskan pelaku, ketika pelaku tidak juga ditindak oleh mereka yang sebenarnya berwajib untuk menegakkan hukum dan melindungi serta mengayomi masyarakat. Yang paling patut dipermasalahkan, bukanlah si penjahat itu sendiri, tapi perilaku para aparat penegak hukum yang tidak bertanggung-jawab. Ketika aparatur penegak hukum serius menegakkan hukum, tiada penjahat yang akan merasa bebas untuk menjadi raja jalanan.
Ketika aparat penegak hukum menyadari peran, fungsi, dan kewajibannya mengabdi bagi kepentingan bangsa, demi penegakan hukum, demi mengayomi warga negara, demi melindungi negara, maka praktis aksi persekusi maupun perbuatan main hakim sendiri, tidak akan menjadi tren yang kini mudah dijumpai di berbagai kabupaten maupun kota.
Itulah juga sebabnya, ketika pihak kepolisian menjadi korban dari aksi teror, maka masyarakat tidak pernah sepenuhnya menaruh simpati bagi korban jiwa dari kalangan kepolisian maupun penegak hukum. Masyarakat justru turut menertawai korban yang jatuh dari pihak kepolisian. Mengingat, selama ini fenomena persekusi maupun main hakim sendiri diperkeruh oleh aksi korup, kolusi, dan nepotisme dari dalam tubuh kalangan aparatur penegak hukum itu sendiri.
Yang paling mengecewakan masyarakat, itulah yang paling menyakiti nurani dan sanubari setiap anggota masyarakat. Ketika pelaku kejahatan tidak juga dihukum secara adil, maka timbul kebencian dibenak masyarakat terhadap dua subjek: pelaku kejahatan dan aparat penegak hukum.
Kebencian demikian bersifat akumulatif yang dikandung bangsa dan diwariskan kepada generasi penerus. Bila hal ini tidak juga dijadikan momen introspektif oleh aparatur penegak hukum, suatu saat, kelak, dapat penulis prediksi, pastilah terjadi persekusi yang merembet pada aksi persekusi terhadap aparatur penegak hukum—sehingga bukan lagi sekadar main hakim terhadap pelaku kejahatan, namun juga main hakim sendiri terhadap berbagai instansi penegak hukum.
Selebihnya, hanya tinggal menunggu waktu saat ada momen yang tepat ketika trigger diletupkan. Arab spring yang akan segera menjadi fenomena dimasa mendatang di Indonesia. Tentu saja, semoga prediksi demikian tidak benar-benar perlu sampai terjadi. Semoga saja semua ini keliru.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.