Perbedaan antara Preseden dan Yurisprudensi

LEGAL OPINION
Question: Apakah antara preseden dan yurisprudensi, adakah perbedaannya?
Brief Answer: Secara derajat, ada bedanya antara preseden dan yurisprudensi. Yurisprudensi, adalah putusan yang menjadi acuan dalam memutus dengan karakter serupa yang dahulu pernah diputus dengan karakter perkara yang kini dihadapkan kepada seorang hakim. Dalam sistem hukum Indonesia, seringkali yurisprudensi tidak diindahkan hakim saat kini ketika memutus perkara sejenis.
Sebaliknya, yang disebut dengan preseden, artinya konsistensi suatu putusan dengan putusan lain yang memiliki corak, karakter, dan pokok perkara serupa. Artinya, preseden lebih menitik-beratkan kearah praktik penerapannya secara aktual dan de facto. Dengan kata lain, preseden adalah “renteran” atau “rangkaian” putusan yang saling konsisten antara satu putusan dengan putusan lain yang memiliki “warna” serupa, baik dari segi pokok perkara, isu hukum, pertimbangan hukum, karakter permasalahan, hingga amar putusan.
Dengan kata lain, dapat pula kita sebutkan, preseden lebih tinggi derajatnya daripada yurisprudensi. Yurisprudensi adalah putusan terdahulu yang menjadi acuan. Sementara dalam preseden, yang ada ialah “kebiasaan” praktik peradilan yang lebih menawarkan kepastian hukum—karena memiliki derajat paling minimum prediktabilitas dalam hukum.
Kadang, sebagai analogi, budaya sosial kemasyarakatan ialah berupa praktik “kebiasaan”, tanpa kita pernah tahu acuannya (awal sejarah pembentukan kebiasaan nenek moyang yang kini kita warisi). Sama halnya, putusan peradilan dapat menerapkan preseden, meski kita tidak pernah tahu apa yang menjadi yurisprudensi acuannya, dan kapan praktik kebiasaan itu bermula.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret, sejak semula penulis telah mempertanyakan keganjilan frasa “demi hukum” perihal PKWT yang menjelma PKWTT, diberikan pesangon ketika pekerja di-PHK, namun Mahkamah Agung RI menyatakan pekerja tersebut disaat bersamaan tidak berhak atas “Upah Proses”.
Praktik peradilan (kebiasaan / preseden) demikian kemudian penulis gugat ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI. Disayangkan, Mahkamah Konstitusi seakan menganggap “angin lalu” perihal yang sangat mempengaruhi hajat hidup orang banyak demikian, mengingat sebagian besar (tren saat kini) pekerja diikat hubungan kerja dengan dasar Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Seperti apakah yang dimaksud dengan “preseden”, untuk memudahkan pemahaman, maka penulis akan merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 862 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 22 November 2016, perkara antara:
- PT. NIPSEAN PAINT and CHEMICALS cabang Makassar, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- AGUSTINUS SADANG, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat bekerja pada perusahaan Tergugat sejak Oktober 2010 s/d April 2015, dengan masa kerja selama 4 tahun 6 bulan, pada bagian Kerani (bagian Gudang) dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Perselisihan bermula saat Penggugat menolak dipindah-tugaskan ke bagian kebersihan (cleaning service) pada tanggal 1 April 2015 tanpa alasan yang jelas dari Tergugat.
Penggugat menolak untuk dipindah-tugaskan ke bagian kebersihan, karena sejak awal Penggugat menandatangani perjanjian kerja yang mengatur posisi (bagian) kerja dari Penggugat, yaitu sebagai Kerani. Tanggal 6 April 2015, Tergugat mengeluarkan Surat Peringatan I (SP. I), tanggal 9 April 2015 Tergugat mengeluarkan SP. II, dan tanggal 18 April 2015 Tergugat mengeluarkan SP. III dengan alasan bahwa Penggugat tidak melaksanakan tugas pada bagian kebersihan (cleaning service) namun tetap menjalankan tugasnya sebagai Kerani.
Akibat dari tidak bersedia dipindah-tugaskan ke bagian kebersihan, Tergugat kemudian tidak memperbolehkan lagi Penggugat masuk di lokasi perusahaan sejak tanggal 21 April 2015. Dengan demikian karena Tergugat tidak memperbolehkan Penggugat masuk untuk bekerja pada perusahaan Tergugat, maka sejak saat itu Tergugat telah melakukan PHK secara sepihak kepada Penggugat, dengan alasan:
a. Penggugat telah melakukan mangkir karena tidak melakukan pekerjaan sebagaimana yang telah ditugaskan kepada Penggugat;
b. Penggugat telah melanggar Kontrak Kerja tentang Mutasi dan Demosi.
Tergugat tidak bersedia melakukan perundingan bipartit, sehingga Penggugat kemudian meminta kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan untuk melakukan mediasi, namun tetap tidak tercapai penyelesaian.
Alasan PHK yang menyatakan bahwa Penggugat telah mangkir, adalah alasan yang tidak benar, faktanya Tergugat sendiri yang tidak mengizinkan Penggugat untuk masuk bekerja seperti biasa. Terkait dengan alasan Tergugat, mangkir karena Tergugat tidak melaksanakan tugas sebagai petugas kebersihan (menolak mutasi/demosi), Penggugat keberatan disebut sebagai telah mangkir.
Jenis pekerjaan Penggugat sebagai kerani (bagian gudang) bukanlah jenis pekerjaan yang dapat diterapkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mengingat jenis pekerjaan kerani merupakan pekerjaan yang terus-menerus dan tidak dapat diketahui kapan berakhirnya, sehingga hanya dapat diikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Selama Tergugat memutus hubungan kerja secara sepihak, Penggugat tidak lagi menerima upah sebagaimana mestinya sehingga berdasarkan Pasal 155 Undang-Undang Ketenagakerjaan, Penggugat meminta kepada Majelis Hakim untuk menghukum Tergugat membayarkan tunggakan upah yang belum dibayar kepada Penggugat selama proses penyelesaian sengketa sampai dengan gugatan ini diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu selama 8 bulan, serta menghukum Tergugat untuk tetap membayar upah sepanjang putusan belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Terhadap gugatan sang pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Makassar kemudian menjatuhkan putusan Nomor 02/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Mks. tanggal 4 April 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, mengenai petitum gugatan Penggugat angka 5 sebagaimana yang Majelis Hakim pertimbangkan dan telah menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus setelah putusan ini dibacakan maka merujuk ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf (f) juncto Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 maka tuntutan Penggugat untuk membayar tunggakan upah dstnya sampai pada jumlah Rp25.575.000,00;
MENGADILI :
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Perjanjian Kerja antara Penggugat dan Tergugat adalah Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang kompensasi PHK kepada kepada Penggugat sebesar Rp29.547.000,00 (dua puluh sembilan juta lima ratus empat puluh tujuh ribu rupiah);
4. Menghukum Tergugat untuk membayar tunggakan upah sejak bulan April 2015 sampai dengan bulan November 2015 sebesar Rp16.000.000,00 dan menghukum Tergugat untuk tetap membayar upah sepanjang putusan belum memiliki kekuatan hukum tetap dengan perincian:
- Upah bulan April sampai dengan Desember 2015 = 9 X Rp2.075.000,00 = Rp18.675.000,00;
- Upah bulan Januari sampai dengan Maret 2015 = 3 X Rp2.300.000,00 = Rp6.900.000,00;
Jumlah = Rp25.575.000,00 (Dua puluh lima juta lima ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Sang Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan dengan alasan, sebagai berikut:
1. Maksud dibuat dan ditanda-tanganinya perjanjian adalah tidak berkaitan dengan jenis pekerjaan tetapi lamanya kesempatan kerja yang diberikan kepada Penggugat oleh Tergugat; [Note Penulis: suatu argumentasi yang tidak dapat dibenarkan secara etika yuridis, karena dengan demikian apakah dimaknai bahwa pengusaha dapat memutasi secara sepihak dan memerintahkan pegawainya untuk bekerja pada jenis pekerjaan yang bersifat tetap?]
2. Bahwa selama bekerja pada bagian yang diperjanjikan tersebut, Penggugat tidak menunjukan kinerja yang baik, maka beralasan untuk dipindahkan kebagian yang lainnya tanpa mengurangi gaji pokok atau haknya atas upah dan tunjangan lainya tetap sama; [Note Penulis: Argumentasi butir ke-2 ini bertolak-belakang dengan argumentasi butir ke-1.]
3. Yang menjadi persoalan adalah ketika Penggugat dimutasi yang bersangkutan menolak dengan alasan pekerjaan yang hina, bukan karena alasan jenis pekerjaan sebagaimana yang dipetimbangan PHI;
4. Dengan adanya penolakan terhadap mutasi berarti Penggugat menolak perintah kerja, menolak perintah kerja harus dianggap mengundurkan diri dan tidak berhak atas uang pesangon.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi yang diterima tanggal 20 April 2016 dan kontra memori kasasi yang diterima tanggal 20 Mei 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Makassar tidak salah menerapkan hukum, namun demikian Majelis Hakim memandang perlu untuk melakukan perbaikan sepanjang mengenai amar putusan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Termohon Kasasi / Penggugat bekerja pada Pemohon Kasasi / Tergugat dengan jabatan sebagai Kerani sesuai dengan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT) yang ditanda-tangani kedua belah pihak sampai dengan perselisihan terjadi tanggal 21 April 2015;
2. Bahwa pekerjaan a quo terbukti bukan jenis atau pekerjaan yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga menjadi PKWTT / Tetap;
3. Bahwa pengakhiran hubungan kerja dengan tanpa kesalahan dapat dibenarkan karena penolakan mutasi ke jabatan cleaning service melanggar isi perjanjian kerja sehingga tepat berhak atas kompensasi Uang Pesangon (UP) 2 (dua) kali, Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Penggantian Hak (UPH) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003;
4. Bahwa namun demikian upah sejak bulan Mei 2015 sampai dengan Maret 2016 (upah proses) tidak diberikan, karena Pemohon Kasasi/Tergugat dan Termohon Kasasi/Penggugat semula terikat PKWT menjadi PKWTT, berdasarkan putusan pengadilan, dan terhadap putusan perkara sejenis dalam praktek yang berulang-ulang tidak berhak atas upah proses;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 2/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Mks. tanggal 4 April 2016 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. NIPSEAN PAINT and CHEMICALS cabang Makassar tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. NIPSEAN PAINT and CHEMICALS Cabang Makassar tersebut;
“Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 2/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Mks. tanggal 4 April 2016, sehingga amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Perjanjian Kerja antara Penggugat dan Tergugat adalah Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang kompensasi PHK kepada kepada Penggugat sebesar Rp29.547.000 (dua puluh sembilan juta lima ratus empat puluh tujuh ribu rupiah);
4. Menghukum Tergugat membayar upah Penggugat bulan April 2015 sebesar Rp2.075.000,00 (dua juta tujuh puluh lima ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.