Perbedaan antara Pembatalan dan Pemutusan Kontrak

LEGAL OPINION
Question: Jika memang ada perbedaan antara pemutusan kontrak dan pembatalan perjanjian, konsekuensi hukum atau bedanya dimana dan seperti apa?
Brief Answer: Pembatalan (annulment) artinya segala kondisi dikembalikan seperti sedia keadaan semula sebelum perikatan terjadi. Apa yang tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula, seperti barang yang telah habis pakai, biaya / pengeluaran yang secara real telah dikeluarkan, jam kerja yang tidak mungkin dipulihkan, ataupun kerugian akibat amortasi, menjadi kewenangan pengadilan untuk memutus besaran nominal uang sebagai bentuk ganti-ruginya.
Sementara yang dimaksud dengan pemutusan perikatan (termination), yang dapat dituntut hanyalah ganti-rugi akibat wanprestasi atau ingkar janji atas suatu potentual loss yang senyatanya dharapkan. Sementara keadaan yang terjadi hingga detik terjadinya pemutusan perikatan, keadaan tersebut tetap sah dan berlaku hingga sampai pada titik tersebut.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut dapat menjadi cerminan untuk memudahkan pemahaman, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI perkara Pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) register Nomor 355 K/Pdt.Sus-PKPU/2013 tanggal 25 Juli 2013, sengketa antara:
- PT. ENERGY TATA PERSADA, sebagai Pemohon PKPU; melawan
- ACG (SOUTH BENGARA-II) Pte. Ltd., selaku Termohon Kasasi dahulu Termohon PKPU.
Termohon PKPU merupakan operator konsesi minyak dan Gas Bumi. Sementara Pemohon PKPU merupakan peserta yang mengikuti pelelangan ulang sehubungan dengan pekerjaan pengadaan jasa penyediaan dan pengoperasian perangkat Bor untuk melaksanakan kegiatan pemboran sumur eksplorasi di Kalimantan Timur, berdasarkan surat Penunjukan Pemenang Pengadaan dari Termohon PKPU.
Pemohon PKPU ditunjuk sebagai pemenang lelang pengadaan pekerjaan dengan harga penawaran yang telah disetujui sebesar US$ 7,993,620.00. Berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Pekerjaan tertanggal 14 Mei 2012, Termohon PKPU memerintahkan kepada Pemohon PKPU untuk segera melaksanakan pekerjaan mendahului penanda-tanganan kontrak.
Atas pekerjaan yang kemudian dilaksanakan, Pemohon PKPU telah mengeluarkan biaya-biaya atas pekerjaan tersebut, antara lain meliputi biaya operasional dan sumber daya manusia dalam melakukan pekerjaan sehubungan dengan syarat perintah kerja.
Atas biaya-biaya yang timbul akibat pekerjaan tersebut, Pemohon PKPU telah menerbitkan invoice-invoice tertanggal 2 Januari 2013 dan Invoice tertanggal 2 Januari 2013, yang telah dikirimkan dan ditagihkan kepada Termohon PKPU. Akan tetapi sampai kini, Termohon PKPU belum melakukan pembayaran atas tagihan tersebut. Pasal 10.1 Dokumen Lelang, telah disepakati:
“Pembayaran dilakukan setelah Perusahaan menerima Surat Penagihan (Invoice) dari Kontraktor dan dibayarkan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender setelah Perusahaan menerima Surat Penagihan (Invoice) dari Kontraktor.”
Sementara dikaitkan dengan ketentuan Pasal 10.5 Dokumen Lelang:
“Perusahaan akan memberitahukan kepada Kontraktor secara tertulis setiap penolakan / penundaan / pemotongan pembayaran dan alasan-alasannya, selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak Kontraktor menyampaikan penagihan kepada Perusahaan.”
Invoice-invoice dikirimkan dan telah diterima oleh Termohon PKPU pada tanggal 3 Januari 2013, sementara dalam jangka waktu 10 hari kerja sejak Pemohon PKPU menyampaikan Invoice-invoice tersebut, Termohon PKPU tidak pernah menolak Invoice-invoice tersebut. Dengan kata lain, hak ingkarnya telah kadaluarsa.
Pemohon mendasarkan permohonannya pada kaedah norma Pasal 222 Ayat (1) dan (3) UU No. 37 Tahun 2004, sebagai berikut:
1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor;
3. Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya.”
Pasal 225 Ayat (3) UU No. 37/2004:
“Dalam hal permohonan diajukan oleh Kreditor, pengadilan dalam waktu lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya Surat Permohonan, harus mengabulkan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor.”
Terhadap permohonan Pemohon, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 19/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 20 Mei 2013, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Pemohon PKPU telah menagih piutangnya kepada Termohon PKPU dengan Invoice Nomor... dan Nomor ... tertanggal 2 Januari 2013 dan Termohon PKPU sudah menerima dan tidak pernah menolaknya (bukti P-5) sehingga berdasarkan bukti P-4, Invoice tersebut telah jatuh tempo sejak tanggal 2 Februari 2013;
“... sebenarnya sebagai konsekwensi dari pemutusan hubungan Pemohon PKPU dengan Termohon PKPU untuk melakukan hak dan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan dalam dokumen lelang. Dan dengan demikian hubungan hukum antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah berhenti;
MENIMBANG :
- Menolak Permohonan PKPU.”
Sang kreditor mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa faktanya surat pemutusan kontrak yang dijadikan dasar oleh hakim Pengadilan Niaga adalah surat tertanggal 15 Maret 2013 yang notabene dilakukan setelah adanya upaya penagihan atas Invoice-invoice oleh Pemohon ajukan kepada Termohon pada tanggal 8 Februari 2013.
Dalam pertimbangan hukum Pengadilan Niaga, dinyatakan bahwa antara Pemohon dan Termohon terdapat perselisihan atas tagihan. Namun Pengadilan Niaga telah melakukan kekhilafan dengan tidak mempertimbangkan bahwa atas Invoice-Invoice tersebut, tidak pernah dipersengketakan ataupun dibantah terlebih disanggah oleh Termohon PKPU.
Pengadilan Niaga menyatakan bahwa Pemohon belum selesai melakukan pekerjaan jasanya, oleh karena kontrak telah diputus. Adalah pertimbangan hukum tanpa dasar, menentukan bahwa pekerjaan harus telah diselesaikan baru dapat ditagihkan. Pasal 31.7 Dokumen Lelang terdapat sebuah pengaturan:
“Ketentuan yang tetap berlaku: Hak-hak dan kewajiban-kewajiban para Pihak yang diuraikan didalam Kontrak ini, yang karena sifatnya tetap berlaku setelah pengahiran atau berakhirnya masa berlaku jasa, akan tetap berlaku dan memiliki kekuatan penuh setelah pengakhiran atau habisnya masa berlaku tersebut.”
Dengan demikian berdasarkan Pasal 31.7 Dokumen Lelang, jikalaupun benar bahwa telah ada pemutusan kontrak atau pengakhiran, ketentuan Pasal 10.1 dan Pasal 10.5 Dokumen Lelang tetap berlaku dan mengikat para pihak, termasuk hak maupun kewajiban masing-masing. Selain kepada Pemohon, Termohon juga memiliki utang kepada Kreditor lain, yaitu:
(i) PT. Akura Bina Citra, dengan jumlah tagihan sebesar Rp437.607.225,- berdasarkan Akta Perjanjian Pengalihan Piutang tertanggal 8 April 2013 dan telah diberitahukan secara tertulis kepada dan telah diterima oleh Termohon PKPU pada tanggal 29 April 2013;
(ii) PT. Besmindo Borneo Semesta, dengan jumlah tagihan sebesar US $66,172.7;
(iii) PT. Tugu Insurance Brokers, dengan jumlah tagihan sebesar US $28,978.87.
Untuk itu Pemohon merujuk pada yurisprudensi putusan Mahkamah Agung No. 48 K/Pdt/2000, yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan:
“Bahwa di dalam jual beli piutang, tidak ada aturan yang mengatur atau mengharuskan para pihak yang terlibat jual beli piutang, in casu Tergugat I dan Tergugat III/para Pemohon Kasasi, untuk memberitahukan kepada Debitor bahwa hutangnya telah dialihkan atau dijual.”
Dengan demikian, sah atau tidaknya pengalihan piutang milik Debitor bukanlah dari persetujuan Debitor itu sendiri, melainkan saat para pihak yang mengalihkan dan yang menerima pengalihan piutang tersebut saling bersepakat untuk mengalihkan piutang.
Pemohon merujuk pada pendapat hukum DR. H. Mohammad Saleh, SH., MH. Yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung, dalam artikel yang berjudul “Temuan Permasalahan Hukum pada Perdata Khusus”, pengertian Cessie dapat dikatakan sebagai Kreditor dari Debitor yang dimohonkan pailit adalah setelah penyerahan itu diberitahukan kepada Debitor atau secara tertulis disetujui dan diakuinya (Pasal 613 ayat (2) KUH Perdata).
Dengan demikian, maka syarat untuk adanya Kreditor lain telah terpenuhi dengan telah adanya pemberitahuan akan pengalihan piutang (cessie) sebagaimana telah diterima dan diakui oleh Termohon. Pertimbangan hukum Pengadilan Niaga, bahwa piutang yang dialihkan adalah berasal dari piutang yang tidak sederhana, adalah tidak tepat, oleh karena Invoice-invoice adalah utang sederhana yang telah jatuh tempo sejak 2 Februari 2013. Karenanya, pengalihan piutangnya adalah sah.
Tidak seperti biasanya, Mahkamah Agung yang biasanya cukup “kikir” membuat pertimbangan hukum, kini secara panjang-lebar membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 24 Mei 2013 dan kontra memori kasasi tanggal 4 Juni 2013 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum sehingga permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Pemohon PKPU dapat diterima dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa sesuai ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU berlaku terhadap putusan yang mengabulkan permohonan PKPU, sedangkan terhadap putusan yang menolak permohonan PKPU tidak diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 apakah ada upaya hukum atau tidak;
- Bahwa oleh karena mengenai upaya hukum terhadap Pemohon PKPU yang ditolak, tidak diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004, maka menurut Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Umum (HIR) dapat diterapkan;
- Bahwa untuk mencapai asas keseimbangan maka upaya hukum kasasi dalam perkara a quo yang menolak permohonan PKPU, dapat diterima dan dibenarkan;
- Bahwa atas dasar hal-hal tersebut maka pendapat Termohon PKPU / Termohon Kasasi yang dimuat dalam kontra memori kasasinya, harus ditolak;
“Bahwa terhadap substansi perkaranya Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut:
- Bahwa dari bukti P-2 dan P-3 Pemohon PKPU / Pemohon Kasasi adalah pemenang lelang ulang sehubungan dengan pekerjaan pengadaan jasa dan pengoperasian perangkat bor dengan kapasitas minimal 1500 HP beserta jasa pendukung di wilayah kerja Termohon PKPU / Termohon Kasasi yang telah disetujui oleh Termohon PKPU / Termohon Kasasi sebesar US$7,973,620.00 (bukti P-2 dan P-3);
- Bahwa berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Pekerjaan (SPMP) tanggal 14 Mei 2012, Termohon PKPU / Termohon Kasasi memerintahkan Pemohon PKPU/Pemohon Kasasi untuk segera melaksanakan pekerjaan berdasarkan Dokumen No. ... dan lampiran-lampirannya (‘Dokumen hilang’)—bukti P-4a dan P-4b;
- Bahwa fakta ini membuktikan adanya hubungan hukum perjanjian antara Pemohon PKPU / Pemohon Kasasi dengan Termohon PKPU / Termohon Kasasi;
- Bahwa Pemohon PKPU / Pemohon Kasasi telah melaksanakan pekerjaan dan telah pula mengeluarkan biaya-biaya dan Termohon PKPU / Termohon Kasasi tidak membantah adanya Surat Perintah Melaksanakan Pekerjaan (SPMP) itu dan sesuai dengan asas keseimbangan dan keadilan, maka biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon PKPU / Pemohon Kasasi sebagai pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Pekerjaan (SPMP) merupakan piutang bagi Pemohon PKPU / Pemohon Kasasi dan merupakan utang bagi Termohon PKPU / Termohon Kasasi;
- Bahwa dalam Dokumen Lelang Pasal 10.1 menyatakan: ‘Pembayaran dilakukan setelah Perusahaan/Termohon PKPU/Termohon Kasasi menerima surat penagihan (invoice) dari Kontraktor / Pemohon PKPU/Pemohon Kasasi dan dibayarkan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender setelah Perusahaan menerima surat penagihan (invoice) dari Kontraktor’;
- Bahwa pasal tersebut juga mengakui bahwa Perusahaan / Termohon PKPU / Termohon Kasasi akan memberitahukan kepada Kontraktor / Pemohon PKPU / Pemohon Kasasi secara tertulis setiap permasalahan/ penundaan / pemotongan pembayaran dan alasan-alasannya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak Kontraktor menyampaikan penagihan pembayaran kepada Perusahaan (bukti P-4b);
- Bahwa Pemohon PKPU / Pemohon Kasasi telah mengirimkan invoice kepada Termohon PKPU / Termohon Kasasi tanggal 3 Januari 2013 (bukti P-6) dan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak Pemohon PKPU / Pemohon Kasasi menyampaikan invoice Termohon PKPU / Termohon Kasasi tidak pernah menolak invoice tersebut, sehingga dengan demikian tagihan tersebut telah terbukti sederhana dan utang telah jatuh tempo sejak tanggal 2 Februari 2013 yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak invoice diterima Termohon PKPU / Termohon Kasasi sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004;
- Bahwa menurut penjelasan Pasal 8 ayat (4) tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa soal kepastian besaran jumlah utang yang didalilkan Pemohon tidak menjadi ‘prasarat’ terbuktinya secara sederhana;
- Bahwa Termohon PKPU / Termohon Kasasi terbukti memiliki utang pada Kreditor lain yaitu:
a. PT. Besmindo Borneo Semesta sebesar US$ 66,172.7;
b. PT. Akura Bina Citra sebesar Rp437.607.225,-;
c. PT. Tugu Insurance Broker US$ 28,978.87;
- Bahwa Judex Facti dalam pertimbangannya yang menolak adanya Kreditor Lain dengan alasan bahwa jarak antara pemberitahuan adanya pengalihan piutang (cessie) dengan pengajuan Permohonan PKPU, tidak dapat dibenarkan;
- Bahwa menurut Pasal 613 KUH Perdata mengatur: ‘Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau secara tertulis disetujui dan diakui.’;
- Bahwa pemberitahuan adanya pengalihan piutang (cessie) kepada Debitor tidak mempengaruhi keabsahan pengalihan piutang;
- Bahwa hal tersebut diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No. 48 K/Pdt/2000 yang menyatakan bahwa didalam jual beli piutang tidak ada aturan yang mengatur atau mengharuskan para pihak yang terlibat jual-beli piutang untuk memberitahukan kepada Debitor bahwa utangnya telah dialihkan atau dijual;
- Bahwa dengan demikian terbukti Termohon PKPU / Termohon Kasasi memiliki utang kepada Kreditor Lain;
- Bahwa Judex Facti juga mempertimbangkan ditolaknya Permohonan PKPU karena telah ada pemutusan kontrak, hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena faktanya surat pemutusan kontrak yang dijadikan dasar oleh Judex Facti adalah surat tanggal 15 Maret 2013 yang dilakukan setelah adanya penagihan-penagihan atas invoice-invoice oleh Pemohon PKPU / Pemohon Kasasi kepada Termohon PKPU / Termohon Kasasi;
- Bahwa dalam Dokumen Lelang Pasal 31.7 mengatur: ‘Hak-hak dan kewajiban para pihak yang diuraikan dalam kontrak ini yang karena sifatnya tetap berlaku dan memiliki kekuatan mengikat.’;
- Bahwa dengan demikian atas dasar Pasal 31.7 Dokumen Lelang, kalaupun benar ada pemutusan kontrak, (maka) ketentuan Pasal 10.1 dan Pasal 10.5 Dokumen Lelang tetap berlaku dan mengikat;
- Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut diatas maka terdapat alasan untuk mengabulkan Permohonan PKPU yang diajukan oleh Pemohon PKPU dan memberikan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara terhadap Termohon PKPU selama 45 hari;
- Bahwa karena Permohonan PKPU dikabulkan maka perlu ditunjuk dan mengangkat Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas yang penunjukannya akan ditentukan kemudian berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri / Niaga Jakarta Pusat;
- Bahwa untuk keperluan Pengurusan PKPU atas Termohon PKPU perlu diangkat Kurator jika nantinya masuk proses kepailitan, yang nama-namanya sebagaimana telah diminta Pemohon PKPU dalam Petitum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. ENERGY TATA PERSADA tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 19/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 20 Mei 2013, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar sebagaimana akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. ENERGY TATA PERSADA tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 19/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 20 Mei 2013;
MENGADILI SENDIRI :
1. Mengabulkan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh Pemohon PKPU;
2. Memberikan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara selama 45 (empat puluh lima) hari terhadap Termohon PKPU;
3. Menunjuk dan mengangkat Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas;
4. Mengangkat: ... sebagai Pengurus dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atas Termohon PKPU selanjutnya berkenan diangkat sebagai Kurator apabila masuk dalam proses kepailitan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.