Perbedaan antara Calo dan Sarjana Hukum

ARTIKEL HUKUM
Kerap terdapat salah-kaprah ditengah masyarakat, seakan profesi hukum dan profesi “calo” adalah serupa atau dapat saling dipertukarkan. Baru-baru ini seseorang mencoba menghubungi penulis, namun menjadi permasalahan ialah ketika profesi penulis yang merupakan penyedia jasa layanan hukum, disetarakan dengan jasa seorang “calo”—alias, salah alamat.
Pihak tersebut menyatakan kehendaknya untuk memperpanjang sertifikat Hak Guna Bangunan yang saat ini kadaluarsa, namun masih atas nama pengembang, dimana badan hukum pengembang tersebut telah lama jatuh pailit. Ketika penulis menyampaikan, agar yang bersangkutan memulai dengan sesi konsultasi tatap-muka terlebih dahulu, agar penulis dapat melakukan analisa “pemetaan” hak dan kewajiban normatif terhadap dokumen yang ada, namun pihak tersebut menolak, seketika langsung menyatakan bahwa dirinya menolak konsultasi, dan menantang penulis apakah sanggup untuk mengurus sertifikat tanahnya. Bila penulis menyanggupi (tanpa didahului telaah dokumen), barulah dirinya membayar.
Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengupas hakiki utama profesi hukum yang tidak boleh dicampur-aduk dengan profesi “calo”. Seorang profesi hukum, sejatinya serupa dengan cara kerja seorang dokter. Seorang dokter, dibayar jasanya untuk melakukan analisa (diagnosa), sebelum membuat kesimpulan dan tindakan medik.
Begitupula jasa hukum, seorang sarjana hukum tidak bisa begitu saja secara serta-merta menyatakan menyanggupi apa yang memang tidak dapat dijalankan. Kerap kali terjadi, masalah utama terletak pada kesalahan yang dikontribusi oleh pihak klien sendiri. Sehingga analisa terhadap kejadian, fakta hukum, dasar hukum, serta kajian normatif terhadap permasalahan hukum, adalah elemen paling sentral dari profesi hukum.
Berbeda dengan “calo”, tidak dibutuhkan analisa pendahuluan apapun, tidak dibutuhkan semacam “biopsi” atau pemeriksaan apapun, namun secara serta-merta mematok tarif dan menjanjikan akan menyanggupi apapun keinginan pengguna sang “calo”.
Banyak “calo” yang menyaru sebagai jasa hukum. Contoh, seorang advokat yang menyadari bahwa kliennya tidak dapat menang di persidangan, mulai melirik cara kerja seorang “calo”, yakni: sogok, suap, dan gratifikasi. “Calo”, lebih ilegal dari “biro jasa”. “Biro jasa” serupa dengan jasa pengacara, sebagai kuasa hukum dalam mengurus suatu keperluan, yang memang sahih dan legal—semisal mengurus pembayaran pajak Surat Tanda Nomor Kendaraan tahunan. Namun, “calo” melangkah lebih jauh, yakni memuluskan segala sesuatu, sekalipun dengan cara yang legal maupun cara yang ilegal (by all means).
Kode etik antara jasa hukum dan jasa “calo” pun saling berlainan, kontras satu sama lain. Seorang pemberi layanan jasa hukum, dilarang untuk menjanjikan suatu hasil, namun secara objektif perlu melihat dan mengakui adanya koridor hukum yang harus dilewati dan dihormati. Penyedia jasa hukum tidak diperkenankan berjalan keluar dari jalur koridor hukum.
Sebaliknya, seorang “calo”, menjanjikan hasil, apapun koridor hukumnya, apapun posisi hukum sang klien, sekalipun harus dengan cara melawan hukum, menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Bisa disebutkan, profesi “calo” tidak memiliki kode etik, namun murni berpedoman pada prinsip: “Berani mati bela yang bayar.” Oleh karenanya, jangan pernah bicara perihal etika ketika berhubungan dengan seorang “calo”.
Profesi “calo”, ialah profesi pragmatis—sama sekali tidak memiliki harga diri, terlebih martabat, dengan mudah mampu dibeli dan dijadikan alat bagi pihak-pihak yang memiliki niatan buruk untuk meng-gol-kan segala niat dan tujuannya, sekalipun itu tujuan yang buruk dan merugikan pihak ketiga.
Itulah sebabnya, berurusan dengan “calo” bagai bekerja-sama dengan seorang “buaya” atau seorang “harimau”, bagai mafia kasus yang sangat berbahaya. Sementara itu, mereka yang terikat kode etik profesi hukum, tidak dibenarkan untuk memiliki mental seperti seorang “calo”.
Namun demikian, persepsi di tengah masyarakat kini ambigu, mengingat banyaknya kalangan hukum yang merusak kode etik profesi hukum, mulai dari kode etik advokat, kode etik konsultan hukum, kode etik notaris, kode etik pejabat pembuat akta tanah, kode etik hakim, kode etik panitera, kode etik kepolisian, kode etik kejaksaaan, dsb.
Seorang “calo”, karena tidak dikekang oleh rambu-rambu moral, maka bergerak atas dasar “membela yang bayar”. Dengan demikian, seorang calo, dapat saja berpindah haluan atau menyerang untuk membela pihak lawan dari kliennya semula, semata karena urusan pragmatis: lawan kliennya kini yang mampu membayar lebih besar.
Masyarakat perlu mulai menyadari bahaya dari layanan jasa seorang “calo”. Seorang “calo”, seringkali menggunakan jalur ilegal untuk memperoleh izin bagi kepentingan sang klien, sebagai contoh. Kita tidak pernah tahu, kapan izin itu akan menjadi bermasalah atau dipermasalahkan dikemudian hari.
Sebaliknya, jasa layanan hukum yang baik, tidak lebih dari sekadar kuasa hukum untuk mengurus izin usaha, sebagai contoh, bukan menjadi alat untuk melakukan kegiatan ilegal seperti memotong rantai prosedur sehingga terbitnya perizinan yang sejatinya tidak memiliki kelengkapan dokumentasi sebagaimana yang dipersyaratkan.
Anda tidak dapat menuntut tanggung-jawab moril dari seorang penyedia jasa “calo”, karena antara pengguna jasa dan sang “calo”, dianggap “sama-sama tahu” bahwa apa yang diperoleh ialah dengan cara-cara ilegal. Karena dianggap “sama-sama telah tahu”, maka pengguna jasa tidak dapat menuntut sang “calo” secara hukum.
Memakai jasa “calo” pun dinilai sebagai langkah cara-cara curang guna melangkahi hukum positif yang berlaku. Satu hal yang pasti, tiada loyalitas dalam mindset para penyedia jasa “calo”—namun semata diwarnai semangat pragmatis. Dan, tentu saja, sang pengguna jasa “calo” pun dianggap sudah sama-sama tahu, bahwa sang “calo” tahu bahwa pengguna jasanya hendak berbuat curang, dan sang pengguna jasa pun tahu bahwa sang “calo” akan menggunakan cara-cara curang untuk memeroleh apa yang hendak diperoleh / dicari sang klien.
Singkat kisah, penulis tidak pernah sudi merendahkan harkat-martabat sendiri, dengan dilecehkan seperti seorang “calo”. Banyak kalangan hukum yang melecehkan dirinya sendiri dengan menjadi seorang “calo”, atau sudi ketika diperlakukan sama seperti seorang “calo”, bahkan bahkan menjual secara murah harkatnya. Namun adalah salah alamat bila berpikir bahwa setiap Sarjana Hukum adalah “calo”.
Terhadap pihak tersebut yang meminta penulis untuk menjadi seorang calo, tanpa mau menghormati aturan main maupun kode etik penulis selaku konsultan hukum, penulis berikan respon sebagai berikut: “Bila Anda maunya dilayani konsultasi hukum secara tanpa mau dibebani tarif, maka anggap saja hak atas tanah Anda berupa SHGB tersebut, sudah hangus sama sekali ketika sang developer jatuh pailit.”
Apa yang diinginkan pihak tersebut, tidak akan menyinggung perasaan seorang “calo”, karena seorang “calo” selalu menyanggupi apapun keinginan pengguna jasa sekalipun yang diminta ialah melanggar hukum, sepanjang tarifnya memadai.
Sebaliknya, permintaan serupa dapat menjadi sebuah pelecehan yang tidak dapat ditolerir bagi seorang Sarjana Hukum yang masih memegang kode etik secara ketat dan tegas. Demikianlah untuk dapat menjadi pelajaran kita bersama. Etika komunikasi sangatlah penting sekaligus “sensitif”. Kegagalan untuk memahami hal mendasar demikian, akan sangat mahal “harga” sosialnya.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.